BAGIAN 1
"Tidak. Ini bukan
mimpi. Ini sama sekali bukan mimpi. Ini nyata. Aku bisa merasakan sakitnya
cubitan di pipiku. Ini bukan mimpi. Pokoknya ini bukan mimpi!"
Semilir angin pagi ini
berbeda. Berhembus lebih lembut dibanding kemarin. Mungkin ini wajar dalam ilmu
alam karena musim sebentar lagi akan berganti. Musim kemarau ke musim hujan,
musim gugur ke musim semi. Angin pagi ini berhembus tak hanya lembut, ia
meniupkan beberapa daun kering kekuningan bersamanya. Melintasi jalanan sepi
pagi hari kota Bogor. Berpetualang bersama sang angin, sesekali berhenti
tertiup dan diam di sudut tangga sebuah rumah, selokan, sela-sela sapu lidi,
jendela, atap rumah atau sekolah. Daun-daun itu tak pernah marah pada sang
angin yang meninggalkannya. Meski ia tak berhenti berharap sang angin akan
kembali dan membawa daun-daun yang tertinggal untuk berpetualang bersama lagi,
mungkin sedikit mengelilingin dunia sampai ia habis tak bersisa.
Daun-daun tumbuh di
pohon-pohon. Pucuk, bersemi, daun muda, kemudian pada musim gugur selanjutnya
akan berpetualang bersama sang angin karena ia sudah kekuningan. Bisa dibilang
hampir mati - kekuningan bahkan hampir coklat kering. Para daun menghabiskan
masa muda mereka bergerombol, hidup dalam satu pohon menjaga tunas-tunas baru
yang akan tumbuh. Mungkin monoton, namun mereka menikmatinya sepenuh hati.
Mereka tak pernah memimpikan petualangan masa muda. Tradisi para daun itu tak
mengajarkan untuk berkelana, mencari petualangan di usia yang sangat muda.
Tetapi mereka akan berpetualang saat mereka dicampakkan dan hampir mati.
Mungkin saja daun-daun itu msnyimpan semangat masa mudanya untuk hari ini, kala
waktu mengejar hembusan nafas mereka. Atau jangan-jangan mereka terus semangat
sepanjang usia? Bila mereka semangat sepanjang masa, kukira mereka akan
mengalahkan manusia andai dapat berbicara.
Sayangnya daun-daun itu
tak dapat berbicara sepatah katapun. Mereka bernyanyi. Nyanyian mereka akan
semakin merdu di musim kemarau. Itu adalah waktu paling nyaman untuk mengadakan
pentas. Bayangkan saja, "Summer Tour" berkeliling ke berbagai kota,
bernyanyi, mendaptkan pujian dan juga uang. Tapi para daun itu tetap setia pada
panggung orchestra si pohon. Ia mengabdi. mebalas budi si pohon. Bernyanyi
sepanjang musim panas, membiarkan setiap orang mendengarnya dengan tenang.
Jangan bertanya mengapa
aku mengagumi para daun tua itu. Aku tak tahu. Jangan pula memintaku untuk
menilai mereka secara objektif, karena sungguh aku tak rela. Mereka ibarat
sekumpulan orang jompo penuh semangat yang berjalan menuju sebuah petualangan
besar di depan mata. Mereka menantikannya. Setiap daun menantikannya dan aku
yakin itu. Aku mempercayai semangat mereka. Aku mengagumi daun-daun itu.
Mereka indah. Mereka memesona.
Mereka menawarkan sebuah kecantikan alami. Aku bisa gila bila setiap hari
mencumbu bau daun-daun itu di halaman belakang sekolah. Untungnya aku membuat
jadwal. Tidak setiap hari aku datang ke halaman belakang sekolah. Aku
mengunjungi mereka pada hari Senin, kamis dan sabtu, karena hanya pada hari-hari
itulah aku bisa mendapatkan libur dari les Bahasa Inggris yang didaftarkan
ibuku. Aku teringat aku sempat memohon pada salah seorang guru lesku, agar
mengizinkanku libur di hari sabtu. Awalnya guru itu menolak dan memaksaku untuk
tetap tinggal di tempat les hingga jam pelajaranku usai. Aku mengadu pada ibu
sepulang dari sana dan dengan sedikit memohon serta berjanji akhirnya aku
diizinkan untuk mendapat jatah libur les selama tiga hari ditambah hari minggu
jadi empat.
