sumber gambar : unsplash |
"Dia
tidak pernah banyak bicara, bahkan pada orang tuanya sekalipun", ujar
seorang teman yang duduk di samping Aruna. Ia tengah asyik menggulung mie rebus
di mangkuknya dengan garpu.
"Ah
yang benar? Aku tidak percaya. Anak macam apa yang bahkan kepada orang tuanya
berkata seperlunya", kata Aruna. Ia menyiratkan ketidak percayaan dalam
perkataannya barusan.
"Kau
ajak saja ia bicara, nanti juga pasti tahu!", jawab teman Aruna yang duduk
di sebelah temannya yang sedak asyik menggulung mie rebus di garpu. Ia tidak
melakukan apapun di kantin sekolah. Padahal ini jam istirahat.
Kantin
SMP Kiansantang di tahun 1985 selalu ramai saat jam istirahat tiba. Banyak
murid yang datang memadati kantin seluas dua puluh meter ini. Imbasnya sebanyak
sepuluh meja kecil dan besar penuh diduduki oleh siapapun yang sedang
beristirahat. Pedagang berjejer di sisi kantin. Dimulai dari tukang bubur ayam
dan soto, dilanjutkan tukang jus, gorengan lalu diakhiri oleh tukang minuman
ringan. Pedagang-pedagang itu hampir semuanya sibuk melayani pembeli saat jam
istirahat di sekolah ini tiba.
Aruna
meminum air mineral yang dibelinya ketika ia masuk ke kantin ini beberapa saat
yang lalu. Ia dapat membelinya karena kakek memberinya uang saku yang cukup
untuk pulang-pergi dari rumah ke sekolah dan membeli air mineral. Biasanya ia
tidak membeli apapun saat jam istirahat tiba. Maklum, kondisi ekonomi kakeknya
sedang carut marut. Jadi, tanpa harus diperintah, anak berusia tiga belas tahun
itu mengambil sikap sederhana untuk membantu kakeknya.
Aruna
menenggak tegukan terakhir dari botol air mineralnya. Kemudian ia berkata,
"Aku akan mengajaknya berbicara dan akan kubuktikan bahwa perkataan kalian
tentang anak perempuan bernama Lisa itu adalah salah". Ia mengedarkan
pandangannya berkeliling, mencari sosok anak perempuan dengan nama yang baru
saja ia sebutkan. Ia merasa gereget dengan gunjingan kedua teman dekatnya
barusan dan berniat membuktikan bahwa ucapan mereka berdua salah.
Aruna
berhenti mengedarkan penglihatannya ketika sosok yang ia cari telah ditemukan.
Sosok itu sedang duduk di ujung kantin bersama beberapa orang temannya. Dari
kejauhan Aruna tidak melihat anak perempuan itu membuka mulutnya untuk
berbicara, bahkan untuk tertawa menghargai lelucon temannya pun tidak. Anak perempuan
itu seperti bisu. Hanya membantu sambil sesekali mencubiti roti yang ada di
tangannya.
"Aku
berhasil menemukannya. Ia duduk di meja paling ujung di kantin ini. Tunggulah
di sini, aku akan membawakan kalian hasil yang baik..", Aruna berujar
dengan optimis. Di dalam hatinya ia yakin akan mempecundangi kedua temannya
itu. Sementara kedua temannya hanya mengangguk dan memandang kepergian sahabat
mereka hingga dapat mereka lihat dengan jelas Aruna berdiri di depan anak
Perempuan Hemat Kata itu.
Aruna
menghadapi anak perempuan itu di seberang meja. Ia masih merasa optimis akan
mengalahkan dugaan kedua temannya itu. Ia hendak duduk untuk membuat suasana
menjadi sedikit nyaman. Kebetulan di meja itu masih ada satu kursi kosong
tersisa. Kursi itu terletak tepat di depan Aruna berdiri.
Anak
perempuan itu sama sekali tidak mengindahkan keberadaan Aruna. Raut wajahnya
menampakkan kebosanan yang sangat dalam. Entah apa yang membuatnya memasang
wajah bosan seperti itu, yang jelas itu bukan Aruna. Anak lelaki itu baru saja
duduk di hadapannya. Kini mereka berhadapan. Tidak ada pembicaraan, atau
sekedar sapaan "Hei" pun tidak ada. Hanya sunyi yang menjadi sekat
antara dua orang anak berbeda jenis ini. Anak perempuan ini rupanya mulai
menyadari keberadaan Aruna. Ia menengadahkan wajahnya sedikit, tidak menunduk,
agar dapat melihat wajah Aruna dengan jelas.
