Minggu, 02 April 2017

Kertas Bunga Dalam Kaca


Marwan tengah duduk di tepi taman sore itu. Tiba-tiba tangannya menerima selembar kertas. Kertas itu terlipat beberapa kali, membentuk sebuah bunga. Begitu rapih. Warnanya putih, sedikit buram. Ada bercak kuning kecoklatan di sana sini, seperti terguyur hujan dan kering di atas hawa panas api. Ujung kertas berlipat-lipat sedikit terbakar. Marwan tidak membuang kertas itu. ia membawanya pulang. Menurutnya, kertas itu cukup indah. Ia akan menyimpannya dalam gelas di meja belajar di rumahnya.
Suatu hari Marwan merasa keanehan muncul begitu saja dari kertas bunga. Ia mulai enggan menyimpannya. Marwan duduk di hadapan meja belajarnya, kertas bunga ada di dalam gelas. Tatapannya lekat pada kertas bunga. Keanehan semakin muncul dari kertas bunga. Tergesa-gesa Marwan mengambil kertas bunga. Jemarinya membuka lipatan kertas itu perlahan. Lama berselang, kertas bunga terbuka seutuhnya. Sebuah pesan singkat terkuak begitu Marwan selesai membukanya. Ia membaca pesan itu.
Sesuatu akan menabrakmu, Marwan Widjaja!
Begitulah pesan singkat di kertas bunga. Pesan itu untuk Marwan. Namanya tertera jelas di sana. Isi pesan tidak ditulis dengan tangan, melainkan dicetak. Pesan itu dicetak dengan huruf biasa, kecuali nama Marwan. Nama Marwan dicetak dengan huruf tebal. Menegaskan bahwa pesan di kertas bunga memang untuknya, bukan siapa-siapa.
Marwan terhenyak. Ia berpikir keras, membayangkan sesuatu yang besar akan menabraknya saat pulang kuliah nanti. Ia berhenti berpikir. Ia membayangkan. Marwan ketakutan, benar-benar ketakutan. Bayangan-bayangan mengerikan tentang tabrakan muncul bergantian di kepalanya. Ia ketakutan, benar-benar ketakutan.
“Sepertinya aku tidak perlu berangkat ke kampus hari ini”, pikir Marwan. Ia duduk diam di kursi belajarnya. Membayangkan tabrakan dahsyat yang akan menimpanya.
Marwan tetap berangkat ke kampus. Ia urung tinggal di rumah sendirian. Selain itu, ia memiliki janji dengan Andini di perpustakaan. Janji sesame teman. Janji untuk mengerjakan tugas bersama.
Ia berjalan tanpa keyakinan. Sepanjang jalan Marwan tak henti tengok kiri-kanan. Berjaga-jaga bila sesuatu datang hendak menabrak dirinya. Rupanya pesan di dalam kertas bunga telah merubah Marwan. Ia bukan Marwan si pemberani, lagi, ia Marwan si penakut. Marwan mempercepat langkah kakinya saat ia tiba di pertigaan. Baginya, pertigaan adalah tempat potensial terjadinya tabrakan. Di sana mobil-mobil, dan sepeda motor melaju dengan cepat saat sepi. Marwan pernah menyaksikan tabrakan beruntun di pertigaan Semanggi. Kala itu seorang pengendara sepeda motor terjepit dan meninggal dunia. sejak saat itu Marwan selalu waspada saat di pertigaan meskipun ia berjalan kaki.
Marwan sampai di kampus. Ia langsung menuju perpustakaan. Ia beruntung, hari ini Andini sudah duduk manis di salah satu meja, itu artinya ia tak perlu repot-repot mencari gadis ini, lagi. Ia duduk berhadap-hadapan dengan Andini. Dilihatnya Andini sedang membaca buku.
"Sh! Sh! Sh!" bisik Marwan. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan perpustakaan yang tenang.
"Berisik! Untuk apa kau melakukan itu di sini?", kata Andini. Ia merasa kelakuan Marwan mengganggu kegiatan membacanya.
"Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Ann", jawab Marwan. Ia beranjak meninggalkan Andini. "Ayo! Ikuti aku. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu". Marwan menghilang di pintu perpustakaan. Sesekali ia menoleh ke belakang.
Andini mengikuti Marwan. Mereka duduk di salah satu bangku taman kampus. Andini tak lagi membaca buku. Ia yakin Marwan pasti akan mengganggunya, lagi.
"Ini". Marwan menyodorkan selembar kertas kepada Andini. Ia tidak melipat kertas itu kembali ke bentuk asalnya, berjaga-jaga agar Andini tidak menganggapnya main-main.
"Apa ini?". Andini membulak-balik kertas itu. Ia melewatkan pesan peringatan, karena dianggapnya tak penting.
Marwan menjelaskan pada Andini perihal pesan peringatan yang tertulis di kertas bunga, juga ketakutannya. Menurutnya, pesan yang tertulis di kertas bunga memberinya kewaspadaan, ketakutan dan kecurigaan pada sekitarnya. Ia tidak berani keluar rumah selama dua hari karena pesan itu. Marwan juga menceritakan tentang perjalanannya menuju kampus. Di dalam ceritanya, Marwan merasa sesuatu terus mengikutinya dan ingin menabraknya. Ia bercerita tentang percepatan langkah kakinya di pertigaan dan ketakutannya pada bayangan tabrakan di pertigaan Semanggi beberapa tahun silam.
