Samira tak beranjak dari kasurnya, ia masih berselimut. Wajahnya seperti bunga yang layu. Rambutnya yang panjang acak-acakan. Ia menyibak helaian rambut dari wajahnya, kemudian berguling menghadap pintu. Samira mendapati istrinya tengah berganti pakaian dalam.
Berulang kali, setiap bangun tidur, Samira mendapati pemandangan yang menyejukkan. Ia menyukai istrinya berganti pakaian di pagi hari, seperti sekarang. Baginya, bentuk tubuh istrinya itu adalah pemandangan yang mampu mengobati sakit di matanya, bahkan melebihi hijau-hijau daun yang sering dianjurkan teman-temannya.
Samira menyunggingkan seulas senyum. Ia menggeser toples berisi air di meja di sisi kasur. Itu membuat celana dalam istrinya terlihat membesar, juga pinggul dan bagian sensitifnya.
“Berhentilah memandangiku seperti itu, Samira!” Istrinya membentak kesal. Tapi ia tetap berlanjut berganti baju.
“Aku menyukainya.” Ujar Samira. Ia memutar-mutar toples itu, sambil tiduran. Ia menganggap toples dan airnya itu sebagai aquarium erotis, dimana ikan-ikan di dalamnya berenang telanjang, dan atau memakai celana dalam saja.
“Kenapa aku mau menikahi lelaki yang bahkan sudah mesum sejak bangun tidur?” Istri Samira mendengus, sedikit kesal. Tapi di balik kekesalannya itu, ia senang.
“Kenapa dengan lelaki mesum? Bukankah itu bagus, sayang?” goda Samira. Ia belum bergerak lebih jauh di kasurnya.
“Barangkali itu bagus bagimu, tapi bagiku, sama sekali tidak.”
“Hahaha…”
“Kenapa tertawa?”
“Yang kusuka, selain melihat ini di pagi hari, adalah dalemanmu yang berbeda dengan pakaian dalam yang katanya modis itu, Mala.”
“Memangnya pakaian dalam juga harus modis? Maksudmu, kau lebih suka dengan pakaian dalam yang hanya segaris dua garis saja? Biar kutampar kau jika menjawab iya.” Mala bersungut menyumpahi suaminya. Ia duduk di depan meja rias, lalu menyisir mahkotanya yang lebat.
Samira diam. Ia hanya tersenyum di balik aquarium erotisnya.
***
Samira duduk di teras rumah. Ia duduk bersila, punggungnya bersandar manja di dinding, sementara tangannya sekali-kali asyik mencomot goreng sukun yang asapnya lama hilang. Ia menyeruput genangan hitam di cangkirnya. Samira menyempatkan diri bersantai sebelum ia mengantar istrinya belanja ke pasar.
“Kau sudah siap?” Tanya Mala. Ia menenteng tas kecil kesayangannya. Pakaiannya rapi, wanginya semerbak. Ia mempercantik penampilannya dengan balutan jilbab biru muda.
“Tentu saja.”
Mereka pun pergi ke pasar. Sepanjang jalan, Samira tak henti-hentinya mengajak Mala mengobrol. Topik obrolan mereka, akhir-akhir ini berkutat pada pakaian, itu dan itu setiap waktu. Sekali waktu, Mala merasa bosan juga kesal. Ia pun berkali-kali tak habis pikir, kenapa ia mau dinikahi Samira yang isi pikirannya hanya pasir dan daun-daun yang mati.
“Sebaiknya tunggu di sini saja. Di dalam, itu area khusus wanita.” Mala menunjuk sebuah kursi di depan toko pakaian. Ia enggan mengajak suaminya itu masuk ke dalam.
“Baiklah!” Samira duduk di sana. Ia bertingkah bak anak kecil yang diantar ibunya ke playgroup.
Tapi Samira takkan selamanya duduk manis di depan toko. Ia tentu akan ikut masuk, setidaknya sampai ia mendapati istrinya asyik memilih. Ia tahu, wanita selalu memilih dan memilih saat belanja. Kaum itu, akan terus memilih sampai benar-benar menemukan yang cocok, dengan kantong dan hasrat.
Maka, lima belas menit setelah Mala masuk, Samira masuk ke dalam toko itu. Ia berjalan santai. Samira berhenti di rak tempat kutang-kutang tergantung, hanya sebentar. Kemudian ia berjalan santai lagi, dan berhenti di rak tempat dress-dress terbaring. Ia terlihat ikuat memilih bersama kerumunan kaum hawa. Barangkali, ia terlihat tidak normal.
Lama berselang, Mala akhirnya menemukan Samira berdiri di antara ibu-ibu, di depan rak daleman bawah, berbaring manja. Darahnya segera menggunung. Dengan langkah cepat, ia mendekati kerumunan itu, lalu menarik suaminya keluar dari sana.
“Kenapa kau di sini? Ini kan area wanita.” Mala mendengus kesal. Ia mencubit perut suaminya.
Samira mengaduh, ia tertawa setelahnya.
“Lagi-lagi tertawa. Aku heran denganmu akhir-akhir ini.” Mala mendengus, lagi. “Kenapa tertawa?”
“Sudahlah, sebaiknya kita pulang. Hasratku belanja sudah lenyap.” Mala gondok pada suaminya. Ia merasa ritual penting ke-perempuan-annya hancur kali ini. Mereka pun pergi dari sana.
***
“Apa aneh akhir-akhir ini bertanya tentang daleman perempuan?” Tanya Samira saat mereka sudah sampai di rumah. Sekarang, sejoli itu duduk berdampingan di ruang keluarga. Belum ada suara-suara mungil menggema di rumah ini.
“Tentu saja. Kau laki-laki, aneh rasanya mendengarmu bertanya hal itu.”
“Aku heran saja, kenapa kamu memakai daleman yang menutupi bagian indah itu sepenuhnya. Kenapa sesekali enggak pakai yang satu-dua garis?”
“Maksudmu seperti di majalah-majalah delapan belas plus itu?”
Samira mengangguk. “Barangkali, sesekali akan mempercantik pemandangan, sayang.”
“Mungkin saja, tapi aku tak nyaman memakainya. Pakaianku, dalemanku, semuanya biasa saja. Normal, tak modis atau fashionable. Aku hanya memakai yang nyaman untukku, meski itu ketinggalan jaman sekali pun.”
“Kenapa begitu? Bukankah semakin modis, semakin indah?”
“Barangkali pendapatmu begitu, tapi aku tidak. Kadang, yang modis malah menyakiti, juga mengekspos. Sebenarnya, esensi menutup aurat bagi perempuan, bukanlah modis atau sekedar membungkus, tapi menutup bagian yang diharuskan, juga nyaman. Aku ingat, dahulu saat masih kuliah, kau pernah menulis tentang pakaian perempuan, tulisan itu kau beri judul Leupeutisasi, kan?” Mala mengambil remote tivi. Ia mematikan televisi, lalu menghadap suaminya.
“Iya, tapi sekarang tulisan itu jadi aku pertanyakan.”
“Aku tahu, segala sesuatu selalu berubah dan perlu dipertanyakan ulang.”
“Sekarang, apa kamu mau memakai daleman satu-dua garis itu? Aku sudah membelikannya untukmu.” Samira berbisik di telinga istrinya, halus.
Mala beranjak ke kamar. Ia belum menjawab permintaan suaminya. Tak lama, kepalanya menyembul di sela pintu, ia berujar, “jawabanku ada di dalam kamar.”
Bagikan
Celana Dalam
4/
5
Oleh
Unknown