Senin, 24 April 2017

Pelajaran dari Film The Intership



The Internship, sebuah film komedi karya Shawn Levy dan Vince Vaughan. Nick Campbell (Owen Wilson) dan Billy McMahon (Vince Vaughan) adalah dua orang pria yang dipecat dari pekerjaannya. Sebelum menganggur, pekerjaan mereka adalah salesman di sebuah perusahaan jam. Tatkala menganggur, mereka merasa frustasi hingg akhirnya Billy mendaftarkan dirinya dan Nick di Google. Mereka bergabung menjadi peserta magang dan mereka adalah peserta magang tertua. Rata-rata peserta magang berusia di bawah 20 tahun. Mereka tergabung dalam sebuah tim buangan yang dibimbing oleh Lyle. Anggota tim Lyle adalah Billy, Nick, Stuart, Yo-yo, dan seorang gadis keturunan India. Tim mereka menjadi tim terburuk pada pertandingan pertama peserta magang Google.

Di tengah cerita, kedua pria itu membantu anak-anak yang lebih dari mereka untuk bekerja sama. Mereka menjadi sosok pemersatu di tim dan mereka menjadi sosok yang benar-benar disayangi oleh anak-anak muda di tim mereka termasuk sang ketua tim, Lyle.

Film ini bergenre komedi. Kata-kata dalam film ini sebenarnya tidak mendidik karena dikatakan dengan bahasa inggris yang kasar. Saya tidak menyarankan anda agar menonton film ini.


Saya tidak mengerti film, tapi saya mendapat sebuah pelajaran berharga dari film ini. Saya menuliskannya dalam catatan ini. Film ini, menggambarkan dua generasi yang harus bekerja sama dalam sebuah tim. Generasi tua dan generasi muda. Untungnya, di film ini kelompok generasi tua -Billy dan Nick, menjalankan tugas mereka. Mereka membantu anak-anak muda yang usianya jauh dari mereka untuk melihat dunia, memecahkan masalah, dan bekerja sama sebagai sebuah tim.

Setdaknya, pelajaran itulah yang saya dapatkan dari film ini dan keadaan di sekitar saya memang seperti itu. Senior atau generasi yang lebih tua akan membimbing orang-orang muda untuk memecahkan masalah, melihat dunia dan mempelajarinya, menemukan jalan hidup dan bekerja sama.
Baca selengkapnya

Jalan Dakwah Seorang Jurnalis


Menyoal Jurnalisme Islam

Saya pernah membaca karya Andreas Harsono –Agama Saya Adalah Jurnalisme. Di dalam buku itu, Andreas Harsono menulis sebuah esai tentang Jurnalisme Islam. Isi esai dengan judul Jurnalisme Islam itu ternyata penyangkalan Andreas terhadap Jurnalisme Islam. Saya tidak menganggap dia menghina Jurnalisme Islam, justru sebaliknya. Saya memerhatikan dan menerima apa yang ia tulis dalam salah satu esainya itu. Menurut saya, apa yang Andreas tulis dalam esainya itu adalah sebuah kritik yang musti dipertimbangkan kembali oleh setiap orang yang menganggap Jurnalisme Islam sebagai cabang ilmu Jurnalistik.

Andreas menganggap Jurnalisme Islam sebagai sebuah propaganda. Menurutnya, bila ada Jurnalisme Islam, tentu ada Jurnalisme Kristen, Jurnalisme Budha, Jurnalisme Hindu, Jurnalisme Konghucu dan Jurnalisme agama lainnya. Andreas menuliskan dalam esainya bahwa tidak ada hal yang baru dalam Jurnalisme Islam. Unsur-unsur Jurnalisme Islam tetap sama seperti Jurnalisme kebanyakan, jadi menurut Andreas, Jurnalisme Islam tidak pantas disebut sebagai cabang baru ilmu jurnalistik.

Saya menerima apa yang Andreas tuliskan dalam bukunya itu. Kenapa tidak? Saya merasakannya. Di sini tidak ada Jurnalisme Islam, yang ada Jurnalisme Dakwah. Waktu saya semester tiga, disajikan dua mata kuliah tentang ilmu jurnalistik : Pertama, Pengantar Ilmu Jurnalistik, kedua Jurnalisme Dakwah. Isi kedua mata kuliah itu sama, yang membedakan keduanya hanya label dakwah dan Islam.

