Senin, 10 April 2017

Imaji : Episode 2


PEREMPUAN BERAMBUT MERAH

Tak lama setelah Haji Amir pergi, seorang perempuan berambut merah menghampiriku. Ia duduk di depanku. Ia membawa dua gelas minuman. Ia memberikan salah satunya padaku.

"Siapa namamu?" Tanyanya.

"Windu." Jawabku.

"Namaku Lena. Aku sudah tiga tahun bergabung di sini." Ujarnya. Ia menghisap minumannya menggunakan sedotan.

Jika dilihat sepintas, aku akan mengiranya pelacur. Ia memakai gaun satu potong warna kuning menyala yang sangat ketat. Dengan jelas, aku melihat dadanya yang tidak besar-besar amat menonjol, bokongnya juga. Wajahnya putih pucat, berhias lipstik merah menyala di bibirnya dan kedua pipinya diberi rona merah muda. Rambutnya merah marun. Tato kupu-kupu menghiasi lehernya dan entah tato apa menempel hampir di sebagian besar kulit tangan kanannya. Gaya bicaranya juga, terlalu banyak mendesah. Seperti sedang menggoda.

"Berapa umurmu?" Tanyanya lagi.

"27." Jawabku.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebentar kemudian, ia menggaruk kepalanya, memainkan rambutnya, meminum minumannya lewat sedotan, dan menatap lekat padaku. Yang terakhir itu ia lakukan untuk waktu yang lama. Kupikir ia aneh.

"Kamu pasti berpikir aku ini aneh, iya kan?" Ujarnya sambil menghisap minumannya. "Nikmati saja minumanmu. Aku yang bayar koq" imbuhnya.

Aku cuma menatap minuman yang ia berikan. Aku enggan meminumnya. Warnanya seperti darah. Membuatku mual.

"Kamu baru akan menjalani fase pertama, iya kan?" Tanyanya lagi. "Itu fase yang membosankan." Imbuhnya bahkan sebelum kujawab.

Rambut merahnya yang tergerai ia ikat dan gelas minumannya ia jepit di selengkangannya. Padahal ada meja di depannya, tapi ia memilih menaruh gelasnya di sana. Ia tersenyum. Memperlihatkan baris giginya yang rapi dan putih. Ia punya dua taring mungil yang lucu, serta sepasang lesung pipit di pipinya. Senyumnya manis. Untuk senyumannya, sementara akan kuanggap ia manis.

"Umurku 29. Aku lahir tahun 2004, bulan Agustus, tanggal 16. Kalau tidak salah itu hari Rabu, dini hari!" Ujarnya. Ia menaruh minumannya di meja, menghisapnya sambil bertopang dagu pada kedua tangannya.

"Aku belum menikah. Aku juga gak punya kekasih." Ia memainkan minumannya -membuat gelembung dengan meniupkan udara lewat sedotannya. Ia juga menggembungkan pipinya sesekali.

Ia tersenyum,berhenti membuat gelembung di minumannya, lalu melukis seutas senyum. Giginya rapi.

"Kalau kamu tidak punya kekasih atau belum menikah, bisa temani aku ke hotel?" Tanyanya. Ia kembali membuat gelembung di minumannya.

Aku, memilih diam saja.

"Kamu sudah punya kekasih? Apa kamu sudah menikah?" Tanyanya. Ia mengeluakan sebuah kartu, menunjukkannya padaku, lalu melemparkannya padaku. "Aku tidak peduli kamu punya kekasih atau tidak, kamu sudah menikah atau belum! Aku tak peduli!" Nada bicaranya meninggi. Telunjuknya mengarah padaku. "Bawa aku ke sana dan temani aku malam ini!" imbuhnya dengan nada bicara yang semakin tinggi. Ia berjalan mendekat. Kartu itu adalah sebuah kunci kamar hotel.

Ia duduk di sampingku. Satu tangannya mengelus-elus, rambutku, leherku, pipiku, bibirku, dadaku, pahaku, dan selengkanganku bergantian dan berulang-ulang. Ia berbisik di telingaku. Suaranya terdengar halus. Bukan cuma berbisik, ia menjilat daun telingaku juga! Perlahan-perlahan. Desah napasnya ia biarkan terdengar naik turun. Ia semakin kulihat persis pelacur!

