sumber gambar : fixabay.com |
Malam
ini langit tak berbintang, sama seperti malam-malam sebelumnya. Wajar, ini
musim penghujan, negeri ini seolah meliburkan setiap bintang yang hendak hadir,
pentas dan menghibur di malam yang gelap. Rumah itu menyimpan beberapa kenangan
manisku, aku ingin membaginya dengan wanita, sekali lagi. Mungkin iya, dan
mungkin tidak ia akan menerimaku lagi. Memorinya tentang diriku perlahan-lahan
akan lenyap tersapu cintanya yang baru, selamat tinggal kasih.
***
“Mas,
sudah pulang???”. Ucap istriku di seberang telepon.
“Iya!!
Kamu dimana? Suami datang koq tidak ada di rumah. Cepat pulang! Atau kuceraikan
kamu!!”, bentakku menjawab tutur kata istriku di seberang telepon. Malam itu
aku baru datang dari luar kota. Badanku terasa letih dan lemas, kudapati istriku
sedang tak ada di rumah. Sebenarnya istriku tidak salah malam itu, dua hari
sebelum kepulanganku ia menelepon dan memberitahuku tentang kondisi ibunya yang
tengah sakit keras di kampung, ia meminta izin untuk pulang, menemani ibunya. Sebelum
pulang, ia menawarkanku jasa seorang
pembantu yang akan menyediakan makanan dan membersihkan rumah selama ia tak
ada, namun tak kutampik tawarannya itu.
Malam
itu kami bertengkar hebat, dia tidak sekalipun melontarkan kata-kata kasar
padaku, akulah yang terus memborbardirnya dengan berbagai pertanyaan serta
cercaan-cercaan tak beralasan. Jika harus mengingat malam itu, aku ingat betapa
bodohnya diriku.
“Maafkan
aku mas, aku tidak bisa menjadi istri yang baik. Tapi kumohon jangan ceraikan
aku, aku takut Allah akan murka pada kita....”, istriku tersedu, ia memohon
agar aku tak menceraikannya.
“Masa
bodoh dengan Tuhan. Apa Dia peduli aku lemas dan letih malam ini? Seharusnya
kamu yang peduli, tapi kamu malah kelayapan!! Cepat pulang!!”, suaraku semakin
keras membentaknya. Dari seberang telepon kudengar tangisannya semakin deras,
namun apa peduliku malam itu padanya. Masa bodoh lah yang kulakukan padanya.
“Astaghfirullah...
nyebut mas nyebut...”.
“Aku
tak peduli, kalau besok pagi kamu tak juga ada di sini, aku berjanji akan
melayangkan cerai!! Camkan itu”. Segera kutup telepon, aku yang bersimbah
kemarahan, terus memarahinya dan melontarkan sumpah serapah padanya, bahkan
lebih kejam lagi, aku memberinya pelajaran ketika ia datang keesokan harinya.
***
Kira-kira
pukul 5 pagi, bunyi bel rumah sudah berdering. Aku beranjak dari kamar, menuju
pintu, menilik dari dalam, melihat siapa yang datang.
Ternyata
istriku. Ia menggendong sebuah tas di punggungnya, katup matanya terlihat
kehitam-hitaman, kurang tidur. Tadi malam aku menelepon pukul 7, ternyata pagi
itu ia sudah datang, rupanya ia segera mematuhi perintahku.
Butuh
waktu 9 jam perjalanan menggunakan bis dari rumahku menuju kampung halaman
istriku. Ia pasti lelah pagi itu. Aku tidak menyambutnya dengan senyuman, dan
memberikan barang segelas air saja. Aku mencercanya, memakinya, bahkan sesekali
menjambak rambutnya. Kemarahanku kembali memuncak ketika
melihat wajahnya, tak peduli ia lelah, aku terus memarahinya, aku seperti
kesetanan pagi itu, kata-kata kotor mengalir deras menghujam hati istriku, ia
diam, tak membantah sedikitpun. Seakan-akan ia bukanlah wanita yang berharga dalam
hidupku.
