Aku melihatnya. Dia duduk sendirian di meja nomor 44, persis seperti yg kukatakan. Aku memang memesan meja itu, tapi bukan atas nama Rizky Pramesti Dewi. Aku memesannya atas nama Rifanisa. Itu namaku dahulu. Aku mengubah namaku menjadi Rizky sejak kelas satu SMP. Ah ya, waktu itu aku diadopsi keluarga Pramesti dan diboyong ke Bandung. Aku memulai kehidupan baruku di kota itu.
Aku masih mengingatnya. Tawanya, teriakannya, wajahnya, bahkan aku masih menyimpan gantungan kunci pemberiannya. Ia tetap sama dengan saat terakhir kali kulihat dua tahun lalu ketika wisuda. Rambutnya gondrong, dibiarkan tergerai. Kumis dan janggutnya tidak nampak, barangkali belum lama ini dibersihkan. Ia memakai sweater coklat, celana jeans abu-abu selutut, dan sandal jepit hijau. Ia terlihat lusuh, bahkan jika dilihat sekilas, kupikir orang-orang akan mengiranya gembel, tapi ini yang benar-benar tidak berubah darinya. Aku menyukainya.
"Kamu lihat apa?" Alisia mengibaskan tangannya di depanku.
"Aku gak lihat apa-apa koq." Ujarku sambil menyedot jus tomat milikku.
"Beneran?" Sejenak, Alisia memberi tatapan yang nampak bertanya-tanya padaku, kemudian Ia mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke permukaan meja, berdiri, menoleh padaku sebentar, tersenyum dan duduk lagi.
"Aku tahu apa yang kamu lihat." Bisiknya, lalu disusul tawa pelan.
"Oke...oke...oke...! Sekarang kita berdiri dulu," Joni mengangkat gelas cola miliknya sambil mengajak yang lain. Ia kelihatan sumringah. "Semoga, user kita terus bertambah dan kinerja kita semakin baik! Selamat buat 12 juta user!" Imbuhnya penuh semangat dan gelas kami pun beradu, bersulang.
Joni sebetulnya ingin bersulang bir atau alkohol, bukannya cola, tapi karena di Indonesia, khususnya di Bandung alkohol tidak dijual secara bebas, makanya kami memutuskan untuk bersulang cola dan jus saja. Lagipula, alkohol buruk untuk tubuh dan dilarang dalam dalam islam, agamanya si kembar Alifia dan Alisia.
Ah, Donatello, perusahaan yang kudirikan bersama Andi, Joni, Alisia dan Alifia 2 tahun lalu, selepas wisuda, kini sudah mulai dewasa. Donatello bersama user-usernya yang tersebar di seluruh dunia akan bertumbuh, barangkali semakin besar, bisa juga mati. Tiada yang tahu. Hanya yang jelas, kelahiran dan pertumbuhan Donatello tidak disertai kehadiran pemilik ide yang sesungguhnya, orang yang memberikan kami mimpi ini ; Rei.
Kami berbincang-bincang santai, makan-makan juga, minum-minum, maen games juga. Kami berlima menikmati waktu ini dengan perasaan yang membuncah di dada. Ah, barangkali kecuali aku. Aku sesekali mencuri pandang ke meja nomor 44. Sekadar memastikan Rei masih di sana, apa yang ia lakukan, apa ia membawa temannya. Sekitar pukul lima sore, acara santai ini selesai.
"Bukannya itu Rei?" Joni menunjuk meja nomor 44 saat kami hendak keluar. Ia mendekati meja itu. Barangkali memastikan bahwa itu benar-benar Rei.
Setelah ia yakin itu Rei, ia melembaikan tangannya, mengajak kami ke sana. Selanjutnya yang terjadi adalah seperti yang sudah diceritakan Rei pada bagian sebelumnya.
