Selasa, 04 April 2017

Lingga


BAGIAN 1
"Tidak. Ini bukan mimpi. Ini sama sekali bukan mimpi. Ini nyata. Aku bisa merasakan sakitnya cubitan di pipiku. Ini bukan mimpi. Pokoknya ini bukan mimpi!"
Semilir angin pagi ini berbeda. Berhembus lebih lembut dibanding kemarin. Mungkin ini wajar dalam ilmu alam karena musim sebentar lagi akan berganti. Musim kemarau ke musim hujan, musim gugur ke musim semi. Angin pagi ini berhembus tak hanya lembut, ia meniupkan beberapa daun kering kekuningan bersamanya. Melintasi jalanan sepi pagi hari kota Bogor. Berpetualang bersama sang angin, sesekali berhenti tertiup dan diam di sudut tangga sebuah rumah, selokan, sela-sela sapu lidi, jendela, atap rumah atau sekolah. Daun-daun itu tak pernah marah pada sang angin yang meninggalkannya. Meski ia tak berhenti berharap sang angin akan kembali dan membawa daun-daun yang tertinggal untuk berpetualang bersama lagi, mungkin sedikit mengelilingin dunia sampai ia habis tak bersisa.
Daun-daun tumbuh di pohon-pohon. Pucuk, bersemi, daun muda, kemudian pada musim gugur selanjutnya akan berpetualang bersama sang angin karena ia sudah kekuningan. Bisa dibilang hampir mati - kekuningan bahkan hampir coklat kering. Para daun menghabiskan masa muda mereka bergerombol, hidup dalam satu pohon menjaga tunas-tunas baru yang akan tumbuh. Mungkin monoton, namun mereka menikmatinya sepenuh hati. Mereka tak pernah memimpikan petualangan masa muda. Tradisi para daun itu tak mengajarkan untuk berkelana, mencari petualangan di usia yang sangat muda. Tetapi mereka akan berpetualang saat mereka dicampakkan dan hampir mati. Mungkin saja daun-daun itu msnyimpan semangat masa mudanya untuk hari ini, kala waktu mengejar hembusan nafas mereka. Atau jangan-jangan mereka terus semangat sepanjang usia? Bila mereka semangat sepanjang masa, kukira mereka akan mengalahkan manusia andai dapat berbicara.
Sayangnya daun-daun itu tak dapat berbicara sepatah katapun. Mereka bernyanyi. Nyanyian mereka akan semakin merdu di musim kemarau. Itu adalah waktu paling nyaman untuk mengadakan pentas. Bayangkan saja, "Summer Tour" berkeliling ke berbagai kota, bernyanyi, mendaptkan pujian dan juga uang. Tapi para daun itu tetap setia pada panggung orchestra si pohon. Ia mengabdi. mebalas budi si pohon. Bernyanyi sepanjang musim panas, membiarkan setiap orang mendengarnya dengan tenang.
Jangan bertanya mengapa aku mengagumi para daun tua itu. Aku tak tahu. Jangan pula memintaku untuk menilai mereka secara objektif, karena sungguh aku tak rela. Mereka ibarat sekumpulan orang jompo penuh semangat yang berjalan menuju sebuah petualangan besar di depan mata. Mereka menantikannya. Setiap daun menantikannya dan aku yakin itu. Aku mempercayai semangat mereka. Aku mengagumi daun-daun itu.
Mereka indah. Mereka memesona. Mereka menawarkan sebuah kecantikan alami. Aku bisa gila bila setiap hari mencumbu bau daun-daun itu di halaman belakang sekolah. Untungnya aku membuat jadwal. Tidak setiap hari aku datang ke halaman belakang sekolah. Aku mengunjungi mereka pada hari Senin, kamis dan sabtu, karena hanya pada hari-hari itulah aku bisa mendapatkan libur dari les Bahasa Inggris yang didaftarkan ibuku. Aku teringat aku sempat memohon pada salah seorang guru lesku, agar mengizinkanku libur di hari sabtu. Awalnya guru itu menolak dan memaksaku untuk tetap tinggal di tempat les hingga jam pelajaranku usai. Aku mengadu pada ibu sepulang dari sana dan dengan sedikit memohon serta berjanji akhirnya aku diizinkan untuk mendapat jatah libur les selama tiga hari ditambah hari minggu jadi empat.