Tujuan Jurnalisme Dakwah dan jurnalisme pada umumnya adalah menyebarkan kebenaran. Kebenaran adalah hal yang relatif. Kebenaran bergantung pada ‘dimana’ dan ‘kapan’ kita berdiri. Kebenaran yang berlaku di tanah sunda, tentu berbeda dengan kebenaran yang berlaku di tanah Batak atau tanah Minang, tetapi semua daerah memiliki satu kebenaran yang sama. Semua daerah pasti menganggap bahwa membunuh, mencuri dan korupsi adalah hal yang buruk.

Selain menyebarkan kebenaran, tujuan jurnalisme dakwah dan jurnalisme pada umumnya adalah membentuk masyarakat yang baik. Ada sebuah jargon yang mengatakan semakin baik kualitas jurnalistik di suatu masyarakat, semakin baik pula kualitas masyarakatnya. Siapapun yang menggeluti dunia jurnalistik tentu akan sepakat dengan hal ini.

Menyikapi jurnalisme islam dan jurnalisme pada umumnya, saya teringat pada profesi dunia ini. Profesi dunia jurnalistik salah satunya adalah wartawan. Wartawan adalah profesi dunia jurnalistik yang mengharuskan pengampunya tidak mengenal ruang dan waktu. Ia tidak memiliki jam kerja, tidak mengenal lelah serta mengharuskan pengampu profesi ini tidak mengeluh. Selain itu, seorang wartawan juga harus mengabarkan sesuatu secara benar. Jika pada awal kemunculannya seorang wartawan mengabarkan suatu peristiwa apa adanya, sekarang seorang wartawan mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan sebuah sudut pandang. Itulah wartawan.

Apakah ada benang merah antara wartawan dengan dunia dakwah? Tentu ada. Seorang wartawan tidak beda halnya dengan seorang da’i. Ia bekerja menyajikan kabar dengan panduan kebenaran. Bill Kovach dan Tom Rossentiel dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalistik yang disadur oleh Andreas Harsono mengatakan bahwa seorang wartawan musti mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan kebenaran yang dianutnya. Kebenaran ini yang menuntunnya menjadi seorang da’i. Pendapat dua pakar jurnalistik Amerika ini tentu menegaskan bahwa wartawan dengan da’I memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menyebarkan kebenaran.

Tidak hanya pendapat kedua pakar itu, saya juga menemukan sebuah tulisan yang menjelaskan bahwa seorang wartawan adalah seorang da’i. Pendapat ini saya sadur dari buku Jurnalisme Universal karya Suf Kasman. Dalam buku ini, ia menjelaskan ayat pertama surat Al-qalam. Menurutnya, arti kata Nun dalam ayat pertama surat itu adalah tinta dan kata kalimat selanjutnya dalam ayat itu ia tafsirkan sebagai tugas seorang jurnalis atau wartawan. Suf Kasman menganggap bahwa ayat ini adalah ayat tentang dunia jurnalistik. Suf Kasman berpendapat sama seperti halnya Bill Kovach dan Tom Rossentiel, bahwa seorang wartawan harus mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan kebenaran universal yang berlaku di masyarakat.

Apakah cukup dengan hanya mengabarkan dengan berpegang teguh pada kebenaran? Saya rasa tidak. Saya mengamini Sembilan Elemen Jurnalistik yang dimiliki Kovach. Salah satu dari kesembilan elemen itu adalah mendengarkan hati nurani. Seorang wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri dalam pengabaran yang ia lakukan, karena hati nurani akan tahu hal yang baik dan buruk.

