Minggu, 02 April 2017

Memori Dalam Hujan

sumber gambar : fixabay.com
Gemericik air hujan menempa beberapa bunga yang tumbuh di halaman rumah anggrek berwarna biru. Dari kejauhan hanya terlihat beberapa lampu berwarna putih bermerek salah satu produk terkenal negeri ini tengah menyala, memancarkan sinarnya. Sepintas mungkin tak ada yang membuat rumah ini begitu istimewa bagiku, saat ini. Yang kuingat hanya sosok seorang wanita yang kini tengah tertidur pulas di dalamnya. Dari kejauhan, aku mematungkan diri, menatap setiap sisi rumah itu. Aku sangat mengenalnya.
Malam ini langit tak berbintang, sama seperti malam-malam sebelumnya. Wajar, ini musim penghujan, negeri ini seolah meliburkan setiap bintang yang hendak hadir, pentas dan menghibur di malam yang gelap. Rumah itu menyimpan beberapa kenangan manisku, aku ingin membaginya dengan wanita, sekali lagi. Mungkin iya, dan mungkin tidak ia akan menerimaku lagi. Memorinya tentang diriku perlahan-lahan akan lenyap tersapu cintanya yang baru, selamat tinggal kasih.
***
“Mas, sudah pulang???”. Ucap istriku di seberang telepon.
“Iya!! Kamu dimana? Suami datang koq tidak ada di rumah. Cepat pulang! Atau kuceraikan kamu!!”, bentakku menjawab tutur kata istriku di seberang telepon. Malam itu aku baru datang dari luar kota. Badanku terasa letih dan lemas, kudapati istriku sedang tak ada di rumah. Sebenarnya istriku tidak salah malam itu, dua hari sebelum kepulanganku ia menelepon dan memberitahuku tentang kondisi ibunya yang tengah sakit keras di kampung, ia meminta izin untuk pulang, menemani ibunya. Sebelum pulang,  ia menawarkanku jasa seorang pembantu yang akan menyediakan makanan dan membersihkan rumah selama ia tak ada, namun tak kutampik tawarannya itu.
Malam itu kami bertengkar hebat, dia tidak sekalipun melontarkan kata-kata kasar padaku, akulah yang terus memborbardirnya dengan berbagai pertanyaan serta cercaan-cercaan tak beralasan. Jika harus mengingat malam itu, aku ingat betapa bodohnya diriku.
“Maafkan aku mas, aku tidak bisa menjadi istri yang baik. Tapi kumohon jangan ceraikan aku, aku takut Allah akan murka pada kita....”, istriku tersedu, ia memohon agar aku tak menceraikannya.
“Masa bodoh dengan Tuhan. Apa Dia peduli aku lemas dan letih malam ini? Seharusnya kamu yang peduli, tapi kamu malah kelayapan!! Cepat pulang!!”, suaraku semakin keras membentaknya. Dari seberang telepon kudengar tangisannya semakin deras, namun apa peduliku malam itu padanya. Masa bodoh lah yang kulakukan padanya.
“Astaghfirullah... nyebut mas nyebut...”.
“Aku tak peduli, kalau besok pagi kamu tak juga ada di sini, aku berjanji akan melayangkan cerai!! Camkan itu”. Segera kutup telepon, aku yang bersimbah kemarahan, terus memarahinya dan melontarkan sumpah serapah padanya, bahkan lebih kejam lagi, aku memberinya pelajaran ketika ia datang keesokan harinya.
***
Kira-kira pukul 5 pagi, bunyi bel rumah sudah berdering. Aku beranjak dari kamar, menuju pintu, menilik dari dalam, melihat siapa yang datang.
Ternyata istriku. Ia menggendong sebuah tas di punggungnya, katup matanya terlihat kehitam-hitaman, kurang tidur. Tadi malam aku menelepon pukul 7, ternyata pagi itu ia sudah datang, rupanya ia segera mematuhi perintahku.
Butuh waktu 9 jam perjalanan menggunakan bis dari rumahku menuju kampung halaman istriku. Ia pasti lelah pagi itu. Aku tidak menyambutnya dengan senyuman, dan memberikan barang segelas air saja. Aku mencercanya, memakinya, bahkan sesekali menjambak rambutnya. Kemarahanku kembali memuncak ketika melihat wajahnya, tak peduli ia lelah, aku terus memarahinya, aku seperti kesetanan pagi itu, kata-kata kotor mengalir deras menghujam hati istriku, ia diam, tak membantah sedikitpun. Seakan-akan ia bukanlah wanita yang berharga dalam hidupku.
“Kemana saja kamu!! Pulang atau bermalam dengan lelaki lain hah!!, jawab aku!!!”, teriakanku menggema di seluruh rumah, kuseret ia kea rah kamar mandi.
“Ampun mas, ampun… maafkan aku mas….kumohon maafkan aku….sssh…sssh…sssh…”. bibirnya bergetar, memohon ampun padaku. Aku terus menyeretnya, menyiraminya dengan air. Kulihat ia kedinginan. Andai aku tersadar pagi itu, takkan kulakukan hal itu padanya, ia istri yang sangat berharga bagiku, segalanya untukku.
Penyiksaanku terhadapnya berhenti ketika matahari menyingsing, aku berhenti bukan karena penyiksaan itu kurasa cukup, aku akan bekerja beberapa jam lagi. Aku melangkah pergi meninggalkannya yang menangis di dalam kamar mandi, tubuhnya mengigil, ia mengucapkan namaku dalam tangisannya. Aku tak peduli, sangat tidak peduli padanya pagi itu, aku menganggapnya orang lain, seolah ia bukan istriku pagi itu.