Hari ini aku kembali ke halaman belakang sekolah. Tempat ini tak pernah berubah, Setidaknya sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, tempat ini masih sama sampai sekarang. Tiga pohon Cemara berdiri di sudur halaman, satu pohon Ceri dengan tegak menjulang berdiri di bagian tengah halaman serta dua pohon yang tak ku kenal tumbuh di ujung halaman. Sedikit sulit untuk digambarkan, namun inilah taman belakang sekolah, taman favoritku.
Aku selalu mendapatkan sebuah ketenangan setiap kali berada di sini. Meski usiaku baru tiga belas tahun, sedikitnya aku mengerti tentang ketenangan. Ketenangan adalah momen berharga ketika seseorang tak dijahili, dianiaya, diejek, diolok-olok oleh teman-teman di sekolahnya karena dianggap autis dan pengkhayal. Aku tak peduli dengan sebutan-sebutan itu. Aku akan tetap dapat hidup tanpa mempedulikannya. Aku tenang sekali. Tak ada yang mengganggu hari ini, sepertinya aku beruntung. Terima kasih Tuhan.
Sejenak kutatap langit hari ini. Cerah berawan. Kurasa mentaro akan menuntun petualangan daun-daun tua itu awal musim gugur ini. Sinar si matahari menerobos celah dedaunan pohon Ceri tanpa permisi. Aku menikmatinya. Ini sering terjadi setiap awal musim gugur. Sensaninya selalu sama, tapi tetap memabukkan.
Kresek...kresek...kresek...
Lamunanku terhenti begitu saja. Suara langkah kaki menginjak daun kering membangunkanku, membawaku dalam kesiagaan. Biasanya Anton si anak jahil akan datang kemari untuk sekadar menjahiliku yang sedang tertidur.
Aku mendudukkan bokongku. Tidak membiarkannya bersantai lagi. Ini waktuku untuk siaga. Anton tak akan menjahiliku jika ia mendapati aku terjaga. Aku menggenggam batu kerikil kecil, bersiap untuk melancarkan serangan kejutan bila orang yang muncul diluar ekspektasiku. Aku menahan nafas sejanak. Genggaman tanganku bersiap terayun.
"Hai...", tiba-tiba seorang gadis berkulit putih berseragam sepertiku keluar dari balik pohon Cemara. Ia tersenyum.
Aku memandanginya dengan seksama. Takut-takut ia hantu halaman belakang yang diceritakan Anton tempo hari.
Seolah membaca isi pikiranku ia berkata, "Apa yang kau pegangi itu? Sepertinya aku mengganggumu?"
Aku memandanginya tanpa berkedip. Jantungku berdekup cepat, bahkan sangat cepat. Jarang sekali aku seperti ini. Apa yang kurasakan? Aku ketakutan? Rasanya tidak mungkin.
"Ah. Tentu saja tidak. Kau ingin bergabung denganku?", tanyaku pada gadis itu. Aku baru melihatnya hari ini jadi wajar saja jika aku tak mengenalinya.
Ia tersenyum ramah. Ini kali pertama kami bertemu dan ia sudah tersenyum padaku sebanyak dua kali. Mengagumkan.
"Gadis ini mengagumkan sekali", pikirku. "Ia bahkan tersenyum pada orang yang baru pertama kali dijumpainya", imbuh pikiranku lagi.
Gadis itu berjalan mendekat.
Aku memandanginya tak henti. Wajahnya begitu damai, ia menikmati hari-harinya di sekolah ini. Berbeda denganku. Aku dapat memastikan itu hanya dengan melihat wajahnya yang terus tersenyum begitu damai.
"Kau sangat menikmati siang harimu di sini?"
Kini gadis itu sudah duduk di sampingku. Aku tak bergeming.
Hening.
"Apa aku mengganggumu? Kau terlihat aneh...", ia kembali membuka pembicaraan sambil menepuk pundakku.