Aku ingin mengakui diriku sebagai Rifanisa di hadapan Rei sejak bertemu kembali dengannya 7 tahun lalu saat masuk kuliah. Saat itu kami sedang dalam masa orientasi kampus, dan secara tidak sengaja tergabung dalam kelompok mentoring beranggotakan 10 orang. Aku mengenalinya, bahkan nyaris melompat dan memeluknya, tapi saat itu ia menganggapku orang yang belum dikenalnya. Ia memulai dengan sopan, bertanya perihal namaku, asal daerahku, dan jurusan yang kuambil. Ia menggunakan Bahasa Indonesia! Aku pun mengurungkan niatku, dan menunggunya mengenaliku.
Aku sering mengikutinya selama di kampus. Bisa dikatakan, aku seperti bayangannya. Akhir semester dua kuliah, aku mulai dekat denganya (lagi). Aku dikenalkan pada Joni, Andi, Alisia dan Alifia. Keempat orang itu kebetulan satu kosan dengan Rei, dan punya hobbi yang sama ; blogging. Kehidupan kampusku berlanjut sampai lulus, tanpa dikenali Rei sebagai Rifanisa.
Tadi sore aku ingin memberitahunya bahwa aku adalah Rifanisa. Aku sudah menyiapkan diriku, setidaknya 50 persen. Aku akan memberitahunya tanpa basa-basi. Aku ingin mengakui bahwa aku adalah teman bermainnya lima belas tahun lalu. Gadis kecil yang dulu membuat janji dengannya untuk bertemu kembali jika kami terpisah dan hidup bersama sampai tua. Namun pengakuan itu terhalang acara perusahaan yang nyaris kulupakan.
"Kenapa aku sangat ingin ia mengingatku?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku punya alasan yang jelas. Aku juga punya alasan yang bisa disebut klise.
Begini, dua bulan lalu Joni melamarku. Ia sudah membawa keluarganya pada keluargaku dan mengutarakan keinginannya. Ia melakukan lamaran itu, menurutku, secara tiba-tiba, tetapi ia menyangkalnya. Ia mengakui perasaannya padaku malam itu. Ia mengakui perasaannya tumbuh untukku sejak pertama kali Rei memperkenalkanku padanya. Berarti sudah tujuh tahun! Aku belum menjawabnya sampai hari ini. Aku merasa harus mengetahui Rei mengenaliku sebagai Rifanisa atau tidak, apa ia ingat tentang janji yang kami buat lima belas tahun yang lalu, dan bagaimana perasaannya padaku. Aku merasa masih harus memastikan semuanya. Ah, dan satu lagi, aku ingin tahu kenapa ia menghilang begitu saja setelah kelulusan.
Kurasa beberapa alasan yang kusebutkan sudah cukup. Aku tinggal mengakui segalanya, bertanya pada Rei, dan mendapatkan jawaban. Kesiapan diriku sepertinya sudah bertambah, kini 60 persen.
"Kamu benar-benar akan mengakuinya besok?" Alisia berbisik padaku sesaat sesudah kami duduk di meja kantin. Ia mulai membuka saus tomat miliknya.
Aku mengangguk sambil mengaduk bubur kacang ketan hitam milikku.
"Betulan yakin?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk sambil menuangkan santan di permukaan bubur, lalu mengaduknya.
"Yakin, yakin, yakin, yakin, yakin?" Sekali lagi ia memastikan.
Aku mulai melahap buburku, tanpa mengangguk atau berkata. Alisia akan tahu jawabanku.
"Yasudah.... semoga berhasil kalau begitu. Persiapkan juga dirimu untuk kemungkinan terburuk." Alisia mulai memakan jatah makan siangnya. Seperti biasa, ia tidak menghiraukan sapaan dari karyawan-karyawan kami.
"Tapi nih, kalo aku boleh berpendapat, kamu mendingan lupain aja bikin si Rei inget sama kamu. Soalnya ya, kamu udah dilamar, tinggal jawab, cowok yang lamar kamu udah kamu kenal baik selama tujuh tahun, pekerjaannya menjanjikan dan kerjanya bareng kamu dan yang terpenting dia sayang banget sama kamu. Kurang apalagi coba?" Ujar Alisia panjang lebar. Ia berhenti makan sejenak. Mengambil pena, merobek secarik kertas, dan menuliskan semua yang ia sebut tadi. Ia membagi dua kertas itu. Satu tertulis nama Rei, satu lagi nama Joni. Ia menyodorkan keduanya padaku.