Saya pernah mengikuti pelatihan jurnalistik multi-agama di Gereja Kristen Indonesia medio November 2012 lalu. Panitia pelatihan itu mendatangkan orang Kompas yang memiliki segudang pengalaman dalam dunia jurnalistik. Ia adalah Peppih Nugraha. Kang Peppih, begitu ia disapa di pelatihan, pernah bertugas di Poso sewaktu terjadi konflik antara Islam-Kristen di sana. Sebagai seorang manusia biasa, ia mengaku takut, tapi pekerjaannya sebagai wartawan memaksanya untuk bertahan. Ia melihat huru hara, darah yang tertumpah dan tangisan di sana sini. Kala itu, Peppih melakukan pengabaran berdasarkan rasa kemanusiaan dan apa yang ia lihat di sana. Ia menulis berita tentang kesedihan anak-anak Poso, korban kejadian, nasib mereka selama konflik, dan sikap serta kegagalan pemerintah menenangkan konflik itu. Salah satu beritanya yang menampar pemerintah waktu itu adalah kegagalan putri presiden Megawati Soekarnoputri mendarat di tanah Poso. Tulisannya berdampak signifikan terhadap pemerintah dan konflik. Pasca kegagalan pendaratan itu, pemerintah langsung menginstruksikan ABRI untuk bertolak ke Poso guna mengamankan konflik.

Dari pengalaman kang Peppih tersebut, saya artikan bahwa mendengarkan hati nuraninya sendiri salah satunya adalah membiarkan diri kita bekerja atas dasar rasa kemanusiaan. Mayarakat kaya akan rasa kemanusiaan. Banyak orang dirugikan karena keputusan keliru pemerintah, banyak orang menangis karena perilaku pemerintah yang senonoh dan banyak orang tertindas karena kebijakan pemerintah. Orang tertindas, orang yang dirugikan, dan orang yang menangis ada di masyarakat. Di sini, mereka seharusnya dibela oleh seorang wartawan lewat tulisan-tulisannya yang dibaca banyak orang. Ketika melakukan hal ini, wartawan bekerja atas dasar rasa kemanusiaan yang besar.

Wartawan seperti halnya da’I, mereka adalah tonggak perubahan. Wartawan dan da’I sama-sama mengubah kebiasaan buruk menjadi baik, hitam menjadi putih, dan bias menjadi jelas. Masyarakat yang gemar membuang sampah sembarangan akan berubah karena wartawan.

Wartawan berdakwah melalui tulisan. Ia ibarat korek yang memantik api melalui tulisannya yang dimuat di surat kabar dan dibaca oleh khalayak yang heterogen. Cakupan dakwah seorang wartawan yang heterogen dan tidak terbatas ruang dan waktu menjadikannya lebih berpegaruh ketimbang da’I yang berdakwah dari panggung ke panggung. Semakin berkualitas tulisan dan kabar yang disajikan seorang wartawan, semakin besar pula pengaruhnya.

Laku dakwah seorang wartawan dan da’I sebenarnya sama. Keduanya sama-sama bekerja atas dasar kebenaran, rasa kemanusiaan, dan mengubah sesuatu. Hal yang membedakan keduanya hanya nama dan media. Perpektif masyarakat kita biasa menyebut orang yang menyeru dari panggung ke panggung sebagai da’I, sedangkan wartawan yang menyeru melalui tulisannya tetap disebut wartawan. Kemudian media dakwah keduanya yang berbeda pun membuat masyarakat kita membedakan keduanya, tetapi hakikatnya baik wartawan maupun da’I adalah sama. Hanya jalan yang membedakan laku dakwah keduanya.
Baca selengkapnya

Jurnalis : Pemantik Cahaya


Nun, Walqalami wama Yasturuun

Nun, Demi Qalam dan apa yang mereka tuliskan… (Q.S Al-Qalam)

Ayat ini mungkin tak asing bagi sebagian orang, khususnya mereka yang bergelut di dunia tinta dan kertas. Kuli Tinta, begitulah ungkapan yang cukup pantas untuk disematkan kepada mereka yang bergelut di dunia jurnalistik. Dunia jurnalistik adalah dunia yang erat kaitannya dengan tulis dan baca. Mereka ibarat langit dan bumi yang tak bisa dipisahkan. Menjadi seorang jurnalis adalah pekerjaan yang teramat mudah. Sejak sekolah dasar, setiap kepala sudah diajarkan untuk menulis, membaca dan mengabarkan, bahkan sebelum memasuki jenjang sekolah dasar, beberapa orang tua mulai mengajari anak mereka menjadi seorang ‘jurnalis’. Dunia jurnalistik sangat dekat dengan kita, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun.