Andini kebosanan. Ia tidak memperhatikan secara intens setiap kata dalam cerita Marwan. Ia sedang tidak dalam kondisi untuk mendengarkan sebuah cerita. AKhirnya, Andini berbicara untuk menyudahi cerita Marwan. Begini katanya, "Aku tidak mempercayai kertas semacam ini. Siapapun bisa membuatnya, begitu juga aku! Hanya orang yang terlampau pintar yang mau membaca, menyimpannya dan memikirkannya begitu dalam, apalagi sampai ketakutan karenanya. Kau seperti kura-kura dalam kurungan!"
"Aku memang kura-kura dalam kurungan!", kata Marwan. Nada bicaranya meninggi, terutama pada kata Kura-kura. Ia merasa dilecehkan bila disebut Kura-kura. "Tapi tulisan itu benar-benar membuatku takut. Bisakah kau memberiku sedikit saran, hai Venus?", pada kalimat ini Marwan menghaluskan nada bicaranya. Ia tak ingin Andini tersinggung oleh kata-katanya yang pertama.
"Teruslah kau baca tulisan itu, niscaya suatu hari kau akan mengerti maksudnya. Itulah saran yang kuberikan untukmu", ujar Andini, kemudian ia beranjak meninggalkan Marwan dengan segala kebingungannya. Sebelum pergi terlalu jauh, ia sempat tersenyum simpul tapi Marwan tak mengetahuinya.
Matahari mulai condong ke arah barat. Angin-angin berhembus bergantian melewati bangku taman, menerbangkan burung-burung, dan daun-daunan yang gugur. Sementara Marwan terduduk diam di bangku taman kampus. Ia duduk seorang diri, memikirkan ucapan Andini berkali-kali. Ia tidak menangkap ucapan Andini sebagai saran. Ucapan andini tadi baginya seperti petuah ibu kepada anaknya yang sedang mempelajari filsafat.
***
Marwan baru saja akan pulang. Ia membereskan ceceran tinta di meja lukisnya terlebih dahulu. Ia melukis Kertas Bunga Dalam Gelas hari ini. Tak ada hal lain yang dapat ia lukis selain dua benda itu ; benda-benda yang mengganggu pikirannya. Benda-benda itu tidak hanya mengganggu pikirannya selama dua minggu ini. Tapi juga membuatnya mengalami mimpi-mimpi aneh. Ia tidak dapat berpikir jernih, bahkan untuk pikiran kotor sekalipun tidak!. Selama empat belas hari benda-benda itu menyiksanya.
"Ibu, aku akan pulang telat malam ini. Makanlah dahulu dan jangan tunggu aku pulang", ujar Marwan. Ia selesai memberitahu ibunya perihal kepulangannya yang akan telat malam ini. Marwan sudah menyelesaikan lukisannya, tapi ia takkan pulang secepat harapannya. Ia masih memiliki janji dengan Andini. Bukan janji seorang teman.
Marwan membuka pesan singkat di Ponselnya. Pesan dari Andini.
Aku menunggumu di depan toko kue Nesto. Datang dengan cepat! - Andini
Marwan lekas pergi dari ruang melukis kampus. Di tangannya, ia membawa selambar kertas. Bukan Kertas Bunga. Kertas yang dibawa Marwan adalah lembar persetujuan yang mesti ditandangani Andini. Dalam beberapa kondisi, Andini bertindak sebagai pribadi yang berbeda. Terkadang sebagai atasan Marwan di Lembaga Lukis Mahasiswa, sebagai teman kuliah pada hari-hari biasa, dan sebagai kekasih pada akhir pekan. Ia tidak habis pikir kenapa ia memilih Andini sebagai kekasihnya. Gadis itu tak pernah memberinya saran berguna untuk menghadapi ketakutannya terhadap pesan di Kertas Bunga.
Andini berdiri di depan toko kue Nesto sambil bersila tangan. Ia dan Marwan sudah membuat janji di sini sore ini.
Marwan mempercepat langkahnya. Ia memang takut pada tabrakan yang mengikutinya kemanapun, tapi ia tak punya pilihan selain melangkah secepat mungkin. Ia lebih takut pada kemarahan Andini ketimbang tabrakan yang akan membunuhnya. Ia tidak ingin mati, tapi Andini pun pasti akan membunuhnya andai ia datang ke toko kue Nesto tak tepat waktu. Andini adalah Venus, sang dewi, yang dengannya datang keajaiban dan kehancuran.
"Maaf menunggu lama, bos", ujar Marwan. Ia mengeluarkan lembar persetujuan dari dalam tasnya, lalu menyodorkannya pada Andini.
Gadis di hadapannya ini tidak marah. Marwan datang tepat waktu, sesuai perjanjian.