"Kamu bayangin kalo keduanya proposal investasi, mana yang lebih menjanjikan?" Ia lanjut makan.
Aku melihat dua kertas itu. "Pasti kebanyakan orang pilih proposal yang Joni. Soalnya udah jelas. Proposal yg Rei masih tanda tanya gede, tapi yang tanda tanya gede itu biasanya penuh tantangan dan keuntungan..." aku mengetukkan jari telunjukku pada kertas Rei.
"Pikiran kamu emang kadang-kadang miring ya, Ky." Ucap Alisia seraya meremas kertas-kertas itu, lalu melanjutkan makan.
Aku tahu kalau aku menolak lamaran Joni, yang tersisa untukku hanya ketidakpastian, tapi aku tak bisa membiarkan ketidakpastian itu tetap begitu saja. Aku harus membuatnya jelas. Mengekplorasinya walaupun sedikit, mempelajarinya meski sedikit, sampai setidaknya aku akan mendapat sebuah kejelasan. Aku akan menemuinya dan mengakui segalanya besok.
Beberapa saat yang lalu aku menerima sebuah telepon dari si bodoh Rifanisa. Aku membiarkannya menaruh pesannya di mesin penjawab agar aku tidak perlu bicara pada orang yang tak kukenal. Aku akan mendengarkan pesan itu sekarang.
Si Rifanisa itu meminta maaf tidak datang pada pertemuan pertama kami. Ia mengaku menyesal karena ia yang mengajak, ia juga yang mengingkari. Ia mengutarakan keinginannya untuk bertemu sekali lagi, yaitu besok jam tiga sore di Mahendra Cafe, di depan kampus Itenas. Aku tidak mengiyakan permintaannya, tapi aku akan datang besok.
Beberapa saat setelah mendengar suaranya, aku merasa lubang gelap di dalam diriku mendapat setitik cahaya. Aku merasa suara itu akan menuntunku pada sesuatu yang telah lama kulupakan sampai membuat lubang ini terasa semakin gelap dan kosong. Aku mencoba mengingatnya. Kumulai dari nama pemilik suara itu yang sesungguhnya, lalu wajahnya, kebiasaannya, kalimat khasnya, kata kesukaannya, hobinya, apapun yang bisa kuingat! Ternyata ingatanku tentang pemilik suara itu hanya samar-samar. Namu, jauh di dalam hatiku, aku merasa dekat dengannya selama ini. Aku merasakan kehangatan.
Kehangatan dan kedekatan yang kurasakan itu ternyata mulai membuatku takut. Aku takut karena tak bisa mengingatnya dengan jelas, apalagi mengenalinya. Aku takut lubang hitam itu akan semakin menghitam. Aku takut.
Kemudian aku mendapat sebuah pemberitahuan pertemanan di Facebook. Aku membuka pemberitahuan itu, lalu mengkonfirmasinya. Si pemilik akun yang baru saja menambahkanku mengirimiku sebuah pesan basa-basi. Kuacuhkan saja. Lalu kulihat nama si Rifanisa di daftar riwayat percakapan Facebook-ku. Aku tahu apa yang bisa kulakukan!
"Halo... halo, masbro! Masbro ada dimana? Pak sekretaris nyari-nyari dari seminggu yang lalu lho, masbro! Masbro, baik-baik aja kan? Ada yang kerasa lagi apa enggak? Harusnya masbro gak ngilang begitu aja dong... masbro kan harus dirawat..." Sunarta langsung ngomong panjang lebar begitu ponselku aktif. Ia terdengar khawatir
Aku tersenyum sendiri.
"Sudah ngomongnya?" Ujarku. Isak tangis Sunarta dapat kudengar dengan jelas. Kupikir ia sangat mengkhawatirkan keadaanku. "Aku baik-baik saja, Narta. Aku di Bandung sekarang. Bisa tolong lakukan satu hal untukku?"
"Apa, masbro?"