Hari ini aku kembali ke
halaman belakang sekolah. Tempat ini tak pernah berubah, Setidaknya sejak
pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, tempat ini masih sama sampai
sekarang. Tiga pohon Cemara berdiri di sudur halaman, satu pohon Ceri dengan
tegak menjulang berdiri di bagian tengah halaman serta dua pohon yang tak ku
kenal tumbuh di ujung halaman. Sedikit sulit untuk digambarkan, namun inilah
taman belakang sekolah, taman favoritku.
Aku selalu mendapatkan
sebuah ketenangan setiap kali berada di sini. Meski usiaku baru tiga belas tahun,
sedikitnya aku mengerti tentang ketenangan. Ketenangan adalah momen berharga
ketika seseorang tak dijahili, dianiaya, diejek, diolok-olok oleh teman-teman
di sekolahnya karena dianggap autis dan pengkhayal. Aku tak peduli dengan
sebutan-sebutan itu. Aku akan tetap dapat hidup tanpa mempedulikannya. Aku
tenang sekali. Tak ada yang mengganggu hari ini, sepertinya aku beruntung.
Terima kasih Tuhan.
Sejenak kutatap langit
hari ini. Cerah berawan. Kurasa mentaro akan menuntun petualangan daun-daun tua
itu awal musim gugur ini. Sinar si matahari menerobos celah dedaunan pohon Ceri
tanpa permisi. Aku menikmatinya. Ini sering terjadi setiap awal musim gugur.
Sensaninya selalu sama, tapi tetap memabukkan.
Kresek...kresek...kresek...
Lamunanku terhenti begitu
saja. Suara langkah kaki menginjak daun kering membangunkanku, membawaku dalam
kesiagaan. Biasanya Anton si anak jahil akan datang kemari untuk sekadar
menjahiliku yang sedang tertidur.
Aku mendudukkan bokongku.
Tidak membiarkannya bersantai lagi. Ini waktuku untuk siaga. Anton tak akan
menjahiliku jika ia mendapati aku terjaga. Aku menggenggam batu kerikil kecil,
bersiap untuk melancarkan serangan kejutan bila orang yang muncul diluar
ekspektasiku. Aku menahan nafas sejanak. Genggaman tanganku bersiap terayun.
"Hai...",
tiba-tiba seorang gadis berkulit putih berseragam sepertiku keluar dari balik
pohon Cemara. Ia tersenyum.
Aku memandanginya dengan
seksama. Takut-takut ia hantu halaman belakang yang diceritakan Anton tempo
hari.
Seolah membaca isi
pikiranku ia berkata, "Apa yang kau pegangi itu? Sepertinya aku
mengganggumu?"
Aku memandanginya tanpa
berkedip. Jantungku berdekup cepat, bahkan sangat cepat. Jarang sekali aku
seperti ini. Apa yang kurasakan? Aku ketakutan? Rasanya tidak mungkin.
"Ah. Tentu saja tidak.
Kau ingin bergabung denganku?", tanyaku pada gadis itu. Aku baru
melihatnya hari ini jadi wajar saja jika aku tak mengenalinya.
Ia tersenyum ramah. Ini
kali pertama kami bertemu dan ia sudah tersenyum padaku sebanyak dua kali.
Mengagumkan.
"Gadis ini mengagumkan
sekali", pikirku. "Ia bahkan tersenyum pada orang yang baru pertama
kali dijumpainya", imbuh pikiranku lagi.
Gadis itu berjalan
mendekat.
Aku memandanginya tak
henti. Wajahnya begitu damai, ia menikmati hari-harinya di sekolah ini. Berbeda
denganku. Aku dapat memastikan itu hanya dengan melihat wajahnya yang terus
tersenyum begitu damai.
"Kau sangat menikmati
siang harimu di sini?"
Kini gadis itu sudah duduk
di sampingku. Aku tak bergeming.
Hening.
"Apa aku
mengganggumu? Kau terlihat aneh...", ia kembali membuka pembicaraan sambil
menepuk pundakku.
"Eh? Hehe... maaf.