"Eh? Hehe... maaf. Kadang-kadang aku sulit bercakap-cakap dengan orang lain. Terutama dengan seorang perempuan.."
"Kau aneh hahaha...", gelak tawa nyaring terdengar dari kedua bibir mungilnya. Ia tertawa sambil menepuk pundakku berkali-kali. Rasanya semakin aneh.
Aku tak berkata-kata selama ia tertawa. Aku hanya merasa nyaman menatap tawanya.
"Kau tak perlu gugup padaku. Tenang saja, aku takkan melukaimu. Lagi pula kita satu sekolah, dan kulihat kau jarang sekali mengajak orang lain berbicara. Kau hanya duduk di sini, memandangi langit sambil tiduran, bahkan tidak jarang kau tertidur pulas di sini. Apa aku salah?". Tawanya terhenti. Ia mengusap matanya yang berair.
Ia menoleh ke arahku. Mata berwarna coklatnya menatapku lekat. Pupilnya membesar. Ia seperti menahan sesuatu entah apa. Dengan jelas ia menghembuskan nafasnya yang hangat di samping wajahku.
Aku mati langkah. Kulirikkan mataku ke samping. Ia semakin mendekat. Pupilnya semakin membesar.
"Apa yang akan ia lakukan? Aku mati kutu. Sial!!", hatiku menggerutu. Ingin rasanya aku memberontak dan melesat pergi dari sini.
Tapi aku tak bisa.
"Biasakan wajahmu itu dengan kehadiran seorang perempuan! Kulihat wajahmu itu seperti Goblin jika sedang didekati oleh perempuan. Membayangkannya saja aku ingin tertawa sepanjang hari hahaha...", anak perempuan itu kembali tertawa. Ia sama sekali menghilangkan keanggunannya dengan tertawa seperti itu.
Kupikir ia lebih aneh dariku.
"Ahh... i..itu aku tak tahu. Aku belum pernah be-be- berbicara dengan anak perempuan lain sebelumnya... ku-kurasa karena a-aku aneh", Aku selalu seperti ini tiap berhadapan dengan perempuan. Selama ini hanya Ani saja anak perempuan yang pernah berbicara denganku, karena kami bersaudara.
Tawa anak perempuan itu semakin kencang. Ia mengusap-usap perutnya yang kesakitan. Dan tiba-tiba saja, "PLAKK!!". Ia menamparku.
Tamparan apa ini? Kenapa ia menamparku dengan kedua tangannya?
Ia sudah duduk tepat di hadapanku. Kedua telapak tangannya menempel dengan betah di pipiku setelah melancarkan tamparan tiba-tiba.
"Kau benar-benar anak lelaki yang aneh. Kau takut padaku? Atau jangan-jangan kau ini takut pada semua jenis perempuan, ya?", anak perempuan itu menurunkan tangannya. Tatapan matanya masih intens seperti tadi.
Aku tak ingin menjawab pertanyaannya. Dalam hati aku hanya berharap ini mimpi. Terlalu menyeramkan jika nyata. Kenyataan tentang aku yang phobia pada perempuan ini terlalh menakutkan, bagi diriku sendiri.
Aku tak ingin mengakuinya, tapi inilah kenyataan, fakta yang menelanjangi wajah tiga belas tahunku ; aku selalu ketakutan pada perempuan. Tak berbicara adalah salah satu bentuk ketakutanku yang pertama. Karena hal ini pula lah Anton menyebutku aneh.
Pikiranku melayang, sementara si anak perempuan manis itu tengah asyik menjelaskan bagaimana seharusnya mental dan sikap seorang laki-laki jika berhadapan dengan wanita. Seperti dia sudah dewasa saja, padahal aku yakin dia sama sekali tak mengerti semua yang ia ucapkan. Aku hanya membiarkan pikiranku terus melayang, sambil sesekali berdebat dengan bagian lain dalam diriku.
"Hei!!", ia berteriak keras sekali. "Apa kau dengar apa yang kuucapkan barusan? Seharusnya kau berterima kasih padakh atas tips-tips gratisku itu...", imbuhnya. Nada bicara anak perempuan ini lebih tinggi dari ibu.
