PEREMPUAN BERAMBUT MERAH
Tak lama setelah Haji Amir pergi,
seorang perempuan berambut merah menghampiriku. Ia duduk di depanku. Ia membawa
dua gelas minuman. Ia memberikan salah satunya padaku.
"Siapa namamu?" Tanyanya.
"Windu." Jawabku.
"Namaku Lena. Aku sudah tiga
tahun bergabung di sini." Ujarnya. Ia menghisap minumannya menggunakan
sedotan.
Jika dilihat sepintas, aku akan
mengiranya pelacur. Ia memakai gaun satu potong warna kuning menyala yang
sangat ketat. Dengan jelas, aku melihat dadanya yang tidak besar-besar amat
menonjol, bokongnya juga. Wajahnya putih pucat, berhias lipstik merah menyala
di bibirnya dan kedua pipinya diberi rona merah muda. Rambutnya merah marun. Tato
kupu-kupu menghiasi lehernya dan entah tato apa menempel hampir di sebagian
besar kulit tangan kanannya. Gaya bicaranya juga, terlalu banyak mendesah.
Seperti sedang menggoda.
"Berapa umurmu?" Tanyanya
lagi.
"27." Jawabku.
Ia mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Sebentar kemudian, ia menggaruk kepalanya, memainkan rambutnya,
meminum minumannya lewat sedotan, dan menatap lekat padaku. Yang terakhir itu
ia lakukan untuk waktu yang lama. Kupikir ia aneh.
"Kamu pasti berpikir aku ini
aneh, iya kan?" Ujarnya sambil menghisap minumannya. "Nikmati saja
minumanmu. Aku yang bayar koq" imbuhnya.
Aku cuma menatap minuman yang ia
berikan. Aku enggan meminumnya. Warnanya seperti darah. Membuatku mual.
"Kamu baru akan menjalani fase
pertama, iya kan?" Tanyanya lagi. "Itu fase yang membosankan."
Imbuhnya bahkan sebelum kujawab.
Rambut merahnya yang tergerai ia ikat
dan gelas minumannya ia jepit di selengkangannya. Padahal ada meja di depannya,
tapi ia memilih menaruh gelasnya di sana. Ia tersenyum. Memperlihatkan baris
giginya yang rapi dan putih. Ia punya dua taring mungil yang lucu, serta
sepasang lesung pipit di pipinya. Senyumnya manis. Untuk senyumannya, sementara
akan kuanggap ia manis.
"Umurku 29. Aku lahir tahun
2004, bulan Agustus, tanggal 16. Kalau tidak salah itu hari Rabu, dini
hari!" Ujarnya. Ia menaruh minumannya di meja, menghisapnya sambil
bertopang dagu pada kedua tangannya.
"Aku belum menikah. Aku juga gak
punya kekasih." Ia memainkan minumannya -membuat gelembung dengan
meniupkan udara lewat sedotannya. Ia juga menggembungkan pipinya sesekali.
Ia tersenyum,berhenti membuat
gelembung di minumannya, lalu melukis seutas senyum. Giginya rapi.
"Kalau kamu tidak punya kekasih
atau belum menikah, bisa temani aku ke hotel?" Tanyanya. Ia kembali
membuat gelembung di minumannya.
Aku, memilih diam saja.
"Kamu sudah punya kekasih? Apa
kamu sudah menikah?" Tanyanya. Ia mengeluakan sebuah kartu, menunjukkannya
padaku, lalu melemparkannya padaku. "Aku tidak peduli kamu punya kekasih
atau tidak, kamu sudah menikah atau belum! Aku tak peduli!" Nada bicaranya
meninggi. Telunjuknya mengarah padaku. "Bawa aku ke sana dan temani aku
malam ini!" imbuhnya dengan nada bicara yang semakin tinggi. Ia berjalan
mendekat. Kartu itu adalah sebuah kunci kamar hotel.
Ia duduk di sampingku. Satu tangannya
mengelus-elus, rambutku, leherku, pipiku, bibirku, dadaku, pahaku, dan
selengkanganku bergantian dan berulang-ulang. Ia berbisik di telingaku.
Suaranya terdengar halus. Bukan cuma berbisik, ia menjilat daun telingaku juga!
Perlahan-perlahan. Desah napasnya ia biarkan terdengar naik turun. Ia semakin
kulihat persis pelacur!
