Minggu, 09 April 2017

Gadis Seruling



Ini kisah tentang seorang lelaki yang mendedikasikan hidupnya untuk mencatat kehidupan seorang gadis ditemuinya. Ia bernama Gumira. Lelaki ini, entah ditinjau dari segi apapun, ia tak memiliki kelebihan. Tubuhnya kurus, matanya besar, rambutnya keriting-keras, hidungnya pesek, berkulit gelap dan tingginya tak lebih dari 150 sentimeter. Di sekolah, lelaki ini duduk di ranking ke-20 dari dua puluh siswa di kelasnya. Dalam olahraga, ia tak menyenangi hal ini, meski sedikit. Baiklah! Aku akan memulai kisahnya dari sebuah desa di Kabupaten Ciamis: Desa Bahara.

Gumira mengunjungi Desa Bahara untuk keperluan berdagang sayuran. Ia baru memulai usaha ini dua bulan lalu dan belum mendapatkan untung yang besar. Ia belum putus harapan. Hari ini ia mendatangi beberapa pedagang sayur di pasar kecil Desa Bahara, menawari mereka sayuran yang dibawanya, bernegosiasi dengan mereka, menerima penolakan mereka sebab sayur yang dibawanya berharga terlalu mahal atau sudah layu. Penolakan-penolakan yang diterimanya tak lain dari proses yang dianggapnya sebagai proses kedua dari kehidupan. Proses pertama adalah penerimaan, lalu penolakan.

Penerimaan dia dapatkan saat ia dilahirkan delapan belas tahun yang lalu. Ibunya, menerimanya sebagai anak tunggal yang sakit-sakitan semasa kecil. Beranjak sampai usia dua belas tahun, kala duduk di kelas dua sekolah menengah, ia menerima kepergian ibunya. Ibunya meninggal karena penyakit Leukimia yang dideritanya tak terobati. Lagi, ia telah menerima kehilangan ayahnya sejak sebelum ia dilahirkan. Ia belum pernah bertemu ayahnya, kecuali saat berziarah, itupun sebatas nisan dan gundukan tanah. Sedangkan penolakan, ia dapatkan di hari-hari selepas sekolah menengah pertamanya selesai. Ia mulai melakukan perdagangan kecil, lalu menerima penolakan di mana-mana. Ia enggan berputus asa. Ia pikir, andai ia putus asa, perutnya akan menjadi anak tiri yang dienggani kehadiranya: tak diberi makan. Ia yakin, kedua proses itu selalu ada. Habis diterima di A, ia akan ditolak di B. Ada garis perbedaan antara keduanya, yang tipis.

Ia melanjutkan perjalanannya ke dalam desa. Menyusuri rumah-rumah sederhana di desa yang di kelilingi bukit ini membuat penolakan yang baru saja diterimanya di pasar terlupakan. Ia menghirup bau sawah dan ladang yang menenangkan, menyaksikan dapur-dapur yang mengepulkan asap mereka, anak-anak kecil berlarian di sepulang sekolah, lapangan dengan rumputnya yang tinggi, dan kabut yang kembali turun ke daratan. Surya lenyap di balik kerumunan awan di cakrawala. Bersembunyi. Ia belum ingin mencari tempat berteduh meski kelihatannya sebentar lagi hujan turun.

Ia mendengar alunan seruling yang menenangkan di salah satu saung di tengah sawah. Ia berhenti melangkah, menaruh pegangan gerobaknya ke tanah, lalu berdiri di pematang sawah. Ia ingin mendengar seruling itu bernyanyi lebih jelas. Kakinya kembali meniti jalan, nyanyian seruling makin jelas terdengar, ia berhenti sejenak, memerhatikan titiannya. Setelah ia dapati titiannya kokoh, ia melanjutkannya. Namun seruling yang ia rasa merdu itu membisu. Ia melihat seorang gadis menoleh ke arahnya, menampakkan mimic terganggu. Tak lama, gadis itu membereskan kotak makanannya dan berjalan pergi. Lelaki itu menyaksikan kepergian nyanyian seruling dengan perasaan hampa. Ia berujar di dalam hatinya, “Barangkali aku akan mendengarnya lagi besok.”

Ia berteduh di pos ronda Dusun Karanganyar. Hujan deras memaksanya. Ia tak bisa apa-apa, selain duduk sambil memandangi sayur-sayurnya yang mulai layu. Ia mengambil lobak, mencium baunya, memakannya. Lidahnya seolah memberitahunya bahwa lobak itu takkan memberikan rasa apapun bagi dirinya, apalagi bagi orang lain. Ia menaruh Lobaknya ke dalam keranjang sambil mencecap, seolah ia membuang rasa yang didapatnya dari daun Lobak tadi. Ia memandang sayuran-sayuran itu tanpa rasa. Dirinya menolak menjual sayuran-sayuran itu lagi besok.

Hujan malam itu terus turun, meski kecil. Genangan air kecoklatan hadir di jalanan berlubang, aliran sungai makin deras, daun talas seolah enggan basah dengan menjatuhkan air yang bertengger di pucuk kepalanya, rumah-rumah menyimpan kehangatannya di balik pintu dan jendela yang tertutup rapat. Gumira memeluk dirinya sendiri di pos ronda. Bulu kuduknya berdiri berbaris, tubuhnya menggigil. Ia menyelimuti badannya dengan sebuah sarung yang dibawanya tadi pagi, tapi dingin tetap menyusup masuk ke dalam dagingnya. Gumira membayangkan rumahnya yang hangat dan menyenangkan baginya saat ini. Namun bayangannya tentang rumahnya lenyap kala ia ingin mendengar dendang nyanyian seruling yang ditiup oleh gadis yang dilihatnya di sawah tadi sore. Gumira merasa dirinya merindukan nyanyian itu.

