Minggu, 02 April 2017

Selamat Pagi, Kota Bunga


Di dalam keramaian, seorang lelaki berjalan cepat. Ia menyelinap, melewati kerumunan di depannya. Satu dua orang, ditabraknya. Sesekali ia melihat jam tangannya, lalu langkahnya semakin cepat. Lama kelamaan, ia berhenti berjalan.
Ia, berwajah halus. Gurat-guratnya, menunjukkan ketenangan. Tapi, ketenangan tetap menyembunyikan sakit, begitu pula wajah ini. Rambutnya disisir rapi. Klimis. Modelnya, persis tentara pertengahan abad ke-20 di film-film Hollywood. Di dalam mulutnya, ia mengunyah semacam permen karet, yang sekarang sudah tak lagi manis. Begitulah. Dan ia membuang permen karet itu sebelum masuk ke sebuah restoran bergaya eropa.
Ia melambaikan tangannya pada seorang gadis. Gadis itu, barangkali adalah kekasihnya. Seketika, wajah si lelaki merekah.
“Bagaimana kabarmu?” Si lelaki memberikan pelukan pada gadis itu. Ia mencium pipinya selagi sempat, dengan cepat.
“Aku baik-baik saja. Kebiasaanmu tidak berubah.” Ujar si gadis. Ia tertawa kecil.
“Hahaha…” Si lelaki ikut tertawa. Tawanya dalam, dan nampaknya ada semacam sakit di dalam tawanya, yang akhirnya terdengar garing dan palsu. “Apa sudah pesan?” Imbuhnya. Ia membuka daftar menu sambil mengungkapkan alasan ia terlambat.
“Kau benar-benar tidak berubah, Dharma. Alasanmu, persis seperti yang selalu kau utarakan dalam pertemuan-pertamuan di masa lalu itu, kau ingat?” si gadis memutar waktu di kepala Dharma. Ia memaksa Dharma agar melihat, merasa dan menjadikan “ada” dirinya di dalam masa yang dipanggil sebagai “yang lalu” itu.
“Ah, iya aku tahu. Tidak semua hal harus berubah.” Dharma menyunggingkan senyumnya. “Kau pun sama. Memandangmu tetap menghadirkan sensasi asing, tapi mirip kesejukan pagi.” Dharma menulis pesanannya cepat-cepat, setelahnya ia memanggil pelayan dan memberikan catatannya. Ia kembali pada kesejukan pagi, yang dahulu menenggelamkannya.
“Kesejukan pagi, adalah kata yang membuatku tunduk dan patuh padamu, dahulu.” Gadis itu menautkan jemarinya. Lalu, ia bertopang dagu pada jari-jari yang bertaut itu. Ia memandang penuh keseriusan, pada Dharma.
“Sebenarnya, apa yang ingin kau utarakan kali ini?” Imbuh si gadis. Nadanya tajam.
“Tak ada.” Dharma menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, lalu mengalihkan pandangannya. Di luar, mata yang menatap hari itu, telah lenyap. Ia ditelan serombongan kelam, yang hendak menembakkan deretan peluru ke bumi. Orang-orang, di cermin mata Dharma, berbondong-bondong meninggalkan keramaian terbuka, mereka beralih ke keramaian tertutup, di bawah naungan beton dan baja.
“Kau masih bodoh rupanya…” Kata si gadis, halus. Ia tetap menusuk Dharma dengan tatapannya.
“Bodoh bukan hal yang buruk. Tikus menjadi bodoh sebab ia terjepit jebakan yang dibuat manusia, atau memakan keju yang ditaburi racun, namun ia adalah kreasi yang pintar, penuh akan naluri mempertahankan kehidupan. Aku memang bodoh, di matamu. Aku bodoh, dan selamanya, aku selalu begitu.” Dharma menyilangkan tangannya di dada. Ia tetap pada keramaian yang sekarang hanya seruang kekosongan. Ia seperti mencari sesuatu di sana. Barangkali, sepotong “lalu” yang enggan kembali.
Dan buana kota Bunga itu semakin kelam dan siap menurunkan anugerahnya.
“Tidak salah, untuk menjadi bodoh, Mira.” Ia melanjutkan ucapannya. Wajahnya, berubah sayu saat deretan peluru itu telah sedang menghujam bumi.
Mira diam, begitu pula Dharma.
“Aku ingin memberitahumu sesuatu, Mira.” Dharma kembali bersuara setelah membisu cukup lama. Pesanannya telah bertengger manis, mengepul di depannya. Tapi, ia masih mencari yang “lalu” di antara keramaian hujan di balik jendela. “aku tak pernah tulus menenun kasih denganmu.” Sejenak kalimatnya terputus. “Baru sekarang, aku ingin tulus melakukannya, denganmu.” Kala itu juga ia menoleh, membalas tatapan Mira. Nada bicaranya penuh optimisme.
