Menyoal Jurnalisme Islam
Saya pernah membaca karya Andreas Harsono –Agama Saya Adalah Jurnalisme. Di dalam buku itu, Andreas Harsono menulis sebuah esai tentang Jurnalisme Islam. Isi esai dengan judul Jurnalisme Islam itu ternyata penyangkalan Andreas terhadap Jurnalisme Islam. Saya tidak menganggap dia menghina Jurnalisme Islam, justru sebaliknya. Saya memerhatikan dan menerima apa yang ia tulis dalam salah satu esainya itu. Menurut saya, apa yang Andreas tulis dalam esainya itu adalah sebuah kritik yang musti dipertimbangkan kembali oleh setiap orang yang menganggap Jurnalisme Islam sebagai cabang ilmu Jurnalistik.
Andreas menganggap Jurnalisme Islam sebagai sebuah propaganda. Menurutnya, bila ada Jurnalisme Islam, tentu ada Jurnalisme Kristen, Jurnalisme Budha, Jurnalisme Hindu, Jurnalisme Konghucu dan Jurnalisme agama lainnya. Andreas menuliskan dalam esainya bahwa tidak ada hal yang baru dalam Jurnalisme Islam. Unsur-unsur Jurnalisme Islam tetap sama seperti Jurnalisme kebanyakan, jadi menurut Andreas, Jurnalisme Islam tidak pantas disebut sebagai cabang baru ilmu jurnalistik.
Saya menerima apa yang Andreas tuliskan dalam bukunya itu. Kenapa tidak? Saya merasakannya. Di sini tidak ada Jurnalisme Islam, yang ada Jurnalisme Dakwah. Waktu saya semester tiga, disajikan dua mata kuliah tentang ilmu jurnalistik : Pertama, Pengantar Ilmu Jurnalistik, kedua Jurnalisme Dakwah. Isi kedua mata kuliah itu sama, yang membedakan keduanya hanya label dakwah dan Islam.
Tujuan Jurnalisme Dakwah dan jurnalisme pada umumnya adalah menyebarkan kebenaran. Kebenaran adalah hal yang relatif. Kebenaran bergantung pada ‘dimana’ dan ‘kapan’ kita berdiri. Kebenaran yang berlaku di tanah sunda, tentu berbeda dengan kebenaran yang berlaku di tanah Batak atau tanah Minang, tetapi semua daerah memiliki satu kebenaran yang sama. Semua daerah pasti menganggap bahwa membunuh, mencuri dan korupsi adalah hal yang buruk.
Selain menyebarkan kebenaran, tujuan jurnalisme dakwah dan jurnalisme pada umumnya adalah membentuk masyarakat yang baik. Ada sebuah jargon yang mengatakan semakin baik kualitas jurnalistik di suatu masyarakat, semakin baik pula kualitas masyarakatnya. Siapapun yang menggeluti dunia jurnalistik tentu akan sepakat dengan hal ini.
Menyikapi jurnalisme islam dan jurnalisme pada umumnya, saya teringat pada profesi dunia ini. Profesi dunia jurnalistik salah satunya adalah wartawan. Wartawan adalah profesi dunia jurnalistik yang mengharuskan pengampunya tidak mengenal ruang dan waktu. Ia tidak memiliki jam kerja, tidak mengenal lelah serta mengharuskan pengampu profesi ini tidak mengeluh. Selain itu, seorang wartawan juga harus mengabarkan sesuatu secara benar. Jika pada awal kemunculannya seorang wartawan mengabarkan suatu peristiwa apa adanya, sekarang seorang wartawan mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan sebuah sudut pandang. Itulah wartawan.
Apakah ada benang merah antara wartawan dengan dunia dakwah? Tentu ada. Seorang wartawan tidak beda halnya dengan seorang da’i. Ia bekerja menyajikan kabar dengan panduan kebenaran. Bill Kovach dan Tom Rossentiel dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalistik yang disadur oleh Andreas Harsono mengatakan bahwa seorang wartawan musti mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan kebenaran yang dianutnya. Kebenaran ini yang menuntunnya menjadi seorang da’i. Pendapat dua pakar jurnalistik Amerika ini tentu menegaskan bahwa wartawan dengan da’I memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menyebarkan kebenaran.