Kadang-kadang aku sulit bercakap-cakap dengan orang lain. Terutama dengan
seorang perempuan.."
"Kau aneh
hahaha...", gelak tawa nyaring terdengar dari kedua bibir mungilnya. Ia
tertawa sambil menepuk pundakku berkali-kali. Rasanya semakin aneh.
Aku tak berkata-kata
selama ia tertawa. Aku hanya merasa nyaman menatap tawanya.
"Kau tak perlu gugup
padaku. Tenang saja, aku takkan melukaimu. Lagi pula kita satu sekolah, dan
kulihat kau jarang sekali mengajak orang lain berbicara. Kau hanya duduk di
sini, memandangi langit sambil tiduran, bahkan tidak jarang kau tertidur pulas
di sini. Apa aku salah?". Tawanya terhenti. Ia mengusap matanya yang
berair.
Ia menoleh ke arahku. Mata
berwarna coklatnya menatapku lekat. Pupilnya membesar. Ia seperti menahan
sesuatu entah apa. Dengan jelas ia menghembuskan nafasnya yang hangat di
samping wajahku.
Aku mati langkah.
Kulirikkan mataku ke samping. Ia semakin mendekat. Pupilnya semakin membesar.
"Apa yang akan ia
lakukan? Aku mati kutu. Sial!!", hatiku menggerutu. Ingin rasanya aku
memberontak dan melesat pergi dari sini.
Tapi aku tak bisa.
"Biasakan wajahmu itu
dengan kehadiran seorang perempuan! Kulihat wajahmu itu seperti Goblin jika
sedang didekati oleh perempuan. Membayangkannya saja aku ingin tertawa
sepanjang hari hahaha...", anak perempuan itu kembali tertawa. Ia sama
sekali menghilangkan keanggunannya dengan tertawa seperti itu.
Kupikir ia lebih aneh
dariku.
"Ahh... i..itu aku
tak tahu. Aku belum pernah be-be- berbicara dengan anak perempuan lain
sebelumnya... ku-kurasa karena a-aku aneh", Aku selalu seperti ini tiap
berhadapan dengan perempuan. Selama ini hanya Ani saja anak perempuan yang
pernah berbicara denganku, karena kami bersaudara.
Tawa anak perempuan itu
semakin kencang. Ia mengusap-usap perutnya yang kesakitan. Dan tiba-tiba saja,
"PLAKK!!". Ia menamparku.
Tamparan apa ini? Kenapa
ia menamparku dengan kedua tangannya?
Ia sudah duduk tepat di
hadapanku. Kedua telapak tangannya menempel dengan betah di pipiku setelah
melancarkan tamparan tiba-tiba.
"Kau benar-benar anak
lelaki yang aneh. Kau takut padaku? Atau jangan-jangan kau ini takut pada semua
jenis perempuan, ya?", anak perempuan itu menurunkan tangannya. Tatapan
matanya masih intens seperti tadi.
Aku tak ingin menjawab
pertanyaannya. Dalam hati aku hanya berharap ini mimpi. Terlalu menyeramkan
jika nyata. Kenyataan tentang aku yang phobia pada perempuan ini terlalh
menakutkan, bagi diriku sendiri.
Aku tak ingin mengakuinya,
tapi inilah kenyataan, fakta yang menelanjangi wajah tiga belas tahunku ; aku
selalu ketakutan pada perempuan. Tak berbicara adalah salah satu bentuk
ketakutanku yang pertama. Karena hal ini pula lah Anton menyebutku aneh.
Pikiranku melayang,
sementara si anak perempuan manis itu tengah asyik menjelaskan bagaimana
seharusnya mental dan sikap seorang laki-laki jika berhadapan dengan wanita.
Seperti dia sudah dewasa saja, padahal aku yakin dia sama sekali tak mengerti
semua yang ia ucapkan. Aku hanya membiarkan pikiranku terus melayang, sambil
sesekali berdebat dengan bagian lain dalam diriku.
"Hei!!", ia
berteriak keras sekali. "Apa kau dengar apa yang kuucapkan barusan?
Seharusnya kau berterima kasih padakh atas tips-tips gratisku itu...",
imbuhnya. Nada bicara anak perempuan ini lebih tinggi dari ibu.
Aku seperti anak kecil
yang mengaku dosa di hadapan ibunya. Menyedihkan.
