Aku
mengenal lorong ini. Baunya. Suaranya. Sambil berjongkok, aku memandang ke
dalam salah satu ruangan. Di sana, sekumpulan orang berkata-kata, menggerakkan
bibir mereka, timbulkan bising yang hampir selalu kukenal –bising perjuangan.
Aku tak bisa masuk. Ruangan sudah penuh. Yang tersisa, sekarang hanya lorong
ini.
Lorong ini
nyaris sepi. Tiada seorang berlalu lalang. Ruang-ruang, gelap. Hawanya, mungkin
saja dingin. Tiada televisi, radio, atau alat elektronik penghibur lainnya.
Ruangan-ruangan ini bukan kamar kost, bukan kamar pribadi, apalagi rumah yang
bisa diperlakukan seenak perut! RUangan-ruangan ini : tempat hidup perjuangan
mengalami kebimbangan, kekalutan, dan kecerahan. Ruangan ini, ada yang sediakan
meja dan kursi, mirip kantor. Namun kebanyakan, tak seperti kantor, tapi yang
penting bisa dipakai berkumpul dan berwacana, seperti malam ini, di Sekretariat
HIMA KPI.
Aku tak
mendengar segalanya. Sayup-sayup pun tidak.
Kubuka
layar ponsel. Jam menunjukkan pukul 21.22, seseorang duduk di sampingku. Kami
belum berbincang. Aku cuma memandang ke dalam sambil sesekali ke layar ponsel.
Panggilan masuk : tiada. Pesan masuk : tiada. Ponselku seperti benda mati. Aku
berpikir, barangkali ponsel telah jadi temanku yang sejati, tapi segera kubuang
pikiran itu. Bagaimanapun, kupikir, teman haruslah sesuatu yang hidup, seperti
manusia. Ponsel yang seolah hidup pun ternyata dikendalikan oleh manusia, yang
bisa saja tak kukenali tapi kuakrabi. Perbincangan di dalam sekre semakin intim,
aku masih tak mendengar apapun.
“Kang,
tingal yeuh.” Pinta seseorang di sampingku.
Aku
menoleh. Ia menunjukkan foto seorang perempuan. Aku tahu siapa dia. Tak usah
kusebutkan.
“Gaduh pin
BB na?” Tanyaku singkat, langsung pada titik yang benar-benar ingin kutanyakan
tentang dara itu.
“Gaduh,
kang. Ngan BBM abdi na nuju teu aktif. Teu tiasa lebet wae, teterang kunaon.”
Ujarnya cukup panjang.
Percakapan
kami berjalan cukup panjang, tapi takkan kutuliskan. Rasanya memalukan.
Aku mencoba
mendengar apa yang diperbincangkan di dalam. Dekat dariku, sekumpulan mahasiswa
–semester 3, tengah berbincang. Mereka satu kelas. Seorang kukenal sebagai Hamid,
seorang lagi sebagai Rahman, lalu Ahmad Jaelani, dan yang perempuan sebagai
Asmarani Dewi. Mereka berbincang cukup intim, diselingi tawa kecil, hampir
silih berganti. Sesekali, salah seorang dari mereka menoleh ke dalam ruangan,
sebentar kemudian kembali melanjutkan perihal di dalam perbincangan mereka yang
asyik.
Aku masih
mencoba mendengar apa yang diperbincangkan di dalam.
Aku masih
mencoba mendengar apa yang diperbincangkan di ruangan yang penuh sesak itu.
“Break
dulu, Tum?” Tanyaku pada Ridho –Ketua Umum HIMA KPI.
“Nunggu
Hari dulu, Zar.” Jawabnya, lantas ia
berjongkok di sampingku. Dikeluarkannya sebatang rokok.
Aku sering
menyebut seseorang yang membawa sebatang rokok sebagai pembawa keris. Tak ada
alasan. Ini cuma lelucon yang jarang menghadirkan tawa.
Aku
terdiam. Ridho juga.