“Kemana saja kamu!! Pulang atau bermalam
dengan lelaki lain hah!!, jawab aku!!!”, teriakanku menggema di seluruh rumah,
kuseret ia kea rah kamar mandi.
“Ampun mas, ampun… maafkan aku mas….kumohon
maafkan aku….sssh…sssh…sssh…”. bibirnya bergetar, memohon ampun padaku. Aku
terus menyeretnya, menyiraminya dengan air. Kulihat ia kedinginan. Andai aku
tersadar pagi itu, takkan kulakukan hal itu padanya, ia istri yang sangat
berharga bagiku, segalanya untukku.
Penyiksaanku terhadapnya berhenti ketika
matahari menyingsing, aku berhenti bukan karena penyiksaan itu kurasa cukup,
aku akan bekerja beberapa jam lagi. Aku melangkah pergi meninggalkannya yang
menangis di dalam kamar mandi, tubuhnya mengigil, ia mengucapkan namaku dalam
tangisannya. Aku tak peduli, sangat tidak peduli padanya pagi itu, aku
menganggapnya orang lain, seolah ia bukan istriku pagi itu.
Pukul 07.30 pagi. Selesai berpakaian rapi,
kulihat istriku sedang menyiapkan sarapan, ia tetap tersenyum, katup matanya yang
kehitam-hitaman tak menghalanginya untuk mengabdi padaku.
“Selamat pagi sayang…”, ujarnya seraya melemparkan
senyuman yang manis. Aku tak menggubrisnya.
“Sarapan bareng yuk..”, ajaknya. Aku hanya
mengambil beberapa helai roti yang ia siapkan, lalu pergi.
Betapa hebatnya istriku hari itu, pagi itu,
malam itu. Aku memarahinya, mencacinya, memakinya bahkan menyiksanya
habis-habisan, namun ia tetap memberiku senyumnya, seakan-akan tak terjadi
apapun hari itu.
***
Malam ini malam yang kelam, aku hanya dapat
melihatnya dari kejauhan, membiarkannya tersenyum dengan lelaki lain. Rumah
anggrek berwarna biru itu terlihat sunyi, hanya aku sepasang mata yang
terbangun malam ini, di sini, menatap kemuaraman diriku, menikmati keceriaan
yang nampak di seberang jalan.
Prasangka buruk terus menggelayuti
pikiranku selama hidup bersamanya. Hariku bersamanya seolah tidak pernah
berharga, justru ia yang selalu menganggap harinya berharga bersamaku. Aku
tidak puas dengannya, ingin mencari lebih, lebih cantik, lebih manis, lebih
seksi, lebih menggairahkan, dan lebih dari istriku dalam segalanya.
***
Menghindar dari istriku yang membosankan,
selalu berbuat salah, membuatku kecewa. Aku tak ingin ada di rumah. Kuputuskan
untuk mengikuti saran seorang teman, pergi ke Jogja.
Malam itu aku sedang di luar kota, bekerja
menjadi alasan tepat agar tidak menimbulkan kecurigaan dalam benak istriku. Aku
ingin menikmati malam yang cerah ini, mungkin dengan melihat-lihat berbagai
barang antik, mencicipi jajanan pasar khas Jogja, dan yang paling kuinginkan
adalah mencicipi gadis-gadis cantik Pasar Kembang yang legendaries itu.
Aku yang tidak tahu diri melangkah melewati
kerumunan, menyusuri jalur tikus, bertemu dengan Germo dari gadis-gadis aduhai
itu. Aku bernegosiasi sejenak, mencocokkan harga dengannya, menyiapkan tempat
yang pas, dan terakhir memilih gadis, inilah bagian terpenting dari transaksi
sex di Pasar Kembang.
Setelah harganya dirasa pas, lelaki bertato
dan bertubuh gempal itu membawaku ke sebuah hotel, sebenarnya lebih terlihat
seperti warung remang-remang dibandingkan hotel, tetapi orang-orang di sini
memasangkan plat bertuliskan hotel, apalah arti dari sebuah nama jika substansi
dari barangnya tak ada.
