"Pesan es kopi aja satu, tapi nanti saya pesan lagi ya" ujarku pada pelayan yang menghampiri. Ia menulis pesananku, lalu memintaku menunggu sebentar.
Aku tiba di Mehandra Cafe sekitar 30 menit lebih awal dari waktu janjian kami. Aku merasa perlu membuat kesan yang bagus pada pertemuan ini. Bukan karena aku menganggap ini pertemuan bisnis. Aku hanya merasa senang sejak tadi pagi dan kesenangan itu masih kurasakan hingga saat ini.
Pagi tadi aku mendapat email balasan dari Narta. Isinya hasil pelacakan IP address yang kuberikan kemarin, asal-usul sebenarnya dari si pemilik IP address tersebut, apa yang ia kerjakan saat ini, dan apa ia benar-benar memiliki kaitan denganku di masa lalu. Narta menyelesaikan semuanya. Ia bekerja dengan sangat baik, dan itu membuatku senang. Sebenarnya pekerjaan Narta selalu baik, bahkan sempurna. Yang membuatku senang bukan kepalang adalah identitas asli dari si pemilik IP address tersebut. Ternyata aku mengenalnya selama ini. Bahkan dua tahun lalu aku sempat menanamkan beberapa modal ke perusahaan miliknya. Aku merasa lubang kosong di dadaku itu kini mulai terisi, walau sedikit.
"Kamu di meja nomor 46?" Tanya si Rifanisa alias Rizky di telepon.
Aku melihatnya dari balkon lantai dua cafe ini. Ia nampak tergesa-gesa memakai sweater miliknya, merapikan rambut, memakai kacamata, lalu menutup pintu mobil. Ia lantas berjalan-cepat sekali ke dalam cafe. Aku sudah memberitahunya bahwa aku memang di meja nomor 46.
Aku melambaikan tanganku sambil tersenyum begitu kulihat ia muncul dari tangga. Si Rifanisa alias Rizky itu menyibak rambutnya ke belakang telinga sambil berjalan ke arahku. Senyumnya belum muncul sama sekali.
"Apa kabar?" Tanyanya setelah duduk di kursi di depanku. Ia menaruh tasnya di bawah meja.
"Kabarku baik, Ky. Kamu juga baik-baik saja kan?" Ujarku. Kupanggil pelayan yang tadi melayaniku sekali lagi.
Kami memesan beberapa makanan ringan dan minuman, lalu mulai mengobrol santai. Aku sedang menunggu.
"Kamu mau bertemu seseorang kan di sini?" Rizky mengucek es jeruk miliknya. Ia memandangku. "Siapa dia?" Imbuhnya.
"Kamu pura-pura bodoh, atau mau pura-pura membodohiku, Ky?" Aku balik bertanya padanya. kulihat layar ponselku sejenak.
"Aku tahu kamu itu Rifanisa." Aku melanjutkan ucapanku. Kutatap wajah Rizky sejenak, lalu kualihkan pandanganku ke layar ponsel.
Rizky nampak belum mau bicara.
"Sebenarnya, aku tidak tahu kamu itu Rifanisa sampai tadi pagi. Awalnya aku hanya merasa suara yang kudengar kemarin sore membuat lubang kosong di sini sedikit terisi. Aku mulai merasa senang setelahnya, jadi kuputuskan untuk melacak semua hal tentang si penelepon itu." Aku menunjuk dadaku. Rasanya aku ingin banyak bicara di sini, tapi sepertinya tidak bisa begitu. Aku harus cepat menyelesaikan kalimat-kalimatku sebelum pandanganku yang tak kuinginkan terjadi.
Kepalaku mulai terasa pusing. Penglihatan jarak dekatku mulai kabur. Aku tak bisa melihat wajah Rizky dengan jelas, apalagi makanan-makanan dan minuman di depanku. Semuanya burem. Pandangan jarak jauhku sebaliknya. Aku bisa melihat dengan jelas tulisan 'Desain itu gak murah' di kaos salah satu pengunjung cafe ini. Ia berdiri kira-kira tujuh meter dari tempatku. Rupanya gejala 'gelap' itu sudah dimulai. Jadi, akan kuteruskan saja kalimat-kalimatku sekarang.
"Waktu kamu meneleponku sebelumnya, pas di De Tuik aku sama sekali tidak merasakan apapun. Mungkin karena waktu itu banyak suara lain." Ucapku. Aku masih bisa meraih gelas es kopi milikku.
Aku tak tahu bagaimana ekspresi Rizky sekarang.
"Aku betul-betul bahagia sekarang, meski aku tak tahu apa yang pernah terjadi pada kita di masa lalu, aku tak keberatan. Bagiku, yang terpenting kamu adalah Rifanisa yang ternyata telah ada di dalam lubang kosong ini untuk waktu yang lama... maafkan aku karena..." Semua sudah gelap. Baik jauh maupun dekat, yang kurasakan hanya kegelapan. Bukan hanya itu, tubuhku mulai terasa lemas, kepalaku semakin berat dan berdenyut.