"Aku ingin kamu temani malam
ini... kamu mau kan?" hanya kata itu yang ia bisikan sejak duduk di
sampingku atau "kamu mau kan?"
Tangannya yang mengelus bagian-bagian
tubuhku, kini bergelayut di leherku, merayap-rayap naik ke kepalaku dan menarik
kepalaku ke pelukannya -dadanya. Ia mengecup dan berbisik di telingaku.
Aku berusaha melepaskan diri darinya,
tapi tarikan, pegangan, dan pelukannya lebih kuat dari bayangkanku. Maksudku,
tubuhnya dan tangannya yang mungil seharusnya tidak memiliki tenaga yang besar
untuk menahanku. Tinggiku 179 centimeter, beratku 75 kilogram, tubuhku berisi
dan jelas itu tidak ringan untuk perempuan yang tinggi badannya kutaksir 160
centimeter-an dan beratnya yang paling-paling 45-50 kilogram. Lebih besar lebih
kuat, sepertinya hukum alam yang itu tidak sepenuhnya benar.
"Lepaskan!" Pintaku. Aku
berusaha menyingkirkan tangannya dari leherku, tapi genggamannya teramat kuat.
"Lepaskan aku, nona!"
Pintaku lebih keras.
Ia terkekeh, kemudian berkata,
"Aku akan melepaskanmu, tapi kamu harus mau menemaniku malam ini,
bagaimana? Tawaranku tidak buruk' kan?"
"Aku tahu itu yang kamu inginkan
sejak tadi, tapi maaf aku tidak bisa, sebagai gantinya, akan kucarikan seorang
pemuda manis, bagaimana?" Aku mencoba untuk kompromi dengan perempuan aneh
ini.
"Kamu mau berkompromi denganku,
eh?" Ujarnya seraya terkekeh.
"Iya!" Jawabku sambil
berusaha melepaskan tangannya dari leherku.
"Takkan kulepaskan kalau bukan
kamu yang menemaniku." bisiknya halus, tetapi terdengar mengancam.
Aku engga tidur dengannya atau
sekadar menemaninya di kamar hotel semalaman. Ia perempuan aneh dan tampangnya
seperti pelacur!
"Kalau kamu keukeuh tidak
mau menemaniku, aku tidak akan melepaskanmu! Lagipula, kamu ini aneh, tampangku
'kan lebih dari biasa-biasa saja, orang lain malah menginginkan tidur denganku,
kamu ini aneh!" ujarnya sambil mengelus kepalaku. Ia juga sesekali
menciumi rambutku.
Entah perasaanku saja, atau memang
benar adanya, sejak ia duduk di sampingku, nyaris semua lelaki di kantin ini
memandang ke arahnya. Pandangan mereka nampak seperti pandangan yang
menginginkan sesuatu. Namun, saat mereka memandangku, tatapan mereka nampak seolah
mau menyingkirkanku dari perempuan ini. Itu pulalah yang membuat penilaian
'aneh' ku padanya semakin bertambah.
"bagaimana? mau tetap begini
atau ke hotel?" Tanyanya memastikan.
"kurasa aku tak punya pilihan.
baiklah, aku akan ikut ke hotel denganmu." jawabku pasrah. Aku harus
meninggalkan 'proses' yang diamanahkan Haji Amir dan pergi ke hotel dengan perempuan
menawan yang aneh ini.
Ia segera melepas pegangannya dari
leherku. Ia melihatku sejenak, lalu beranjak ke tempat duduk yang di depanku
tadi. Ia mengambil tas kecil miliknya, merapikn gaunnya dan melepaskan ikatan
rambutnya. Kulihat sebuah tato betuliskan "JULIUS CAESAR" di
tengkuknya. Tato itu ditulis dengan huruf model Old English dan semuanya
ditulis kapital. Setelah selesai, ia mendekatiku.
"Sudah?" tanyanya sambil
melihat isi tasku. "Tidak ada yang istimewa" imbuhnya seraya memegang
tanganku dan menuntunku keluar dari kantin, keluar dari Teater Amarah.
"Kamu tidak akan menyesali
pilihanmu..." bisiknya, kemudian ia terkekeh.
Aku merasa amat menyesal karena tidak
mampu menyelesaikan, bahkan memulai 'proses' yang diamanahkan Haji Amir. Aku
harap, dia tidak kehilangan kepercayaannya padaku.
bersambung...
Bagikan
Imaji : Episode 2
4/
5
Oleh
Unknown