"Aku takkan mengatakannya di telepon. Aku tahu kamu sedang melacakku lewat telepon kan? Dan si bapak sekretaris itu sedang melacakku lewat kamu. Siapkan email-mu yang biasa! Aku akan mengirimkannya sekarang."
"Oke deh. Padahal saya kepingin ngobrol dulu, masbro.." Narta terdengar kecewa, tapi ia nampaknya mengerti aku enggan ditemukan.
"Jika sudah, segera kirimkan hasilnya. Aku akan memberitahumu dimana aku berada." Ujarku sambil memutus sambungan telepon.
Waktu sampai pertemuan besok masih 18 jam.
Aku masih mengingatnya. Tawanya, teriakannya, wajahnya, bahkan aku masih menyimpan gantungan kunci pemberiannya. Ia tetap sama dengan saat terakhir kali kulihat dua tahun lalu ketika wisuda. Rambutnya gondrong, dibiarkan tergerai. Kumis dan janggutnya tidak nampak, barangkali belum lama ini dibersihkan. Ia memakai sweater coklat, celana jeans abu-abu selutut, dan sandal jepit hijau. Ia terlihat lusuh, bahkan jika dilihat sekilas, kupikir orang-orang akan mengiranya gembel, tapi ini yang benar-benar tidak berubah darinya. Aku menyukainya.
"Kamu lihat apa?" Alisia mengibaskan tangannya di depanku.
"Aku gak lihat apa-apa koq." Ujarku sambil menyedot jus tomat milikku.
"Beneran?" Sejenak, Alisia memberi tatapan yang nampak bertanya-tanya padaku, kemudian Ia mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke permukaan meja, berdiri, menoleh padaku sebentar, tersenyum dan duduk lagi.
"Aku tahu apa yang kamu lihat." Bisiknya, lalu disusul tawa pelan.
"Oke...oke...oke...! Sekarang kita berdiri dulu," Joni mengangkat gelas cola miliknya sambil mengajak yang lain. Ia kelihatan sumringah. "Semoga, user kita terus bertambah dan kinerja kita semakin baik! Selamat buat 12 juta user!" Imbuhnya penuh semangat dan gelas kami pun beradu, bersulang.
Joni sebetulnya ingin bersulang bir atau alkohol, bukannya cola, tapi karena di Indonesia, khususnya di Bandung alkohol tidak dijual secara bebas, makanya kami memutuskan untuk bersulang cola dan jus saja. Lagipula, alkohol buruk untuk tubuh dan dilarang dalam dalam islam, agamanya si kembar Alifia dan Alisia.
Ah, Donatello, perusahaan yang kudirikan bersama Andi, Joni, Alisia dan Alifia 2 tahun lalu, selepas wisuda, kini sudah mulai dewasa. Donatello bersama user-usernya yang tersebar di seluruh dunia akan bertumbuh, barangkali semakin besar, bisa juga mati. Tiada yang tahu. Hanya yang jelas, kelahiran dan pertumbuhan Donatello tidak disertai kehadiran pemilik ide yang sesungguhnya, orang yang memberikan kami mimpi ini ; Rei.
Kami berbincang-bincang santai, makan-makan juga, minum-minum, maen games juga. Kami berlima menikmati waktu ini dengan perasaan yang membuncah di dada. Ah, barangkali kecuali aku. Aku sesekali mencuri pandang ke meja nomor 44. Sekadar memastikan Rei masih di sana, apa yang ia lakukan, apa ia membawa temannya. Sekitar pukul lima sore, acara santai ini selesai.
"Bukannya itu Rei?" Joni menunjuk meja nomor 44 saat kami hendak keluar. Ia mendekati meja itu. Barangkali memastikan bahwa itu benar-benar Rei.
Setelah ia yakin itu Rei, ia melembaikan tangannya, mengajak kami ke sana. Selanjutnya yang terjadi adalah seperti yang sudah diceritakan Rei pada bagian sebelumnya.