"Ah, aku belum menyelesaikan semuanya..." gumamku. Kurasa aku sudah jatuh di lantai.
***
Rei sudah tahu aku adalah Rifanisa, tapi ia lupa apa yang pernah terjadi di antara kami. Ia terus bicara. Mengutarakan kebahagiaannya mengetahui bahwa ternyata Rifanisa telah ada di dekatnya selama ini, terlebih ada di dalam dadanya. Bukan dada. Ada di dalam hatinya. Aku senang mendengarnya, tapi tak cukup membuatku bahagia. Untuk apa ia ingat namaku, tahu bahwa aku ada di dalam hatinya, mengisi kekosongan di sana, tapi ia lupa apa hubungan kami di masa lalu? Aku ingin ia tidak hanya mengingatku, tapi juga mengingat hubungan kami.
Sebelumnya, memang aku sekadar berharap ia mengingatku sebagai Rifanisa. Belum terpikir olehku ia akan lupa pada hubungan masa lalu kami. Aku tidak begitu bahagia. Sebagai perempuan, wajar jika aku ingin diingat oleh seseorang yang selalu kuingat. Bukan perihal timbal-balik. Bukan perihal kewajiban. Aku cuma ingin ada di dalam hatinya, benar-benar ada. Hidup, menghidupinya lewat kenangan masa lalu kami yang barangkali akan membuatnya tertawa, dan hidup bersamanya. Aku tak ingin mati di dalam hati dan kepalanya. Jadi, Aku memilih diam dan hanya memerhatikannya bicara. Kuharap ia mengerti mengapa aku diam seperti ini.
Nampaknya ada yang ganjil dari Rei saat ini. Ia terlihat kesulitan mengambil es kopi miliknya. Tangannya meraba-raba meja, seperti tak melihat gelas es kopi itu ada di samping ponsel miliknya. Kubantu ia sedikit. Kugeser gelas es kopi itu ke dekat genggaman tangannya sampai ia bisa memegangnya. Ia tersenyum kecil. Matanya yang menatap tepat padaku, tapi terlihat seperti kosong. Kucoba mengibaskan lenganku di depan matanya, ia tidak menghindar, bahkan tidak berkedip. Ia terus berbicara, seolah hendak mengejar sesuatu. Aku mendekatinya. Kusaksikan dengan jelas wajahnya memerah, napasnya naik turun, dan ucapannya putus-putus. Kepegang tangannya, dingin sekali. Bulu kuduknya juga berdiri. Aku tak tahu apa yang ia rasakan, tapi berselang beberapa menit ia ambruk jatuh ke belakang. Ia pingsan?
Seketika beberapa orang di sekitar mengalihkan perhatian mereka pada kami. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hendak memberinya napas buatan, tapi kuurungkan. Hendak ku tekan dadanya, kuurungkan. Aku takut melakukan kesalahan yang malah akan membuatnya semakin berada dalam kondisi buruk. Akhirnya aku meminta tolong pada pelayan untuk membawanya ke mobilku. Aku akan membawanya ke rumah sakit.
Tiba-tiba seorang lelaki berpakaian rapi dan memakai kacamata mengetuk kaca mobilku. Ia memintaku menurunkan kaca mobil sambil menunjuk-nunjuk Rei.
"Mbak Rizky 'kan?" Tanyanya. "Saya Sunarta, asisten pribadinya masbro Rei. Ini masbro mau dibawa ke rumah sakit?" Imbuhnya.
Aku mengiyakan.
"Sebaiknya jangan, mbak. Rumah sakit di sini belum ada yang tahu penyakitnya. Saya takut nanti mereka salah mengira dan salah memberi obat pada masbro Rei." Ujar Sunarta. Ia kelihatan bingung.
Aku membuka pintu mobil dan menyuruhnya masuk.
"Kita bawa ke rumahnya aja, mbak. Barangkali masih ada obat yang tersisa..." Sunarta memintaku menjalankan mobil. Ia mengeluarkan secarik kertas berisi alamat rumah Rei.
"Kalau obatnya udah gak ada gimana?" Tanyaku memastikan. Kecewa yang kurasakan sebelumnya lenyap oleh kekhawatiran. Kulihat Rei yang terbaring di kursi belakang sesekali. Ia terlihat kesakitan.
"Kalau begitu kita harus segera membawanya ke Jakarta. Di sana ada kotak persediaan masbro Rei.... cepetan, mbak." Sunarta terus memandangi layar ponselnya yang tersambung dengan jam tangan Rei. Ia tengah menghitung sesuatu, sepertinya.