Dengan keyakinan kuat, kulangkahkan kaki
menuju sebuah kamar yang telah mereka sediakan. Suasana di sini terlihat biasa,
tetapi di dalam setiap ruangan berukuran 4 x 4 meter ini, ada desahan-desahan
yang menggairahkan. Seorang wanita muda nan cantik sedang menungguku dalam
kamar bernomor 404, kepuasan jasmani menjadi tagetku malam ini.
Mencumbu seorang PSK ternyata mendatangkan
sensasi tersendiri, sensasi yang tak kudaptkan dari istriku selama ini,
desahannya sangat berbeda, semuanya boleh kuraba, tak satupun posisi kulewatkan
dengannya, ia mahir bercinta dengan lelaki manapun, dengan harga yang pantas
tentunya. Aku duduk santai di atas ranjang. Percintaan singkat berharga dua
juta rupiah telah usai, akubelum mengenakan pakaianku. Wanita itu tengah
membasuh tubuhnya dengan handuk, terlihat jelas setiap lekukannnya.
Wanita itu segera pergi meninggalkanku.
Kata terakhir yang ia ucapkan adalah, “Telpon aku ya mas bila butuh pelayanan”,
aku mengangguk, mengamini permintaannya. Aku tidak eling dengan istriku
di Bandung. Aku lupa siapa dia, yang kuingat malam itu hanyalah nikmatnya
sensasi bercinta dengan wanita yang bukan istriku.
Ini tentang bercinta, tentang kepuasan,
tentang kenikmatan, tentang desahan. Bicara tentang ranjang, bicara tentang
desahan, bicara tentang kepuasan. Aku tak pernah puas bercinta dengan istriku,
is orgasme lebih cepat dari yang kuinginkan. Bahkan terkadang aku enggan untuk
menyentuhnya meski ia memberikan tangannya untuk meraih tanganku yang akan ia
cium saat pergi. Ia tak berharga bagiku, yang berharga bagiku adalah wanita
pelayan yang baru saja bercinta denganku.
***
Aku ingat betapa berdosanya aku malam itu,
bercinta dengan wanita lain, menghamburkan uang untuk hal yang tak berguna bagi
kehidupan kami. Aku tidak sadar dengan apa yang kulakukan saat itu, aku hanyut
terbawa nafsu, meninggalkan fitrah suci pernikahan kami. Dia tidak salah dengan
kejadian malam itu, aku yang salah. Tidak baik memang jika harus menghakiminya
salah hanya karena orgasmenya yang terlalu cepat saat berhubungan intim
sehingga menimbulkan ketidakpuasan dalam diriku.
Malam ini kuharap ia tengah bercinta dengan
lelaki itu di rumah anggrek, rumah barunya, bahtera rumah tangganya yang baru. Aku
hanya dapat berdiri mematung di sisi jalan, memandangi setiap sudut rumah itu,
kelap kelipnya mengingatkanku dengan penganiyaan yang kulakukan malam itu, oh
Malioboro.
***
Beberapa bulan sebelumnya kami sempat
berdamai. Tak pernah terjadi keributan sedikitpun di antara kami, bukan karena
tak ada permasalahan yang terjadi, aku tidak mengajaknya berbicara selama empat
bulan belakangan ini, acuh dengan semua yang ia lakukan.
Malam pergantian tahun pun tiba, usia pernikahan
kami sudah menginjak tiga tahun, tepatnya pada tanggal 1 Januari. Tak ada
perayaan, tak ada lilin, tak ada liburan, tak ada undangan, tak ada uang makan
yang kuberikan. Ia menyelipkan selembar kertas dalam saku jasku, kubuka kertas
itu saat dikantor, ada tiba baris tulisan di dalamnya.
Maafkan aku mas….
Maafkan aku mas….
Maafkan aku mas….
Nida, istrimu.