"Syukurlah kau datang tepat pada waktunya"
"Aku mengusahakannya sebaik kemampuanku melukis. Kau tahu aku akan mati bila tidak tepat waktu sampai ke tempat ini"
Andini mengamini setiap kata yang diucapkan Marwan. Ia tahu kekasihnya, teman, sekaligus anak buahnya ini tidak pernah terlambat menemuinya dimanapun, tapi ia merasa bahwa Marwan tidak pernah bisa konsentrasi mengerjakan apapun setelah menemukan Kertas Bunga dan pesan di dalamnya.
"Kertas Bunga tak menakutimu, lagi?", tanya Andini. Ia berusaha sehalus mungkin berkata agar Marwan tak tersinggung.
"Uhmmm...hal itu tak bisa kupastikan. Aku tidak tahu", Marwan tampak ragu-ragu menjawab pertanyaan Andini. Saat itu juga perilakunya berubah.
Marwan menoleh ke kanan-kirinya. Ia ketakutan. Ia merasa sesuatu yang mengikutinya datang mendekat dan akan menabraknya. Tangannya memeluk tas di dada. Kepalanya tak berhenti menoleh. Pijakan Marwan bergetar. Ia benar-benar ketakutan. Tapi raut wajahnya ia pasang sedatar mungkin untuk menyembunyikan rasa takutnya dari Andini.
"Jika kau masih ketakutan, itu artinya kau hanya bocah! Bocah yang perlu diantar oleh ibunya ketika kencing malam-malam. Aku sendiri... tidak akan mengantar anakku ke kamar mandi malam-malam. Akan aku biarkan ia berjalan sendiri dan merasakan ketakutannya". Andini pergi begitu saja. Ia tahu, ia selalu tahu Marwan takut pada pesan yang tertulis di Kertas Bunga. Andini tersenyum lagi saat meninggalkan Marwan, tapi Marwan tak melihatnya.
Marwan menangkap ungkapan Andini sebagai sebuah nasihat seorang ibu pada anaknya. Ia tidak pernah mendapat nasihat atau saran yang baik dari siapapun tentang ketakutannya ini, bahkan dari kekasihnya pun tidak.
Marwan kembali ke ruang lukis kampus pukul 19.00, Ia membawa beberapa kanvas kosong di tangannya. Ia menyimpan kanvas-kanvas itu di pojok ruang lukis. Kemudian ia beranjak pergi dari sana. Sebelum terlalu jauh, Marwan menghentikan langkahnya, ia menoleh ke kiri-kanannya, mencari sesuatu yang tersembunyi dalam gelap. Mungkin saja yang tersembunyi itu akan menabraknya tiba-tiba. Ia tidak yakin tak ada orang lain di ruangan ini selain dirinya. Ia tidak yakin ia sendirian. Maka Marwan menaikkan tingkat kewaspadaannya lebih tinggi. Langit bertambah gelap di luar sana, tanpa bintang, sementara Marwan sedang menutup pintu ruang lukis. Ia berjalan pelan-pelan di area kampus. Ia merasa aman di sini. Di sini tak ada kendaraan bermotor, sepeda pun tak ada. Hanya beberapa Mahasiswa saja yang ia lihat di area sekitar kampus. Mereka sedang mengobrol, meminum kopi, dan bermain kartu. Marwan tidak takut pada mereka. Ia sangat yakin manusia takkan bisa menabraknya sampai mati. lalu bayangan mengerikan tentang penabrakan manusia berpisau padanya pun muncul. Marwan takut bukan kepalang. Ia melupakan hal itu. Sekarang tak ada lagi titik aman baginya. Ia akan terus merasa takut tertabrak oleh banyak hal, termasuk manusia, manusia yang membawa pisau.
Marwan mempercepat langkahnya. Ia melupakan semua ketenangan yang baru saja didapatkannya. Perasaannya memaksanya berjalan lebih cepat, cepat, dan semakin cepat. Marwan berlari melewati area kampus. Ia takut, terutama pada titik-titik gelap di kampusnya. Ia merasa sesuatu akan menabraknya setiap kali melewati titik gelap itu. Marwan berlari secepat kemampuannya. Langkahnya terhenti ketika dilihatnya Andini berdiri di gerbang kampus.
"Untuk apa berlari seperti itu? Tidakkah kau berpikir bahwa kau terlalu berlebihan menyikapi Kertas Bunga bodoh serta pesan di dalamnya? Kupikir semua itu bukan untukmu. Bukan untuk Marwan Widjaja!", kata Andini. Ia berjalan di sisi Marwan, kali ini sebagai kekasih.
"Kau kekasihku. Seharusnya kau tahu bagaimana posisiku saat ini", Marwan memasukkan tangannya ke dalam kantung jaket. Ia kedinginan. "Pesan mengenai tabrakan itu jelas untukku, pesan itu memberitahuku tentang bencana yang akan menimpaku. Pesan itu membuatku waspada, takut, khawatir, bahkan aku merasa diriku bukanlah aku dahulu. Aku bukan lagi Marwan!
