Senin, 03 April 2017

Imaji : Sebuah Permulaan

Gambar via unsplash oleh Raul Petri
Di rumah, pukul 04.00 WIB
Aku kehilangan seseorang yang kucintai. Istriku meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Ia meregang nyawanya tepat di hadapanku. Aku menyaksikan momen itu secara perlahan. Seperti slow motion di film-film. Menyakitkan. Momen itu tak dapat kulupakan sama sekali.
Namaku Windu. Itu nama yang kuingat. Bukan cuma kuingat, Windu itu nama yang tercantum di KTP-ku, di SIM, di Passport, tunggu... aku punya passport untuk apa? Aku tak pernah ke luar negeri, setidaknya begitu seingatku, tapi yang jelas aku punya passport. Sesimpel itu. Sekarang aku menduda, sepertinya untuk waktu yang lama.
Setelah kematian istriku aku memilih menjadi tukang daging. Itu untuk meninggalkan semua kenangan tentang mendiang istriku, juga untuk mengawali sesuatu yang baru. Hari ini aku hendak ke pasar. Menyaksikan keramaian, mencium bau amis, dan mendapatkan rupiah.

***

Pasar Induk Kemayoran menjadi markas besarku. Beragam orang menyandarkan kehidupannya di tempat ini. Preman, sopir angkot, tukang sayur, tukang daging, tukang ikan, pedagang kain, juragan beras, boss emas, pedagang mainan, hanya sebagian jenis manusia yang meraup rupiah di sini. Selain mereka, masih banyak lagi. Tokoku ada di blok G nomor 246. Toko Daging Sewindu. Di lingkungan blok G ini, jalanannya becek. Sampah sayuran dan plastik berserakan dimana-mana. Bau amis adalah bau khas dari blok ini karena blok ini berisi kelompok pedagang daging dan ikan. Daging ayam, daging sapi, kambing, kuda, unta, ayam dijajakan berjejer sejauh mata memandang. Tangan-tangan para pedagang dilindungi sarung tangan karet. Para pekerja-pemilik toko sehari-harinya selalu memegang pisau potong yang besar, timbangan, kantung plastik, dan uang. Mereka tidak akrab dengan dunia digital karena dunia digital di sini berarti dunia yang lembek. Dunia yang tidak pernah mengenal bau amis.
“Bagaimana hari ini, Windu?” Haji Amir melenggang masuk sambil melihat-lihat daging jajakanku. Ia pemilik Toko Wisnu Adi di ujung blok F. Ia juragan beras. “Nampaknya daganganmu sebentar lagi habis.” imbuhnya.
Aku mengajak pak haji duduk sambil minum kopi di pojok kiri toko. Itu adalah area suci dari tokoku. Tempatku menyimpan uang dan pakaian ganti. Sejenis meja kasir, tapi aku tak pernah mengajak para pembeli membayar di sini. mereka selalu membayar di depanku, di depan meja potong.
“Kopi hitam, pak haji?”
Haji Amir mengangguk. Ia masih memandangi tumpukan daging yang dapat ditaksir yang seberat lima kilo.
“Baru setahun di sini, kau sudah bisa bersaing dengan toko daging yang tua-tua itu.” guraunya.
“Bukan bersaing, pak haji, tapi rezeki memang tak pernah buta.” Aku tertawa kecil. Haji Amir pun ikut tertawa. Keriput di sudut matanya mengecil. Kupikir, ia terlihat muda saat tertawa.
Kami berbincang soal kondisi pasar yang becek, kabar burung soal perombakan pasar, harga BBM yang naik-turun, dan hal lain yang tak berguna seperti keluhan istrinya soal beras Thailand, karung beras bergambar kelinci playboy, karung beras bergambar kartu gapleh dan mobil Septian si pemilik butik Aurora di muka pasar yang dicoreti sekelompok orang tak dikenal. Ini semua untuk membunuh waktu dan membuat kami tertawa. Beberapa bahan pembicaraan memang tak patut, tapi mau apalagi, pasar adalah tempat yang tak layak menjadi layak untuk diperbincangkan.
Setelah dua jam lebih kami mengobrol, Haji Amir mulai mengecilkan volume suaranya. Ia terlihat lebih berhati-hati memilih kata, memastikan tidak orang yang menguping, dan akhirnya membisikkan perkataannya yang belum kudengar jelas tadi.
“Datanglah ke gedung Teater Amarah di Jln Gatot Subroto nanti malam. Ada sesuatu yang harus kamu lihat di sana.” Bisiknya.
“Jam berapa?” Tanyaku.
“Jam sembilan malam. Datang sendiri. Ingat! datang sendiri.” Setelah selesai berbisik, Haji Amir pamit pulang. Ia berjalan keluar dari blok G dan menuju ke parkiran. Aku tak melihatnya lagi setelah ia berbelok.
“Apa yang seharusnya aku lihat di sebuah gedung teater?” Tanyaku pada diri sendiri. Aku mengingat-ingat apa yang seharusnya kulihat akhir-akhir ini. Aku berpikir, mengingat, menuliskannya di secarik kertas : nama-nama, benda, janji yang seharusnya kulihat dan kuhadiri. Kuperiksa daftar itu beberapa kali, ternyata tak ada. Apa yang seharusnya kulihat di sana?
Ah ya! Haji Amir adalah tetanggaku di sini dan di rumah. Ia sangat ramah dan mudah diajak bicara. Ia membantuku dalam banyak hal, salah satunya menjadi orang yang menyewakan toko ini padaku dan mencarikan aku suplier daging sapi kualitas satu untuk tokoku ini.