Beberapa menit berlalu tak
mendapatkan eespon dariku, ia bergerak mengguncang kedua pundakku, seolah aku
mainannya. Ia mengulangi lagi kalimatnya 'seharusnya aku beryerima kasih
padanya' beberapa kalu. Tenaganya luar biasa, tapi ini sungguh menyebalkan.
"Benar-benar
menyebalkan sekali. Dia pikir aku siapa? Apa dia pikir aku ini anaknya yang
bisa ia marahi seenak perutnya?", gerutu bagian lain dalam diriku
sedangkan tubuhku sama sekali tak merespon. Aku hanya memandangnya dengan
tatapan kosong.
Ia berhenti mengguncang
tubuhku. Mungkin menyerah, semoga saja.
Sepi. Sang angin berjalan
di antara wajah kami. Ia terlihat manis bila diam seperti ini. Kurasa ia lebih
manis dibanding Ani.
Aku menatapnya inten. Iris
pupil mataku fokus pada gurat di wajahnya. Ia benar-benar lebih manis dibanding
Ani.
"A-aku sepertinya
b-bermimpi...", gumamku pelan, namun cukup terdengar di telinga anak
perempuan itu.
Ia mengangkatnya wajahnya
hingga sejajar dengan wajahku, kemudian tertawa terbahak-bahak,
"Bwahahaha... hahaha...hahaha...kau lucu sekali. Mana mungkin mimpi di
siang hari. Kau ini aneh atau lucu sih sebenarnya? bwahahaha...".
"Sial! Apa yang kau
lakukan? Dasar bodoh! Mengatakan hal memalukan itu di hadapannya...",
gerutu bagian lain dalam tubuhku. Ia sering memberi saran tapi
mempraktekkannya.
Anak perempuan itu ringan
tangan saat tertawa. Buktinya ia kembalj menepuk pundakku berkali-kali saat
tertawa. Kedua tangannya mengguncang tubuhku sembari ia terus tertawa
terbahak-bahak beberapa menit lamanya. Taman ini tak lagi sepi dengan
kehadirannya.
Aku memberikannya seulas
senyum saat ia tertawa. Lalu kembali ku tarik saat pemilik tawa mulai menatapku
serius.
"Tenang saja, ini
bukan dunia mimpi. Ini nyata. Sini biar ku cubit", tanpa aba-aba dariku,
dia langsung mencubit kedua pipiku begitu keras.
"Eh? Awwww!!!".
Spontan aku melepaskan tangannya dari wajahku. Aku mundur beberapa langkah
darinya sambil terus mengusap pipiku yang memerah.
"Tidak. Ini bukan
mimpi. Ini sama sekali bukan mimpi. Ini nyata. Aku bisa merasakan sakitnya
cubitan di pipiku. Ini bukan mimpi. Pokoknya ini bukan mimpi!", gumamku
pelan. Aku tak peduli ia menatpaku seperti apa saat ini. Langit, angin dan
dedaunan tua sahabatku itu pun mendukungku.
"Sudah kubilang ini
bukan mimpi. Kau masih tidak percaya padaku, ya?"
"Bukan begitu
maksudku. Maksudku...maksudku...maksudku aku merasa ini seperti khayalan. Aku
yang disebut si anak aneh sedang berbixara dengan seorang anak perempuan. Ini
sungguh aneh... ma-maafkan aku!"
"Namaku Lingga Hana
Lofty. Kau bisa memanggilku Lingga. Salam kenal"
Ia mengabaikan ucapan
bertele-tele dariku barusan dan sibuk memperkenalkan dirinya sendiri. Ia mengulurkan tangannya, bermaksud menjabat
tanganku.
Cepat-cepat ku ulurkan
tanganku, menyambut jabat tangan yang disodorkan oleh anak perempuan bernama
Lingga ini. Ia tersenyum manis seperti pertama muncul dari balik pohon Cemara.
Rasanya aku seperti deja vu dengan senyuman itu.
Tiba-tiba aku teringat
wajah ibu tengah tersenyum. Mereka punya lesung pipit kembar di pipi, lalu bola
mata itu berwarna sama. Ia mengingatkanku pada ibu. Wajah kami bertemu kembali.