Aku tetap tak peduli dengan apa yang ia
lakukan untukku. Setiap pagi ia selalu menyiapkan makanan saat aku hendak pergi
bekerja, dan makanan berbeda telah tersaji kala aku pulang. Aku heran, darimana
ia mendapatkan uang itu. Kutelisik, kuselidiki darimana ia mendapatkan semua
uang yang menjadi makanan dan kebutuhan rumah ini.
Aku merubah diri untuk sementara waktu,
demi satu tujuan, mengetahui darimana ia mendapatkan uang. aku mulai
mengajaknya bicara, mengajaknya bercanda, mengajaknya tertawa, kami seperti
mengalami masa pacaran yang kedua, tapi aku tidak menikmatinya. Aku tetap pada
pendirianku, mencari tahu, tidak untuk membahagiakan.
Hanya dua minggu drama itu berlangsung,
saat ia kuboyong liburan kantor ke Jogja, kudapati seorang lelaki yang mengiriminya uang. tanpa
berpikir panjang lagi, kulabrak ia di hadapan khalayak yang tengah asyik
berbelanja, kemarahanku mencapai ubun-ubun, beberapa orang rekan kantor mencoba
menahanku, melerai pertengkaran kami,
aku menjambak rambutnya, menamparnya beberapa kali.
“Jadi ini yang kamu lakukan dibelakangku,
hah??? Dasar jalang!!!”. Kutampat lagi wajahnya beberapa kali. Lelaki yang baru
saja memberinya uang, sudah habis babak belur. Ia menangis.
“Siapa laki-laki itu? Apa ia yang
membayarmu? Siapa dia? Jawab aku!!!”, aku memborbardirnya dengan banyak
pertanyaan. Tak puas dengan pertanyaan-pertanyaan itu, kulayangkan kembali
beberapa bogem mentah ke perut, wajah, juga punggung dari istriku. Penyiksaan
yang memilukan.
Tidaki seperti dalam ujian akhir ataupun
ujian tengah, tak sekalipun kubiarkan Nida menjawab salah satu dari sekian
banyak pertanyaan itu. Jika ini sedang ujian, dia pasti mendapatkan nilai E.
aku terbakar amarah tak lagi memberinya kesempatan untuk menjawab meski kulihat
beberapa kali ia mencoba menjelaskan siapa lelaki itu, dari mana uang ini, dan
untuk apa uang ini. Aku tidak menghiraukan berpasang-pasang mata yang menatapku
jijik, kulanjutkan latihan memukul sore itu di Malioboro.
Dalam tangisannya, sayup-sayup terdengar
ucapan apologi. Aku tak menggubrisnya, kulanjutkan penyiksaan di depan umum
itu. Beberapa orang teman sudah mengamankan pria pengirim uang, membawanya ke
rumah sakit, sebagian yang lain menarik tubuhku, menjauhi tubuh Nida yang sudah
tak berdaya.
Dengan bantuan beberapa orang teman,
akhirnya Nida dibawa ke rumah sakit, aku sendiri digelandang ke dalam mobil,
menjauhi setiap pasang mata yang menatapku picik, seolah aku adalah penjahat
perang. Ya, memang benar aku penjahat sore itu, penjahat yang tidak dewasa,
menampakkan keributan dan kerapuhan rumah tangga di depan umum.
Kudengar keadaan Nida belum membaik setalah
tiga hari menginap di rumah sakit Al-Husaini, Jogja. Rombongan kantor akan
segera pulang sore ini, aku ikut dalam rombongan itu meski seorang teman
dekatku menyarankan agar aku tetap di sini, menemani Nida hingga keadaannya
membaik. Aku lurus saja, tanpa ekspresi, tanpa gesture mengiyakan, duduk di
kursi belakang mobil travel ini, meninggalkan Nida yang tengah kritis.
Banyak diantara teman-temanku yang
geleng-geleng kepala karena sikapku yang tidak berperi ke-suami-an pada Nida. tak
ada sedikitpun cinta, belas kasih, dan sayang dariku untuknya, seolah tak ada
sedikitpun sifat Tuhan yang Pengasih dan Penyayang dalam diriku. Aku terlanjur
muak dengan semua yang ia lakukan.