"Marwan yang kau kenal sedang dalam ketakutan jauh di sini", lanjut Marwan. Ia menunjuk dadanya. "Lalu ketakutanku menguasai diriku. Jadilah aku Marwan si penakut. Kau bisa memintaku apapun, tapi untuk hal ini, aku tak bisa melepaskannya. bagaimanapun, aku harus tetap waspada dalam ketakutanku ini. Lagipula Aku belum menikahimu". Marwan menutup ucapannya dengan mantap pada kalimat terakhir. Ia ketakutan, tapi di sisi Andini ia lebih tenang. Entah apa yang dimiliki gadis itu, ia hanya merasa Andini memiliki sisi kuat yang dapat mengurangi ketakutannya.
***
Makin hari ketakutan Marwan semakin bertambah. Intensitas kewaspadaannya ia naikkan berkali-kali lipat. Ia merasa bencana itu akan segera mendatanginya, bukan lagi menghampiri. Ia menghitung jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik dalam hidupnya. Menilainya sendiri. Ia mulai putus asa pada ketakutannya dan kewaspadannya yang tinggi dirasa takkan mampu mengalahkan bencana yang akan menimpanya. Ia dalam keadaan waspada namun bencana itu malah semakin mendekat.
Marwan tidak pergi ke kempas seminggu terakhir ini. Penyebabnya bukan hanya bencana tabrakan yang menghantui bayangannya, tapi juga Andini. Mereka bertengkar tujuh hari yang lalu saat Marwan mengungkapkan keinginannya menikahi gadis itu. Andini marah dan merasa dipermainkan, ia merasa Marwan ingin menikahinya hanya untuk menghiangkan rasa takut. Ia menduga Marwan hendak memanfaatkannya saja untuk menghilangkan rasa takut. Marwan tidak membela diri. Ia pikir alasannya memang seperti itu, setidaknya untuk saat itu. Tapi perlahan, Marwan tahu jika niatannya itu tidak hanya untuk menghilangkan rasa takut. Ia yakin ia akan menikahi Andini.
Ingatan Marwan kembali ke percakapan tujuh hari lalu di toko kue Nesto.
"Kau ingin memanfaatkanku hanya untuk rasa takutmu itu?", wajah Andini memerah. Gadis ini tengah menahan amarahnya pada Marwan.
"Memang itulah alasanku. Aku ingin kau menikahiku agar aku tak takut, lagi. Bagaimana menurutmu?"
"Lalu seandainya aku tak dapat menghilangkan rasa takutmu itu, apa yang akan kau lakukan?"
Marwan tak menjawab. Ia tak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu.
"Baiklah!", seru Andini. "jadi itulah jawabanmu, kura-kura dalam tempurung? Enyahlah dari hadapanku, segera! Aku tak ingin melihat wajahmu, lagi...", imbuhnya dengan nada bergetar. Perempuan biasanya menangis saat mengucapkan hal ini, begitu pula Andini. Meski ia dan Marwan sepasang kekasih, tapi jika Marwan tak memiliki alasan lain mengapa ia ingin menikahinya, Andini takkan menikahi Marwan.
Marwan tidak tahu jawabannya saat itu, begitu pula sekarang. Ia merasa tak memerlukan sebuah alasan, dan ia tak peduli. Ia hanya ingin merasakan ketenangan. Terbebas dari rasa takut terhadap sebuah bencana yang selama ini menghantuinya. Ia sudah jengah dengan semua itu. Ia membuang Kertas Bunga tatkala semua masih berjalan baik, namun kini setelah Kertas Bungan dibuangnya, keadaan semakin memburuk. Ia semakin merasa diikuti, lalu sekarang Andini pun meninggalkannya.
Marwan terhimpit kemalangan.
Ia tak bergairah pada apapun. Lukisan-lukisannya di kampus terbengkalai, kondisi sama berlaku pada lukisannya di rumah. Sepanjang hari selama tujuh hari ia mengurung diri di dalam kamar. Kini tempat itulah yang membuatnya merasa aman, terhindar dari potensi bencana macam apapun. Ia bergelung sepanjang hari di dalam selimut biru tua, menutup jendela kamarnya, dan membiarkan lampu tidur terus menyala. Sesekali ibu naik ke kamarnya, membujuk Marwan. Tapi ia selalu mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia kira ibunya pun merupakan sebuah ancaman dari bencana tabrakan manusia berpisau. Ia takut bahkan pada ibunya sendiri.
Kertas Bunga benar-benar mendatangkan kemalangan pada Marwan. Karena pesan itu ia ketakutan. Pesan itu membawa dampak besar terhadap keberanian Marwan yang mengering, kesuburan rasa takutnya, dan semakin tinggi kewaspadaannya. Ia tak bisa berpikir jernih. Prasangka buruk selalu ia sematkan pada siapapun. Ia pikir semua orang membawa senjata tajam di dalam dirinya. Ia kira semua orang hendak menabraknya dan menghujamkan senjata tajam mereka masing-masing ke dadanya. Ia tak hanya takut dan berprasangka buruk pada kendaraan-kendaraan, tapi juga manusia.