Ia menyentuh tangan Mira, mengalirkan optimisme itu pada si gadis. Punggungnya yang tadi bersandar manja di kursi, saat ini telah tegak. Dharma tengah terbakar optimisme.
Mira menarik tangannya. Ia membuang optimisme Dharma, meludahinya, menginjak-injaknya. Meski begitu, ia merasa dirinya telah menjadi kesejukan pagi itu lagi. Ia bisa terbuai. Ia bisa hanyut. Tapi Mira sudah terbuai dan hanyut sampai ke hilir satu kali. Sekarang, ia enggan mengalaminya, lagi. ia harus berenang melawan arus.
“Aku tahu, dahulu semuanya hanya sebuah kepalsuan. Kau yang romantis, kau yang setia, yang menjaga pandanganmu dari gadis lain, kau yang menjaga dan merawatku. Aku tahu, tiada ketulusan, setitik pun di sana!” Mira tertawa kecil. Tawa itu terlalu lemah, sekadar untuk menyembunyikan perih di hatinya. Ia telah kehabisan pikiran, tentang lelaki ini. Dua tahun mereka bercerai, sekarang ia datang dengan ketulusan. Bila Mira menerimanya, ketulusan itu hanya akan hambar.
“aku bersyukur untuk itu, Mira.”
“Aku menolak hidup bersamamu, dengan ketulusanmu itu. Bagiku, semuanya sudah cukup. Aku telah berada di ambang kebosanan. Bosan pada kebaikan, tanpa celaan dan cercaan.”
“Kau tahu, aku tak sanggup bila harus mencela, apalagi mencercamu, Mira. Kau, adalah kesejukan pagi Kota Bunga. Dan, setiap hari aku ingin menyapamu dengan ‘selamat pagi, Kota Bunga’…” Dharma berhenti sejenak. Ia menyingkirkan makanan yang mengepul di hadapannya. Ia beranjak, mendekat pada Mira.
Keramaian restoran bergaya eropa itu, menjadi tirai yang hanya terbuka-tertutup.
“Aku hanya akan merawat dan menjagamu dengan kebaikan, dan sekarang, juga ketulusan. Aku ingin menjadi hujan bagi kota bunga itu.” Dharma melanjutkannya, lirih. Ia mengacuhkan semua mata yang tertuju padanya. Sedangkan Mira, sudi tak sudi, ia diam saja.
Mira semakin merasa dirinya menjadi Kota Bunga dan kesejukan pagi. Ia semakin akan terbuai, dan akan hanyut andai ia tak menampar pipinya keras-keras. Ia berpikir, bahwa cinta dengan ketulusan, terutama dari Dharma hanya bisa membuatnya terbujur bosan sampai mati. Ia ingin kehidupan rumah tangga dengan pertengkaran, cercaan, dan barangkali tamparan, karena setelah semua itu, ia yakin tangan akan kembali bertaut, dan peluk, juga kegaduhan di kamar.
Namun, Dharma selalu seperti malaikat. Ia menolak berlaku dekat keji barang sejenak.
Mira akan menolak ajakan itu. Ia mengepalkan tangan keras-keras. Ia berdiri, melepaskan tangannya, lalu mendaratkan sebentuk tamparan pada Dharma. Sambil membungkuk, bibirnya tepat di telinga Dharma, ia berbisik, “Sebaiknya kau sadar. Sebaiknya kau tunjukkan ketulusan itu padaku. Dan aku akan pergi.”
Dharma tentu saja kaget merasakan pipinya mengeras. Ia memandang Mira sejenak, lalu berdiri. “Aku akan membuktikannya.” Ia berkata penuh kemantapan.
Dharma berbalik, ia mencari pisau makan di mejanya. Saat ia temukan pisau itu, ia duduk. Ia mengancingkan jasnya, lalu menusuk dadanya. Dengan begitu, dadanya berlubang, dan darahnya menjadi mengair terjun.
Dharma mencabut pisau merk Knife itu dari dadanya. Ia berlari keluar, mengejar Mira. Ia tersenyum saat tangan si gadis telah berada di dekapannya.
Mira shock mendapati Dharma bersimbah darah. Ia terduduk, di depan lelakinya. Ia tersenyum kecut, lalu menangis. Ia ketakutan. “Bertahanlah!” begitu ucapnya, persis film-film laga dimana si lakon hendak mati.
“Sekarang, aku telah membuktikannya, padamu. Maka, kumohon temuilah aku saat kau pulang.” Dharma berkata lirih. Ia hilang setelah kalimat itu rampung. Sebelum pergi, ia telah mendapatkan kembali yang “lalu” itu.

Mira, ia menjadi sebab yang lain dalam kematian Dharma.

Bagikan

Jangan lewatkan

Selamat Pagi, Kota Bunga
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

1 komentar:

Tulis komentar