"Aku ingin kamu temani malam ini... kamu mau kan?" hanya kata itu yang ia bisikan sejak duduk di sampingku atau "kamu mau kan?"

Tangannya yang mengelus bagian-bagian tubuhku, kini bergelayut di leherku, merayap-rayap naik ke kepalaku dan menarik kepalaku ke pelukannya -dadanya. Ia mengecup dan berbisik di telingaku.

Aku berusaha melepaskan diri darinya, tapi tarikan, pegangan, dan pelukannya lebih kuat dari bayangkanku. Maksudku, tubuhnya dan tangannya yang mungil seharusnya tidak memiliki tenaga yang besar untuk menahanku. Tinggiku 179 centimeter, beratku 75 kilogram, tubuhku berisi dan jelas itu tidak ringan untuk perempuan yang tinggi badannya kutaksir 160 centimeter-an dan beratnya yang paling-paling 45-50 kilogram. Lebih besar lebih kuat, sepertinya hukum alam yang itu tidak sepenuhnya benar.

"Lepaskan!" Pintaku. Aku berusaha menyingkirkan tangannya dari leherku, tapi genggamannya teramat kuat.

"Lepaskan aku, nona!" Pintaku lebih keras.

Ia terkekeh, kemudian berkata, "Aku akan melepaskanmu, tapi kamu harus mau menemaniku malam ini, bagaimana? Tawaranku tidak buruk' kan?"

"Aku tahu itu yang kamu inginkan sejak tadi, tapi maaf aku tidak bisa, sebagai gantinya, akan kucarikan seorang pemuda manis, bagaimana?" Aku mencoba untuk kompromi dengan perempuan aneh ini.

"Kamu mau berkompromi denganku, eh?" Ujarnya seraya terkekeh.

"Iya!" Jawabku sambil berusaha melepaskan tangannya dari leherku.

"Takkan kulepaskan kalau bukan kamu yang menemaniku." bisiknya halus, tetapi terdengar mengancam.

Aku engga tidur dengannya atau sekadar menemaninya di kamar hotel semalaman. Ia perempuan aneh dan tampangnya seperti pelacur!

"Kalau kamu keukeuh tidak mau menemaniku, aku tidak akan melepaskanmu! Lagipula, kamu ini aneh, tampangku 'kan lebih dari biasa-biasa saja, orang lain malah menginginkan tidur denganku, kamu ini aneh!" ujarnya sambil mengelus kepalaku. Ia juga sesekali menciumi rambutku.

Entah perasaanku saja, atau memang benar adanya, sejak ia duduk di sampingku, nyaris semua lelaki di kantin ini memandang ke arahnya. Pandangan mereka nampak seperti pandangan yang menginginkan sesuatu. Namun, saat mereka memandangku, tatapan mereka nampak seolah mau menyingkirkanku dari perempuan ini. Itu pulalah yang membuat penilaian 'aneh' ku padanya semakin bertambah.

"bagaimana? mau tetap begini atau ke hotel?" Tanyanya memastikan.

"kurasa aku tak punya pilihan. baiklah, aku akan ikut ke hotel denganmu." jawabku pasrah. Aku harus meninggalkan 'proses' yang diamanahkan Haji Amir dan pergi ke hotel dengan perempuan menawan yang aneh ini.

Ia segera melepas pegangannya dari leherku. Ia melihatku sejenak, lalu beranjak ke tempat duduk yang di depanku tadi. Ia mengambil tas kecil miliknya, merapikn gaunnya dan melepaskan ikatan rambutnya. Kulihat sebuah tato betuliskan "JULIUS CAESAR" di tengkuknya. Tato itu ditulis dengan huruf model Old English dan semuanya ditulis kapital. Setelah selesai, ia mendekatiku.

"Sudah?" tanyanya sambil melihat isi tasku. "Tidak ada yang istimewa" imbuhnya seraya memegang tanganku dan menuntunku keluar dari kantin, keluar dari Teater Amarah.

"Kamu tidak akan menyesali pilihanmu..." bisiknya, kemudian ia terkekeh.

Aku merasa amat menyesal karena tidak mampu menyelesaikan, bahkan memulai 'proses' yang diamanahkan Haji Amir. Aku harap, dia tidak kehilangan kepercayaannya padaku.

bersambung...

Bagikan

Jangan lewatkan

Imaji : Episode 2
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.