Minggu, 02 April 2017

Si Gadis Hemat Kata

sumber gambar : unsplash

"Dia tidak pernah banyak bicara, bahkan pada orang tuanya sekalipun", ujar seorang teman yang duduk di samping Aruna. Ia tengah asyik menggulung mie rebus di mangkuknya dengan garpu.
"Ah yang benar? Aku tidak percaya. Anak macam apa yang bahkan kepada orang tuanya berkata seperlunya", kata Aruna. Ia menyiratkan ketidak percayaan dalam perkataannya barusan.
"Kau ajak saja ia bicara, nanti juga pasti tahu!", jawab teman Aruna yang duduk di sebelah temannya yang sedak asyik menggulung mie rebus di garpu. Ia tidak melakukan apapun di kantin sekolah. Padahal ini jam istirahat.
Kantin SMP Kiansantang di tahun 1985 selalu ramai saat jam istirahat tiba. Banyak murid yang datang memadati kantin seluas dua puluh meter ini. Imbasnya sebanyak sepuluh meja kecil dan besar penuh diduduki oleh siapapun yang sedang beristirahat. Pedagang berjejer di sisi kantin. Dimulai dari tukang bubur ayam dan soto, dilanjutkan tukang jus, gorengan lalu diakhiri oleh tukang minuman ringan. Pedagang-pedagang itu hampir semuanya sibuk melayani pembeli saat jam istirahat di sekolah ini tiba.
Aruna meminum air mineral yang dibelinya ketika ia masuk ke kantin ini beberapa saat yang lalu. Ia dapat membelinya karena kakek memberinya uang saku yang cukup untuk pulang-pergi dari rumah ke sekolah dan membeli air mineral. Biasanya ia tidak membeli apapun saat jam istirahat tiba. Maklum, kondisi ekonomi kakeknya sedang carut marut. Jadi, tanpa harus diperintah, anak berusia tiga belas tahun itu mengambil sikap sederhana untuk membantu kakeknya.
Aruna menenggak tegukan terakhir dari botol air mineralnya. Kemudian ia berkata, "Aku akan mengajaknya berbicara dan akan kubuktikan bahwa perkataan kalian tentang anak perempuan bernama Lisa itu adalah salah". Ia mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari sosok anak perempuan dengan nama yang baru saja ia sebutkan. Ia merasa gereget dengan gunjingan kedua teman dekatnya barusan dan berniat membuktikan bahwa ucapan mereka berdua salah.
Aruna berhenti mengedarkan penglihatannya ketika sosok yang ia cari telah ditemukan. Sosok itu sedang duduk di ujung kantin bersama beberapa orang temannya. Dari kejauhan Aruna tidak melihat anak perempuan itu membuka mulutnya untuk berbicara, bahkan untuk tertawa menghargai lelucon temannya pun tidak. Anak perempuan itu seperti bisu. Hanya membantu sambil sesekali mencubiti roti yang ada di tangannya.
"Aku berhasil menemukannya. Ia duduk di meja paling ujung di kantin ini. Tunggulah di sini, aku akan membawakan kalian hasil yang baik..", Aruna berujar dengan optimis. Di dalam hatinya ia yakin akan mempecundangi kedua temannya itu. Sementara kedua temannya hanya mengangguk dan memandang kepergian sahabat mereka hingga dapat mereka lihat dengan jelas Aruna berdiri di depan anak Perempuan Hemat Kata itu.
Aruna menghadapi anak perempuan itu di seberang meja. Ia masih merasa optimis akan mengalahkan dugaan kedua temannya itu. Ia hendak duduk untuk membuat suasana menjadi sedikit nyaman. Kebetulan di meja itu masih ada satu kursi kosong tersisa. Kursi itu terletak tepat di depan Aruna berdiri.
Anak perempuan itu sama sekali tidak mengindahkan keberadaan Aruna. Raut wajahnya menampakkan kebosanan yang sangat dalam. Entah apa yang membuatnya memasang wajah bosan seperti itu, yang jelas itu bukan Aruna. Anak lelaki itu baru saja duduk di hadapannya. Kini mereka berhadapan. Tidak ada pembicaraan, atau sekedar sapaan "Hei" pun tidak ada. Hanya sunyi yang menjadi sekat antara dua orang anak berbeda jenis ini. Anak perempuan ini rupanya mulai menyadari keberadaan Aruna. Ia menengadahkan wajahnya sedikit, tidak menunduk, agar dapat melihat wajah Aruna dengan jelas.
