Gambar via unsplash oleh Raul Petri |
Di rumah, pukul 04.00 WIB
Aku kehilangan seseorang yang kucintai. Istriku meninggal
dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Ia meregang nyawanya tepat di hadapanku.
Aku menyaksikan momen itu secara perlahan. Seperti slow motion di
film-film. Menyakitkan. Momen itu tak dapat kulupakan sama sekali.
Namaku Windu. Itu nama yang kuingat. Bukan cuma kuingat,
Windu itu nama yang tercantum di KTP-ku, di SIM, di Passport, tunggu... aku
punya passport untuk apa? Aku tak pernah ke luar negeri, setidaknya begitu
seingatku, tapi yang jelas aku punya passport. Sesimpel itu. Sekarang aku
menduda, sepertinya untuk waktu yang lama.
Setelah kematian istriku aku memilih menjadi tukang daging.
Itu untuk meninggalkan semua kenangan tentang mendiang istriku, juga untuk
mengawali sesuatu yang baru. Hari ini aku hendak ke pasar. Menyaksikan
keramaian, mencium bau amis, dan mendapatkan rupiah.
***
Pasar Induk Kemayoran menjadi markas besarku. Beragam orang
menyandarkan kehidupannya di tempat ini. Preman, sopir angkot, tukang sayur,
tukang daging, tukang ikan, pedagang kain, juragan beras, boss emas, pedagang
mainan, hanya sebagian jenis manusia yang meraup rupiah di sini. Selain mereka,
masih banyak lagi. Tokoku ada di blok G nomor 246. Toko Daging Sewindu. Di
lingkungan blok G ini, jalanannya becek. Sampah sayuran dan plastik berserakan
dimana-mana. Bau amis adalah bau khas dari blok ini karena blok ini berisi
kelompok pedagang daging dan ikan. Daging ayam, daging sapi, kambing, kuda,
unta, ayam dijajakan berjejer sejauh mata memandang. Tangan-tangan para
pedagang dilindungi sarung tangan karet. Para pekerja-pemilik toko
sehari-harinya selalu memegang pisau potong yang besar, timbangan, kantung
plastik, dan uang. Mereka tidak akrab dengan dunia digital karena dunia digital
di sini berarti dunia yang lembek. Dunia yang tidak pernah mengenal bau amis.
“Bagaimana hari ini, Windu?” Haji Amir melenggang masuk
sambil melihat-lihat daging jajakanku. Ia pemilik Toko Wisnu Adi di ujung blok
F. Ia juragan beras. “Nampaknya daganganmu sebentar lagi habis.” imbuhnya.
Aku mengajak pak haji duduk sambil minum kopi di pojok kiri
toko. Itu adalah area suci dari tokoku. Tempatku menyimpan uang dan pakaian
ganti. Sejenis meja kasir, tapi aku tak pernah mengajak para pembeli membayar
di sini. mereka selalu membayar di depanku, di depan meja potong.
“Kopi hitam, pak haji?”
Haji Amir mengangguk. Ia masih memandangi tumpukan daging
yang dapat ditaksir yang seberat lima kilo.
“Baru setahun di sini, kau sudah bisa bersaing dengan toko
daging yang tua-tua itu.” guraunya.
“Bukan bersaing, pak haji, tapi rezeki memang tak pernah
buta.” Aku tertawa kecil. Haji Amir pun ikut tertawa. Keriput di sudut matanya
mengecil. Kupikir, ia terlihat muda saat tertawa.
Kami berbincang soal kondisi pasar yang becek, kabar burung
soal perombakan pasar, harga BBM yang naik-turun, dan hal lain yang tak berguna
seperti keluhan istrinya soal beras Thailand, karung beras bergambar kelinci
playboy, karung beras bergambar kartu gapleh dan mobil Septian si pemilik butik
Aurora di muka pasar yang dicoreti sekelompok orang tak dikenal. Ini semua
untuk membunuh waktu dan membuat kami tertawa. Beberapa bahan pembicaraan
memang tak patut, tapi mau apalagi, pasar adalah tempat yang tak layak menjadi
layak untuk diperbincangkan.
Setelah dua jam lebih kami mengobrol, Haji Amir mulai
mengecilkan volume suaranya. Ia terlihat lebih berhati-hati memilih kata,
memastikan tidak orang yang menguping, dan akhirnya membisikkan perkataannya
yang belum kudengar jelas tadi.