Beberapa hari kemudian Nida sudah ada di
rumah, ia menyunggingkan senyumnya yang manis, sekali lagi seolah tak terjadi
apapun diantara kami. Ia terlihat baik-baik saja.
“Apa kabar mas?”, ujarnya saat kulewati
dapur, berjalan menuju kamar mandi. Sudah enam bulan aku tak melakukan
kewajibanku sebagai suami.
***
sumber gambar : dcervin.com dcervin.com |
Kejadian Malioboro kelabu menjadi batu
karang yang akhirnya menenggelamkan bahtera rumah tangga kami. Surat cerai
resmin kulayangkan hanya beberapa minggu setelah penganiyaan yang memilukan
itu. Bukan Nida yang melayangkan surat cerai, akulah yang melakukannya atas
keinginan sepihak, bahkan kedua orang tuaku pun tidak tahu.
“Apa yang terjadi mas? Maaf aku, kumohon
jangan ceraikan aku. Aku dapat hidup terasing di sini, aku akan berusaha
menjadi istri yang kau inginkan”, tutur Nida, matanya berkaca-kaca.
“Aku sudah tak kerasan hidup denganmu. Kamu
bukan yang terbaik bagiku. Awalnya memang kuanggap kau baik hati, mampu menjadi
istri yang kuinginkan, tetapi dilabik itu semua, ternyata kamu hanyalah seorang
wanita jalang yang menyembunyikan semua kebusukanmu dibalik wajahku”, ucapku
dengan nada sedikit keras. Sebenarnya aku sengaja menyimpan kemarahanku di
kantor pada seorang karyawan untuk kuluapkan pada Nida.
“Kumohon mas, aku akan berusaha. Beri aku
kesempatan satu kali lagi…sssshhhh….sssshhhh…sssshhhh…”, kulihat Nida menangis.
Namun aku heran dengan diriku sendiri saat itu, aku lurus saja tanpa ekspresi,
tidak mengindahkan tangisannya. Nida meraih kakiku, ia menciumnya, sujud di
kakiku, seakan-akan aku ini raja yang patut untuk disembah.
“Dengar, aku tidak akan mencabut kembali
gugatan cerai itu. Terserah padamu, silakan menangis, silakan bersujud, silakan
kau cium kakiku, aku tak peduli”, kulanjutkan berjalan. Menyisir setiap sudut
lorong. Nida mengejarku, terdengar lirih tangisannya mengisi ruang hampa rumah
ini.
“mas,
kumohon…sssshhhh….sssshhhh….ssshhhhh”.
“Tidak. Cukup sudah. Silakan kau datangi
lelaki yang memberimu uang itu. Kau tak pantas untukku…”. Aku menutup pintu
kamar, merebahkan sekujur tubuhku.
“Lelaki itu dari pihak penerbitan mas, aku
memiliki uang untuk memasak, membayar listrik dan keperluan rumah lainnya dari
hasil menulis buku. Kumohon percayalah padaku satu kali ini saja, kumohon mas…
kumohon jangan ceraikan aku….sssshhh…sssshhh… kaulah inspirasi terbesar dalam
semua tulisanku mas…sssshhhh…sssshhhh….”, isak tangis Nida semakin jelas
terdengar. Bukan empati yang timbul dariku, amarahlah yang menguasaiku.
“Tidak dengar ya??”, kujambak rambutnya,
menyeretnya dilantai, kugiring ia menuju sebuah ruangan berukuran 1x2 meter
dibawah tangga, sama persis seperti kamar milik Harry Potter.
“Jika ingin menangis, menangislah di sini!!!”,
aku seperti kesetanan saat itu.
Tanpa berpikir panjang, kumasukkan tubuh
Nida ke dalam kamar gelap tempat menyimpan barang-barang tak terpakai di rumah
ini. Ia terus memohon iba dariku, sesekali mencium kakiku. Aku tetap
memasukkannya, kukunci rapat kamar itu.