"Kau siapa? Apa maumu di sini?", ujar si anak perempuan dengan pertanyaan bertubi-tubi. Wajahnya masih menyiratkan kebosanan.
Raut wajah itu. Ya, raut wajah itu yang membuat Aruna kehilangan delapan puluh persen rasa optimisnya. Ia seperti lilin yang meleleh di hadapan anak perempuan ini. Ia tak berdaya menghadapi wajah anak perempuan ini.
"Aku Aruna, siapa namamu? Oh iya, kamu sekelas denganku, tapi aku belum mengenal namamu. Ayolah perkenalkan namamu", bujuk Aruna. Ia berharap-harap cemas basa basinya akan memaksa anak perempuan itu akan berkata lima atau enam kata padanya. Aruna ingat peraturan yang dibuat kedua temannya tentang permainan ini : asalkan anak perempuan itu berkata lima atau enam kata atau lebih padamu, maka kau pemenangnya.
"Lisa", jawab anak perempuan itu. Begitu singkat dan menjengkelkan.
Aruna belum menyerah. Ia akan bertanya lagi. "Kita satu kelas. Kau duduk di dekat Anita bukan, Lisa? Aku sering memerhatikanmu lho...". Aruna benar-benar lupa bahwa perkataannya barusan telah mengisyaratkan bahwa dirinya adalah seorang penguntit pada si anak perempuan. Tapi Aruna tidak memiliki waktu untuk menyadarinya. Ia terlampau kesal dan takut kalah dari kedua temannya.
"Aku tak peduli", jawab Lisa. Sama seperti pertanyaan pertama, ia menjawabnya dengan sangat singkat.
Aruna kesal dengan jawaban anak perempuan yang duduk di seberang meja ini, berhadapan dengannya. Kemudian ia mengajukan basa basi lagi, kali ini lebih memalukan, "Aku tidak tahu kalau kau sesimpel ini. Selama kau selalu kukira pribadi ramah yang baik hati. Aku mengangumimu, makanya aku memerhatikanmu hampir setiap jam istirahat, oh tidak, hampir setiap jam pelajaran"
"Kau salah orang", jawab Lisa masih sesingkat jawaban pertanyaan pertama dan kedua.
Aruna sudah habis pikir dengan tabiat anak perempuan ini. Dalam hati ia mengerutu, "Percuma kamu punya wajah secantik itu. Aku takkan menyukainya bahkan hampir sampai kiamar pun takkan pernah, kecuali kau merubah gaya bicaramu itu...". Tapi rupanya separuh kalimatnya terucap begitu saja dengan nada yang cukup tinggi hingga membuat Lisa terlonjak kaget. Aruna tidak sadar atas apa yang baru saja ia ucapkan tentang anak perempuan ini. Wajahnya memerah dan seketika ia menutup mulutnya sendiri.
"Aku hanya tidak percaya dengan kata-kata. Aku memilih hemat berkata hanya untuk menjaga agar aku tidak pernah dibohongi lagi oleh siapapun, bahkan oleh pengagum misterius sepertimu sekalipun. Sebelumnya ibuku pernah mengatakan bahwa ia takkan meninggalkanku, tapi kemudian ia tidak menepati janjinya dan bercerai dengan ayah. Sejak itu, aku tak ingin banyak berkata dan membuat orang lain berjanji padaku. Kata akan merangkai janji dan janji selalu sukar untuk ditepati", tanpa terduga-duga anak perempuan bernama Lisa itu bertutur cukup panjang. Sampai beberapa menit lamanya.

Aruna tidak mampu menghitung berapa kata yang diucapkan Lisa dengan jari-jarinya. Ia sudah menang. Kemudian ia mengulum senyum kemenangan di wajahnya. Semantara Lisa mulai mengajak Aruna bicara, membuka topik lain untuk pembicaraan mereka di kanting siang itu. Kali ini Aruna mendapatkan pelajaran lain tentang kata-kata dari seorang anak perempuan. Ia akan pulang ke rumah dan menceritakannya kepada kakek.

Bagikan

Jangan lewatkan

Si Gadis Hemat Kata
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

1 komentar:

Tulis komentar