Marwan tengah duduk di tepi taman sore itu.
Tiba-tiba tangannya menerima selembar kertas. Kertas itu terlipat beberapa
kali, membentuk sebuah bunga. Begitu rapih. Warnanya putih, sedikit buram. Ada
bercak kuning kecoklatan di sana sini, seperti terguyur hujan dan kering di
atas hawa panas api. Ujung kertas berlipat-lipat sedikit terbakar. Marwan tidak
membuang kertas itu. ia membawanya pulang. Menurutnya, kertas itu cukup indah.
Ia akan menyimpannya dalam gelas di meja belajar di rumahnya.
Suatu hari Marwan merasa keanehan muncul begitu
saja dari kertas bunga. Ia mulai enggan menyimpannya. Marwan duduk di hadapan
meja belajarnya, kertas bunga ada di dalam gelas. Tatapannya lekat pada kertas
bunga. Keanehan semakin muncul dari kertas bunga. Tergesa-gesa Marwan mengambil
kertas bunga. Jemarinya membuka lipatan kertas itu perlahan. Lama berselang,
kertas bunga terbuka seutuhnya. Sebuah pesan singkat terkuak begitu Marwan
selesai membukanya. Ia membaca pesan itu.
Sesuatu akan menabrakmu, Marwan Widjaja!
Begitulah pesan singkat di kertas bunga. Pesan
itu untuk Marwan. Namanya tertera jelas di sana. Isi pesan tidak ditulis dengan
tangan, melainkan dicetak. Pesan itu dicetak dengan huruf biasa, kecuali nama
Marwan. Nama Marwan dicetak dengan huruf tebal. Menegaskan bahwa pesan di
kertas bunga memang untuknya, bukan siapa-siapa.
Marwan terhenyak. Ia berpikir keras,
membayangkan sesuatu yang besar akan menabraknya saat pulang kuliah nanti. Ia
berhenti berpikir. Ia membayangkan. Marwan ketakutan, benar-benar ketakutan.
Bayangan-bayangan mengerikan tentang tabrakan muncul bergantian di kepalanya.
Ia ketakutan, benar-benar ketakutan.
“Sepertinya aku tidak perlu berangkat ke kampus
hari ini”, pikir Marwan. Ia duduk diam di kursi belajarnya. Membayangkan
tabrakan dahsyat yang akan menimpanya.
Marwan tetap berangkat ke kampus. Ia urung
tinggal di rumah sendirian. Selain itu, ia memiliki janji dengan Andini di
perpustakaan. Janji sesame teman. Janji untuk mengerjakan tugas bersama.
Ia berjalan tanpa keyakinan. Sepanjang jalan
Marwan tak henti tengok kiri-kanan. Berjaga-jaga bila sesuatu datang hendak
menabrak dirinya. Rupanya pesan di dalam kertas bunga telah merubah Marwan. Ia
bukan Marwan si pemberani, lagi, ia Marwan si penakut. Marwan mempercepat
langkah kakinya saat ia tiba di pertigaan. Baginya, pertigaan adalah tempat
potensial terjadinya tabrakan. Di sana mobil-mobil, dan sepeda motor melaju
dengan cepat saat sepi. Marwan pernah menyaksikan tabrakan beruntun di
pertigaan Semanggi. Kala itu seorang pengendara sepeda motor terjepit dan
meninggal dunia. sejak saat itu Marwan selalu waspada saat di pertigaan
meskipun ia berjalan kaki.
Marwan sampai di kampus. Ia langsung menuju
perpustakaan. Ia beruntung, hari ini Andini sudah duduk manis di salah satu
meja, itu artinya ia tak perlu repot-repot mencari gadis ini, lagi. Ia duduk
berhadap-hadapan dengan Andini. Dilihatnya Andini sedang membaca buku.
"Sh! Sh! Sh!" bisik Marwan. Ia
berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan perpustakaan yang tenang.
"Berisik! Untuk apa kau melakukan itu di
sini?", kata Andini. Ia merasa kelakuan Marwan mengganggu kegiatan
membacanya.
"Aku ingin bertanya sesuatu padamu,
Ann", jawab Marwan. Ia beranjak meninggalkan Andini. "Ayo! Ikuti aku.
Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu". Marwan menghilang di pintu
perpustakaan. Sesekali ia menoleh ke belakang.
Andini mengikuti Marwan. Mereka duduk di salah
satu bangku taman kampus. Andini tak lagi membaca buku. Ia yakin Marwan pasti
akan mengganggunya, lagi.
"Ini". Marwan menyodorkan selembar
kertas kepada Andini. Ia tidak melipat kertas itu kembali ke bentuk asalnya,
berjaga-jaga agar Andini tidak menganggapnya main-main.
"Apa ini?". Andini membulak-balik
kertas itu. Ia melewatkan pesan peringatan, karena dianggapnya tak penting.
Marwan menjelaskan pada Andini perihal pesan
peringatan yang tertulis di kertas bunga, juga ketakutannya. Menurutnya, pesan
yang tertulis di kertas bunga memberinya kewaspadaan, ketakutan dan kecurigaan
pada sekitarnya. Ia tidak berani keluar rumah selama dua hari karena pesan itu.