Gumira telah membuang semua sayurannya ke salah satu sumur burung. Ia berharap sayurannya dapat menjadi pupuk, atau paling tidak tetap menjaga kesuburan tanah. Gumira berjalan tegak di depan gerobak sayurnya yang kosong. Ia lupa tentang keinginannya mendengar nyanyian seruling itu. Ia berjalan lurus, melewati beberapa rumah yang dapurnya mulai berasap. Anak-anak kecil riang gembira berlari melewatinya seolah ia tak berjalan di jalanan desa itu. Gumira memang orang asing di desa itu. Itulah sebab banyak orang bertanya tentang apa yang ia lakukan semalam di desa ini, dan siapa dirinya. Masyarakat desa Bahara tertutup kepada seorang asing yang datang tanpa alasan jelas seperti Gumira. Beberapa dari mereka menyapa Gumira, tapi tidak berhenti untuk mengobrol dengannya. Sapaan mereka sebatas mengakrabi seorang asing.

Tiba di area pesawahan, Gumira kembali mendengar nyanyian seruling yang ia rindukan. Ia mengedarkan pandangannya ke sawah, mendapati sebuah saung dan seorang gadis tengah meniup seruling di sana. Kakinya meniti jalan seperti kemarin. Melangkah tanpa henti. Gumira merasa terhipnotis oleh nyanyian seruling itu.

“Merdu sekali.” ujar Gumira membuka percakapn dengan si gadis peniup seruling. “Aku merasa terhipnotis oleh nyanyian serulingmu.”

“Seruling menghadirkan ketenangan. Aku menyanyikannya untuk Nyai Pohaci dan berharap sawah milik abah ini akan menghasilkan padi yang bagus.” Si gadis bertutur dengan halus sambil memegangi serulingnya.

“Nyanyikanlah. Aku ingin mendengarnya, lagi.” Gumira meminta gadis itu untuk kembali meniup serulingnya. Ia duduk di sisi gadis itu. Sawah yang menghampar hijau di hadapannya menambah ketenangan yang hadir di dalam dirinya. Ia merasa jatuh berada di dunia yang tak ia kenal. Dunia yang menyembunyikan segala penolakan, menampilkan segala penerimaan.

Hari itu, lama Gumira duduk bersama si gadis. Ia menceritakan maksud kedatangannya ke desa Bahara. Mereka, selanjutnya saling bertukar cerita. Gumira bicara tentang perdagangannya, prinsip penerimaan-penolakan yang dipercayainya, dan sayuran-sayurannya yang telah ia buang di sebuah sumur burung. Sedangkan si gadis, ia tak begitu banyak bicara selain cerita tentang sebatas sawah milik abahnya, seruling, Nyai Pohaci dan harapannya tentang panen yang menguntungkan. Mereka berpisah saat langit masih menyajikan cahaya jingganya.

Minggu-minggu berikutnya Gumira datang dan pulang dengan segenap kegembiraan di dalam hatinya. Ia menjual habis sayurannya di pasar dan warung-warung di desa Bahara. Ia bertemu si gadis dan ikut meniup seruling bersamanya di sawah yang perlahan mulai menguning. Setiap pulang, ia selalu sempat merasakan sesak yang menyakitkan di dadanya, tapi menghadirkan sensasi yang ingin ia ulangi lagi dan lagi. Ia berpikir, barangkali dirinya telah jatuh hati bukan hanya pada permainan seruling si gadis, tapi pada si gadis pula.

Gumira selesai berkeliling dan menjual ¾ sayurannya saat surya mencapai garis tengah bumi. Ia kini duduk di saung di sawah si gadis, menanti kedatangannya. Ia membawa sebungkus dodol yang dibelinya di Garut kemarin. Ia ingin memakan manisan itu bersama si gadis. Gumira telah merubah posisi duduknya beberapa kali. Ia memerhatikan gerak mentari yang condong ke barat, bayangannya yang memanjang, dan mendengar nyaring suara jangkrik. Hingga bayangannya menyatu dengan langit malam, si gadis tak kunjung hadir di sisinya, bahkan nyanyian serulingnya pun tidak. Gumira akhirnya pulang dengan harapan dapat kembali bertemu si gadis di hari-hari mendatang dari kehidupan mereka.

Minggu berikutnya, Gumira sengaja datang tanpa membawa gerobak sayurnya. Ia menenteng dua kantung plastik berisi dodol dan manisan yang kemarin dibelinya di kota. Di pasar dan jalanan desa Bahara yang kecil, orang yang mulai mengenalnya silih berganti menyapa dan bertanya; mengapa ia tak berjualan hari ini, atau siapa yang hendak ia kunjungi. Gumira hanya menjawab pertanyaan pertama. Sedangkan untuk yang kedua, ia tutup mulut. Raut berseri di wajah Gumira tak bisa ia sembunyikan. Ia merasa senang akan bertemu si gadis seruling.
bersambung...

Bagikan

Jangan lewatkan

Gadis Seruling
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.