***
Aku sering mengikutinya selama di kampus. Bisa dikatakan, aku seperti bayangannya. Akhir semester dua kuliah, aku mulai dekat denganya (lagi). Aku dikenalkan pada Joni, Andi, Alisia dan Alifia. Keempat orang itu kebetulan satu kosan dengan Rei, dan punya hobbi yang sama ; blogging. Kehidupan kampusku berlanjut sampai lulus, tanpa dikenali Rei sebagai Rifanisa.
Tadi sore aku ingin memberitahunya bahwa aku adalah Rifanisa. Aku sudah menyiapkan diriku, setidaknya 50 persen. Aku akan memberitahunya tanpa basa-basi. Aku ingin mengakui bahwa aku adalah teman bermainnya lima belas tahun lalu. Gadis kecil yang dulu membuat janji dengannya untuk bertemu kembali jika kami terpisah dan hidup bersama sampai tua. Namun pengakuan itu terhalang acara perusahaan yang nyaris kulupakan.
"Kenapa aku sangat ingin ia mengingatku?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku punya alasan yang jelas. Aku juga punya alasan yang bisa disebut klise.
Begini, dua bulan lalu Joni melamarku. Ia sudah membawa keluarganya pada keluargaku dan mengutarakan keinginannya. Ia melakukan lamaran itu, menurutku, secara tiba-tiba, tetapi ia menyangkalnya. Ia mengakui perasaannya padaku malam itu. Ia mengakui perasaannya tumbuh untukku sejak pertama kali Rei memperkenalkanku padanya. Berarti sudah tujuh tahun! Aku belum menjawabnya sampai hari ini. Aku merasa harus mengetahui Rei mengenaliku sebagai Rifanisa atau tidak, apa ia ingat tentang janji yang kami buat lima belas tahun yang lalu, dan bagaimana perasaannya padaku. Aku merasa masih harus memastikan semuanya. Ah, dan satu lagi, aku ingin tahu kenapa ia menghilang begitu saja setelah kelulusan.
Kurasa beberapa alasan yang kusebutkan sudah cukup. Aku tinggal mengakui segalanya, bertanya pada Rei, dan mendapatkan jawaban. Kesiapan diriku sepertinya sudah bertambah, kini 60 persen.
***
Aku mengangguk sambil mengaduk bubur kacang ketan hitam milikku.
"Betulan yakin?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk sambil menuangkan santan di permukaan bubur, lalu mengaduknya.
"Yakin, yakin, yakin, yakin, yakin?" Sekali lagi ia memastikan.
Aku mulai melahap buburku, tanpa mengangguk atau berkata. Alisia akan tahu jawabanku.
"Yasudah.... semoga berhasil kalau begitu. Persiapkan juga dirimu untuk kemungkinan terburuk." Alisia mulai memakan jatah makan siangnya. Seperti biasa, ia tidak menghiraukan sapaan dari karyawan-karyawan kami.
"Tapi nih, kalo aku boleh berpendapat, kamu mendingan lupain aja bikin si Rei inget sama kamu. Soalnya ya, kamu udah dilamar, tinggal jawab, cowok yang lamar kamu udah kamu kenal baik selama tujuh tahun, pekerjaannya menjanjikan dan kerjanya bareng kamu dan yang terpenting dia sayang banget sama kamu. Kurang apalagi coba?" Ujar Alisia panjang lebar. Ia berhenti makan sejenak. Mengambil pena, merobek secarik kertas, dan menuliskan semua yang ia sebut tadi. Ia membagi dua kertas itu. Satu tertulis nama Rei, satu lagi nama Joni. Ia menyodorkan keduanya padaku.
"Kamu bayangin kalo keduanya proposal investasi, mana yang lebih menjanjikan?" Ia lanjut makan.
Aku melihat dua kertas itu. "Pasti kebanyakan orang pilih proposal yang Joni. Soalnya udah jelas. Proposal yg Rei masih tanda tanya gede, tapi yang tanda tanya gede itu biasanya penuh tantangan dan keuntungan..." aku mengetukkan jari telunjukku pada kertas Rei.
"Pikiran kamu emang kadang-kadang miring ya, Ky." Ucap Alisia seraya meremas kertas-kertas itu, lalu melanjutkan makan.