Marwan juga menceritakan tentang perjalanannya menuju kampus. Di dalam
ceritanya, Marwan merasa sesuatu terus mengikutinya dan ingin menabraknya. Ia
bercerita tentang percepatan langkah kakinya di pertigaan dan ketakutannya pada
bayangan tabrakan di pertigaan Semanggi beberapa tahun silam.
Andini kebosanan. Ia tidak memperhatikan secara
intens setiap kata dalam cerita Marwan. Ia sedang tidak dalam kondisi untuk
mendengarkan sebuah cerita. AKhirnya, Andini berbicara untuk menyudahi cerita
Marwan. Begini katanya, "Aku tidak mempercayai kertas semacam ini.
Siapapun bisa membuatnya, begitu juga aku! Hanya orang yang terlampau pintar
yang mau membaca, menyimpannya dan memikirkannya begitu dalam, apalagi sampai
ketakutan karenanya. Kau seperti kura-kura dalam kurungan!"
"Aku memang kura-kura dalam
kurungan!", kata Marwan. Nada bicaranya meninggi, terutama pada kata
Kura-kura. Ia merasa dilecehkan bila disebut Kura-kura. "Tapi tulisan itu
benar-benar membuatku takut. Bisakah kau memberiku sedikit saran, hai Venus?",
pada kalimat ini Marwan menghaluskan nada bicaranya. Ia tak ingin Andini
tersinggung oleh kata-katanya yang pertama.
"Teruslah kau baca tulisan itu, niscaya
suatu hari kau akan mengerti maksudnya. Itulah saran yang kuberikan
untukmu", ujar Andini, kemudian ia beranjak meninggalkan Marwan dengan
segala kebingungannya. Sebelum pergi terlalu jauh, ia sempat tersenyum simpul
tapi Marwan tak mengetahuinya.
Matahari mulai condong ke arah barat.
Angin-angin berhembus bergantian melewati bangku taman, menerbangkan
burung-burung, dan daun-daunan yang gugur. Sementara Marwan terduduk diam di
bangku taman kampus. Ia duduk seorang diri, memikirkan ucapan Andini
berkali-kali. Ia tidak menangkap ucapan Andini sebagai saran. Ucapan andini
tadi baginya seperti petuah ibu kepada anaknya yang sedang mempelajari
filsafat.
***
Marwan baru saja akan pulang. Ia membereskan
ceceran tinta di meja lukisnya terlebih dahulu. Ia melukis Kertas Bunga Dalam
Gelas hari ini. Tak ada hal lain yang dapat ia lukis selain dua benda itu ; benda-benda
yang mengganggu pikirannya. Benda-benda itu tidak hanya mengganggu pikirannya
selama dua minggu ini. Tapi juga membuatnya mengalami mimpi-mimpi aneh. Ia
tidak dapat berpikir jernih, bahkan untuk pikiran kotor sekalipun tidak!.
Selama empat belas hari benda-benda itu menyiksanya.
"Ibu, aku akan pulang telat malam ini.
Makanlah dahulu dan jangan tunggu aku pulang", ujar Marwan. Ia selesai
memberitahu ibunya perihal kepulangannya yang akan telat malam ini. Marwan
sudah menyelesaikan lukisannya, tapi ia takkan pulang secepat harapannya. Ia
masih memiliki janji dengan Andini. Bukan janji seorang teman.
Marwan membuka pesan singkat di Ponselnya. Pesan
dari Andini.
Aku menunggumu di depan toko kue Nesto. Datang
dengan cepat! - Andini
Marwan lekas pergi dari ruang melukis kampus. Di
tangannya, ia membawa selambar kertas. Bukan Kertas Bunga. Kertas yang dibawa
Marwan adalah lembar persetujuan yang mesti ditandangani Andini. Dalam beberapa
kondisi, Andini bertindak sebagai pribadi yang berbeda. Terkadang sebagai
atasan Marwan di Lembaga Lukis Mahasiswa, sebagai teman kuliah pada hari-hari
biasa, dan sebagai kekasih pada akhir pekan. Ia tidak habis pikir kenapa ia
memilih Andini sebagai kekasihnya. Gadis itu tak pernah memberinya saran
berguna untuk menghadapi ketakutannya terhadap pesan di Kertas Bunga.
Andini berdiri di depan toko kue Nesto sambil
bersila tangan. Ia dan Marwan sudah membuat janji di sini sore ini.
Marwan mempercepat langkahnya. Ia memang takut
pada tabrakan yang mengikutinya kemanapun, tapi ia tak punya pilihan selain
melangkah secepat mungkin. Ia lebih takut pada kemarahan Andini ketimbang
tabrakan yang akan membunuhnya. Ia tidak ingin mati, tapi Andini pun pasti akan
membunuhnya andai ia datang ke toko kue Nesto tak tepat waktu. Andini adalah
Venus, sang dewi, yang dengannya datang keajaiban dan kehancuran.
"Maaf menunggu lama, bos", ujar
Marwan. Ia mengeluarkan lembar persetujuan dari dalam tasnya, lalu
menyodorkannya pada Andini.
Gadis di hadapannya ini tidak marah. Marwan
datang tepat waktu, sesuai perjanjian.