Aku seperti anak kecil yang mengaku dosa di hadapan ibunya. Menyedihkan.
Beberapa menit berlalu tak mendapatkan eespon dariku, ia bergerak mengguncang kedua pundakku, seolah aku mainannya. Ia mengulangi lagi kalimatnya 'seharusnya aku beryerima kasih padanya' beberapa kalu. Tenaganya luar biasa, tapi ini sungguh menyebalkan.
"Benar-benar menyebalkan sekali. Dia pikir aku siapa? Apa dia pikir aku ini anaknya yang bisa ia marahi seenak perutnya?", gerutu bagian lain dalam diriku sedangkan tubuhku sama sekali tak merespon. Aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong.
Ia berhenti mengguncang tubuhku. Mungkin menyerah, semoga saja.
Sepi. Sang angin berjalan di antara wajah kami. Ia terlihat manis bila diam seperti ini. Kurasa ia lebih manis dibanding Ani.
Aku menatapnya inten. Iris pupil mataku fokus pada gurat di wajahnya. Ia benar-benar lebih manis dibanding Ani.
"A-aku sepertinya b-bermimpi...", gumamku pelan, namun cukup terdengar di telinga anak perempuan itu.
Ia mengangkatnya wajahnya hingga sejajar dengan wajahku, kemudian tertawa terbahak-bahak, "Bwahahaha... hahaha...hahaha...kau lucu sekali. Mana mungkin mimpi di siang hari. Kau ini aneh atau lucu sih sebenarnya? bwahahaha...".
"Sial! Apa yang kau lakukan? Dasar bodoh! Mengatakan hal memalukan itu di hadapannya...", gerutu bagian lain dalam tubuhku. Ia sering memberi saran tapi mempraktekkannya.
Anak perempuan itu ringan tangan saat tertawa. Buktinya ia kembalj menepuk pundakku berkali-kali saat tertawa. Kedua tangannya mengguncang tubuhku sembari ia terus tertawa terbahak-bahak beberapa menit lamanya. Taman ini tak lagi sepi dengan kehadirannya.
Aku memberikannya seulas senyum saat ia tertawa. Lalu kembali ku tarik saat pemilik tawa mulai menatapku serius.
"Tenang saja, ini bukan dunia mimpi. Ini nyata. Sini biar ku cubit", tanpa aba-aba dariku, dia langsung mencubit kedua pipiku begitu keras.
"Eh? Awwww!!!". Spontan aku melepaskan tangannya dari wajahku. Aku mundur beberapa langkah darinya sambil terus mengusap pipiku yang memerah.
"Tidak. Ini bukan mimpi. Ini sama sekali bukan mimpi. Ini nyata. Aku bisa merasakan sakitnya cubitan di pipiku. Ini bukan mimpi. Pokoknya ini bukan mimpi!", gumamku pelan. Aku tak peduli ia menatpaku seperti apa saat ini. Langit, angin dan dedaunan tua sahabatku itu pun mendukungku.
"Sudah kubilang ini bukan mimpi. Kau masih tidak percaya padaku, ya?"
"Bukan begitu maksudku. Maksudku...maksudku...maksudku aku merasa ini seperti khayalan. Aku yang disebut si anak aneh sedang berbixara dengan seorang anak perempuan. Ini sungguh aneh... ma-maafkan aku!"
"Namaku Lingga Hana Lofty. Kau bisa memanggilku Lingga. Salam kenal"
Ia mengabaikan ucapan bertele-tele dariku barusan dan sibuk memperkenalkan dirinya sendiri.  Ia mengulurkan tangannya, bermaksud menjabat tanganku.
Cepat-cepat ku ulurkan tanganku, menyambut jabat tangan yang disodorkan oleh anak perempuan bernama Lingga ini. Ia tersenyum manis seperti pertama muncul dari balik pohon Cemara. Rasanya aku seperti deja vu dengan senyuman itu.
Tiba-tiba aku teringat wajah ibu tengah tersenyum. Mereka punya lesung pipit kembar di pipi, lalu bola mata itu berwarna sama. Ia mengingatkanku pada ibu. Wajah kami bertemu kembali. Pikiranku menjadi rumit seketika, membandingkan wajah Lingga dengan wajah ibuku.
