Kamis, 20 April 2017

Cinta Yang Sempurna


Samira banyak membaca. Ia sering duduk seorang diri, di tengah permadani bermotif bunga, dengan alas yang bolong di sana sini. Ia nyaman dengan hal itu. Menikmatinya. Samira diam berjam-jam di balik tirai dunia, yang banyak dibilang orang luas, di dalam sebuah buku.

Samira, barangkali adalah jenis manusia pecinta buku. Ketika seseorang telah sampai pada tahap mencintai, ia akan melakukan perkara aneh, tak jarang bodoh, seringkali gila. Itulah Samira. Ia mencintai buku seperti ia mencintai istrinya saat pertama kali menikah.

Di sini, Samira –si pecinta buku- telah menikah beberapa kali. Pernikahannya, selalu gagal. Pernikahan, sering diibaratkan sebagai bahtera. Nah, Samira, saat baru saja membali kayu dan paku untuk membangun bahteranya, ia sudah ditinggalkan oleh istrinya. Kehidupan cinta Samira dengan sesame manusia memang menyakitkan, tapi baginya, itu adalah perkara indah nan memesona. Perkara yang takkan pernah didapatkan orang lain.

Samira beruntung, di sini, hari ini pernikahannya yang ke sembilan berjalan mulus. Ia sudah meniduri istrinya beberapa kali dalam tiga tahun belakangan. Ia, kadang-kadang pergi keluar bersama istrinya, sekadar cuci mata atau belanja barang keperluan rumah mereka.

***

Menginjak tahun ketujuh pernikahannya, sebuah masalah mulai merundung Samira. Istrinya ingin punya anak. Bisa dikatakan, ia iri pada teman-temannya yang telah menimang. Ia meminta Samira serius untuk memiliki anak, dan Samira, ia menyanggupinya.

“Mohon maaf, ibu, bapak, mungkin bukan rezeki anda,” Ujar dokter kandungan yang saat ini tengah berkutat di balik dokumen kandungan istri Samira. Di dokumen itu, istri Samira diketahui keguguran. Pupuslah harapan istri Samira untuk memiliki anak. Ia juga dirundung awan kelabu berbulan-bulan lamanya.

Kekuguran anak yang didamba, bisa jadi sebuah petaka terbesar bagi seorang wanita. Wanita yang tertimpa musibah macam ini, adalah wanita yang malang dunianya. Itu pula istri Samira. Kini ia menjadi wanita malang, yang kekuguguran.

Istri Samira nyaris gila. Ia enggan berkata-kata, dengan Samira barang sepatah pun. Ia malas makan berhari-hari. pekerjaannya, hanya duduk diam, menahan sembilu hati di pojok ranjang. Ia menatap langit, dan mengandaikan awan di cakrawala sebagai bayinya. Tak jarang, istri Samira cekikikan sendiri. ia bicara di depan kaca sambil memegangi guling mungil, yang awalnya ia persiapkan untuk calon anaknya.

Melihat hal itu, Samira menghentikan laju cintanya pada buku-buku. Ia memilih memerhatikan kondisi istrinya yang mengkhawatirkan. Setiap pagi, ia menamani istrinya duduk di taman belakang rumah, sekadar memandangi awan, dan menghitungnya. Samira tersenyum. Ia cukup senang istrinya mau diajak bicara, lagi.

“Sepertinya, kondisi Mala sudah membaik,” Pikir Samira suatu pagi, usai berbincang dengan istrinya, sekalian sarapan pagi. Samira tengah mencuci piring dan gelas yang bertumpuk di dapur.

Sejak keguguran itu, istri Samira tak pernah mencuci, memasak atau melakukan pekerjaan seorang istri lainnya, bahkan bersetubuh. Samira memaklumi hal itu, karena ia menikahi Mala bukan untuk membantunya mencuci atau memasak. Samira berpikir, selama ia bisa menyelesaikan semuanya, ia akan baik-baik saja.

***

“Dimana istrimu, Sam? Tidak ikut?” celetuk Irfan, seorang teman Samira saat mereka berjumpa.

Samira berjalan sendirian, sejak keluar dari mobil. Ia menenteng tas berisi naskah-naskah novel milik teman-temannya, salah satunya milik Irfan. Mereka bertemu di sini untuk mendiskusikan kekurangan novel Irfan.