Dua ayat yang saya sajikan di atas memuat tentang menulis atau menjadi jurnalis –setidaknya itulah kesimpulan pertama saya. Dalam buku Jurnalisme Universal, Suf Kasman, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Qalam adalah mereka yang menulis/jurnalis, sedangkan nun adalah tinta. Kegiatan jurnalistik erat kaitannya dengan menulis, menulis hampir selalu membutuhkan tinta, sebab tinta adalah senjata gerombolan pemantik cahaya ini. Menjadi jurnalis merupakan pekerjaan yang mudah, siapapun dari kita adalah jurnalis, dimanapun, dan bagaimana pun keadaannya.

Pekerjaan seorang jurnalis adalah mencatat, menulis dan mengabarkan. Sungguh, pekerjaan ini adalah satu-satunya pekerjaan yang asyik tapi tak mengenal waktu, menguras pikiran dan tenaga, sesekali menguras dompet. Pekerjaan ini memang mudah, bila belum masuk pada profesionalisme, lain halnya bila sudah professional. Tetapi, di sini saya tidak akan membahas tentang kiat-kiat menjadi seorang jurnalis professional yang patuh peraturan dan disiplin.

Mencatat, menulis dan mengabarkan mesti dan selalu harus dihubungkan dengan membaca. Tulisan seorang jurnalis mesti dibaca, karena tulisan yang belum pernah dibaca takkan pernah diketahui keberadaannya serta  informasi yang terkandung di dalamnya. Mustahil Aristoteles akan dikenal saat ini bila tulisannya tidak pernah dibaca oleh siapapun. Menulis mesti dan selalu berhubungan dengan membaca, keduanya ber-simbiosis mutualisme ria. Pada proses inilah, tulisan seorang jurnalis akan mengalami fase paling menentukan. Pada fase pembacaan ini, seorang pembaca akan mengalami internalisasi nilai-nilai kebaikan dan keburukan dalam dirinya sebelum mengambil sikap terhadap sebuah tulisan. Tulisan yang berisi kebaikan tidak selamanya berdampak baik, tetapi tulisan yang berisi keburukan tetap berjalan di jalurnya.

Dampak sebuah tulisan memang berada jauh di luar jangkauan seorang jurnalis, sehebat apapun. Karena mereka tidak mengenal pembacanya satu persatu. Begini, tulisan seorang jurnalis yang telah disebarkan dan dibaca khalayak, entah mengandung kebaikan, keburukan atau keduanya sekaligus, akan menghadirkan kebaikan dan keburukan. Tulisan yang berisi pemikiran akan mencerahkan bagi yang menyetujuinya, tulisan yang berisi keburukan atau sesuatu yang menyesatkan akan menimbulkan keburukan bagi yang mengamininya. Tulisan selalu mesti dibaca, agar tak sia-sia dan menjadi pahala berkepanjangan bila itu baik. Baik dan buruk adalah dua hal abstrak. Baik dan buruk merupakan dampak/efek dari tulisan seseorang. Meski begitu, Keduanya telah menjadi resiko dalam pekerjaan apapun bahkan jurnalis. Jika seseorang menuliskan kebaikan, kemudian dibaca, diamini dan diekspresikan oleh seseorang maka akan menimbulkan sebuah kebaikan. Tulisannya akan senantiasa menjadi sebuah tabungan kebaikan. Sebaliknya, bila tulisan berisi keburukan, diamini, diimplementasikan dan menimbulkan keburukan. Tulisannya akan senantiasa menjadi tabungan dosa. Baik dan buruk dampak yang ditimbulkan merupakan resiko lain yang harus dihadapi dalam pekerjaan asyik ini, tinggal bagaimana sikap setiap calon jurnalis dan jurnalis betulan dalam menyajikan sebuah informasi kepada khalayak.

Konsekuensi di atas mudah sulit untuk dihadapi, akan tetapi tidak mustahil untuk dilakukan. Setiap jurnalis pasti mampu menyajikan beragam kebaikan dan pencerahan dalam tulisannya. Ucapan seseorang yang berisi keburukan akan menjadi baik apabila dikemas secara cantik oleh seorang jurnalis, sebab tugas seorang jurnalis tidak hanya membiarkan informasi secara telanjang diterima masyarakat, tetapi sekali lagi, dikemas secara cantik, dengan bahasa yang tidak provokatif.