Marwan menyalakan lampu belajarnya. Ia berjongkok di atas kursi belajarnya. Matanya tertuju pada sebuah buku. Diambilnya buku tapi Ia belum membukanya. Sampul buku itu cukup usang. Beberapa lembar kertasnya menjulur keluar tak teratur. Sepintas, buku itu nampak menjijikan dan layak dibuang. Namun Marwan menghargai buku itu lebih dari buku lainnya.
Ia membukanya perlahan.
Sebuah foto tertempel di halaman pertama buku. Marwan menyentuhnya, ternyata sedikit berdebu. Ia membersihkannya dengan lap kecil. Di bawah foto itu terlihat sebuah tulisan singkat.
Lisa, Marwan, Gilang dan Aruna. Kita akan kembali ke tempat ini suatu hari nanti- Lisa
Tulisan Lisa. Marwan mengingatnya. Ia memandangi foto beserta tulisan itu begitu lama. Hening. Ia ingat orang-orang di foto itu. Mereka adalah teman-teman SMP Marwan di Kota Bogor. Sekolah mereka bernama SMP Kiansantang. Marwan tak pernah melupakan mereka. RIndunya teramat besar untuk mereka, dan ia ingin menemui mereka. Tapi, apakah mereka akan menerimanya? Marwan segera menutup buku itu. Ia tak ingin mencurigai sahabat-sahabatnya. Ia hanya ingin mereka bertemu, bukan mencurigai. Marwan membuka buku itu lagi. Kali ini lebih ke dalam. Di sana ia menemukan kembali satu buah foto dan beberapa baris tulisan. Puisi singkat itu berisi harapan Lisa, satu-satunya anak perempuan di kawanan mereka. Lisa berharap agar mereka bertemu lagi setelah terpisah sepuluh tahun nanti. Marwan mengingat Lisa. Anak perempuan itu tak mungkin ia curigai. Ia yakin Lisa takkan pernah melupakan apalagi mencurigainya. Marwan melanjutkan ke halaman berikutnya, ia menemukan beberapa foto dan tulisan-tulisan singkat di sana. Dua orang anak lelaki dilihatnya di sana, Gilang dan Aruna. Mereka teman baiknya, tapi Marwan tak yakin ia dapat mempercayai dua sahabat laki-lakinya itu. Ia percaya dua sahabatnya pasti akan menabraknya tatkala bertemu, lalu ia akan ditikam. Pikiran Marwan semakin kacau. Ia mencurigai siapapun, kecuali Lisa.
Bagaimana kabarmu? Aku kesulitan menemuimu, apa kau sibuk? Aku ingin bertemu - Andini
Marwan membaca pesan singkat Andini dengan malas. Ia sudah kehilangan kepercayaan pada gadis ini karena penolakannya yang kasar tempo hari. Tapi marwan kembali dapat berpikir sedikit jernih ketika melihat nama Andini sebagai pengirimnya. Ia dapat mempercayai ibunya lagi. Marwan melangkah ke pintu kamar, kemudian kamar itu tak lagi dikuncinya. Ia akan membiarkan ibunya masuk saat kembali.
Aku ingin bertemu denganmu. Ini bukan perkara bisnis. Bukan perkara teman. Ini perkara sepasang kekasih, bisakah kita bertemu - Andini
Satu lagi pesan singkat Andini dibaca Marwan. Ia mulai berhenti berjongkok di atas kursi. Kini ia duduk di sana.
Marwan tak ingin membalas pesan singkat Andini. Rasa takut dalam hatinya memaksanya untuk tak membalas pesan singkat itu.
Aku bertanggung jawab atas ucapanku minggu lalu. Aku ingin memperbaikinya - Andini
Satu lagi, dan Marwan tak ingin membalasnya.
Aku benar-benar menyesal telah berkata tidak pantas padamu. Semua kebaikanmu, rasa takutmu, dan Kertas Bunga itu, seharusnya aku mampu menerima itu semua. Aku sungguh menyesal - Andini
Satu lagi, dan Marwan bergelung di kasur. Tangannya menggenggam Ponsel.
Ketakutanmu terhadap tabrakan itu sungguh tak beralasan, Maksudku kau seperti anak kecil. - Andini
Satu lagi, lalu Marwan memejamkan matanya.
Baiklah! Aku akan ke rumahmu. Sampai bertemu di sana pukul empat sore - Andini
Marwan beranjak ke kamar mandi.
***
Marwan selesai membersihkan tubuhnya. Ia berjalan keluar kamar mandi sambil bertelanjang dada. Pakaiannya ia tanggalkan di dalam kamar mandi. Ia hanya memakai kolor berwarna hijau tua dan polos. Ia duduk di sisi ranjang.
Dilihatnya seorang gadis tengah tertidur lelap. Ia menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut berwarna biru muda. Betis dan kakinya tak tertutupi. Matanya masih terpejam. Ia tidak mendengkur, meskipun terlihat tidur nyenyak. Gadis ini kelelahan.
Marwan menatap gadis itu di samping ranjang. Ia urung membangunkan gadis itu. Dilihatnya jarum jam yang sudah berputar ratusan kali semalaman. Pukul sembilan pagi. Marwan meletakkan handuknya di sisi ranjang. Lalu ia berjalan menuju sebuah lemari coklat tua.
