Di dalam
keramaian, seorang lelaki berjalan cepat. Ia menyelinap, melewati kerumunan di
depannya. Satu dua orang, ditabraknya. Sesekali ia melihat jam tangannya, lalu
langkahnya semakin cepat. Lama kelamaan, ia berhenti berjalan.
Ia,
berwajah halus. Gurat-guratnya, menunjukkan ketenangan. Tapi, ketenangan tetap
menyembunyikan sakit, begitu pula wajah ini. Rambutnya disisir rapi. Klimis.
Modelnya, persis tentara pertengahan abad ke-20 di film-film Hollywood. Di
dalam mulutnya, ia mengunyah semacam permen karet, yang sekarang sudah tak lagi
manis. Begitulah. Dan ia membuang permen karet itu sebelum masuk ke sebuah
restoran bergaya eropa.
Ia
melambaikan tangannya pada seorang gadis. Gadis itu, barangkali adalah
kekasihnya. Seketika, wajah si lelaki merekah.
“Bagaimana
kabarmu?” Si lelaki memberikan pelukan pada gadis itu. Ia mencium pipinya
selagi sempat, dengan cepat.
“Aku
baik-baik saja. Kebiasaanmu tidak berubah.” Ujar si gadis. Ia tertawa kecil.
“Hahaha…”
Si lelaki ikut tertawa. Tawanya dalam, dan nampaknya ada semacam sakit di dalam
tawanya, yang akhirnya terdengar garing dan palsu. “Apa sudah pesan?” Imbuhnya.
Ia membuka daftar menu sambil mengungkapkan alasan ia terlambat.
“Kau
benar-benar tidak berubah, Dharma. Alasanmu, persis seperti yang selalu kau
utarakan dalam pertemuan-pertamuan di masa lalu itu, kau ingat?” si gadis
memutar waktu di kepala Dharma. Ia memaksa Dharma agar melihat, merasa dan
menjadikan “ada” dirinya di dalam masa yang dipanggil sebagai “yang lalu” itu.
“Ah, iya
aku tahu. Tidak semua hal harus berubah.” Dharma menyunggingkan senyumnya. “Kau
pun sama. Memandangmu tetap menghadirkan sensasi asing, tapi mirip kesejukan
pagi.” Dharma menulis pesanannya cepat-cepat, setelahnya ia memanggil pelayan
dan memberikan catatannya. Ia kembali pada kesejukan pagi, yang dahulu
menenggelamkannya.
“Kesejukan
pagi, adalah kata yang membuatku tunduk dan patuh padamu, dahulu.” Gadis itu
menautkan jemarinya. Lalu, ia bertopang dagu pada jari-jari yang bertaut itu.
Ia memandang penuh keseriusan, pada Dharma.
“Sebenarnya,
apa yang ingin kau utarakan kali ini?” Imbuh si gadis. Nadanya tajam.
“Tak ada.”
Dharma menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, lalu mengalihkan pandangannya.
Di luar, mata yang menatap hari itu, telah lenyap. Ia ditelan serombongan
kelam, yang hendak menembakkan deretan peluru ke bumi. Orang-orang, di cermin
mata Dharma, berbondong-bondong meninggalkan keramaian terbuka, mereka beralih
ke keramaian tertutup, di bawah naungan beton dan baja.
“Kau masih
bodoh rupanya…” Kata si gadis, halus. Ia tetap menusuk Dharma dengan
tatapannya.
“Bodoh
bukan hal yang buruk. Tikus menjadi bodoh sebab ia terjepit jebakan yang dibuat
manusia, atau memakan keju yang ditaburi racun, namun ia adalah kreasi yang
pintar, penuh akan naluri mempertahankan kehidupan. Aku memang bodoh, di
matamu. Aku bodoh, dan selamanya, aku selalu begitu.” Dharma menyilangkan
tangannya di dada. Ia tetap pada keramaian yang sekarang hanya seruang
kekosongan. Ia seperti mencari sesuatu di sana. Barangkali, sepotong “lalu”
yang enggan kembali.
Dan buana
kota Bunga itu semakin kelam dan siap menurunkan anugerahnya.
“Tidak
salah, untuk menjadi bodoh, Mira.” Ia melanjutkan ucapannya. Wajahnya, berubah
sayu saat deretan peluru itu telah sedang menghujam bumi.
Mira diam,
begitu pula Dharma.
“Aku ingin
memberitahumu sesuatu, Mira.” Dharma kembali bersuara setelah membisu cukup
lama. Pesanannya telah bertengger manis, mengepul di depannya. Tapi, ia masih
mencari yang “lalu” di antara keramaian hujan di balik jendela. “aku tak pernah
tulus menenun kasih denganmu.” Sejenak kalimatnya terputus. “Baru sekarang, aku
ingin tulus melakukannya, denganmu.” Kala itu juga ia menoleh, membalas tatapan
Mira. Nada bicaranya penuh optimisme.