Secara tidak langsung aku telah mengabaikan ajakan perkenalan anak perempuan ini karena terlalu asyik memperhatikan wajahnya.
"Ehemm! Bolehkah aku mengetahui siapa namamu?", ujar Lingga tiba-tiba.
Membuat fondasi-fondasi khayalanku runtuh seketika.
"Eh..ah... Na-namaku Aruna Wijaya. Aku dilahirkan sesaat sebelum adzan subuh dan aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Salam kenal!", Aku Aruna yang grogi terhadap anak perempuan bernama Lingga ini.
"Ehmmmm...ehmm... wahahaha.... kau lucu sekali! hahaha..."
Aku heran kenapa ia doyan sekalu tertawa. Sebenarnya apa yang lucu dariku? Anton selalu memanggilku ANEH, tapi gadis ini sebaliknya.
"Tak perlu dipikirkan. Aku memang sering tertawa. Tenang saja, aku menyukai perkenalan kita. Aku yakin pasti aku akan selalu mengingatnya.", Lingga merapikan posisi duduknya lalu kembali berkata, "sekarang giliranku. Namaku Lingga Purnamasari. Aku dilahirkan di rumah sakit tengah malam, begitulah kata ibuku. Aku putri bungsu dari dua bersaudara dan aku baru satu bulan bersekolah di sini. Aku satu keelas dengan Ani. Salam kenal!"
Ia tersenyum ramah. Senyum itu, mirip sekali dengan senyum ibu.
"Ah ya. Semoga kita dapat berteman baik, ya". Aku membalas senyum ramah Itu sebagaimana mestinya. Aku tak ingin membuatnya kecewa. Bagaimana  pun ini bukanlah mimpi. Kejadian ini takkan terulang dua kali.
"Ya! Aku yakin kita dapat berteman baik!", seru Lingga seraya mengangguk-anggukan kepalanya, mengamini harapanku.
"Hei diriku yang lain! Rasanya ini akan menjadi kisah yang berbeda, bukankah kau juga berpikir demikian?", aku berkata pada sisi lain diriku itu. Dalam hati aku tak henti-hentinya tersenyum membayangkan apa yang baru saja terjadi.
Lingga mengalihkan pandangannya dariku. Ia menatap langit. Beruntung langit siang ini cerah, ia menampakkan keanggunannya begutu saja. Lingga terlihat tenang sekali ketika menatap langit, kedua matanya berubah sayu, kemudian ia membaringkan tubuhnya di tanah. Tidak mempedulikan pakaiannya yang akan kotor. Tanah yang kami duduki saat ini sudah dilapisi rerumputan pendek, sehingga lebih rapi untuk dipandang.
"Awan-awan itu selalu arak-arakan setiap hari. Bersama-sama kemanapun. Apa kau pernah berpikir manusia pun akan mampu menyamai mereka?", ujar Lingga tiba-tiba. Ia melipat kedua tangannya di belakang kepala, menjadikannya sebagai bantalan tidur.
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan..."
"Sulit sekali berbicara hal serius dengan anak selucu kamu. Bicara dengan anak perempuan saja sudah kau anggap sebagai mimpi, apalagi membicarakan hal seperti ini...", Lingga tetap menatap langit. Salah satu tangannya memainkan ujung rambutnya yang tergerai bebas di rerumputan.
"Aku jadi heran, sebenarnya apa yang membuatmu.....", imbuhnya, namun terhenti ketika muncul arak-arakan awan yang serupa dengan kepala kambing. Ia mrngarahkan jari telunjuknya ke langit.
Kami di kaki langit hanya akan melihat arak-arakan awan saja, tanpa bisa menyentuh apalagi memeluknya.
"Lihat! Awan itu mirip sekali dengan kepala kambing 'kan?", serunya dengan semangat. Telunjuk tangan kanannya tetap terarah pada awan kepala kambing itu.
"Yang itu lebih mi-mirip da-daun..", aku menimpali ucapan Lingga.