Pikiranku menjadi rumit seketika, membandingkan wajah Lingga dengan wajah
ibuku.
Secara tidak langsung aku
telah mengabaikan ajakan perkenalan anak perempuan ini karena terlalu asyik
memperhatikan wajahnya.
"Ehemm! Bolehkah aku
mengetahui siapa namamu?", ujar Lingga tiba-tiba.
Membuat fondasi-fondasi
khayalanku runtuh seketika.
"Eh..ah... Na-namaku
Aruna Wijaya. Aku dilahirkan sesaat sebelum adzan subuh dan aku adalah anak
sulung dari tiga bersaudara. Salam kenal!", Aku Aruna yang grogi terhadap
anak perempuan bernama Lingga ini.
"Ehmmmm...ehmm...
wahahaha.... kau lucu sekali! hahaha..."
Aku heran kenapa ia doyan
sekalu tertawa. Sebenarnya apa yang lucu dariku? Anton selalu memanggilku ANEH,
tapi gadis ini sebaliknya.
"Tak perlu
dipikirkan. Aku memang sering tertawa. Tenang saja, aku menyukai perkenalan
kita. Aku yakin pasti aku akan selalu mengingatnya.", Lingga merapikan
posisi duduknya lalu kembali berkata, "sekarang giliranku. Namaku Lingga
Purnamasari. Aku dilahirkan di rumah sakit tengah malam, begitulah kata ibuku.
Aku putri bungsu dari dua bersaudara dan aku baru satu bulan bersekolah di
sini. Aku satu keelas dengan Ani. Salam kenal!"
Ia tersenyum ramah. Senyum
itu, mirip sekali dengan senyum ibu.
"Ah ya. Semoga kita
dapat berteman baik, ya". Aku membalas senyum ramah Itu sebagaimana
mestinya. Aku tak ingin membuatnya kecewa. Bagaimana pun ini bukanlah mimpi. Kejadian ini takkan
terulang dua kali.
"Ya! Aku yakin kita
dapat berteman baik!", seru Lingga seraya mengangguk-anggukan kepalanya,
mengamini harapanku.
"Hei diriku yang
lain! Rasanya ini akan menjadi kisah yang berbeda, bukankah kau juga berpikir
demikian?", aku berkata pada sisi lain diriku itu. Dalam hati aku tak
henti-hentinya tersenyum membayangkan apa yang baru saja terjadi.
Lingga mengalihkan
pandangannya dariku. Ia menatap langit. Beruntung langit siang ini cerah, ia
menampakkan keanggunannya begutu saja. Lingga terlihat tenang sekali ketika
menatap langit, kedua matanya berubah sayu, kemudian ia membaringkan tubuhnya
di tanah. Tidak mempedulikan pakaiannya yang akan kotor. Tanah yang kami duduki
saat ini sudah dilapisi rerumputan pendek, sehingga lebih rapi untuk dipandang.
"Awan-awan itu selalu
arak-arakan setiap hari. Bersama-sama kemanapun. Apa kau pernah berpikir
manusia pun akan mampu menyamai mereka?", ujar Lingga tiba-tiba. Ia
melipat kedua tangannya di belakang kepala, menjadikannya sebagai bantalan
tidur.
"Apa maksudmu? Aku
tidak mengerti apa yang kau bicarakan..."
"Sulit sekali
berbicara hal serius dengan anak selucu kamu. Bicara dengan anak perempuan saja
sudah kau anggap sebagai mimpi, apalagi membicarakan hal seperti ini...",
Lingga tetap menatap langit. Salah satu tangannya memainkan ujung rambutnya
yang tergerai bebas di rerumputan.
"Aku jadi heran,
sebenarnya apa yang membuatmu.....", imbuhnya, namun terhenti ketika
muncul arak-arakan awan yang serupa dengan kepala kambing. Ia mrngarahkan jari
telunjuknya ke langit.
Kami di kaki langit hanya
akan melihat arak-arakan awan saja, tanpa bisa menyentuh apalagi memeluknya.
"Lihat! Awan itu
mirip sekali dengan kepala kambing 'kan?", serunya dengan semangat.
Telunjuk tangan kanannya tetap terarah pada awan kepala kambing itu.
"Yang itu lebih
mi-mirip da-daun..", aku menimpali ucapan Lingga.