“Datanglah ke gedung Teater Amarah di Jln Gatot Subroto nanti
malam. Ada sesuatu yang harus kamu lihat di sana.” Bisiknya.
“Jam berapa?” Tanyaku.
“Jam sembilan malam. Datang sendiri. Ingat! datang sendiri.”
Setelah selesai berbisik, Haji Amir pamit pulang. Ia berjalan keluar dari blok
G dan menuju ke parkiran. Aku tak melihatnya lagi setelah ia berbelok.
“Apa yang seharusnya aku lihat di sebuah gedung teater?”
Tanyaku pada diri sendiri. Aku mengingat-ingat apa yang seharusnya kulihat
akhir-akhir ini. Aku berpikir, mengingat, menuliskannya di secarik kertas :
nama-nama, benda, janji yang seharusnya kulihat dan kuhadiri. Kuperiksa daftar
itu beberapa kali, ternyata tak ada. Apa yang seharusnya kulihat di sana?
Ah ya! Haji Amir adalah tetanggaku di sini dan di rumah. Ia
sangat ramah dan mudah diajak bicara. Ia membantuku dalam banyak hal, salah
satunya menjadi orang yang menyewakan toko ini padaku dan mencarikan aku
suplier daging sapi kualitas satu untuk tokoku ini.
***
Jalan Gatot Subroto pukul 20.30 WIB
Lampu bagian depan atau di atas pintu masuk Teater Amarah
mati. Di depannya gelap. Aku hanya
melihat seorang lelaki paruh baya berjualan gorengan. Dia diterangi lilin yang
dilindungi botol bekas Kratingdaeng. Kompornya menyala, memanaskan minyak dan
menggoreng tepung menjadi bala-bala, goreng tempe atau aci menjadi Cireng.
Teater Amarah terlihat seperti bangunan tua yang tak terurus.
Pukul 20.47 WIB
kulihat beberapa pemuda masuk ke dalamnya. Pakaian mereka
rapi. Ada yang memakai jas, ada yang pakai kemeja kotak-kotak, rambut klimis,
bersepatu pantopel, memakai kaos kaki, dan yang sama adalah mereka membawa
sebuah tas jinjing yang terbuat dari kulit.
"Kenapa diam di sini, Windu?" Tanya seseorang di
pintu mobil sebelah kiri. Ia berjongkok.
Ia memakai jam bermerk dan modelnya juga langka.
"Kenapa gak masuk? Ayo... sebentar lagi dimulai
loh.." ajaknya. Ia berdiri, seperti memastikan pintu teater belum ditutup,
lalu berjongkok lagi dan mengajakku, lagi.
Aku tak mengenalnya.
"Namaku Aji. Ajidarma. Ayo.. pak haji sudah menunggu di
dalam..." ajaknya lagi.
Ia mengenal pak haji, orang yang juga kukenal. Baiklah, aku
akan masuk bersama lelaki bernama Ajidarma ini.
Benar saja, Haji Amir memang mengenalnya. Haji Amir pula lah
yang mengajak Aji untuk datang ke teater ini. Haji Amir, aku dan Aji
duduk-duduk di kantin teater. Menikmati secangkir kopi dan berbincang. Haji
Amir banyak menceritakan kejadian lucu semasa ia muda dulu. Tawa dan
perbincangan kami terhenti saat seorang perempuan berpakaian rapi memanggil Aji
dan mengajaknya masuk ke sebuah ruangan.
"Sebentar lagi giliranmu, Windu." Ujar Haji Amir
setelah melihat Aji masuk bersama perempuan tadi. Ia merapikan jasnya,
memakainya, kemudiann berdiri dan pamit pulang. Sebelum pergi, Haji Amir
berpesan agar aku menyelesaikan semua prosesnya malam ini.
bersambung
bersambung
Bagikan
Imaji : Sebuah Permulaan
4/
5
Oleh
Unknown
5 komentar
Tulis komentarLanjutkan terus kang
Replymantaps..
tutup blognya kapan kang
Replyhai ganteng :)
Replysiap...
Replyterima kasih sudah berkunjung :)
nunggu viewernya 1 miliar kang :)
Reply