"Syukurlah kau datang tepat pada
waktunya"
"Aku mengusahakannya sebaik kemampuanku
melukis. Kau tahu aku akan mati bila tidak tepat waktu sampai ke tempat
ini"
Andini mengamini setiap kata yang diucapkan
Marwan. Ia tahu kekasihnya, teman, sekaligus anak buahnya ini tidak pernah
terlambat menemuinya dimanapun, tapi ia merasa bahwa Marwan tidak pernah bisa
konsentrasi mengerjakan apapun setelah menemukan Kertas Bunga dan pesan di
dalamnya.
"Kertas Bunga tak menakutimu, lagi?",
tanya Andini. Ia berusaha sehalus mungkin berkata agar Marwan tak tersinggung.
"Uhmmm...hal itu tak bisa kupastikan. Aku
tidak tahu", Marwan tampak ragu-ragu menjawab pertanyaan Andini. Saat itu
juga perilakunya berubah.
Marwan menoleh ke kanan-kirinya. Ia ketakutan.
Ia merasa sesuatu yang mengikutinya datang mendekat dan akan menabraknya.
Tangannya memeluk tas di dada. Kepalanya tak berhenti menoleh. Pijakan Marwan
bergetar. Ia benar-benar ketakutan. Tapi raut wajahnya ia pasang sedatar
mungkin untuk menyembunyikan rasa takutnya dari Andini.
"Jika kau masih ketakutan, itu artinya kau
hanya bocah! Bocah yang perlu diantar oleh ibunya ketika kencing malam-malam.
Aku sendiri... tidak akan mengantar anakku ke kamar mandi malam-malam. Akan aku
biarkan ia berjalan sendiri dan merasakan ketakutannya". Andini pergi
begitu saja. Ia tahu, ia selalu tahu Marwan takut pada pesan yang tertulis di
Kertas Bunga. Andini tersenyum lagi saat meninggalkan Marwan, tapi Marwan tak
melihatnya.
Marwan menangkap ungkapan Andini sebagai sebuah
nasihat seorang ibu pada anaknya. Ia tidak pernah mendapat nasihat atau saran
yang baik dari siapapun tentang ketakutannya ini, bahkan dari kekasihnya pun
tidak.
Marwan kembali ke ruang lukis kampus pukul
19.00, Ia membawa beberapa kanvas kosong di tangannya. Ia menyimpan
kanvas-kanvas itu di pojok ruang lukis. Kemudian ia beranjak pergi dari sana.
Sebelum terlalu jauh, Marwan menghentikan langkahnya, ia menoleh ke
kiri-kanannya, mencari sesuatu yang tersembunyi dalam gelap. Mungkin saja yang
tersembunyi itu akan menabraknya tiba-tiba. Ia tidak yakin tak ada orang lain
di ruangan ini selain dirinya. Ia tidak yakin ia sendirian. Maka Marwan
menaikkan tingkat kewaspadaannya lebih tinggi. Langit bertambah gelap di luar
sana, tanpa bintang, sementara Marwan sedang menutup pintu ruang lukis. Ia
berjalan pelan-pelan di area kampus. Ia merasa aman di sini. Di sini tak ada
kendaraan bermotor, sepeda pun tak ada. Hanya beberapa Mahasiswa saja yang ia
lihat di area sekitar kampus. Mereka sedang mengobrol, meminum kopi, dan
bermain kartu. Marwan tidak takut pada mereka. Ia sangat yakin manusia takkan
bisa menabraknya sampai mati. lalu bayangan mengerikan tentang penabrakan
manusia berpisau padanya pun muncul. Marwan takut bukan kepalang. Ia melupakan
hal itu. Sekarang tak ada lagi titik aman baginya. Ia akan terus merasa takut
tertabrak oleh banyak hal, termasuk manusia, manusia yang membawa pisau.
Marwan mempercepat langkahnya. Ia melupakan
semua ketenangan yang baru saja didapatkannya. Perasaannya memaksanya berjalan
lebih cepat, cepat, dan semakin cepat. Marwan berlari melewati area kampus. Ia
takut, terutama pada titik-titik gelap di kampusnya. Ia merasa sesuatu akan
menabraknya setiap kali melewati titik gelap itu. Marwan berlari secepat
kemampuannya. Langkahnya terhenti ketika dilihatnya Andini berdiri di gerbang
kampus.
"Untuk apa berlari seperti itu? Tidakkah
kau berpikir bahwa kau terlalu berlebihan menyikapi Kertas Bunga bodoh serta
pesan di dalamnya? Kupikir semua itu bukan untukmu. Bukan untuk Marwan Widjaja!",
kata Andini. Ia berjalan di sisi Marwan, kali ini sebagai kekasih.
"Kau kekasihku. Seharusnya kau tahu
bagaimana posisiku saat ini", Marwan memasukkan tangannya ke dalam kantung
jaket. Ia kedinginan. "Pesan mengenai tabrakan itu jelas untukku, pesan itu
memberitahuku tentang bencana yang akan menimpaku. Pesan itu membuatku waspada,
takut, khawatir, bahkan aku merasa diriku bukanlah aku dahulu. Aku bukan lagi
Marwan!
"Marwan yang kau kenal sedang dalam
ketakutan jauh di sini", lanjut Marwan. Ia menunjuk dadanya. "Lalu
ketakutanku menguasai diriku. Jadilah aku Marwan si penakut. Kau bisa memintaku
apapun, tapi untuk hal ini, aku tak bisa melepaskannya. bagaimanapun, aku harus
tetap waspada dalam ketakutanku ini. Lagipula Aku belum menikahimu".