Ia menolehkan kepalanya ke arahku. Kini ia duduk dengan sempurna.
"Apanya yang mirip daun, hah? Sudah jelas mirip kambing. Aku menyukai awan-awan itu. Bagiku mereka lebih jujur terhadap keadaan. Bila mereka ceria, mereka akan putih dan langit cerah. Bila mereka murung, warna kelabu akan menyelimuti mereka lalu langit menangis"
"Hu-hujan bukan artinya langit sedang menangis. Tapi memang ge-gejala alam ya-yang normal, kok"
"Terserah perutmu saja!"
Aku tak melontarkan kata apapun setelahnya., bahkan sekadar untuk menimpali ucapannya barusan pun tidak. Aku tak ingin ambil pusing dengan hal itu, lagipula diriku yang lain itu sudah mengamini tindakanku. Aku diam saja.
Lingga asyik memainkan ujung-ujung rambutnya sambil memiringkan badannya, memunggungi wajahku. Sayup-sayup terdengar kudengar ia bernyanyi. Lagunya asing, kata dalam liriknya sangat asing di telingaku padahal aku cukup sering mendengarkan lagu dengan berbagai bahasa. Tapi bahasa yang dilantunkan Lingga baru pertama kali kudengar. Aku tak ingin berkomentar. Tentang awan saja ia sudah kubuat marah, apalagi tentang nyanyian ini. Aku hanya takut ia menyangka aku menghina suaranya, meskipun memang nyanyian yang ia lantunkan terdengar menyakitkan dengan suaranya.
Cukup lama Lingga bernyanyi. Mungkin cukup dua atau tiga lagu dalam bahasa yang ku kenal. Tapi rasanya aneh dengan Lingga, ia tak kunjung berhenti menyanyikan lagu itu sejak tadi. Lagi-lagi aku tak berani berkomentar, takut-takut akan membuat hatinya hancur berkeping-keping karena komentarku. Aku membiarkan Lingga menyanyikan lagu anehnya itu dengan asumsi ia sangat menyukai lagu ini dan lagu ini sangat berarti baginya.
Percakapan kami sudah terhenti sekitar dua jam. Selama itu aku asyik merangkai daun-daun tua di atas rumput, membentuknya menjadi inisial namaku dan Lingga. Huruf A dan L berdampingan, seperti aku dan dirinya saat ini. Sejak dua jam lalu pula Lingga tak henti melantunkan untaian-untaian kata dalam lirik lagunya yang aneh di telingaku. Ia menikmati nyanyiannya -aku memastikannya. Ia menutup kedua matanya, semakin menandakan kenikmatan dalam setiap nada yang ia nyanyikan. Selama dua jam ini suaranya semakin halus, semakin enak didengarkan. Aku tak mampu menyangkalnya.
Matahari semakin memperlihatkan kecantikan dan keangkuhannya di peraduan barat. Ia dengan cantiknya merubah warna langit, biru menjadi orange, orange kemudian menjadi hitam kelam. Ia angkuh ; menenggelamkan dirinya sendiri di ujung barat meski banyak mata ingin tetap menyaksikan kecantikannya. Ujung barat selalu kuketahui letaknya berkat bantuan matahari, ia menunjukkan kemana ia akan pergi seperti saat ini. Sudah sore rupanya.
"Sebaiknya aku pulang...", Lingga berdiri lalu merapikan roknya.
Dia benar, ini sudah sore, ayah pasti mencariku bila langit sudah gelap aku belum pulang jua.
Lingga kembali duduk di dekatku. Merapikan tas miliknya yang isinya sudah berhamburan keluar. Kami tetap tak bicara, hanya membisu bersama angin yang semakin kencang berhembus.
"Kau tidak pulang, Aruna? Apa ibumu takkan mencarimu?", Lingga akhirnya membuka pembicaraan.
Aku merasa ia adalah anak perempuan penuh inisiatif, setidaknya di mataku.
"Ah...emmm... tidak, kok. Aku memang selalu pulang sore ke rumah. Biasanya aku pergi ke tempat les, tapi hari ini aku libur dan memilih diam di sini sampai sore. Ayahku pasti belum pulang ke rumah..."
