Jumat, 21 April 2017

Tirai Hijau


Samira memandangi tirai hijau yang membentang di cermin matanya. Panjang. Tirai itu, meliuk-liuk, terhembus angin. Samira menganggap tirai itu menertawakannya, ia balas tertawa. Ia menunggu tirai itu menyentuh jemarinya. Ia merasakannya lembut. Samira tersenyum.

Kemudian pemuda berpakaian putih-putih, dengan peci bertengger manja di kepalanya itu tersenyum. Ia menuntun jemarinya merangkai garis, membentuk pola.

Kepalanya menunduk, mengahadap kertas yang terselip di antara lembar kitabnya. Ia tersenyum lagi. Pola wajah seorang gadis hampir selesai di sana.

Ia mengacuhkan riuh rendah suara yang mendayu-dayu di sekelilingnya. Kepalanya kosong dari itu semua. Ia tak memikirkan apapun, apalagi melahap semua yang dikatakan gurunya di depan sana. Ia tak menginginkan itu semua.

“Sebaiknya kau mendengarkan Ustadz Imron, atau dia akan kemari dan merobek lukisanmu yang berharga itu.” Andara berbisik halus di sisi Samira. Ia turut serta menundukkan kepalanya.

“Aku tahu.”

“Nah, sekarang angkat kepalamu dan dengarkan.” Ujar Andara kemudian. Ia kembali memerhatikan Ustadz Imron. Sementara Samira tetap merunduk. Ia benar-benar enggan memerhatikan apa yang ada di sekelilingnya.

Bagi Samira, semua yang ada di sekelilingnya telah dipenuhi garis putih-hitam. Garis-garis itu, mengikat siapa saja, di tempat ini. Dan ketika ia berpindah, ia akan terikat bersama garis putih-hitam yang lain. Itu membuatnya muak. Ia enggan terikat dengan apapun. Baginya, dunia adalah apa yang ia pikirkan, dan ia simpan di dalam pikirannya. Bukan dunia penuh garis putih-hitam.

“Sekali lagi, Ustadz Imron memerhatikanmu.” Bisik Andara, lagi. Ia khawatir Samira akan kena semburan amarah milik ustad berhutan lebat di bawah dagunya itu.

“Aku tahu.” Jawab Samira enteng.

***

Usai pengajian, Samira dipanggil Ustadz Imron. Ia dimarahi dan diberi hukuman. Tak lupa, ustadz itu mengambil lukisan milik Samira, dan merobeknya di depan Samira. Di sana, Samira menunduk sepanjang waktu. Ia hanya tersenyum, malah di dalam hatinya, ia tertawa.

Keluar dari kantor ustad Imron, Samira tertawa terbahak-bahak. Ia tidak murung, apalagi bersedih. Gurat semacam itu, selalu seolah bersembunyi jauh di dalam permukaan wajahnya.

“Kenapa kau tertawa, Samira?” Tanya Andara saat temannya itu kembali ke asrama.

“Aku senang.” Jawab Samira, lagi-lagi enteng.

“Kenapa bisa begitu? Padahal, kebanyakan santri murung saat keluar dari kantor ustadz Imron.”

“Aku senang karena ia hanya menghancurkan wujud nyata imajiku. Itu bukan apa-apa. Sebenarnya, jauh sekali di tempat yang amat dalam, aku menyimpan imajiku, menguncinya. Aku membukanya saat pengajian ustadz Imron saja.”

“Kenapa?”

“Karena, kunci imaji itu selalu duduk di balik tirai yang menghalangi kita.”

“Maksudmu seorang santriwati?”

“Ya. Aku tak mengenalnya, tapi wajahnya yang belum pernah kulihat utuh, selalu membuka imaji di dalam pikiranku. Ustadz Imron takkan mendapatkannya.” Samira mengakhiri perkataannya dengan senyum, seraya beranjak ke dalam kamar.

“Aku akan menggambarnya lagi besok.” Imbuh Samira. Lantas ia membuka lemarinya dan mengambil secarik kertas.

***

Samira berulang kali melakukan apa yang Andara anggap sebagai kebodohan. Tapi Samira tidak menyesal. Justru ia terlihat sebaliknya. Tenang, bahagia.

“Kenapa kau selalu melakukannya? Kukira, ocehanmu saat itu bualan belaka.” Ujar Andara saat menemui Samira di tengah lapangan voli. Samira tengah dijemur.

“Kenapa? Aku menyukainya.” Jawab Samira enteng.

“Apa hanya itu? Kau aneh.” Andara berjongkok di samping Samira. Ia mengibaskan pecinya sesekali. Keringat mengucur deras di pelipisnya yang coklat legam.

“Ya.”

“Aku merasa bebas saat menyelami imajiku tentang gadis itu. Nampaknya, aku jatuh cinta.”

Andara tertegun mendengar ucapan Samira. Ia lantas berdiri di hadapan Samira, bermaksud memastikan ucapannya. “Yang benar?”

“Benar.”

“Kau akan celaka, Samira. Jika ustdz Imron tahu hal ini, ia akan menghukumu. Kau tahu, peraturan di sini sudah jelas. Santriwan tidak boleh menjalin hubungan dengan santriwati yang bukan mahramnya.” Andara berucap panjang lebar. Ia menatap Samira serius.

“Aku tahu, tapi aku takkan terkena hukuman atas hal itu.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena aku mencintai imaji yang timbul saat gadis itu duduk di balik tirai. Aku merasakan kebebasan tak berbatas. Meski aku tak mengenalnya, atau tak mungkin berhubungan dengannya sama sekali, imajiku akan memuaskanku. Imajiku, anggur yang memabukkan, Andara.” Samira tersenyum ramah. Ia memandang langit, dan menarik napasnya dalam.

“Sana! sebaiknya kau kembali ke asrama sebelum ustadz Imron mendapatimu menemaniku menjalani hukuman ini.” Imbuh Samira. Ia meminta temannya itu kembali ke asrama.

Dan Samira, sepanjang siang bersama raja cahaya, ia bersenandung tentang gadis yang dikenalnya. Lagi-lagi, ia mendapatkan senandung itu saat menyelami imajinya beberapa saat lalu.

Bagikan

Jangan lewatkan

Tirai Hijau
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.