Jika jurnalis menghadirkan kebaikan di tengah masyarakat, ia adalah pemantik cahaya. Anda setuju?
Baca selengkapnya

Ulasan Buku Fikih Jurnalistik


Buku                : Fikih Jurnalistik (Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam)
Penulis             : Faris Khoirul Anam
Penerbit          : Pustaka Al-Kautsar
Tebal               : 180 halaman
Harga              : Rp.20.000
Tahun Terbit   : Februari 2009

Massimo Moratti, Presiden sekaligus pemilik klub sepak bola Internazionale Milan memaparkan bahwa jurnalis saat ini sudah berlebihan dalam pemberitaan. Ini merupakan ungkapan kegeraman dan kekesalan pria yang dikenal sukses membawa Inter Milan menjadi juara Eropa tahun 2010 atas perilaku media-media italia melakukan pemberitaan tentang pergantian pelatih yang dapat memecah konsentrasi timnya.

Berangkat dari hal di atas, saya rasa anda patut membaca buku Fikih Jurnalistik karangan faris Khoirul Anam ini.

Faris Khoirul Anam adalah jurnalis bertarap nasional yang berdomisili di Jawa Timur, saat ini dia aktif mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Penulis buku Fikih Jurnalistik ini memulai petualangannya sebagai seorang jurnalis saat masih menimba ilmu di Universitas Yama, medio awal abad ini.

Faris memahami bahwa fikih bukan hanya ilmu yang mempelajarai tentang kegiatan ibadah/hubungan seseorang dengan Tuhannya dala proses ritual yang dilakukan sehari-hari. faris, penulis buku ini lebih memahami Fikih sebagai upaya seseorang untuk mencari tahu atau mengetahui sesuatu (Tafaqquh Fid Diyn). Bukan hanya sibuk mengurusi dan mempermasalahkan tentang ibadah.

Buku Fikih Jurnalistik berisikan kiat-kiat dan petunjuka yang menggambarkan bagaimana islam sebenarnya tidak hanya cocok untuk satu hal saja. Ajaran islam yang bersifat universal terbukti cocok dan relevan dengan kegiatan jurnalistik. Fikih jurnalistik memang tidak membahas semua poin yang terdapat dalam dunia jurnalistik. Penulis buku tersebut sengaja memilih poin-poin yang ia anggap penting untuk kemudian ia sejajarkan dengan pion-pion lain dalam ajaran islam.

Faris Khoirul Anam berusaha mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam buku setebal 200 halaman ini. Di dalam buku ini, ia memaparkan berbagai hal dalam dunia jurnalistik, mulai dari persiapan mencari berita hingga KEJ (Kode Etik Jurnalistik) ia paparkan dan ia selaraskan dengan ajaran-ajaran islam.

Setiap butir-butir –dalam Kode Etik Jurnalistik- ia paparkan dengan sederhana, kemudian ia perlihatkan hubungannya dengan islam. Bukan hanya itu, proses pencarian berita yang dilarang dalam islam tak luput dari perhatian penulis buku ini, seperti dilarang menuduh perepempuan melakukan perbuatan zina padahal perempuan itu menjaga dirinya. Kemudian, terdapat butir-butir lian dalam buku ini yang dapat membantu pembaca memperluas pandangannya tentang dunia jurnalistik.

Upaya Faris dalam menumbuhkan kesadaran agar tidak lagi ada jurnalistik hitam dan jurnalisme anarkis tergambar jelas dalam buku ini. Menurut Faris, setiap jiwa jurnalis harus memiliki idealism tersendiri dan dalam bekerja haruslah memiliki standar dan cara yang benar dalam mengeksekusinya.

Buku ini memiliki nilai positif tersendiri. Faris telah memaparkan sisi lain yang mesti diperhatikan dan dijadikan tuntunan kerja oleh seorang jurnalis, baik yang sudah Professional maupun dalam tahap belajar seperti Mahasiswa. Buku karangan Faris Khoirul Anam, dapat menjadi bahan referensi bagi siapa saja.