Tidak hanya pendapat kedua pakar itu, saya juga menemukan sebuah tulisan yang menjelaskan bahwa seorang wartawan adalah seorang da’i. Pendapat ini saya sadur dari buku Jurnalisme Universal karya Suf Kasman. Dalam buku ini, ia menjelaskan ayat pertama surat Al-qalam. Menurutnya, arti kata Nun dalam ayat pertama surat itu adalah tinta dan kata kalimat selanjutnya dalam ayat itu ia tafsirkan sebagai tugas seorang jurnalis atau wartawan. Suf Kasman menganggap bahwa ayat ini adalah ayat tentang dunia jurnalistik. Suf Kasman berpendapat sama seperti halnya Bill Kovach dan Tom Rossentiel, bahwa seorang wartawan harus mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan kebenaran universal yang berlaku di masyarakat.
Apakah cukup dengan hanya mengabarkan dengan berpegang teguh pada kebenaran? Saya rasa tidak. Saya mengamini Sembilan Elemen Jurnalistik yang dimiliki Kovach. Salah satu dari kesembilan elemen itu adalah mendengarkan hati nurani. Seorang wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri dalam pengabaran yang ia lakukan, karena hati nurani akan tahu hal yang baik dan buruk.
Saya pernah mengikuti pelatihan jurnalistik multi-agama di Gereja Kristen Indonesia medio November 2012 lalu. Panitia pelatihan itu mendatangkan orang Kompas yang memiliki segudang pengalaman dalam dunia jurnalistik. Ia adalah Peppih Nugraha. Kang Peppih, begitu ia disapa di pelatihan, pernah bertugas di Poso sewaktu terjadi konflik antara Islam-Kristen di sana. Sebagai seorang manusia biasa, ia mengaku takut, tapi pekerjaannya sebagai wartawan memaksanya untuk bertahan. Ia melihat huru hara, darah yang tertumpah dan tangisan di sana sini. Kala itu, Peppih melakukan pengabaran berdasarkan rasa kemanusiaan dan apa yang ia lihat di sana. Ia menulis berita tentang kesedihan anak-anak Poso, korban kejadian, nasib mereka selama konflik, dan sikap serta kegagalan pemerintah menenangkan konflik itu. Salah satu beritanya yang menampar pemerintah waktu itu adalah kegagalan putri presiden Megawati Soekarnoputri mendarat di tanah Poso. Tulisannya berdampak signifikan terhadap pemerintah dan konflik. Pasca kegagalan pendaratan itu, pemerintah langsung menginstruksikan ABRI untuk bertolak ke Poso guna mengamankan konflik.
Dari pengalaman kang Peppih tersebut, saya artikan bahwa mendengarkan hati nuraninya sendiri salah satunya adalah membiarkan diri kita bekerja atas dasar rasa kemanusiaan. Mayarakat kaya akan rasa kemanusiaan. Banyak orang dirugikan karena keputusan keliru pemerintah, banyak orang menangis karena perilaku pemerintah yang senonoh dan banyak orang tertindas karena kebijakan pemerintah. Orang tertindas, orang yang dirugikan, dan orang yang menangis ada di masyarakat. Di sini, mereka seharusnya dibela oleh seorang wartawan lewat tulisan-tulisannya yang dibaca banyak orang. Ketika melakukan hal ini, wartawan bekerja atas dasar rasa kemanusiaan yang besar.
Wartawan seperti halnya da’I, mereka adalah tonggak perubahan. Wartawan dan da’I sama-sama mengubah kebiasaan buruk menjadi baik, hitam menjadi putih, dan bias menjadi jelas. Masyarakat yang gemar membuang sampah sembarangan akan berubah karena wartawan.
Wartawan berdakwah melalui tulisan. Ia ibarat korek yang memantik api melalui tulisannya yang dimuat di surat kabar dan dibaca oleh khalayak yang heterogen. Cakupan dakwah seorang wartawan yang heterogen dan tidak terbatas ruang dan waktu menjadikannya lebih berpegaruh ketimbang da’I yang berdakwah dari panggung ke panggung. Semakin berkualitas tulisan dan kabar yang disajikan seorang wartawan, semakin besar pula pengaruhnya.
Laku dakwah seorang wartawan dan da’I sebenarnya sama. Keduanya sama-sama bekerja atas dasar kebenaran, rasa kemanusiaan, dan mengubah sesuatu. Hal yang membedakan keduanya hanya nama dan media. Perpektif masyarakat kita biasa menyebut orang yang menyeru dari panggung ke panggung sebagai da’I, sedangkan wartawan yang menyeru melalui tulisannya tetap disebut wartawan. Kemudian media dakwah keduanya yang berbeda pun membuat masyarakat kita membedakan keduanya, tetapi hakikatnya baik wartawan maupun da’I adalah sama. Hanya jalan yang membedakan laku dakwah keduanya.