Ia
menyentuh tangan Mira, mengalirkan optimisme itu pada si gadis. Punggungnya
yang tadi bersandar manja di kursi, saat ini telah tegak. Dharma tengah
terbakar optimisme.
Mira
menarik tangannya. Ia membuang optimisme Dharma, meludahinya,
menginjak-injaknya. Meski begitu, ia merasa dirinya telah menjadi kesejukan
pagi itu lagi. Ia bisa terbuai. Ia bisa hanyut. Tapi Mira sudah terbuai dan
hanyut sampai ke hilir satu kali. Sekarang, ia enggan mengalaminya, lagi. ia
harus berenang melawan arus.
“Aku tahu,
dahulu semuanya hanya sebuah kepalsuan. Kau yang romantis, kau yang setia, yang
menjaga pandanganmu dari gadis lain, kau yang menjaga dan merawatku. Aku tahu,
tiada ketulusan, setitik pun di sana!” Mira tertawa kecil. Tawa itu terlalu
lemah, sekadar untuk menyembunyikan perih di hatinya. Ia telah kehabisan
pikiran, tentang lelaki ini. Dua tahun mereka bercerai, sekarang ia datang
dengan ketulusan. Bila Mira menerimanya, ketulusan itu hanya akan hambar.
“aku
bersyukur untuk itu, Mira.”
“Aku
menolak hidup bersamamu, dengan ketulusanmu itu. Bagiku, semuanya sudah cukup.
Aku telah berada di ambang kebosanan. Bosan pada kebaikan, tanpa celaan dan
cercaan.”
“Kau tahu,
aku tak sanggup bila harus mencela, apalagi mencercamu, Mira. Kau, adalah
kesejukan pagi Kota Bunga. Dan, setiap hari aku ingin menyapamu dengan ‘selamat
pagi, Kota Bunga’…” Dharma berhenti sejenak. Ia menyingkirkan makanan yang
mengepul di hadapannya. Ia beranjak, mendekat pada Mira.
Keramaian restoran
bergaya eropa itu, menjadi tirai yang hanya terbuka-tertutup.
“Aku hanya
akan merawat dan menjagamu dengan kebaikan, dan sekarang, juga ketulusan. Aku
ingin menjadi hujan bagi kota bunga itu.” Dharma melanjutkannya, lirih. Ia
mengacuhkan semua mata yang tertuju padanya. Sedangkan Mira, sudi tak sudi, ia
diam saja.
Mira
semakin merasa dirinya menjadi Kota Bunga dan kesejukan pagi. Ia semakin akan
terbuai, dan akan hanyut andai ia tak menampar pipinya keras-keras. Ia
berpikir, bahwa cinta dengan ketulusan, terutama dari Dharma hanya bisa
membuatnya terbujur bosan sampai mati. Ia ingin kehidupan rumah tangga dengan
pertengkaran, cercaan, dan barangkali tamparan, karena setelah semua itu, ia
yakin tangan akan kembali bertaut, dan peluk, juga kegaduhan di kamar.
Namun,
Dharma selalu seperti malaikat. Ia menolak berlaku dekat keji barang sejenak.
Mira akan menolak
ajakan itu. Ia mengepalkan tangan keras-keras. Ia berdiri, melepaskan
tangannya, lalu mendaratkan sebentuk tamparan pada Dharma. Sambil membungkuk,
bibirnya tepat di telinga Dharma, ia berbisik, “Sebaiknya kau sadar. Sebaiknya
kau tunjukkan ketulusan itu padaku. Dan aku akan pergi.”
Dharma tentu
saja kaget merasakan pipinya mengeras. Ia memandang Mira sejenak, lalu berdiri.
“Aku akan membuktikannya.” Ia berkata penuh kemantapan.
Dharma
berbalik, ia mencari pisau makan di mejanya. Saat ia temukan pisau itu, ia
duduk. Ia mengancingkan jasnya, lalu menusuk dadanya. Dengan begitu, dadanya
berlubang, dan darahnya menjadi mengair terjun.
Dharma
mencabut pisau merk Knife itu dari dadanya. Ia berlari keluar, mengejar Mira.
Ia tersenyum saat tangan si gadis telah berada di dekapannya.
Mira shock mendapati Dharma bersimbah darah.
Ia terduduk, di depan lelakinya. Ia tersenyum kecut, lalu menangis. Ia
ketakutan. “Bertahanlah!” begitu ucapnya, persis film-film laga dimana si lakon
hendak mati.
“Sekarang,
aku telah membuktikannya, padamu. Maka, kumohon temuilah aku saat kau pulang.”
Dharma berkata lirih. Ia hilang setelah kalimat itu rampung. Sebelum pergi, ia
telah mendapatkan kembali yang “lalu” itu.
Mira, ia
menjadi sebab yang lain dalam kematian Dharma.
Bagikan
Selamat Pagi, Kota Bunga
4/
5
Oleh
Unknown
1 komentar:
Tulis komentarlanjutkan wa
Reply