Marwan menutup ucapannya dengan mantap pada kalimat terakhir. Ia ketakutan,
tapi di sisi Andini ia lebih tenang. Entah apa yang dimiliki gadis itu, ia
hanya merasa Andini memiliki sisi kuat yang dapat mengurangi ketakutannya.
***
Makin hari ketakutan Marwan semakin bertambah.
Intensitas kewaspadaannya ia naikkan berkali-kali lipat. Ia merasa bencana itu
akan segera mendatanginya, bukan lagi menghampiri. Ia menghitung jam demi jam,
menit demi menit, detik demi detik dalam hidupnya. Menilainya sendiri. Ia mulai
putus asa pada ketakutannya dan kewaspadannya yang tinggi dirasa takkan mampu
mengalahkan bencana yang akan menimpanya. Ia dalam keadaan waspada namun bencana
itu malah semakin mendekat.
Marwan tidak pergi ke kempas seminggu terakhir
ini. Penyebabnya bukan hanya bencana tabrakan yang menghantui bayangannya, tapi
juga Andini. Mereka bertengkar tujuh hari yang lalu saat Marwan mengungkapkan
keinginannya menikahi gadis itu. Andini marah dan merasa dipermainkan, ia
merasa Marwan ingin menikahinya hanya untuk menghiangkan rasa takut. Ia menduga
Marwan hendak memanfaatkannya saja untuk menghilangkan rasa takut. Marwan tidak
membela diri. Ia pikir alasannya memang seperti itu, setidaknya untuk saat itu.
Tapi perlahan, Marwan tahu jika niatannya itu tidak hanya untuk menghilangkan
rasa takut. Ia yakin ia akan menikahi Andini.
Ingatan Marwan kembali ke percakapan tujuh hari
lalu di toko kue Nesto.
"Kau ingin memanfaatkanku hanya untuk rasa
takutmu itu?", wajah Andini memerah. Gadis ini tengah menahan amarahnya
pada Marwan.
"Memang itulah alasanku. Aku ingin kau
menikahiku agar aku tak takut, lagi. Bagaimana menurutmu?"
"Lalu seandainya aku tak dapat
menghilangkan rasa takutmu itu, apa yang akan kau lakukan?"
Marwan tak menjawab. Ia tak memiliki jawaban
untuk pertanyaan itu.
"Baiklah!", seru Andini. "jadi
itulah jawabanmu, kura-kura dalam tempurung? Enyahlah dari hadapanku, segera!
Aku tak ingin melihat wajahmu, lagi...", imbuhnya dengan nada bergetar.
Perempuan biasanya menangis saat mengucapkan hal ini, begitu pula Andini. Meski
ia dan Marwan sepasang kekasih, tapi jika Marwan tak memiliki alasan lain
mengapa ia ingin menikahinya, Andini takkan menikahi Marwan.
Marwan tidak tahu jawabannya saat itu, begitu
pula sekarang. Ia merasa tak memerlukan sebuah alasan, dan ia tak peduli. Ia
hanya ingin merasakan ketenangan. Terbebas dari rasa takut terhadap sebuah
bencana yang selama ini menghantuinya. Ia sudah jengah dengan semua itu. Ia
membuang Kertas Bunga tatkala semua masih berjalan baik, namun kini setelah
Kertas Bungan dibuangnya, keadaan semakin memburuk. Ia semakin merasa diikuti,
lalu sekarang Andini pun meninggalkannya.
Marwan terhimpit kemalangan.
Ia tak bergairah pada apapun. Lukisan-lukisannya
di kampus terbengkalai, kondisi sama berlaku pada lukisannya di rumah. Sepanjang
hari selama tujuh hari ia mengurung diri di dalam kamar. Kini tempat itulah
yang membuatnya merasa aman, terhindar dari potensi bencana macam apapun. Ia
bergelung sepanjang hari di dalam selimut biru tua, menutup jendela kamarnya,
dan membiarkan lampu tidur terus menyala. Sesekali ibu naik ke kamarnya,
membujuk Marwan. Tapi ia selalu mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia kira
ibunya pun merupakan sebuah ancaman dari bencana tabrakan manusia berpisau. Ia
takut bahkan pada ibunya sendiri.
Kertas Bunga benar-benar mendatangkan kemalangan
pada Marwan. Karena pesan itu ia ketakutan. Pesan itu membawa dampak besar
terhadap keberanian Marwan yang mengering, kesuburan rasa takutnya, dan semakin
tinggi kewaspadaannya. Ia tak bisa berpikir jernih. Prasangka buruk selalu ia
sematkan pada siapapun. Ia pikir semua orang membawa senjata tajam di dalam
dirinya. Ia kira semua orang hendak menabraknya dan menghujamkan senjata tajam
mereka masing-masing ke dadanya. Ia tak hanya takut dan berprasangka buruk pada
kendaraan-kendaraan, tapi juga manusia.
Marwan menyalakan lampu belajarnya. Ia
berjongkok di atas kursi belajarnya. Matanya tertuju pada sebuah buku.
