Senin, 24 April 2017

Jurnalis : Pemantik Cahaya


Nun, Walqalami wama Yasturuun

Nun, Demi Qalam dan apa yang mereka tuliskan… (Q.S Al-Qalam)

Ayat ini mungkin tak asing bagi sebagian orang, khususnya mereka yang bergelut di dunia tinta dan kertas. Kuli Tinta, begitulah ungkapan yang cukup pantas untuk disematkan kepada mereka yang bergelut di dunia jurnalistik. Dunia jurnalistik adalah dunia yang erat kaitannya dengan tulis dan baca. Mereka ibarat langit dan bumi yang tak bisa dipisahkan. Menjadi seorang jurnalis adalah pekerjaan yang teramat mudah. Sejak sekolah dasar, setiap kepala sudah diajarkan untuk menulis, membaca dan mengabarkan, bahkan sebelum memasuki jenjang sekolah dasar, beberapa orang tua mulai mengajari anak mereka menjadi seorang ‘jurnalis’. Dunia jurnalistik sangat dekat dengan kita, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun.

Dua ayat yang saya sajikan di atas memuat tentang menulis atau menjadi jurnalis –setidaknya itulah kesimpulan pertama saya. Dalam buku Jurnalisme Universal, Suf Kasman, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Qalam adalah mereka yang menulis/jurnalis, sedangkan nun adalah tinta. Kegiatan jurnalistik erat kaitannya dengan menulis, menulis hampir selalu membutuhkan tinta, sebab tinta adalah senjata gerombolan pemantik cahaya ini. Menjadi jurnalis merupakan pekerjaan yang mudah, siapapun dari kita adalah jurnalis, dimanapun, dan bagaimana pun keadaannya.

Pekerjaan seorang jurnalis adalah mencatat, menulis dan mengabarkan. Sungguh, pekerjaan ini adalah satu-satunya pekerjaan yang asyik tapi tak mengenal waktu, menguras pikiran dan tenaga, sesekali menguras dompet. Pekerjaan ini memang mudah, bila belum masuk pada profesionalisme, lain halnya bila sudah professional. Tetapi, di sini saya tidak akan membahas tentang kiat-kiat menjadi seorang jurnalis professional yang patuh peraturan dan disiplin.

Mencatat, menulis dan mengabarkan mesti dan selalu harus dihubungkan dengan membaca. Tulisan seorang jurnalis mesti dibaca, karena tulisan yang belum pernah dibaca takkan pernah diketahui keberadaannya serta  informasi yang terkandung di dalamnya. Mustahil Aristoteles akan dikenal saat ini bila tulisannya tidak pernah dibaca oleh siapapun. Menulis mesti dan selalu berhubungan dengan membaca, keduanya ber-simbiosis mutualisme ria. Pada proses inilah, tulisan seorang jurnalis akan mengalami fase paling menentukan. Pada fase pembacaan ini, seorang pembaca akan mengalami internalisasi nilai-nilai kebaikan dan keburukan dalam dirinya sebelum mengambil sikap terhadap sebuah tulisan. Tulisan yang berisi kebaikan tidak selamanya berdampak baik, tetapi tulisan yang berisi keburukan tetap berjalan di jalurnya.

Dampak sebuah tulisan memang berada jauh di luar jangkauan seorang jurnalis, sehebat apapun. Karena mereka tidak mengenal pembacanya satu persatu. Begini, tulisan seorang jurnalis yang telah disebarkan dan dibaca khalayak, entah mengandung kebaikan, keburukan atau keduanya sekaligus, akan menghadirkan kebaikan dan keburukan. Tulisan yang berisi pemikiran akan mencerahkan bagi yang menyetujuinya, tulisan yang berisi keburukan atau sesuatu yang menyesatkan akan menimbulkan keburukan bagi yang mengamininya. Tulisan selalu mesti dibaca, agar tak sia-sia dan menjadi pahala berkepanjangan bila itu baik. Baik dan buruk adalah dua hal abstrak. Baik dan buruk merupakan dampak/efek dari tulisan seseorang. Meski begitu, Keduanya telah menjadi resiko dalam pekerjaan apapun bahkan jurnalis. Jika seseorang menuliskan kebaikan, kemudian dibaca, diamini dan diekspresikan oleh seseorang maka akan menimbulkan sebuah kebaikan. Tulisannya akan senantiasa menjadi sebuah tabungan kebaikan. Sebaliknya, bila tulisan berisi keburukan, diamini, diimplementasikan dan menimbulkan keburukan. Tulisannya akan senantiasa menjadi tabungan dosa. Baik dan buruk dampak yang ditimbulkan merupakan resiko lain yang harus dihadapi dalam pekerjaan asyik ini, tinggal bagaimana sikap setiap calon jurnalis dan jurnalis betulan dalam menyajikan sebuah informasi kepada khalayak.

Konsekuensi di atas mudah sulit untuk dihadapi, akan tetapi tidak mustahil untuk dilakukan. Setiap jurnalis pasti mampu menyajikan beragam kebaikan dan pencerahan dalam tulisannya. Ucapan seseorang yang berisi keburukan akan menjadi baik apabila dikemas secara cantik oleh seorang jurnalis, sebab tugas seorang jurnalis tidak hanya membiarkan informasi secara telanjang diterima masyarakat, tetapi sekali lagi, dikemas secara cantik, dengan bahasa yang tidak provokatif.

Jika jurnalis menghadirkan kebaikan di tengah masyarakat, ia adalah pemantik cahaya. Anda setuju?

Bagikan

Jangan lewatkan

Jurnalis : Pemantik Cahaya
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.