Aku tahu kalau aku menolak lamaran Joni, yang tersisa untukku hanya ketidakpastian, tapi aku tak bisa membiarkan ketidakpastian itu tetap begitu saja. Aku harus membuatnya jelas. Mengekplorasinya walaupun sedikit, mempelajarinya meski sedikit, sampai setidaknya aku akan mendapat sebuah kejelasan. Aku akan menemuinya dan mengakui segalanya besok.
***
Si Rifanisa itu meminta maaf tidak datang pada pertemuan pertama kami. Ia mengaku menyesal karena ia yang mengajak, ia juga yang mengingkari. Ia mengutarakan keinginannya untuk bertemu sekali lagi, yaitu besok jam tiga sore di Mahendra Cafe, di depan kampus Itenas. Aku tidak mengiyakan permintaannya, tapi aku akan datang besok.
Beberapa saat setelah mendengar suaranya, aku merasa lubang gelap di dalam diriku mendapat setitik cahaya. Aku merasa suara itu akan menuntunku pada sesuatu yang telah lama kulupakan sampai membuat lubang ini terasa semakin gelap dan kosong. Aku mencoba mengingatnya. Kumulai dari nama pemilik suara itu yang sesungguhnya, lalu wajahnya, kebiasaannya, kalimat khasnya, kata kesukaannya, hobinya, apapun yang bisa kuingat! Ternyata ingatanku tentang pemilik suara itu hanya samar-samar. Namu, jauh di dalam hatiku, aku merasa dekat dengannya selama ini. Aku merasakan kehangatan.
Kehangatan dan kedekatan yang kurasakan itu ternyata mulai membuatku takut. Aku takut karena tak bisa mengingatnya dengan jelas, apalagi mengenalinya. Aku takut lubang hitam itu akan semakin menghitam. Aku takut.
Kemudian aku mendapat sebuah pemberitahuan pertemanan di Facebook. Aku membuka pemberitahuan itu, lalu mengkonfirmasinya. Si pemilik akun yang baru saja menambahkanku mengirimiku sebuah pesan basa-basi. Kuacuhkan saja. Lalu kulihat nama si Rifanisa di daftar riwayat percakapan Facebook-ku. Aku tahu apa yang bisa kulakukan!
"Halo... halo, masbro! Masbro ada dimana? Pak sekretaris nyari-nyari dari seminggu yang lalu lho, masbro! Masbro, baik-baik aja kan? Ada yang kerasa lagi apa enggak? Harusnya masbro gak ngilang begitu aja dong... masbro kan harus dirawat..." Sunarta langsung ngomong panjang lebar begitu ponselku aktif. Ia terdengar khawatir
Aku tersenyum sendiri.
"Sudah ngomongnya?" Ujarku. Isak tangis Sunarta dapat kudengar dengan jelas. Kupikir ia sangat mengkhawatirkan keadaanku. "Aku baik-baik saja, Narta. Aku di Bandung sekarang. Bisa tolong lakukan satu hal untukku?"
"Apa, masbro?"
"Aku takkan mengatakannya di telepon. Aku tahu kamu sedang melacakku lewat telepon kan? Dan si bapak sekretaris itu sedang melacakku lewat kamu. Siapkan email-mu yang biasa! Aku akan mengirimkannya sekarang."
"Oke deh. Padahal saya kepingin ngobrol dulu, masbro.." Narta terdengar kecewa, tapi ia nampaknya mengerti aku enggan ditemukan.
"Jika sudah, segera kirimkan hasilnya. Aku akan memberitahumu dimana aku berada." Ujarku sambil memutus sambungan telepon.
Waktu sampai pertemuan besok masih 18 jam.
bersambung...
Bagikan
Wajah : Bagian 2
4/
5
Oleh
Unknown
4 komentar
Tulis komentarpertamax nih gan!
Replythank you gan udah berkunjung :D
Replylanjutan nu ieu can aya mang?
Replyacan mang... keur proses, engke rebu insya allah terbit bagian 3 na
Reply