Diambilnya buku tapi Ia belum membukanya. Sampul buku itu cukup usang. Beberapa
lembar kertasnya menjulur keluar tak teratur. Sepintas, buku itu nampak
menjijikan dan layak dibuang. Namun Marwan menghargai buku itu lebih dari buku
lainnya.
Ia membukanya perlahan.
Sebuah foto tertempel di halaman pertama buku.
Marwan menyentuhnya, ternyata sedikit berdebu. Ia membersihkannya dengan lap
kecil. Di bawah foto itu terlihat sebuah tulisan singkat.
Lisa, Marwan, Gilang dan Aruna. Kita akan
kembali ke tempat ini suatu hari nanti- Lisa
Tulisan Lisa. Marwan mengingatnya. Ia memandangi
foto beserta tulisan itu begitu lama. Hening. Ia ingat orang-orang di foto itu.
Mereka adalah teman-teman SMP Marwan di Kota Bogor. Sekolah mereka bernama SMP
Kiansantang. Marwan tak pernah melupakan mereka. RIndunya teramat besar untuk
mereka, dan ia ingin menemui mereka. Tapi, apakah mereka akan menerimanya?
Marwan segera menutup buku itu. Ia tak ingin mencurigai sahabat-sahabatnya. Ia
hanya ingin mereka bertemu, bukan mencurigai. Marwan membuka buku itu lagi.
Kali ini lebih ke dalam. Di sana ia menemukan kembali satu buah foto dan
beberapa baris tulisan. Puisi singkat itu berisi harapan Lisa, satu-satunya
anak perempuan di kawanan mereka. Lisa berharap agar mereka bertemu lagi
setelah terpisah sepuluh tahun nanti. Marwan mengingat Lisa. Anak perempuan itu
tak mungkin ia curigai. Ia yakin Lisa takkan pernah melupakan apalagi
mencurigainya. Marwan melanjutkan ke halaman berikutnya, ia menemukan beberapa
foto dan tulisan-tulisan singkat di sana. Dua orang anak lelaki dilihatnya di
sana, Gilang dan Aruna. Mereka teman baiknya, tapi Marwan tak yakin ia dapat
mempercayai dua sahabat laki-lakinya itu. Ia percaya dua sahabatnya pasti akan
menabraknya tatkala bertemu, lalu ia akan ditikam. Pikiran Marwan semakin
kacau. Ia mencurigai siapapun, kecuali Lisa.
Bagaimana
kabarmu? Aku kesulitan menemuimu, apa kau sibuk? Aku ingin bertemu - Andini
Marwan membaca pesan singkat Andini dengan
malas. Ia sudah kehilangan kepercayaan pada gadis ini karena penolakannya yang
kasar tempo hari. Tapi marwan kembali dapat berpikir sedikit jernih ketika
melihat nama Andini sebagai pengirimnya. Ia dapat mempercayai ibunya lagi.
Marwan melangkah ke pintu kamar, kemudian kamar itu tak lagi dikuncinya. Ia
akan membiarkan ibunya masuk saat kembali.
Aku
ingin bertemu denganmu. Ini bukan perkara bisnis. Bukan perkara teman. Ini
perkara sepasang kekasih, bisakah kita bertemu - Andini
Satu lagi pesan singkat Andini dibaca Marwan. Ia
mulai berhenti berjongkok di atas kursi. Kini ia duduk di sana.
Marwan tak ingin membalas pesan singkat Andini.
Rasa takut dalam hatinya memaksanya untuk tak membalas pesan singkat itu.
Aku
bertanggung jawab atas ucapanku minggu lalu. Aku ingin memperbaikinya - Andini
Satu lagi, dan Marwan tak ingin membalasnya.
Aku
benar-benar menyesal telah berkata tidak pantas padamu. Semua kebaikanmu, rasa
takutmu, dan Kertas Bunga itu, seharusnya aku mampu menerima itu semua. Aku
sungguh menyesal - Andini
Satu lagi, dan Marwan bergelung di kasur.
Tangannya menggenggam Ponsel.
Ketakutanmu
terhadap tabrakan itu sungguh tak beralasan, Maksudku kau seperti anak kecil. -
Andini
Satu lagi, lalu Marwan memejamkan matanya.
Baiklah!
Aku akan ke rumahmu. Sampai bertemu di sana pukul empat sore - Andini
Marwan beranjak ke kamar mandi.
***
Marwan selesai membersihkan tubuhnya. Ia
berjalan keluar kamar mandi sambil bertelanjang dada. Pakaiannya ia tanggalkan
di dalam kamar mandi. Ia hanya memakai kolor berwarna hijau tua dan polos. Ia
duduk di sisi ranjang.
Dilihatnya seorang gadis tengah tertidur lelap.
Ia menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut berwarna biru muda. Betis dan
kakinya tak tertutupi. Matanya masih terpejam. Ia tidak mendengkur, meskipun
terlihat tidur nyenyak. Gadis ini kelelahan.
Marwan menatap gadis itu di samping ranjang. Ia
urung membangunkan gadis itu. Dilihatnya jarum jam yang sudah berputar ratusan
kali semalaman. Pukul sembilan pagi. Marwan meletakkan handuknya di sisi
ranjang. Lalu ia berjalan menuju sebuah lemari coklat tua.