Ia menolehkan kepalanya ke
arahku. Kini ia duduk dengan sempurna.
"Apanya yang mirip
daun, hah? Sudah jelas mirip kambing. Aku menyukai awan-awan itu. Bagiku mereka
lebih jujur terhadap keadaan. Bila mereka ceria, mereka akan putih dan langit
cerah. Bila mereka murung, warna kelabu akan menyelimuti mereka lalu langit
menangis"
"Hu-hujan bukan
artinya langit sedang menangis. Tapi memang ge-gejala alam ya-yang normal,
kok"
"Terserah perutmu
saja!"
Aku tak melontarkan kata
apapun setelahnya., bahkan sekadar untuk menimpali ucapannya barusan pun tidak.
Aku tak ingin ambil pusing dengan hal itu, lagipula diriku yang lain itu sudah
mengamini tindakanku. Aku diam saja.
Lingga asyik memainkan
ujung-ujung rambutnya sambil memiringkan badannya, memunggungi wajahku.
Sayup-sayup terdengar kudengar ia bernyanyi. Lagunya asing, kata dalam liriknya
sangat asing di telingaku padahal aku cukup sering mendengarkan lagu dengan
berbagai bahasa. Tapi bahasa yang dilantunkan Lingga baru pertama kali
kudengar. Aku tak ingin berkomentar. Tentang awan saja ia sudah kubuat marah,
apalagi tentang nyanyian ini. Aku hanya takut ia menyangka aku menghina
suaranya, meskipun memang nyanyian yang ia lantunkan terdengar menyakitkan
dengan suaranya.
Cukup lama Lingga
bernyanyi. Mungkin cukup dua atau tiga lagu dalam bahasa yang ku kenal. Tapi
rasanya aneh dengan Lingga, ia tak kunjung berhenti menyanyikan lagu itu sejak
tadi. Lagi-lagi aku tak berani berkomentar, takut-takut akan membuat hatinya
hancur berkeping-keping karena komentarku. Aku membiarkan Lingga menyanyikan
lagu anehnya itu dengan asumsi ia sangat menyukai lagu ini dan lagu ini sangat
berarti baginya.
Percakapan kami sudah
terhenti sekitar dua jam. Selama itu aku asyik merangkai daun-daun tua di atas
rumput, membentuknya menjadi inisial namaku dan Lingga. Huruf A dan L
berdampingan, seperti aku dan dirinya saat ini. Sejak dua jam lalu pula Lingga
tak henti melantunkan untaian-untaian kata dalam lirik lagunya yang aneh di
telingaku. Ia menikmati nyanyiannya -aku memastikannya. Ia menutup kedua
matanya, semakin menandakan kenikmatan dalam setiap nada yang ia nyanyikan.
Selama dua jam ini suaranya semakin halus, semakin enak didengarkan. Aku tak
mampu menyangkalnya.
Matahari semakin
memperlihatkan kecantikan dan keangkuhannya di peraduan barat. Ia dengan
cantiknya merubah warna langit, biru menjadi orange, orange kemudian menjadi
hitam kelam. Ia angkuh ; menenggelamkan dirinya sendiri di ujung barat meski
banyak mata ingin tetap menyaksikan kecantikannya. Ujung barat selalu kuketahui
letaknya berkat bantuan matahari, ia menunjukkan kemana ia akan pergi seperti
saat ini. Sudah sore rupanya.
"Sebaiknya aku
pulang...", Lingga berdiri lalu merapikan roknya.
Dia benar, ini sudah sore,
ayah pasti mencariku bila langit sudah gelap aku belum pulang jua.
Lingga kembali duduk di
dekatku. Merapikan tas miliknya yang isinya sudah berhamburan keluar. Kami
tetap tak bicara, hanya membisu bersama angin yang semakin kencang berhembus.
"Kau tidak pulang,
Aruna? Apa ibumu takkan mencarimu?", Lingga akhirnya membuka pembicaraan.
Aku merasa ia adalah anak
perempuan penuh inisiatif, setidaknya di mataku.
"Ah...emmm... tidak,
kok. Aku memang selalu pulang sore ke rumah. Biasanya aku pergi ke tempat les,
tapi hari ini aku libur dan memilih diam di sini sampai sore. Ayahku pasti
belum pulang ke rumah..."