Aku menyesali diriku yang seperti setan malam
itu, aku bukan manusia, tak ada sifat kemanusiaan sedikitpun dalam diriku. Aku
menyiksa orang yang telah memberi belas, kasih, saying dan cintanya hanya
untukku, mengabdikan dirinya untukku, menemaniku dalam setiap saatnya yang
sulit selama menjalani hidupnya bersamaku. Aku terlalu picik dengan menganggap
semua yang ia dedikasikan untukku adalah salah, urat Maluku terlalu kuat untuk
meminta maaf padanya kala waktu sudah terlambat.
Palu sidang telah diketuk oleh hakim yang
agung, hanya ada aku, Nida dan beberapa teman yang menemani Nida, dan Anton
yang menemaniku dalam persidangan di awal bulan Februari tahun 2012 itu. Ketika
itu aku merasa puas, puas dengan keberhasilanku. Berbalik 360 derajat dariku,
Nida menangisi putusan hakim yang agung, beberapa kali ia melihat ke aarahku,
seakan memohon iba.
Aku tak tahu apa yang membuatku puas,
memang ketika usai persidangan keberhasilan membuatku puas, namun beberapa hari
berselang barulah kusadar ternyata nafsu dan amarah yang menyelimuti hati telah
membuatku buta akan semua jasa-jasanya. Hanya ada selembar surat perpisahan
dari Nida yang kini menemaniku. Aku menemukan semua curahan hatinya dibawah
ranjang, tempat kami menghabiskan malam pertama penuh makna, ranjang itu penuh
kenangan tentangnya.
“Bila ada tak berharga, bila tiada terasa
berharga”, gumamku. Keberadaan Nida disampingku selalu kuanggap ia tak berguna,
tak berharga, tak kucinta. Kini setelah ia pergi dan tersenyum dengan lelaki
lain, barulah sesal itu tiba, bukan hanya menghampiri, sesal itu menemaniku
dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas, setiap perputaran waktu yang
kulalui, ia selalu ada.
Aku tetap berdiri mematung di seberang
jalan malam, menatap rumah anggrek itu hingga puas, menyesali setiap keputusan
yang telah kuambil. Pagi menjelang, mentari menyongsong kehidupan di ufuk
timur, kulihat seorang wanita berjalan keluar bersama seorang lelaki, Nampak
sekali keceriaan di wajah mereka, berbicara satu sama lain. Wanita itu menatap
ke arahku yang berdiri, berselimut jaket dan celana yang basah kuyup. Ia
menghampiriku.
“Bagaimana kabarnya mas? Sudah lama ya
tidak bertemu”, ucapnya. Ingin sekali rasanya kupeluk dia dan meminta apologi
darinya. Aku malu, lagi-lagi urat maluku memenangkan
pertarungan.
“Ba...baik
Dha.. kamu sendiri bagaimana?”, ujarku gugup. Bibirku bergetar.
“Aku
baik-baik saja. Oh iya, ini mas Anang, suamiku, mas sini...”, Nida melambaikan
tangannya pada lelaki bertubuh tegap yang berdiri tak jauh dari tempat kami.
Lelaki itu datang, dan menjabat tanganku.
“Anang...”,
tuturnya memperkenalkan diri.
“A...Andi...”,
ujarku. Aku gugup sekali berhadapan dengan mereka berdua, rasa bersalah masih
terasa berat dalam diriku.
Nida
pamit untuk berolah raga bersama suaminya. Mereka pasangan yang serasi,
melengkapi satu sama lain. Aku harus tersenyum dengan kepergiannya, “Dha,
Maafkan aku”, gumamku. Sebelum pulang, aku menyimpan selembar kertas dibawah
pintu masuk rumah anggrek. Aku hanya menulis, “Terima kasih telah hadir dalam
hidupku”. Kulangkahkan kaki meninggalkan pelataran halaman rumah anggrek yang
sepi, selamat tinggal.
Bagikan
Memori Dalam Hujan
4/
5
Oleh
Unknown