Lemari terbuka. Beberapa kemeja kotak-kotak
tergantung rapi berjejer. Sedikitnya lima celana jeans berwarna biru tua
terlipat di bawahnya. Marwan diam sejenak. Tangannya menyibak kemeja satu
persatu. Semuanya kemeja milik Andini, gadis yang tengah tertidur pulas di
ranjang. Marwan menarik sebuah kemeja kotak-kotak coklat tua. Kemeja satu ini
sangat jarang dipakai Andini, jadi otomatis teman-teman kampusnya takkan tahu
ini adalah kemeja milik si gadis. Marwan telah memutuskan - ia akan memakai
kemeja itu.
Marwan baru saja selesai berpakaian. Ia sedang
berdiri di hadapan kaca setinggi lemari coklat tua. Tangannya menyisir helai
demi helai rambut coklat tuanya. Ia begitu rapi. Tidak ada kesan urakan dalam
penampilannya. Ia seolah menjadi Marwan yang terlahir kembali. Tangan kekarnya
mengambil sebotol minyak wangi dari meja rias. Kemudian sosok seorang gadis
memeluknya dari belakang.
Gadis itu adalah Andini - kekasih Marwan. Ia
tidak berbusana sehelai pun. Wajahnya kusut dan matanya setengah tertutup. Ia
memeluk Marwan dari belakang. Tangannya bergelung di pinggang lelaki itu.
Sesekali ia menguap, mungkin masih mengantuk. Tapi ia sudah bangun. Andini
menghirup aroma tubuh Marwan dan sesekali ia mengigau.
"Kau belum sadar", kata Marwan. Ia
berjalan menuju meja, mengambil segelas air putih. "Minumlah ini agar kau
sadar. Lihat, sudah jam sembilan". Telunjuk Marwan menunjuk ke arah jam,
kemudian Andini mengikuti arahannya.
"Aku takkan masuk hari ini. Tolong izinkan
aku, ya?". Andini berkata setengah bergurau. Salah satu tangannya masih menahan
tubuh Marwan untuk pergi.
"Pakailah ini. Kau nampak
menjijikkan", ujar Marwan setelah melepaskan tangan Andini dari
pinggangnya. Ia lantas berdiri di hadapan gadis itu. Menunggunya sadar.
"Semalam kau minum terlalu banyak. Aku tak
bisa menahanmu melakukannya...", perkataan Marwan terhenti. Ia mulai
mengingat kejadian semalam.
"Bukankah kau pun mabuk, kekasihku? Dan aku
yakin kau menyukainya". Andini menggoda Marwan sekali lagi. Semalam ia
menggoda Marwan habis-habisan hingga lelaki itu jatuh satu ranjang bersamanya.
Ia tersenyum. Mengingat kejadian semalam ia tersenyum. Rasanya sangat lucu
disetubuhi oleh seorang Marwan yang ketakutan selama beberapa bulan.
Marwan terhenyak. Ia ingin memungkiri ucapan
Andini. Tapi ia pun menikmati kejadian semalam. Jadi, ia hanya diam. Pura-pura
memasang wajah dingin.
"Mengapa kau tersenyum?", ucap Marwan.
Ia berdiri bersilang tangan di hadapan Andini. Alis matanya hampir saja
bertautan.
"Tidak ada yang membuatku merasa puas
selain dirimu. Semalam kau begitu buas. Membuatku kewalahan beberapa kali.
Tapi, aku sangat beruntung dapat mengatasi semua itu dan akhirnya kita orgasme
bersama. Sungguh malam yang menakjubkan", Andini berkata panjang lebar. Ia
hanya sedikit memerhatikan wajah Marwan. Gelas berisi air putih di tangannya
masih penuh. Ia belum meminumnya setetes pun.
Marwan kembali terhenyak oleh apa yang baru saja
Andini ungkapkan. Tangan kanannya mengepal. Wajahnya merah padam. Marwan tengah
menahan amarahnya. Ia baru saja mengetahui sisi lain calon istrinya.
"Kau bermaksud mengatakan bahwa kau tidur
dengan banyak lelaki, apa aku salah?", kata Marwan. Ia urung marah pada
kekasihnya. Maka ia bertanya.
Andini menyimpan gelas pemberian Marwan. Ia
belum sadar sepenuhnya. Pikiran gadis ini masih mencoba menyusun diri mereka
sendiri. Mungkin merangkai ingatan dan maksud perkataan Marwan. Ia belum
menjawab pertanyaan Marwan.
"Ayo jawab. Kau bermaksud mengatakan bahwa
tidur dengan banyak lelaki, apa aku salah? Kita akan menikah beberapa minggu
lagi, Andini", Marwan mengulangi ucapannya. Kali ini dengan tambahan
beberapa kata.
Andini masih duduk diam. Ia hendak meminta
Marwan mengambilkannya air putih, lagi.
Marwan mendesah pelan. Ia tertusuk sesuatu tepat
di hatinya.
Andini mengambil gelas kosong di sisi meja rias.
Ia menyodorkannya pada Marwan. "Tolong isikan air", kata gadis itu.
Marwan berbalik dan mengisi gelas kosong itu
dengan air. Wajahnya masih merah padam. Rupanya lelaki yang ketakutan oleh
tulisan dalam sebuah kertas selama beberapa bulan itu tengah mencoba menahan
amarahnya.