"Begitu rupanya.
Baiklah, aku pulang dulu, ya", ujar Lingga. Ia baru saja selesai merapikan
tasnya.
"Mau pulang
bersamaku?", lanjutnya seraya berdiri, lalu mengulurkan tangan.
"A-Aku...
a-aku...a-aku...", seperti biasa, aku gugup.
"Bagaimana? Jangan
gugup begitu hanya karena aku perempuan"
"Ba-baiklah. Tunggu
aku di gerbang sekolah, ya?"
"Ok". Ia
tersenyum lalu beranjak meninggalkanku.
Senyum itu. Siapa
pemiliknya selain Lingga?
Aku melihat ia menghilang
setelah berbelok. Sejenak kuhempaskan punggungku ke rerumputan ini, berusaha
menghirup baunya yang khas, merasakan belaiannya, serta diam membiarkan angin
menerjang tubuhku yang kecil. Taman atau bisa juga disebut halaman belakang
sekolah ini selalu menghadirkan sensasi yang sama di sore hari dan aku selalu
menyukainya. Mungkin aku akan semakin menyukainya bila Lingga selalu menemaniku
di sini.
Matahari sudah hampir
tenggelam saat aku dan Lingga beranjak dari gerbang sekolah. Ia sempat
menggerutu dan menceramahiku karena terlalu lama memberesken isi tasku yang
berserakan. Aku jadi ingin tertawa mengingatnya, aku terlalu lama karena
tiduran dahulu di rumput itu, tapi aku tak mengatakannya. Tentu aku tak ingin
ceramah Lingga semakin panjang berkat kejujuranku. Sebelum pergi, kami menyapa
Kang Danang, penjaga sekolah kami, sekadar mengucapkan selamat sore dan ucapan
terima kasih karena sudah membiarkan kami berlama-lama di halaman belakang
sekolah. Aku menyukai kang Danang, ia begitu baik dan pengertian. Sepintas ia
seperti sosok kakak yang selalu kuinginkan.
Kami berjalan
berdampingan. Lingga tak pernah berhenti berbicara, ia membahas kegugupanku
pada perempuan, kang Danang yang akan segera menikah, rumahnya yang masih
berdebu dan hal-hal kecil tak penting lainnya yang menurutku tak perlu
dibicarakan. Tapi, inilah Lingga, ia mudah berganti mood dalam waktu yang
singkat. Sedetik ia irit bicara, detik berikutnya akan berubah menjadi kereta
api ekspres yang tak bisa berhenti, sedetik marah, sedetik kemudian lembut
seperti kapas, sedetik tomboy, sedetik kemudian jadi anak manis. Beberapa jam
bersamanya membuatku tahu semua itu.
Akhirnya kami tiba di
persimpangan jalan yang memisahkan tujuan kami. Ia berhenti melangkah, lalu
menoleh ke arahku dan berkata, "Ini persis seperti arak-arakan awan itu.
Kita tidak bersama, di sini lah kita berpisah."
Ia terlihat berpikir.
Mungkin mencari kata yang tepat.
"Oke, kalau begitu
sampai besok. Ingat! Jangan pernah gugup lagi di hadapanku?", serunya
seraya berlari mengejar angkutan umum.
Ia urung menaiki angkutan
umum itu. Sejenak ia mengibaskan telapak tangannya -memberi tanda pada sopir
angkutan umum itu bahwa ia tidak jadi naik. Kemudian menoleh ke arahku.
"Hei Aruna! Tadi itu
bukan mimpi! ingat itu, ya!”. Lingga berteriak dengan kencang. Memastikan aku
menerima pesannya.
Aku melambaikan tangan,
lalu mengangguk. Dalam hati aku masih tidak mempercayai kejadian hari ini ; aku
berbicara dengan anak perempuan. Aku menganggukan kepalaku beberapa kali,
memberinya tanda aku mengerti.
Lingga tersenyum, lalu
membalikkan badannya dan pergi. Hari ini matahari sudah tenggelam dan Lingga
pulang dengan berjalan kaki.
“Senyum itu? Apa itu
senyum ibu?”, tanyaku. Ia memiliki senyum yang sama seperti ibu.
Bagikan
Lingga
4/
5
Oleh
Unknown