Tiada gading yang tak retak. Begitu pula buku ini, buku yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar ini dinilai kurang memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang kaitan kegiatan mencari berita dengan etika dalam islam. Meski begitu, buku ini patut dan layak untuk diberikan apresiasi. Jadi, selamat membaca…
Baca selengkapnya

Jumat, 21 April 2017

Tirai Hijau


Samira memandangi tirai hijau yang membentang di cermin matanya. Panjang. Tirai itu, meliuk-liuk, terhembus angin. Samira menganggap tirai itu menertawakannya, ia balas tertawa. Ia menunggu tirai itu menyentuh jemarinya. Ia merasakannya lembut. Samira tersenyum.

Kemudian pemuda berpakaian putih-putih, dengan peci bertengger manja di kepalanya itu tersenyum. Ia menuntun jemarinya merangkai garis, membentuk pola.

Kepalanya menunduk, mengahadap kertas yang terselip di antara lembar kitabnya. Ia tersenyum lagi. Pola wajah seorang gadis hampir selesai di sana.

Ia mengacuhkan riuh rendah suara yang mendayu-dayu di sekelilingnya. Kepalanya kosong dari itu semua. Ia tak memikirkan apapun, apalagi melahap semua yang dikatakan gurunya di depan sana. Ia tak menginginkan itu semua.

“Sebaiknya kau mendengarkan Ustadz Imron, atau dia akan kemari dan merobek lukisanmu yang berharga itu.” Andara berbisik halus di sisi Samira. Ia turut serta menundukkan kepalanya.

“Aku tahu.”

“Nah, sekarang angkat kepalamu dan dengarkan.” Ujar Andara kemudian. Ia kembali memerhatikan Ustadz Imron. Sementara Samira tetap merunduk. Ia benar-benar enggan memerhatikan apa yang ada di sekelilingnya.

Bagi Samira, semua yang ada di sekelilingnya telah dipenuhi garis putih-hitam. Garis-garis itu, mengikat siapa saja, di tempat ini. Dan ketika ia berpindah, ia akan terikat bersama garis putih-hitam yang lain. Itu membuatnya muak. Ia enggan terikat dengan apapun. Baginya, dunia adalah apa yang ia pikirkan, dan ia simpan di dalam pikirannya. Bukan dunia penuh garis putih-hitam.

“Sekali lagi, Ustadz Imron memerhatikanmu.” Bisik Andara, lagi. Ia khawatir Samira akan kena semburan amarah milik ustad berhutan lebat di bawah dagunya itu.

“Aku tahu.” Jawab Samira enteng.

***

Usai pengajian, Samira dipanggil Ustadz Imron. Ia dimarahi dan diberi hukuman. Tak lupa, ustadz itu mengambil lukisan milik Samira, dan merobeknya di depan Samira. Di sana, Samira menunduk sepanjang waktu. Ia hanya tersenyum, malah di dalam hatinya, ia tertawa.

Keluar dari kantor ustad Imron, Samira tertawa terbahak-bahak. Ia tidak murung, apalagi bersedih. Gurat semacam itu, selalu seolah bersembunyi jauh di dalam permukaan wajahnya.

“Kenapa kau tertawa, Samira?” Tanya Andara saat temannya itu kembali ke asrama.

“Aku senang.” Jawab Samira, lagi-lagi enteng.

“Kenapa bisa begitu? Padahal, kebanyakan santri murung saat keluar dari kantor ustadz Imron.”

“Aku senang karena ia hanya menghancurkan wujud nyata imajiku. Itu bukan apa-apa. Sebenarnya, jauh sekali di tempat yang amat dalam, aku menyimpan imajiku, menguncinya. Aku membukanya saat pengajian ustadz Imron saja.”

“Kenapa?”

“Karena, kunci imaji itu selalu duduk di balik tirai yang menghalangi kita.”

“Maksudmu seorang santriwati?”

“Ya. Aku tak mengenalnya, tapi wajahnya yang belum pernah kulihat utuh, selalu membuka imaji di dalam pikiranku. Ustadz Imron takkan mendapatkannya.” Samira mengakhiri perkataannya dengan senyum, seraya beranjak ke dalam kamar.

“Aku akan menggambarnya lagi besok.” Imbuh Samira. Lantas ia membuka lemarinya dan mengambil secarik kertas.