"Begitu rupanya. Baiklah, aku pulang dulu, ya", ujar Lingga. Ia baru saja selesai merapikan tasnya.
"Mau pulang bersamaku?", lanjutnya seraya berdiri, lalu mengulurkan tangan.
"A-Aku... a-aku...a-aku...", seperti biasa, aku gugup.
"Bagaimana? Jangan gugup begitu hanya karena aku perempuan"
"Ba-baiklah. Tunggu aku di gerbang sekolah, ya?"
"Ok". Ia tersenyum lalu beranjak meninggalkanku.
Senyum itu. Siapa pemiliknya selain Lingga?
Aku melihat ia menghilang setelah berbelok. Sejenak kuhempaskan punggungku ke rerumputan ini, berusaha menghirup baunya yang khas, merasakan belaiannya, serta diam membiarkan angin menerjang tubuhku yang kecil. Taman atau bisa juga disebut halaman belakang sekolah ini selalu menghadirkan sensasi yang sama di sore hari dan aku selalu menyukainya. Mungkin aku akan semakin menyukainya bila Lingga selalu menemaniku di sini.
Matahari sudah hampir tenggelam saat aku dan Lingga beranjak dari gerbang sekolah. Ia sempat menggerutu dan menceramahiku karena terlalu lama memberesken isi tasku yang berserakan. Aku jadi ingin tertawa mengingatnya, aku terlalu lama karena tiduran dahulu di rumput itu, tapi aku tak mengatakannya. Tentu aku tak ingin ceramah Lingga semakin panjang berkat kejujuranku. Sebelum pergi, kami menyapa Kang Danang, penjaga sekolah kami, sekadar mengucapkan selamat sore dan ucapan terima kasih karena sudah membiarkan kami berlama-lama di halaman belakang sekolah. Aku menyukai kang Danang, ia begitu baik dan pengertian. Sepintas ia seperti sosok kakak yang selalu kuinginkan.
Kami berjalan berdampingan. Lingga tak pernah berhenti berbicara, ia membahas kegugupanku pada perempuan, kang Danang yang akan segera menikah, rumahnya yang masih berdebu dan hal-hal kecil tak penting lainnya yang menurutku tak perlu dibicarakan. Tapi, inilah Lingga, ia mudah berganti mood dalam waktu yang singkat. Sedetik ia irit bicara, detik berikutnya akan berubah menjadi kereta api ekspres yang tak bisa berhenti, sedetik marah, sedetik kemudian lembut seperti kapas, sedetik tomboy, sedetik kemudian jadi anak manis. Beberapa jam bersamanya membuatku tahu semua itu.
Akhirnya kami tiba di persimpangan jalan yang memisahkan tujuan kami. Ia berhenti melangkah, lalu menoleh ke arahku dan berkata, "Ini persis seperti arak-arakan awan itu. Kita tidak bersama, di sini lah kita berpisah."
Ia terlihat berpikir. Mungkin mencari kata yang tepat.
"Oke, kalau begitu sampai besok. Ingat! Jangan pernah gugup lagi di hadapanku?", serunya seraya berlari mengejar angkutan umum.
Ia urung menaiki angkutan umum itu. Sejenak ia mengibaskan telapak tangannya -memberi tanda pada sopir angkutan umum itu bahwa ia tidak jadi naik. Kemudian menoleh ke arahku.
"Hei Aruna! Tadi itu bukan mimpi! ingat itu, ya!”. Lingga berteriak dengan kencang. Memastikan aku menerima pesannya.
Aku melambaikan tangan, lalu mengangguk. Dalam hati aku masih tidak mempercayai kejadian hari ini ; aku berbicara dengan anak perempuan. Aku menganggukan kepalaku beberapa kali, memberinya tanda aku mengerti.
Lingga tersenyum, lalu membalikkan badannya dan pergi. Hari ini matahari sudah tenggelam dan Lingga pulang dengan berjalan kaki.
“Senyum itu? Apa itu senyum ibu?”, tanyaku. Ia memiliki senyum yang sama seperti ibu.

Bagikan

Jangan lewatkan

Lingga
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.