Lemari terbuka. Beberapa kemeja kotak-kotak tergantung rapi berjejer. Sedikitnya lima celana jeans berwarna biru tua terlipat di bawahnya. Marwan diam sejenak. Tangannya menyibak kemeja satu persatu. Semuanya kemeja milik Andini, gadis yang tengah tertidur pulas di ranjang. Marwan menarik sebuah kemeja kotak-kotak coklat tua. Kemeja satu ini sangat jarang dipakai Andini, jadi otomatis teman-teman kampusnya takkan tahu ini adalah kemeja milik si gadis. Marwan telah memutuskan - ia akan memakai kemeja itu.
Marwan baru saja selesai berpakaian. Ia sedang berdiri di hadapan kaca setinggi lemari coklat tua. Tangannya menyisir helai demi helai rambut coklat tuanya. Ia begitu rapi. Tidak ada kesan urakan dalam penampilannya. Ia seolah menjadi Marwan yang terlahir kembali. Tangan kekarnya mengambil sebotol minyak wangi dari meja rias. Kemudian sosok seorang gadis memeluknya dari belakang.
Gadis itu adalah Andini - kekasih Marwan. Ia tidak berbusana sehelai pun. Wajahnya kusut dan matanya setengah tertutup. Ia memeluk Marwan dari belakang. Tangannya bergelung di pinggang lelaki itu. Sesekali ia menguap, mungkin masih mengantuk. Tapi ia sudah bangun. Andini menghirup aroma tubuh Marwan dan sesekali ia mengigau.
"Kau belum sadar", kata Marwan. Ia berjalan menuju meja, mengambil segelas air putih. "Minumlah ini agar kau sadar. Lihat, sudah jam sembilan". Telunjuk Marwan menunjuk ke arah jam, kemudian Andini mengikuti arahannya.
"Aku takkan masuk hari ini. Tolong izinkan aku, ya?". Andini berkata setengah bergurau. Salah satu tangannya masih menahan tubuh Marwan untuk pergi.
"Pakailah ini. Kau nampak menjijikkan", ujar Marwan setelah melepaskan tangan Andini dari pinggangnya. Ia lantas berdiri di hadapan gadis itu. Menunggunya sadar.
"Semalam kau minum terlalu banyak. Aku tak bisa menahanmu melakukannya...", perkataan Marwan terhenti. Ia mulai mengingat kejadian semalam.
"Bukankah kau pun mabuk, kekasihku? Dan aku yakin kau menyukainya". Andini menggoda Marwan sekali lagi. Semalam ia menggoda Marwan habis-habisan hingga lelaki itu jatuh satu ranjang bersamanya. Ia tersenyum. Mengingat kejadian semalam ia tersenyum. Rasanya sangat lucu disetubuhi oleh seorang Marwan yang ketakutan selama beberapa bulan.
Marwan terhenyak. Ia ingin memungkiri ucapan Andini. Tapi ia pun menikmati kejadian semalam. Jadi, ia hanya diam. Pura-pura memasang wajah dingin.
"Mengapa kau tersenyum?", ucap Marwan. Ia berdiri bersilang tangan di hadapan Andini. Alis matanya hampir saja bertautan.
"Tidak ada yang membuatku merasa puas selain dirimu. Semalam kau begitu buas. Membuatku kewalahan beberapa kali. Tapi, aku sangat beruntung dapat mengatasi semua itu dan akhirnya kita orgasme bersama. Sungguh malam yang menakjubkan", Andini berkata panjang lebar. Ia hanya sedikit memerhatikan wajah Marwan. Gelas berisi air putih di tangannya masih penuh. Ia belum meminumnya setetes pun.
Marwan kembali terhenyak oleh apa yang baru saja Andini ungkapkan. Tangan kanannya mengepal. Wajahnya merah padam. Marwan tengah menahan amarahnya. Ia baru saja mengetahui sisi lain calon istrinya.
"Kau bermaksud mengatakan bahwa kau tidur dengan banyak lelaki, apa aku salah?", kata Marwan. Ia urung marah pada kekasihnya. Maka ia bertanya.
Andini menyimpan gelas pemberian Marwan. Ia belum sadar sepenuhnya. Pikiran gadis ini masih mencoba menyusun diri mereka sendiri. Mungkin merangkai ingatan dan maksud perkataan Marwan. Ia belum menjawab pertanyaan Marwan.
"Ayo jawab. Kau bermaksud mengatakan bahwa tidur dengan banyak lelaki, apa aku salah? Kita akan menikah beberapa minggu lagi, Andini", Marwan mengulangi ucapannya. Kali ini dengan tambahan beberapa kata.
Andini masih duduk diam. Ia hendak meminta Marwan mengambilkannya air putih, lagi.
Marwan mendesah pelan. Ia tertusuk sesuatu tepat di hatinya.
Andini mengambil gelas kosong di sisi meja rias. Ia menyodorkannya pada Marwan. "Tolong isikan air", kata gadis itu.
Marwan berbalik dan mengisi gelas kosong itu dengan air. Wajahnya masih merah padam. Rupanya lelaki yang ketakutan oleh tulisan dalam sebuah kertas selama beberapa bulan itu tengah mencoba menahan amarahnya.