Cuma lima belas menit waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke rumah Rei. Rumahnya ada di daerah Caringin Tilu. Sebuah rumah sederhana yang nampaknya cukup lama kosong. Kudapati debu menumpuk di banyak kursi ruang tamu, dua kamar yang terkunci, dapur yang isinya cuma kompor, satu panci, sendok, mangkuk, dan cangkir, juga halaman rumah yang berantakan. Aku mengelilingi rumah ini selagi menunggu Sunarta mengobati Rei. Beruntung, Rei masih memiliki persediaan obat di rumah ini. Mungkin nyawanya takkan terancam untuk sementara waktu.
Beberapa saat setelah selesai mengobati Rei, Sunarta memanggilku. Ia mengajakku minum cola di ayunan yang ada di bawah pohon jambu.
"Mbak, namanya Rizky Pramesti Dewi 'kan?" Sunarta berujar sambil menutup botol cola lalu menaruhnya di rumput.
Aku mengangguk sambil mengiyakan pertanyaan Sunarta.
"Masbro Rei pernah cerita kalau dia punya temen deket namanya Rizky, Andi, Joni, Alisia dan Alifia. Masbro bilang pengen ketemu mereka kalau sudah sembuh. Masbro juga bilang kalau dia suka sama temennya yang namanya Rizky..." Sunarta memutar-mutar cangkir di telapak tangannya. Tatapannya lurus pada kejauhan, seolah ia tengah menyelami masa lalu.
"Masbro sempet semangat banget ngejalanin pengobatan di Islandia, di rumah sakit milik mendiang buyutnya, tapi itu cuma sebentar. Setelah dia tahu kalau penyakitnya belum bisa diobati, dia jadi ogah-ogahan dan sering menyendiri. Dia sering marah-marah, bahkan gak sekali dia mencoba lompat dari atap rumah sakit." Sunarta menyalakan ponsel miliknya. Ia memutar video, lalu memberikan ponsel itu padaku.
Dalam video itu kulihat Rei tengah duduk di ranjang di sebuah kamar rumah sakit. Ia memakai baju serba putih. Badannya kurus, kepalanya plontos, kantung matanya hitam legam, tapi ia tengah tersenyum. Ia melambaikan tangannya pada kamera, lalu tertawa. Kulihat beberapa orang yang terlihat seperti perawat mendekatinya. Mereka hendak memindahkan Rei ke kursi roda... ah, ponsel Sunarta direbut seseorang dari tanganku.
"Jangan cerita yang enggak-enggak, Narta!" Ujar Rei sambil meminta Sunarta masuk ke dalam rumah. Ia yang merebut ponsel Sunarta dari tanganku. Ia lantas duduk di ayunan yang ditinggalkan Sunarta.
"Apa yang dikatakan Sunarta enggak salah sih, aku emang sakit, Ky." Rei mengambil botol cola yang tergeletak di atas rumput dan membukanya. Ia menghirup aroma cola itu, lalu menutup kembali botolnya. "Aku gak bisa makan sama minum yang manis-manis, yang asin-asin juga. Sekalinya makan, aku pasti kambuh seketika. Makananku kebanyakan hambar."
"Kamu sakit apa?" Aku memegang dahi Rei. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Rambutnya gondrongnya acak-acakan. Matanya masih terlihat sayu. Bibirnya pecah-pecah.
Rei menengadahkan wajahnya. Ia memandang lurus, barangkali ke langit, barangkali ke tempat yang jauh. "Penyakitku aneh, Ky. Belum ada dokter yang bisa menyembuhkan penyakit ini..." Rei batuk-batuk. Ia menutupi mulutnya, kemudian mengelap bibir dan tangannya dengan sapu tangan hitam.
Aku menahan tangan Rei yang memegang sapu tangan saat ia hendak memasukkannya ke saku celana jeansnya. Kurebut sapu tangan itu. Bercak merah dan bau amis menempel di sapu tangan Rei. Aku memandanginya sejenak, lalu kuberikan sapu tangan itu padanya.
"Kakek buyutku mendirikan rumah sakit di Islandia untuk keperluan pengobatan keluarga." Rei mengeluarkan dua lembar foto dari dompetnya.
Itu foto ibu dan ayah Rei. Aku masih mengenali wajah dan senyuman mereka begitu melihatnya.
"Hal besar yang kuwarisi di keluarga ini adalah penyakit aneh ini. Ibu dan ayahku meninggal karena penyakit ini." Rei menatap kedua foto itu, lekat. Ia terlihat merindukan mereka. Sebentar kemudian air mata meleleh di pipinya. Ia segera mengusapnya dengan sapu tangan putih yang ia ambil dari saku celana jeansnya.