"Ini. Minumlah. Semoga kau cepat
sadar", Marwan menyodorkan gelas kaca berisi air pada Andini.
"Terima kasih. Oh ya, mengenai pertanyaan
yang baru saja kau utarakan, aku akan menjawab Ya!", Andini berkata seolah
ia tidak berpikir dahulu. Ia meletakkan gelas kaca kosong di atas meja rias
sekali lagi.
Marwan memadamkan api di wajahnya. Kali ini ia
tidak marah. Ia takkan mampu memarahai gadisnya pasca ketakutannya lenyap satu
bulan lalu.
Satu bulan lalu, secara mengejutkan Andini
memberitahu bahwa yang memberikan Kertas Bunga pada Marwan adalah dirinya. Ia
bermaksud menguji kewaspadaan kekasihnya. Tapi hal itu ternyata memberikan efek
berlebihan pada Marwan. Mereka bertengkar. Tapi, satu bulan lalu Andini
mengungkapkan semuanya dan setuju dengan rencana Marwan menikahinya. Mereka pun
bertunangan satu minggu pasca kebenaran tentang Kertas Bunga terungkap. Selama
itu, sisi bejat Andini belum Marwan ketahui.
Marwan berdiri tegak. Tangannya tak bersila di
dada. Ia memasukkan tangan kanannya ei saku belakang semantara tangan kirinya
meraih sebuah foto di saku kemeja coklat tua. Ia baru saja meletakkan foto itu
di sana.
"Ini untukmu", kata Marwan. Ia
menyimpan sebuah surat undangan di atas meja. Undangan pernikahan mereka. Kali
ini Marwan menerima tamparan yang lebih keras daripada sebelumnya.
"Dan terima kasih telah mengajariku
kewaspadaan", imbuh lelaki itu. Ia meletakkan sebuah foto di atas surat
undangan pernikahannya. Kemudian Marwan beranjak pergi meninggalkan Andini. Ia
menatap lurus ke dapan. Andini akan menjadi masa lalu mulai detik dimana ia
tahu kenyataan pahit tentang gadis itu.
Marwan melangkah pelan di bahu jalan. Rasa
hatinya hampa. Mungkin kehadiran Andini sudah menghilang dari sana. Makanya ia
rasa hatinya hampa. Marwan kurang fokus pada setiap langkahnya hingga tiba-tiba
ia berdiri di sebuah pertigaan.
***
Tak ada pemandangan yang lebih indah di mata
Marwan selain wajah Andini. Ia mencintainya. Baginya wajah Andini akan
senantiasa menjadi rembulan di kala malam dan seperti mentari di kala siang.
Marwan memang membuang sosok itu dari hatinya dan hatinya pun kosong. Ia sakit
dalam cintanya yang dalam. Ia tak peduli pada hal itu, meskipun ia ingin
menikam Andini dengan cara yang sama.
Marwan menghentikan langkahnya. Dilihatnya
Andini berdiri di seberang jalan. Berdiri sambil memeluk dirinya sendiri. Gadis
itu mengenakan switter berwarna biru tua dan celana jeans dengan warna senada.
Rambutnya diikat sedikit acak-acakan. Matanya sembab. Matanya seperti mata
panda. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ia Andini tapi tak seperti dirinya.
Ia hanya wajah yang tak memiliki semangat hidup.
Marwan berdiri terpaku di seberang jalan.
Menatap kasihan pada Andini. Ia memasukkan tangannya ke saku jaket hitamnya. Ia
tak ingin menjalin hubungan dengan Andini meskipun hatinya meminta ia untuk
berjalan ke arah gadis itu dan memeluknya. Lampu pertigaan berwarna merah dan
lampu pejalan kaki berwarna hijau. Marwan berjalan beriringan dengan
orang-orang kebanyakan. Ia menyeberang jalan sambil berpura-pura tak melihat
Andini. Ia melihatnya tapi hanya dengan tatapan kasihan. Marwan akhirnya sampai
di seberang jalan. Ia terus berjalan, dilewatinya Andini yang berdiri terpaku.
"Aku sama sekali tak ingin melihatmu",
gumam Marwan. Ia terus melangkah pergi meninggalkan pertigaan sambil sesekali
menengok ke belakang. Memastikan apakah gadis itu mengikutinya atau tidak.
Marwan mendesah pelan. Asap putih tipis-tipis
keluar dari bibirnya. Hawa dingin kota Reykjavik memaksa Marwan menyesuaikan
diri dengan hawa dinginnya di musim dingin. Semua orang mengenakan jaket tebal.
Ia melewati beberapa pertokoan sambil sesekali memlirik ke belakang, takut-takut
Andini menguntitnya dari jauh. Akhirnya ia sampai di sebuah rumah. Rumah itu
miliknya.
Marwan segera masuk ke dalam rumah. Langkahnya
terlihat sangat buru-buru. Begitu masuk, ia langsung berlari menghambur ke
kamarnya. Sampai di sana ia menutup pintunya rapat-rapat dan bergelung di
kasurnya. Ditariknya selimut hijau tua untuk menutupi seluruh tubuh dan
pandangannya. Ia harus segera tidur dan melupakan Andini sehingga hatinya akan
benar-benar kosong.