"Ini. Minumlah. Semoga kau cepat sadar", Marwan menyodorkan gelas kaca berisi air pada Andini.
"Terima kasih. Oh ya, mengenai pertanyaan yang baru saja kau utarakan, aku akan menjawab Ya!", Andini berkata seolah ia tidak berpikir dahulu. Ia meletakkan gelas kaca kosong di atas meja rias sekali lagi.
Marwan memadamkan api di wajahnya. Kali ini ia tidak marah. Ia takkan mampu memarahai gadisnya pasca ketakutannya lenyap satu bulan lalu.
Satu bulan lalu, secara mengejutkan Andini memberitahu bahwa yang memberikan Kertas Bunga pada Marwan adalah dirinya. Ia bermaksud menguji kewaspadaan kekasihnya. Tapi hal itu ternyata memberikan efek berlebihan pada Marwan. Mereka bertengkar. Tapi, satu bulan lalu Andini mengungkapkan semuanya dan setuju dengan rencana Marwan menikahinya. Mereka pun bertunangan satu minggu pasca kebenaran tentang Kertas Bunga terungkap. Selama itu, sisi bejat Andini belum Marwan ketahui.
Marwan berdiri tegak. Tangannya tak bersila di dada. Ia memasukkan tangan kanannya ei saku belakang semantara tangan kirinya meraih sebuah foto di saku kemeja coklat tua. Ia baru saja meletakkan foto itu di sana.
"Ini untukmu", kata Marwan. Ia menyimpan sebuah surat undangan di atas meja. Undangan pernikahan mereka. Kali ini Marwan menerima tamparan yang lebih keras daripada sebelumnya.
"Dan terima kasih telah mengajariku kewaspadaan", imbuh lelaki itu. Ia meletakkan sebuah foto di atas surat undangan pernikahannya. Kemudian Marwan beranjak pergi meninggalkan Andini. Ia menatap lurus ke dapan. Andini akan menjadi masa lalu mulai detik dimana ia tahu kenyataan pahit tentang gadis itu.
Marwan melangkah pelan di bahu jalan. Rasa hatinya hampa. Mungkin kehadiran Andini sudah menghilang dari sana. Makanya ia rasa hatinya hampa. Marwan kurang fokus pada setiap langkahnya hingga tiba-tiba ia berdiri di sebuah pertigaan.
***
Tak ada pemandangan yang lebih indah di mata Marwan selain wajah Andini. Ia mencintainya. Baginya wajah Andini akan senantiasa menjadi rembulan di kala malam dan seperti mentari di kala siang. Marwan memang membuang sosok itu dari hatinya dan hatinya pun kosong. Ia sakit dalam cintanya yang dalam. Ia tak peduli pada hal itu, meskipun ia ingin menikam Andini dengan cara yang sama.
Marwan menghentikan langkahnya. Dilihatnya Andini berdiri di seberang jalan. Berdiri sambil memeluk dirinya sendiri. Gadis itu mengenakan switter berwarna biru tua dan celana jeans dengan warna senada. Rambutnya diikat sedikit acak-acakan. Matanya sembab. Matanya seperti mata panda. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ia Andini tapi tak seperti dirinya. Ia hanya wajah yang tak memiliki semangat hidup.
Marwan berdiri terpaku di seberang jalan. Menatap kasihan pada Andini. Ia memasukkan tangannya ke saku jaket hitamnya. Ia tak ingin menjalin hubungan dengan Andini meskipun hatinya meminta ia untuk berjalan ke arah gadis itu dan memeluknya. Lampu pertigaan berwarna merah dan lampu pejalan kaki berwarna hijau. Marwan berjalan beriringan dengan orang-orang kebanyakan. Ia menyeberang jalan sambil berpura-pura tak melihat Andini. Ia melihatnya tapi hanya dengan tatapan kasihan. Marwan akhirnya sampai di seberang jalan. Ia terus berjalan, dilewatinya Andini yang berdiri terpaku.
"Aku sama sekali tak ingin melihatmu", gumam Marwan. Ia terus melangkah pergi meninggalkan pertigaan sambil sesekali menengok ke belakang. Memastikan apakah gadis itu mengikutinya atau tidak.
Marwan mendesah pelan. Asap putih tipis-tipis keluar dari bibirnya. Hawa dingin kota Reykjavik memaksa Marwan menyesuaikan diri dengan hawa dinginnya di musim dingin. Semua orang mengenakan jaket tebal. Ia melewati beberapa pertokoan sambil sesekali memlirik ke belakang, takut-takut Andini menguntitnya dari jauh. Akhirnya ia sampai di sebuah rumah. Rumah itu miliknya.
Marwan segera masuk ke dalam rumah. Langkahnya terlihat sangat buru-buru. Begitu masuk, ia langsung berlari menghambur ke kamarnya. Sampai di sana ia menutup pintunya rapat-rapat dan bergelung di kasurnya. Ditariknya selimut hijau tua untuk menutupi seluruh tubuh dan pandangannya. Ia harus segera tidur dan melupakan Andini sehingga hatinya akan benar-benar kosong.