Aku bingung, tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku merasa harus menyemangatinya untuk sembuh, tapi bukan semangat yang ia butuhkan saat ini, melainkan kejelasan tentang kesembuhannya. Sudah jelas ia putus asa. Setidaknya, yg kurasakan, semangat yang kuberikan hanya akan menjadi nyala api dari korek kayu yang kecil. Langsung padam setelah menyala. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan, sungguh! Akhirnya, aku memilih untuk berdiri di depannya. Kuelus kepalanya, kucium keningnya, kupeluk dirinya. Aku diam, sementara Rei terisak.
"Aku mencoba menghapus semua yang kuingat dari masa laluku. Senyum ibu dan ayah, rumah di Bandung, senyum adik dan kakakku, juga Rifanisa -kamu. Aku berhasil. Aku merasa jika aku hanya akan mati dalam waktu dekat, sebaiknya aku tak berhubungan dengan siapapun." Rei membenamkam wajahnya di pundakku.
Aku merasa perkataan Rei barusan adalah pertanda bahwa ia enggan untuk berhubungan denganku lagi. Ia enggan memiliki ikatan dengan seseorang, karena ia merasa akan pergi lebih cepat dari orang yang menyulam kehidupan bersamanya kelak. Ah, ini rasanya penolakan paling sulit dibantah yang kutahu.
"Hasilnya, semenjak umurku 13 tahun, di sini ada lubang kosong yang menganga." Rei menunjuk dadanya. "Lubang kosong itu terus kurasakan, bahkan saat kita kuliah dulu, Ky. Aku merasa empat tahun di kampus itu hanya akan menyisakan kenangan yang akan kulupakan lagi, seperti sebelumnya." Imbuhnya. Ia masih membenamkam wajahnya di pundakku.
"Aku menderita atas pilihanku sendiri, Ky. Bukan hanya dada ini yang terasa kosong, tapi diriku juga. Aku nyaris tak bisa merasakan apapun dan aku pun merasa tidak keberatan meski menderita, dan harus mati sendirian. Aku harus menjadi benar-benar kosong." Rei batuk sesekali. Ia masih melanjutkan kata-katanya.
"Aku tak peduli lagi pada apapun. Karena kupikir aku akan hidup paling lama dua tahun lagi, aku enggan melakukan pengobatan. Aku menjauh dari berbagai hal. Aku sudah melupakan semuanya, dan menjauhi semuanya. Kupikir aku berhasil...." Rei masih batuk-batuk. Lalu ia menatapku.
Aku pun menatapnya. Kulihat darah mengalir dari hidungnya. Kuambil sapu tangan milikku, kuseka darah itu setiap kali mengalir keluar.
"Namun, secercah ingatan masa lalu itu muncul dari suaramu. Dadaku terasa hangat saat kudengar suaramu memanggilku. Perlahan, meski sedikit, lubang itu terisi. Ada ingatan tentangmu yang kulupa, tapi kamu mengingatku. Aku merasa bersyukur lubang itu telah terisi dan aku senang aku bisa merasakan bahwa kita memang dekat di masa lalu. Terima kasih, Ky." Rei memelukku erat. Ia mencium keningku. "Terima kasih, Rifanisa. Aku sudah tidak kosong lagi. Aku bisa kembali dengan tenang..." Ia berkata halus sambil tersenyum. Matanya terasa penuh ketenangan. Ia melepas tangannya dari pundakku, mengajakku berdiri, lalu berjalan menuju sebuah mobil sedan yang terparkir di depan halaman. Ia membukakan pintu mobil itu.
"Kamu harus hidup bahagia. Berumur panjang, sehat, dan punya banyak anak, Rifanisa." Ia mencium keningku sekali lagi, kemudian berlalu memunggungiku.
Aku merasa ia telah menunjukkan sebuah jalan yang harus kupilih ; meninggalkannya. Pikiran warasku memang berkata bahwa aku sebaiknya meninggalkannya saja. Ia sakit dan tak peduli pada apapun lagi. Lagi pula meski ia kaya, umurnya paling lama tinggal dua tahun, artinya jika ia mengingat semua kenangan kami, menerimaku, lalu aku hidup bersamanya, memilih berkeluarga dengannya, yang tersisa untuk anak-anakku mungkin hanya kehidupan tanpa mengenali wajah ayah mereka sama sekali. Membayangkannya saja membuatku merinding. Aku seharusnya menerima jalan yang telah ia pilihkan untukku. Aku memandang rumah itu dari dalam mobil. Semakin jauh, semakin terasa bahwa aku telah memilih jalan yang benar, semakin terasa pula sakit di hatiku.
Aku masih memandang rumah itu, semakin jauh. Barangkali aku takkan sanggup menggapainya lagi...
Bersambung...
Bagikan
Wajah ; Bagian 3
4/
5
Oleh
Unknown