Ini kisah
tentang seorang lelaki yang mendedikasikan hidupnya untuk mencatat kehidupan seorang
gadis ditemuinya. Ia bernama Gumira. Lelaki ini, entah ditinjau dari segi
apapun, ia tak memiliki kelebihan. Tubuhnya kurus, matanya besar, rambutnya
keriting-keras, hidungnya pesek, berkulit gelap dan tingginya tak lebih dari
150 sentimeter. Di sekolah, lelaki ini duduk di ranking ke-20 dari dua puluh
siswa di kelasnya. Dalam olahraga, ia tak menyenangi hal ini, meski sedikit.
Baiklah! Aku akan memulai kisahnya dari sebuah desa di Kabupaten Ciamis: Desa
Bahara.
Gumira
mengunjungi Desa Bahara untuk keperluan berdagang sayuran. Ia baru memulai usaha
ini dua bulan lalu dan belum mendapatkan untung yang besar. Ia belum putus
harapan. Hari ini ia mendatangi beberapa pedagang sayur di pasar kecil Desa
Bahara, menawari mereka sayuran yang dibawanya, bernegosiasi dengan mereka,
menerima penolakan mereka sebab sayur yang dibawanya berharga terlalu mahal
atau sudah layu. Penolakan-penolakan yang diterimanya tak lain dari proses yang
dianggapnya sebagai proses kedua dari kehidupan. Proses pertama adalah
penerimaan, lalu penolakan.
Penerimaan
dia dapatkan saat ia dilahirkan delapan belas tahun yang lalu. Ibunya,
menerimanya sebagai anak tunggal yang sakit-sakitan semasa kecil. Beranjak
sampai usia dua belas tahun, kala duduk di kelas dua sekolah menengah, ia
menerima kepergian ibunya. Ibunya meninggal karena penyakit Leukimia yang
dideritanya tak terobati. Lagi, ia telah menerima kehilangan ayahnya sejak
sebelum ia dilahirkan. Ia belum pernah bertemu ayahnya, kecuali saat berziarah,
itupun sebatas nisan dan gundukan tanah. Sedangkan penolakan, ia dapatkan di
hari-hari selepas sekolah menengah pertamanya selesai. Ia mulai melakukan
perdagangan kecil, lalu menerima penolakan di mana-mana. Ia enggan berputus
asa. Ia pikir, andai ia putus asa, perutnya akan menjadi anak tiri yang
dienggani kehadiranya: tak diberi makan. Ia yakin, kedua proses itu selalu ada.
Habis diterima di A, ia akan ditolak di B. Ada garis perbedaan antara keduanya,
yang tipis.
Ia
melanjutkan perjalanannya ke dalam desa. Menyusuri rumah-rumah sederhana di
desa yang di kelilingi bukit ini membuat penolakan yang baru saja diterimanya
di pasar terlupakan. Ia menghirup bau sawah dan ladang yang menenangkan,
menyaksikan dapur-dapur yang mengepulkan asap mereka, anak-anak kecil berlarian
di sepulang sekolah, lapangan dengan rumputnya yang tinggi, dan kabut yang
kembali turun ke daratan. Surya lenyap di balik kerumunan awan di cakrawala.
Bersembunyi. Ia belum ingin mencari tempat berteduh meski kelihatannya sebentar
lagi hujan turun.
Ia
mendengar alunan seruling yang menenangkan di salah satu saung di tengah sawah.
Ia berhenti melangkah, menaruh pegangan gerobaknya ke tanah, lalu berdiri di
pematang sawah. Ia ingin mendengar seruling itu bernyanyi lebih jelas. Kakinya
kembali meniti jalan, nyanyian seruling makin jelas terdengar, ia berhenti
sejenak, memerhatikan titiannya. Setelah ia dapati titiannya kokoh, ia
melanjutkannya. Namun seruling yang ia rasa merdu itu membisu. Ia melihat
seorang gadis menoleh ke arahnya, menampakkan mimic terganggu. Tak lama, gadis
itu membereskan kotak makanannya dan berjalan pergi. Lelaki itu menyaksikan
kepergian nyanyian seruling dengan perasaan hampa. Ia berujar di dalam hatinya,
“Barangkali aku akan mendengarnya lagi besok.”
Ia berteduh
di pos ronda Dusun Karanganyar. Hujan deras memaksanya. Ia tak bisa apa-apa,
selain duduk sambil memandangi sayur-sayurnya yang mulai layu. Ia mengambil
lobak, mencium baunya, memakannya. Lidahnya seolah memberitahunya bahwa lobak
itu takkan memberikan rasa apapun bagi dirinya, apalagi bagi orang lain. Ia
menaruh Lobaknya ke dalam keranjang sambil mencecap, seolah ia membuang rasa
yang didapatnya dari daun Lobak tadi. Ia memandang sayuran-sayuran itu tanpa
rasa. Dirinya menolak menjual sayuran-sayuran itu lagi besok.
Hujan malam
itu terus turun, meski kecil. Genangan air kecoklatan hadir di jalanan
berlubang, aliran sungai makin deras, daun talas seolah enggan basah dengan
menjatuhkan air yang bertengger di pucuk kepalanya, rumah-rumah menyimpan
kehangatannya di balik pintu dan jendela yang tertutup rapat. Gumira memeluk
dirinya sendiri di pos ronda. Bulu kuduknya berdiri berbaris, tubuhnya
menggigil. Ia menyelimuti badannya dengan sebuah sarung yang dibawanya tadi
pagi, tapi dingin tetap menyusup masuk ke dalam dagingnya. Gumira membayangkan
rumahnya yang hangat dan menyenangkan baginya saat ini. Namun bayangannya
tentang rumahnya lenyap kala ia ingin mendengar dendang nyanyian seruling yang
ditiup oleh gadis yang dilihatnya di sawah tadi sore. Gumira merasa dirinya
merindukan nyanyian itu.