***

Jalan Gatot Subroto pukul 20.30 WIB
Lampu bagian depan atau di atas pintu masuk Teater Amarah mati. Di depannya gelap.  Aku hanya melihat seorang lelaki paruh baya berjualan gorengan. Dia diterangi lilin yang dilindungi botol bekas Kratingdaeng. Kompornya menyala, memanaskan minyak dan menggoreng tepung menjadi bala-bala, goreng tempe atau aci menjadi Cireng. Teater Amarah terlihat seperti bangunan tua yang tak terurus.
Pukul 20.47 WIB
kulihat beberapa pemuda masuk ke dalamnya. Pakaian mereka rapi. Ada yang memakai jas, ada yang pakai kemeja kotak-kotak, rambut klimis, bersepatu pantopel, memakai kaos kaki, dan yang sama adalah mereka membawa sebuah tas jinjing yang terbuat dari kulit.
"Kenapa diam di sini, Windu?" Tanya seseorang di pintu mobil sebelah kiri. Ia berjongkok.
Ia memakai jam bermerk dan modelnya juga langka.
"Kenapa gak masuk? Ayo... sebentar lagi dimulai loh.." ajaknya. Ia berdiri, seperti memastikan pintu teater belum ditutup, lalu berjongkok lagi dan mengajakku, lagi.
Aku tak mengenalnya.
"Namaku Aji. Ajidarma. Ayo.. pak haji sudah menunggu di dalam..." ajaknya lagi.
Ia mengenal pak haji, orang yang juga kukenal. Baiklah, aku akan masuk bersama lelaki bernama Ajidarma ini.
Benar saja, Haji Amir memang mengenalnya. Haji Amir pula lah yang mengajak Aji untuk datang ke teater ini. Haji Amir, aku dan Aji duduk-duduk di kantin teater. Menikmati secangkir kopi dan berbincang. Haji Amir banyak menceritakan kejadian lucu semasa ia muda dulu. Tawa dan perbincangan kami terhenti saat seorang perempuan berpakaian rapi memanggil Aji dan mengajaknya masuk ke sebuah ruangan.
"Sebentar lagi giliranmu, Windu." Ujar Haji Amir setelah melihat Aji masuk bersama perempuan tadi. Ia merapikan jasnya, memakainya, kemudiann berdiri dan pamit pulang. Sebelum pergi, Haji Amir berpesan agar aku menyelesaikan semua prosesnya malam ini.

bersambung

Bagikan

Jangan lewatkan

Imaji : Sebuah Permulaan
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

5 komentar

Tulis komentar
avatar
3 April 2017 pukul 10.29

Lanjutkan terus kang
mantaps..

Reply
avatar
3 April 2017 pukul 10.33

tutup blognya kapan kang

Reply
avatar
3 April 2017 pukul 10.36

siap...
terima kasih sudah berkunjung :)

Reply
avatar
3 April 2017 pukul 10.36

nunggu viewernya 1 miliar kang :)

Reply