"Kau
siapa? Apa maumu di sini?", ujar si anak perempuan dengan pertanyaan
bertubi-tubi. Wajahnya masih menyiratkan kebosanan.
Raut
wajah itu. Ya, raut wajah itu yang membuat Aruna kehilangan delapan puluh
persen rasa optimisnya. Ia seperti lilin yang meleleh di hadapan anak perempuan
ini. Ia tak berdaya menghadapi wajah anak perempuan ini.
"Aku
Aruna, siapa namamu? Oh iya, kamu sekelas denganku, tapi aku belum mengenal namamu.
Ayolah perkenalkan namamu", bujuk Aruna. Ia berharap-harap cemas basa
basinya akan memaksa anak perempuan itu akan berkata lima atau enam kata
padanya. Aruna ingat peraturan yang dibuat kedua temannya tentang permainan ini
: asalkan anak perempuan itu berkata lima atau enam kata atau lebih padamu,
maka kau pemenangnya.
"Lisa",
jawab anak perempuan itu. Begitu singkat dan menjengkelkan.
Aruna
belum menyerah. Ia akan bertanya lagi. "Kita satu kelas. Kau duduk di
dekat Anita bukan, Lisa? Aku sering memerhatikanmu lho...". Aruna
benar-benar lupa bahwa perkataannya barusan telah mengisyaratkan bahwa dirinya
adalah seorang penguntit pada si anak perempuan. Tapi Aruna tidak memiliki
waktu untuk menyadarinya. Ia terlampau kesal dan takut kalah dari kedua temannya.
"Aku
tak peduli", jawab Lisa. Sama seperti pertanyaan pertama, ia menjawabnya
dengan sangat singkat.
Aruna
kesal dengan jawaban anak perempuan yang duduk di seberang meja ini, berhadapan
dengannya. Kemudian ia mengajukan basa basi lagi, kali ini lebih memalukan,
"Aku tidak tahu kalau kau sesimpel ini. Selama kau selalu kukira pribadi
ramah yang baik hati. Aku mengangumimu, makanya aku memerhatikanmu hampir
setiap jam istirahat, oh tidak, hampir setiap jam pelajaran"
"Kau
salah orang", jawab Lisa masih sesingkat jawaban pertanyaan pertama dan
kedua.
Aruna
sudah habis pikir dengan tabiat anak perempuan ini. Dalam hati ia mengerutu,
"Percuma kamu punya wajah secantik itu. Aku takkan menyukainya bahkan
hampir sampai kiamar pun takkan pernah, kecuali kau merubah gaya bicaramu
itu...". Tapi rupanya separuh kalimatnya terucap begitu saja dengan nada
yang cukup tinggi hingga membuat Lisa terlonjak kaget. Aruna tidak sadar atas
apa yang baru saja ia ucapkan tentang anak perempuan ini. Wajahnya memerah dan seketika
ia menutup mulutnya sendiri.
"Aku
hanya tidak percaya dengan kata-kata. Aku memilih hemat berkata hanya untuk
menjaga agar aku tidak pernah dibohongi lagi oleh siapapun, bahkan oleh
pengagum misterius sepertimu sekalipun. Sebelumnya ibuku pernah mengatakan
bahwa ia takkan meninggalkanku, tapi kemudian ia tidak menepati janjinya dan
bercerai dengan ayah. Sejak itu, aku tak ingin banyak berkata dan membuat orang
lain berjanji padaku. Kata akan merangkai janji dan janji selalu sukar untuk
ditepati", tanpa terduga-duga anak perempuan bernama Lisa itu bertutur
cukup panjang. Sampai beberapa menit lamanya.
Aruna
tidak mampu menghitung berapa kata yang diucapkan Lisa dengan jari-jarinya. Ia
sudah menang. Kemudian ia mengulum senyum kemenangan di wajahnya. Semantara
Lisa mulai mengajak Aruna bicara, membuka topik lain untuk pembicaraan mereka
di kanting siang itu. Kali ini Aruna mendapatkan pelajaran lain tentang
kata-kata dari seorang anak perempuan. Ia akan pulang ke rumah dan
menceritakannya kepada kakek.
Bagikan
Si Gadis Hemat Kata
4/
5
Oleh
Unknown
1 komentar:
Tulis komentarcek cek cek komentar
Reply