"Aku tak ingin melihatmu lagi", gumam Marwan pada dirinya sendiri. Berkali-kali ia mengucapkan kata yang sama dan berkali-kali itu wajah Andini muncul di kepalanya.
"Marwan, Andini mengirimkan sesuatu untukmu. Ibu menyimpannya di meja tamu. Oh ya!, jangan lupa makan, ibu sudah menyiapkan makan malam di meja makan, kau hanya perlu menghangatkannya. Ibu tidak pulang malam ini, jaga rumah baik-baik, nak", kata ibu panjang lebar. Marwan mendengar semuanya dengan jelas, tapi ia hanya fokus pada kalimat pertama yang diucapkan ibu.
"Ibu pergi sekarang", suara ibu kembali mengisi gendang telinga Marwan, kemudian suara pintu tertutup mengakhiri keramaian di rumah ini.
Marwan menyingkap selimutnya. Ia duduk dengan kaki terulur ke lantai. Tangannya menopang berat tubuhnya di ranjang. Mata Marwan menatap kosong ke meja. Di atas meja itu berdiri sebuah foto dengan bingkai kayu berwarna coklat tua. Foto pertunangan Marwan dan Andini. Di sana mereka nampak sangat bahagia, bahkan saat itu Marwan berani bertaruh ia akan behagia selamanya bersama gadis itu, namun semuanya menjadi ilusi saat ini. Marwan segera sadar dar lamunannya. Tatapan kosong penuh kebosanannya menuntun Marwan menuju meja tamu.
Ia berjlaan menuruni tangga. Tangga hanya lima belas anak, akan tetapi Marwan merasa ia seperti menuruni jalanan terjal penuh rintangan di gunung es Islandia. Ia terhuyung-huyung dan hampir tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Efek obat penenang mulai bekerja padanya.Ia mulai mengantuk.
Samar-samar Marwan melihat sebuah bingkisan di atas meja. Ia mempercepat langkahnya ke arah kotak itu. Lalu ia duduk di berhadapan dengan meja dan meraih kotak itu ke pangkuannya. Tak ada pesan apapun di penutup kotak itu. Dari itu Marwan tahu kalau Andini sendiri lah yang mengantarkannya ke rumah. Marwan membuka kotak itu dan sebuah kertas terlipat seperti bunga menjadi benda pertama yang diambilnya. Ia teringat pada Kertas Bunga.
Marwan membuka lipatan demi lipatan Kertas Bunga. Ia merasa kembali ke saat dimana ia menemukan Kertas Bunga di taman dan ia merasa akan diliputi rasa takut yang begitu besar sekali lagi. Ia merasa dejavu dengan kertas itu.
Kertas Bunga terbuka. Marwan melihat ada beberapa baris tulisan di sana. Ia membacanya.
Kekasihku, aku salah karena membohongimu. Aku selalu tampil bukan sebagai diriku di hadapanmu dan di belakangmu aku memiliki segudang kebohongan. Barangkali mengemis cintamu sekali lagi aku tak mampu, maka aku akan pergi selama-lamanya dari sisimu. Hapus diriku dari hatimu dan aku pun akan melakukan hal yang sama. Maafkan aku karena tidak menjadi diriku. - Andini
Marwan selesai membaca surat ringkas itu. Ia melipatnya kembali menjadi Kertas Bunga kemudian menyimpannya di dalam kotak sekali lagi. Ia mengambil empat buah buku sketsa berukuran sedang dari dalam kotak. Semuanya milik mereka berdua -Marwan dan Andini. Ia membukanya dan gambar pertama tersingkap. Andini menamai gambar pertama buatan mereka dengan sebutan "Anak Anjing Dan Kelucuan Marwan". Di gambar itu terlihat karikatur Marwan yang sedang memberi makan anak-anak anjing di taman kota Reykjavik. Lukisan kecil itu dibuat Andini saat mereka mulai berteman empat tahun lalu.
Marwan menutup buku sketsa pertama dari tahun pertama ia di kota Reykjavik. Kemudian ia menyimpan semuanya di dalam kotak itu lagi dan membawanya ke kamar. Ia sudah memutuskan bahwa ia akan membiarkan Andini pergi dari sisinya selamanya, atau setidaknya sampai ia mampu menerima kenyataan tentang gadis itu.
Marwan duduk di atas kasurnya dengan ponsel di genggaman tangannya. Ia menulis sebuah e-mail untuk Andini.
"Kita akan menikah, tapi tidak dalam waktu dekat. Aku akan bersabar menanti hari dimana kita bertemu kembali. Dan selama itu aku akan menerimamu sebagai Andini yang sebenarnya. Meskipun kau telah berbalut kenistaan, aku akan tetap mencintaimu. Bagiku…kau adalah berlian!”

Marwan merebahkan tubuhnya. DItariknya selimut menutupi sekujur tubuhnya. Tatapan kosongnya perlahan menutup. Katup matanya terasa berat sekali. Meski hendak tidur, Marwan berharap ia akan tetap mengingat Andini ketika bangun nanti.

Bagikan

Jangan lewatkan

Kertas Bunga Dalam Kaca
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.