Tak lama,
Hari datang bersama seorang gadis. Dari Haikal, kutahu nama gadis itu Fatin.
Badannya berisi, tidak terlalu tinggi, warna kulit seperti kebanyakan orang
Indonesia –sawo, ia memakai kemeja hitam, kerudung pink. Wajahnya baru sekali
ini kulihat. Hari masuk ke dalam sekre, diikuti yang lain, juga Fatin. Dan
perbincangan dilanjutkan.
Di dalam
sekre, kudengar Hari berkata, “Mun arek maju, kudu maju kabeh. Lamun arek
labuh, labuh kabeh. Montong aya nu mundur hayang
meunang alusna hungkul!”
Semua orang
di dalam sekre belum ada yang angkat bicara. Semuanya seperti anak kecil yang ketahuan hujan-hujanan sama ibunya.
“Saya mah,
ngan bisa ngasih masukan terkait aksi isukan. Arek aksi atawa moal, eta mah
tergantung kalian.” Hari berujar lagi, kali ini
lebih tegas.
Semuanya
masih terdiam.
Akhirnya
kuketahui, aksi besok terancam gagal terlaksana. Penyebabnya, KTM yang akan
kembali dituntut besok ternyata sudah lebih dahulu didapatkan kejelasannya oleh
Forum Demokrasi Kampus. FDK –sebutan akrab Forum Demokrasi Kampus, mendapat
titik cerah dari Pembantu Rektor bidang kemahasiswaan bahwa Rektor UIN SGD akan
mengadakan audiensi terkait KTM ini hari Selasa minggu depan. Ini membuat
pejuang-pejuang di dalam ruangan itu kebingungan sehingga sempat menimbulkan
perdebatan.
“Arek isuna
bener atawa henteu oge, ningali mahasiswa turun aksi mah birokrat teh geus
geumpeur!” Hari kembali berucap dengan nada berapi-api.
Beberapa
orang mulai angkat bicara.
“Nya lamun
kitu mah, mendingan isukan tetep turun aksi, ari ceuk saya mah.” Tutur
seseorang yang aku tak tahu siapa.
“Pokona,
saya mah ngan bisa mere masukan, da anu ngajalanan na mah maraneh. Sok, ayeuna
obrolkeun deui terkait rek turun aksi atawa henteu na isukan. Nu penting mah,
lamun rek maju kudu maju kabeh, lamun rek labuh kudu labuh kabeh!” Imbuh Hari.
Lalu ia pamit dan berjalan keluar. Di luar sekre, ia lantas menyalakan korek,
membakar rokok, dan menghisapnya.
Ruangan
seketika hening. Seorang pun belum angkat suara untuk beberapa lama.
“Jadi,
kumaha isukan teh? Arek turun aksi?” Tanya Aban pada akhirnya.
Sekarang
aku tahu, pemilik suara yang mengatakan bahwa lebih baik besok tetap turun aksi
adalah dia. ia memandang semua orang di ruangan itu, satu persatu. Tak ada
suara keberatan berkumandang.
“Hayu!”
Ucap seseorang.
“Hayu abi
oge, a Aban.” Imbuh yang lain.
“Hayu.”
Imbuh yang lain lagi.
Banyak lagi
kata terucap setelah itu. Banyak lagi rencana yang perlu dilaksanakan
sesudahnya. Banyak rasa yang akan timbul esok hari. Barangkali, salah satunya
adalah kepedulian.
Bandung,
01.10 WIB
Bagikan
Aku dan Demonstrasi Esok Hari
4/
5
Oleh
Unknown
6 komentar
Tulis komentarrebuuut kang...rebuut!!
ReplyKPI HARGA MATI LIN a ? hahahaha
Replysi mamang ieu sok menghantam birokrat kampus keur ngora na euy hahaha
Replydiajarkeun ku a rizky pan ngarebut na ge :D
Replyharga mati pisan baheula mah man haha
Replyhahaha... enya atuh mang pan baheula mah can mikiran lulus haha
Reply