Saya pernah membaca karya Andreas Harsono –Agama Saya Adalah Jurnalisme. Di dalam buku itu, Andreas Harsono menulis sebuah esai tentang Jurnalisme Islam. Isi esai dengan judul Jurnalisme Islam itu ternyata penyangkalan Andreas terhadap Jurnalisme Islam. Saya tidak menganggap dia menghina Jurnalisme Islam, justru sebaliknya. Saya memerhatikan dan menerima apa yang ia tulis dalam salah satu esainya itu. Menurut saya, apa yang Andreas tulis dalam esainya itu adalah sebuah kritik yang musti dipertimbangkan kembali oleh setiap orang yang menganggap Jurnalisme Islam sebagai cabang ilmu Jurnalistik.
Andreas menganggap Jurnalisme Islam sebagai sebuah propaganda. Menurutnya, bila ada Jurnalisme Islam, tentu ada Jurnalisme Kristen, Jurnalisme Budha, Jurnalisme Hindu, Jurnalisme Konghucu dan Jurnalisme agama lainnya. Andreas menuliskan dalam esainya bahwa tidak ada hal yang baru dalam Jurnalisme Islam. Unsur-unsur Jurnalisme Islam tetap sama seperti Jurnalisme kebanyakan, jadi menurut Andreas, Jurnalisme Islam tidak pantas disebut sebagai cabang baru ilmu jurnalistik.
Saya menerima apa yang Andreas tuliskan dalam bukunya itu. Kenapa tidak? Saya merasakannya. Di sini tidak ada Jurnalisme Islam, yang ada Jurnalisme Dakwah. Waktu saya semester tiga, disajikan dua mata kuliah tentang ilmu jurnalistik : Pertama, Pengantar Ilmu Jurnalistik, kedua Jurnalisme Dakwah. Isi kedua mata kuliah itu sama, yang membedakan keduanya hanya label dakwah dan Islam.
Tujuan Jurnalisme Dakwah dan jurnalisme pada umumnya adalah menyebarkan kebenaran. Kebenaran adalah hal yang relatif. Kebenaran bergantung pada ‘dimana’ dan ‘kapan’ kita berdiri. Kebenaran yang berlaku di tanah sunda, tentu berbeda dengan kebenaran yang berlaku di tanah Batak atau tanah Minang, tetapi semua daerah memiliki satu kebenaran yang sama. Semua daerah pasti menganggap bahwa membunuh, mencuri dan korupsi adalah hal yang buruk.
Selain menyebarkan kebenaran, tujuan jurnalisme dakwah dan jurnalisme pada umumnya adalah membentuk masyarakat yang baik. Ada sebuah jargon yang mengatakan semakin baik kualitas jurnalistik di suatu masyarakat, semakin baik pula kualitas masyarakatnya. Siapapun yang menggeluti dunia jurnalistik tentu akan sepakat dengan hal ini.
Menyikapi jurnalisme islam dan jurnalisme pada umumnya, saya teringat pada profesi dunia ini. Profesi dunia jurnalistik salah satunya adalah wartawan. Wartawan adalah profesi dunia jurnalistik yang mengharuskan pengampunya tidak mengenal ruang dan waktu. Ia tidak memiliki jam kerja, tidak mengenal lelah serta mengharuskan pengampu profesi ini tidak mengeluh. Selain itu, seorang wartawan juga harus mengabarkan sesuatu secara benar. Jika pada awal kemunculannya seorang wartawan mengabarkan suatu peristiwa apa adanya, sekarang seorang wartawan mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan sebuah sudut pandang. Itulah wartawan.
Apakah ada benang merah antara wartawan dengan dunia dakwah? Tentu ada. Seorang wartawan tidak beda halnya dengan seorang da’i. Ia bekerja menyajikan kabar dengan panduan kebenaran. Bill Kovach dan Tom Rossentiel dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalistik yang disadur oleh Andreas Harsono mengatakan bahwa seorang wartawan musti mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan kebenaran yang dianutnya. Kebenaran ini yang menuntunnya menjadi seorang da’i. Pendapat dua pakar jurnalistik Amerika ini tentu menegaskan bahwa wartawan dengan da’I memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menyebarkan kebenaran.