“Dia ikut koq, fan.” Samira duduk di depan Irfan. Mereka terpisah oleh sebuah meja.

“Lalu, dimana dia?”

“Dia di mobil. Menungguku di sana.”

“Lah! Kau ini bagaimana? masa istrimu kau biarkan menunggu di mobil? Ajaklah ia kemari, kita mengobrol santai di sini.”

“Dia tidak bisa keluar,”

“Kenapa? Apa sih yang dilakukannya di sana? Apa tidak panas?”

“Dia kepanasan, Fan….”

“Kau suruhlah dia keluar, Samira,”

“Aku tak bisa.”

“Aku bantu kau membujuknya keluar kalau begitu, bagaimana? Ayo.” Tanpa menghiraukan tanggapan Samira, Irfan beranjak ke mobil Xenia putih milik Samira. Samira menyusulnya, dengan hati gelisah.

Samira takut Irfan mengetahui kondisi Mala. Ia sebenarnya tidak takut, ia hanya malu jika seseorang tahu istrinya gila. Baginya, orang lain harus tetap tahu kalau istrinya baik-baik saja. Namun di sini, Irfan tahu. Dengan matanya, ia menelan bulat-bulat kenyataan tentang Mala.

“Apa yang terjadi padanya, Sam?” Tanya Irfan saat mereka kembali duduk di meja café. Kali ini Mala duduk di sisi Samira. Ia asyik mengajak bicara guling mungil berwarna hijau, di dalam pelukannya.

“Dia keguguran, tiga tahun lalu. Sejak saat itu, ia tak pernah kembali menjadi Mala yang kukenali, Fan,” Samira berkata lirih. Perlahan ia mengenggam tangan Mala, erat sekali.

“Bagaimana bisa? Istriku pernah keguguran, tapi ia tak gila.” Irfan berkalakar tentang istrinya.

“Mungkin, itu karena kau suaminya. Mala jadi begini, karena aku yang menikahinya. Ia akan baik-baik saja, hidup bahagia dengan dua atau tiga anak jika tak kunikahi, Fan.”

“Mungkin saja.” Kata Irfan. Ia diam sejenak, menarik napas, sambil berpikir. Kemudian ia kembali berkata. “Tapi, Sam, ini adalah pilihan Mala. Ia memilihmu, karena ia yakin kau akan mencintainya, dalam kondisi apapun.”

“Bahkan saat ia gila? Seperti sekarang ini?” Samira tersenyum getir. Tangan kirinya meremas kain kemejanya.

“Tentu saja. Buktinya? Ini,” Irfan berdiri, ia menarik tangan Samira yang bertaut dengan istrinya. “Jika kau tak mencintainya, mustahil kau menemaninya, hingga detik yang lalu, atau hingga kemarin.”

“Aku tahu, cintamu pada buku-buku di perpustakaan pribadimu lebih besar daripada cintamu pada Mala. Kau menganggap cintamu telah sempurna pada buku-buku itu, tapi sekarang aku ragu.” Irfan kembali berkata.

“Apa maksudmu?”

“Kau hanya mencintai buku-buku itu, saat mereka tengah kau baca, setelahnya, kau mengabaikan mereka di rak-rak kayu mahoni. Artinya, cintamu pada mereka hanya dalam sebuah momen, Sam. Tapi, kau tengoklah hari-harimu sebelumnya. Hari dimana kau menemani Mala dalam keadaan seperti ini. Kau selalu ada untuknya, kan?”

“Ya. Aku sering menemaninya sarapan pagi, setelah itu aku mengajaknya berbincang.”

“Itulah cinta yang sempurna. Kau tetap bersandar pada satu hal, saat cintamu sempurna. Tak peduli itu sehat atau cacat, hitam atau putih, suka atau duka. Kau akan selalu berada di sisinya, meski sulit.” Irfan menutup ucapannya seraya menyeruput espresso-nya.

Sementara Samira, ia tersenyum sambil menatap Mala. Sekarang, wanita di sampingnya ini terasa jauh untuk digapai. Ia berada di dunia lain, dimensi yang lain, barangkali juga galaksi yang lain. Namun, Samira yakin, ia akan mencintai Mala, seperti hari ini, atau hari-hari yang telah lalu. Dan, berusaha mendekatkannya kembali.

Bagikan

Jangan lewatkan

Cinta Yang Sempurna
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.