***

Samira berulang kali melakukan apa yang Andara anggap sebagai kebodohan. Tapi Samira tidak menyesal. Justru ia terlihat sebaliknya. Tenang, bahagia.

“Kenapa kau selalu melakukannya? Kukira, ocehanmu saat itu bualan belaka.” Ujar Andara saat menemui Samira di tengah lapangan voli. Samira tengah dijemur.

“Kenapa? Aku menyukainya.” Jawab Samira enteng.

“Apa hanya itu? Kau aneh.” Andara berjongkok di samping Samira. Ia mengibaskan pecinya sesekali. Keringat mengucur deras di pelipisnya yang coklat legam.

“Ya.”

“Aku merasa bebas saat menyelami imajiku tentang gadis itu. Nampaknya, aku jatuh cinta.”

Andara tertegun mendengar ucapan Samira. Ia lantas berdiri di hadapan Samira, bermaksud memastikan ucapannya. “Yang benar?”

“Benar.”

“Kau akan celaka, Samira. Jika ustdz Imron tahu hal ini, ia akan menghukumu. Kau tahu, peraturan di sini sudah jelas. Santriwan tidak boleh menjalin hubungan dengan santriwati yang bukan mahramnya.” Andara berucap panjang lebar. Ia menatap Samira serius.

“Aku tahu, tapi aku takkan terkena hukuman atas hal itu.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena aku mencintai imaji yang timbul saat gadis itu duduk di balik tirai. Aku merasakan kebebasan tak berbatas. Meski aku tak mengenalnya, atau tak mungkin berhubungan dengannya sama sekali, imajiku akan memuaskanku. Imajiku, anggur yang memabukkan, Andara.” Samira tersenyum ramah. Ia memandang langit, dan menarik napasnya dalam.

“Sana! sebaiknya kau kembali ke asrama sebelum ustadz Imron mendapatimu menemaniku menjalani hukuman ini.” Imbuh Samira. Ia meminta temannya itu kembali ke asrama.

Dan Samira, sepanjang siang bersama raja cahaya, ia bersenandung tentang gadis yang dikenalnya. Lagi-lagi, ia mendapatkan senandung itu saat menyelami imajinya beberapa saat lalu.
Baca selengkapnya

Menulis Lima Menit


“Tak ada yang pernah tahu akan seperti apa kita di masa yang akan datang. Tak ada yang tahu akan menikah dengan siapa kita kelak, juga tak ada yang tahu kapan ajal itu datang.”

Beberapa kalimat yang bergejolak dalam diri dan saya rasa sayang untuk tidak digoreskam dalam tulisan malam ini. berpacu dengan waktu, pekerjaan unu kulakukan malam ini. seperti yang dilakukan oleh kakak senior sekaligus menotrku dalam menulis dalam beberapa bulan belakangan.

Ya, meroda ini ingin kulakukan semaksimal mungkin dan sesering mungkin. Sekuat tenaga kupertahankan hingga tetes darah penghabisan. Saat ini, aku tidak tahu siapa diriku, aku tidak siapa dia, bahkan aku tidak tahu siapa kekasihku sebenarnya, yang kutahu hanyalah menjalani hidup sesuai dengan jadwal yang tersirat dalam pikiranku saja.

Pergi kuliah di hari senin pukul setengah sebelas, kemudian mendatangi lokalisasi komunitas dimana aku seolah-oleh bekerja paruh waktu. Pendiri komunitas itu pernah berkata, “di sini semuanya lebih sulit daripada di media mana pun”. Dan kurasakan lalu kukatakan “ya”. Teman-temanku mencari bahan untuk tulisannya sendiri, padahal yang ia kerjakan bukanlah hal mudah.  Pendiri komunitas ini juga pernah berkata, “biar terbitnya telat, yang penting mekanisme ini berjalan sebagaimana mestinya”, beberapa kalimat yang selalu kuingat dalam memori terdalam dalam ingatanku, dan malam ini aku mengulangi semuanya dan merasakanya kembali, hanya untuk satu hal, agar aku merasa semuanya seolah-olah terjadi lagi, berulang-ulang, berulang-ulang dan berulang-ulang.

setidaknya inilah yang terjadi dalam lima menit di pukul 23 tadi. terima kasih.
Baca selengkapnya