Tidak hanya pendapat kedua pakar itu, saya juga menemukan sebuah tulisan yang menjelaskan bahwa seorang wartawan adalah seorang da’i. Pendapat ini saya sadur dari buku Jurnalisme Universal karya Suf Kasman. Dalam buku ini, ia menjelaskan ayat pertama surat Al-qalam. Menurutnya, arti kata Nun dalam ayat pertama surat itu adalah tinta dan kata kalimat selanjutnya dalam ayat itu ia tafsirkan sebagai tugas seorang jurnalis atau wartawan. Suf Kasman menganggap bahwa ayat ini adalah ayat tentang dunia jurnalistik. Suf Kasman berpendapat sama seperti halnya Bill Kovach dan Tom Rossentiel, bahwa seorang wartawan harus mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan kebenaran universal yang berlaku di masyarakat.
Apakah cukup dengan hanya mengabarkan dengan berpegang teguh pada kebenaran? Saya rasa tidak. Saya mengamini Sembilan Elemen Jurnalistik yang dimiliki Kovach. Salah satu dari kesembilan elemen itu adalah mendengarkan hati nurani. Seorang wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri dalam pengabaran yang ia lakukan, karena hati nurani akan tahu hal yang baik dan buruk.
Saya pernah mengikuti pelatihan jurnalistik multi-agama di Gereja Kristen Indonesia medio November 2012 lalu. Panitia pelatihan itu mendatangkan orang Kompas yang memiliki segudang pengalaman dalam dunia jurnalistik. Ia adalah Peppih Nugraha. Kang Peppih, begitu ia disapa di pelatihan, pernah bertugas di Poso sewaktu terjadi konflik antara Islam-Kristen di sana. Sebagai seorang manusia biasa, ia mengaku takut, tapi pekerjaannya sebagai wartawan memaksanya untuk bertahan. Ia melihat huru hara, darah yang tertumpah dan tangisan di sana sini. Kala itu, Peppih melakukan pengabaran berdasarkan rasa kemanusiaan dan apa yang ia lihat di sana. Ia menulis berita tentang kesedihan anak-anak Poso, korban kejadian, nasib mereka selama konflik, dan sikap serta kegagalan pemerintah menenangkan konflik itu. Salah satu beritanya yang menampar pemerintah waktu itu adalah kegagalan putri presiden Megawati Soekarnoputri mendarat di tanah Poso. Tulisannya berdampak signifikan terhadap pemerintah dan konflik. Pasca kegagalan pendaratan itu, pemerintah langsung menginstruksikan ABRI untuk bertolak ke Poso guna mengamankan konflik.
Dari pengalaman kang Peppih tersebut, saya artikan bahwa mendengarkan hati nuraninya sendiri salah satunya adalah membiarkan diri kita bekerja atas dasar rasa kemanusiaan. Mayarakat kaya akan rasa kemanusiaan. Banyak orang dirugikan karena keputusan keliru pemerintah, banyak orang menangis karena perilaku pemerintah yang senonoh dan banyak orang tertindas karena kebijakan pemerintah. Orang tertindas, orang yang dirugikan, dan orang yang menangis ada di masyarakat. Di sini, mereka seharusnya dibela oleh seorang wartawan lewat tulisan-tulisannya yang dibaca banyak orang. Ketika melakukan hal ini, wartawan bekerja atas dasar rasa kemanusiaan yang besar.
Wartawan seperti halnya da’I, mereka adalah tonggak perubahan. Wartawan dan da’I sama-sama mengubah kebiasaan buruk menjadi baik, hitam menjadi putih, dan bias menjadi jelas. Masyarakat yang gemar membuang sampah sembarangan akan berubah karena wartawan.
Wartawan berdakwah melalui tulisan. Ia ibarat korek yang memantik api melalui tulisannya yang dimuat di surat kabar dan dibaca oleh khalayak yang heterogen. Cakupan dakwah seorang wartawan yang heterogen dan tidak terbatas ruang dan waktu menjadikannya lebih berpegaruh ketimbang da’I yang berdakwah dari panggung ke panggung. Semakin berkualitas tulisan dan kabar yang disajikan seorang wartawan, semakin besar pula pengaruhnya.
Laku dakwah seorang wartawan dan da’I sebenarnya sama. Keduanya sama-sama bekerja atas dasar kebenaran, rasa kemanusiaan, dan mengubah sesuatu. Hal yang membedakan keduanya hanya nama dan media. Perpektif masyarakat kita biasa menyebut orang yang menyeru dari panggung ke panggung sebagai da’I, sedangkan wartawan yang menyeru melalui tulisannya tetap disebut wartawan. Kemudian media dakwah keduanya yang berbeda pun membuat masyarakat kita membedakan keduanya, tetapi hakikatnya baik wartawan maupun da’I adalah sama. Hanya jalan yang membedakan laku dakwah keduanya.
Bagikan
Jalan Dakwah Seorang Jurnalis
4/
5
Oleh
Unknown