Gumira
telah membuang semua sayurannya ke salah satu sumur burung. Ia berharap
sayurannya dapat menjadi pupuk, atau paling tidak tetap menjaga kesuburan
tanah. Gumira berjalan tegak di depan gerobak sayurnya yang kosong. Ia lupa
tentang keinginannya mendengar nyanyian seruling itu. Ia berjalan lurus, melewati
beberapa rumah yang dapurnya mulai berasap. Anak-anak kecil riang gembira
berlari melewatinya seolah ia tak berjalan di jalanan desa itu. Gumira memang
orang asing di desa itu. Itulah sebab banyak orang bertanya tentang apa yang ia
lakukan semalam di desa ini, dan siapa dirinya. Masyarakat desa Bahara tertutup
kepada seorang asing yang datang tanpa alasan jelas seperti Gumira. Beberapa
dari mereka menyapa Gumira, tapi tidak berhenti untuk mengobrol dengannya.
Sapaan mereka sebatas mengakrabi seorang asing.
Tiba di
area pesawahan, Gumira kembali mendengar nyanyian seruling yang ia rindukan. Ia
mengedarkan pandangannya ke sawah, mendapati sebuah saung dan seorang gadis
tengah meniup seruling di sana. Kakinya meniti jalan seperti kemarin. Melangkah
tanpa henti. Gumira merasa terhipnotis oleh nyanyian seruling itu.
“Merdu
sekali.” ujar Gumira membuka percakapn dengan si gadis peniup seruling. “Aku
merasa terhipnotis oleh nyanyian serulingmu.”
“Seruling
menghadirkan ketenangan. Aku menyanyikannya untuk Nyai Pohaci dan berharap
sawah milik abah ini akan menghasilkan padi yang bagus.” Si gadis bertutur
dengan halus sambil memegangi serulingnya.
“Nyanyikanlah.
Aku ingin mendengarnya, lagi.” Gumira meminta gadis itu untuk kembali meniup
serulingnya. Ia duduk di sisi gadis itu. Sawah yang menghampar hijau di
hadapannya menambah ketenangan yang hadir di dalam dirinya. Ia merasa jatuh
berada di dunia yang tak ia kenal. Dunia yang menyembunyikan segala penolakan,
menampilkan segala penerimaan.
Hari itu,
lama Gumira duduk bersama si gadis. Ia menceritakan maksud kedatangannya ke
desa Bahara. Mereka, selanjutnya saling bertukar cerita. Gumira bicara tentang
perdagangannya, prinsip penerimaan-penolakan yang dipercayainya, dan
sayuran-sayurannya yang telah ia buang di sebuah sumur burung. Sedangkan si
gadis, ia tak begitu banyak bicara selain cerita tentang sebatas sawah milik
abahnya, seruling, Nyai Pohaci dan harapannya tentang panen yang menguntungkan.
Mereka berpisah saat langit masih menyajikan cahaya jingganya.
Minggu-minggu
berikutnya Gumira datang dan pulang dengan segenap kegembiraan di dalam
hatinya. Ia menjual habis sayurannya di pasar dan warung-warung di desa Bahara.
Ia bertemu si gadis dan ikut meniup seruling bersamanya di sawah yang perlahan
mulai menguning. Setiap pulang, ia selalu sempat merasakan sesak yang
menyakitkan di dadanya, tapi menghadirkan sensasi yang ingin ia ulangi lagi dan
lagi. Ia berpikir, barangkali dirinya telah jatuh hati bukan hanya pada
permainan seruling si gadis, tapi pada si gadis pula.
Gumira selesai
berkeliling dan menjual ¾ sayurannya saat surya mencapai garis tengah bumi. Ia
kini duduk di saung di sawah si gadis, menanti kedatangannya. Ia membawa
sebungkus dodol yang dibelinya di Garut kemarin. Ia ingin memakan manisan itu
bersama si gadis. Gumira telah merubah posisi duduknya beberapa kali. Ia
memerhatikan gerak mentari yang condong ke barat, bayangannya yang memanjang,
dan mendengar nyaring suara jangkrik. Hingga bayangannya menyatu dengan langit
malam, si gadis tak kunjung hadir di sisinya, bahkan nyanyian serulingnya pun
tidak. Gumira akhirnya pulang dengan harapan dapat kembali bertemu si gadis di
hari-hari mendatang dari kehidupan mereka.
Minggu
berikutnya, Gumira sengaja datang tanpa membawa gerobak sayurnya. Ia menenteng
dua kantung plastik berisi dodol dan manisan yang kemarin dibelinya di kota. Di
pasar dan jalanan desa Bahara yang kecil, orang yang mulai mengenalnya silih
berganti menyapa dan bertanya; mengapa ia tak berjualan hari ini, atau siapa
yang hendak ia kunjungi. Gumira hanya menjawab pertanyaan pertama. Sedangkan
untuk yang kedua, ia tutup mulut. Raut berseri di wajah Gumira tak bisa ia
sembunyikan. Ia merasa senang akan bertemu si gadis seruling.
bersambung...
Bagikan
Gadis Seruling
4/
5
Oleh
Unknown