"Aku tak ingin melihatmu lagi", gumam
Marwan pada dirinya sendiri. Berkali-kali ia mengucapkan kata yang sama dan
berkali-kali itu wajah Andini muncul di kepalanya.
"Marwan, Andini mengirimkan sesuatu
untukmu. Ibu menyimpannya di meja tamu. Oh ya!, jangan lupa makan, ibu sudah
menyiapkan makan malam di meja makan, kau hanya perlu menghangatkannya. Ibu
tidak pulang malam ini, jaga rumah baik-baik, nak", kata ibu panjang
lebar. Marwan mendengar semuanya dengan jelas, tapi ia hanya fokus pada kalimat
pertama yang diucapkan ibu.
"Ibu pergi sekarang", suara ibu kembali
mengisi gendang telinga Marwan, kemudian suara pintu tertutup mengakhiri
keramaian di rumah ini.
Marwan menyingkap selimutnya. Ia duduk dengan
kaki terulur ke lantai. Tangannya menopang berat tubuhnya di ranjang. Mata
Marwan menatap kosong ke meja. Di atas meja itu berdiri sebuah foto dengan
bingkai kayu berwarna coklat tua. Foto pertunangan Marwan dan Andini. Di sana
mereka nampak sangat bahagia, bahkan saat itu Marwan berani bertaruh ia akan
behagia selamanya bersama gadis itu, namun semuanya menjadi ilusi saat ini.
Marwan segera sadar dar lamunannya. Tatapan kosong penuh kebosanannya menuntun
Marwan menuju meja tamu.
Ia berjlaan menuruni tangga. Tangga hanya lima
belas anak, akan tetapi Marwan merasa ia seperti menuruni jalanan terjal penuh
rintangan di gunung es Islandia. Ia terhuyung-huyung dan hampir tidak bisa
mengendalikan dirinya sendiri. Efek obat penenang mulai bekerja padanya.Ia
mulai mengantuk.
Samar-samar Marwan melihat sebuah bingkisan di
atas meja. Ia mempercepat langkahnya ke arah kotak itu. Lalu ia duduk di
berhadapan dengan meja dan meraih kotak itu ke pangkuannya. Tak ada pesan
apapun di penutup kotak itu. Dari itu Marwan tahu kalau Andini sendiri lah yang
mengantarkannya ke rumah. Marwan membuka kotak itu dan sebuah kertas terlipat
seperti bunga menjadi benda pertama yang diambilnya. Ia teringat pada Kertas
Bunga.
Marwan membuka lipatan demi lipatan Kertas
Bunga. Ia merasa kembali ke saat dimana ia menemukan Kertas Bunga di taman dan
ia merasa akan diliputi rasa takut yang begitu besar sekali lagi. Ia merasa
dejavu dengan kertas itu.
Kertas Bunga terbuka. Marwan melihat ada
beberapa baris tulisan di sana. Ia membacanya.
Kekasihku, aku salah karena membohongimu. Aku
selalu tampil bukan sebagai diriku di hadapanmu dan di belakangmu aku memiliki
segudang kebohongan. Barangkali mengemis cintamu sekali lagi aku tak mampu,
maka aku akan pergi selama-lamanya dari sisimu. Hapus diriku dari hatimu dan
aku pun akan melakukan hal yang sama. Maafkan aku karena tidak menjadi diriku.
- Andini
Marwan selesai membaca surat ringkas itu. Ia
melipatnya kembali menjadi Kertas Bunga kemudian menyimpannya di dalam kotak
sekali lagi. Ia mengambil empat buah buku sketsa berukuran sedang dari dalam
kotak. Semuanya milik mereka berdua -Marwan dan Andini. Ia membukanya dan
gambar pertama tersingkap. Andini menamai gambar pertama buatan mereka dengan
sebutan "Anak Anjing Dan Kelucuan Marwan". Di gambar itu terlihat
karikatur Marwan yang sedang memberi makan anak-anak anjing di taman kota
Reykjavik. Lukisan kecil itu dibuat Andini saat mereka mulai berteman empat
tahun lalu.
Marwan menutup buku sketsa pertama dari tahun
pertama ia di kota Reykjavik. Kemudian ia menyimpan semuanya di dalam kotak itu
lagi dan membawanya ke kamar. Ia sudah memutuskan bahwa ia akan membiarkan
Andini pergi dari sisinya selamanya, atau setidaknya sampai ia mampu menerima
kenyataan tentang gadis itu.
Marwan duduk di atas kasurnya dengan ponsel di
genggaman tangannya. Ia menulis sebuah e-mail untuk Andini.
"Kita akan menikah, tapi tidak dalam waktu
dekat. Aku akan bersabar menanti hari dimana kita bertemu kembali. Dan selama
itu aku akan menerimamu sebagai Andini yang sebenarnya. Meskipun kau telah
berbalut kenistaan, aku akan tetap mencintaimu. Bagiku…kau adalah berlian!”
Marwan merebahkan tubuhnya. DItariknya selimut
menutupi sekujur tubuhnya. Tatapan kosongnya perlahan menutup. Katup matanya
terasa berat sekali. Meski hendak tidur, Marwan berharap ia akan tetap
mengingat Andini ketika bangun nanti.
Bagikan
Kertas Bunga Dalam Kaca
4/
5
Oleh
Unknown