Pukul 07.30 pagi. Selesai berpakaian rapi, kulihat istriku sedang menyiapkan sarapan, ia tetap tersenyum, katup matanya yang kehitam-hitaman tak menghalanginya untuk mengabdi padaku.
“Selamat pagi sayang…”, ujarnya seraya melemparkan senyuman yang manis. Aku tak menggubrisnya.
“Sarapan bareng yuk..”, ajaknya. Aku hanya mengambil beberapa helai roti yang ia siapkan, lalu pergi.
Betapa hebatnya istriku hari itu, pagi itu, malam itu. Aku memarahinya, mencacinya, memakinya bahkan menyiksanya habis-habisan, namun ia tetap memberiku senyumnya, seakan-akan tak terjadi apapun hari itu.
***
Malam ini malam yang kelam, aku hanya dapat melihatnya dari kejauhan, membiarkannya tersenyum dengan lelaki lain. Rumah anggrek berwarna biru itu terlihat sunyi, hanya aku sepasang mata yang terbangun malam ini, di sini, menatap kemuaraman diriku, menikmati keceriaan yang nampak di seberang jalan.
Prasangka buruk terus menggelayuti pikiranku selama hidup bersamanya. Hariku bersamanya seolah tidak pernah berharga, justru ia yang selalu menganggap harinya berharga bersamaku. Aku tidak puas dengannya, ingin mencari lebih, lebih cantik, lebih manis, lebih seksi, lebih menggairahkan, dan lebih dari istriku dalam segalanya.
***
Menghindar dari istriku yang membosankan, selalu berbuat salah, membuatku kecewa. Aku tak ingin ada di rumah. Kuputuskan untuk mengikuti saran seorang teman, pergi ke Jogja.
Malam itu aku sedang di luar kota, bekerja menjadi alasan tepat agar tidak menimbulkan kecurigaan dalam benak istriku. Aku ingin menikmati malam yang cerah ini, mungkin dengan melihat-lihat berbagai barang antik, mencicipi jajanan pasar khas Jogja, dan yang paling kuinginkan adalah mencicipi gadis-gadis cantik Pasar Kembang yang legendaries itu.
Aku yang tidak tahu diri melangkah melewati kerumunan, menyusuri jalur tikus, bertemu dengan Germo dari gadis-gadis aduhai itu. Aku bernegosiasi sejenak, mencocokkan harga dengannya, menyiapkan tempat yang pas, dan terakhir memilih gadis, inilah bagian terpenting dari transaksi sex di Pasar Kembang.
Setelah harganya dirasa pas, lelaki bertato dan bertubuh gempal itu membawaku ke sebuah hotel, sebenarnya lebih terlihat seperti warung remang-remang dibandingkan hotel, tetapi orang-orang di sini memasangkan plat bertuliskan hotel, apalah arti dari sebuah nama jika substansi dari barangnya tak ada.
Dengan keyakinan kuat, kulangkahkan kaki menuju sebuah kamar yang telah mereka sediakan. Suasana di sini terlihat biasa, tetapi di dalam setiap ruangan berukuran 4 x 4 meter ini, ada desahan-desahan yang menggairahkan. Seorang wanita muda nan cantik sedang menungguku dalam kamar bernomor 404, kepuasan jasmani menjadi tagetku malam ini.
Mencumbu seorang PSK ternyata mendatangkan sensasi tersendiri, sensasi yang tak kudaptkan dari istriku selama ini, desahannya sangat berbeda, semuanya boleh kuraba, tak satupun posisi kulewatkan dengannya, ia mahir bercinta dengan lelaki manapun, dengan harga yang pantas tentunya. Aku duduk santai di atas ranjang. Percintaan singkat berharga dua juta rupiah telah usai, akubelum mengenakan pakaianku. Wanita itu tengah membasuh tubuhnya dengan handuk, terlihat jelas setiap lekukannnya.
Wanita itu segera pergi meninggalkanku. Kata terakhir yang ia ucapkan adalah, “Telpon aku ya mas bila butuh pelayanan”, aku mengangguk, mengamini permintaannya. Aku tidak eling dengan istriku di Bandung. Aku lupa siapa dia, yang kuingat malam itu hanyalah nikmatnya sensasi bercinta dengan wanita yang bukan istriku.
Ini tentang bercinta, tentang kepuasan, tentang kenikmatan, tentang desahan. Bicara tentang ranjang, bicara tentang desahan, bicara tentang kepuasan. Aku tak pernah puas bercinta dengan istriku, is orgasme lebih cepat dari yang kuinginkan. Bahkan terkadang aku enggan untuk menyentuhnya meski ia memberikan tangannya untuk meraih tanganku yang akan ia cium saat pergi. Ia tak berharga bagiku, yang berharga bagiku adalah wanita pelayan yang baru saja bercinta denganku.
***
Aku ingat betapa berdosanya aku malam itu, bercinta dengan wanita lain, menghamburkan uang untuk hal yang tak berguna bagi kehidupan kami. Aku tidak sadar dengan apa yang kulakukan saat itu, aku hanyut terbawa nafsu, meninggalkan fitrah suci pernikahan kami. Dia tidak salah dengan kejadian malam itu, aku yang salah. Tidak baik memang jika harus menghakiminya salah hanya karena orgasmenya yang terlalu cepat saat berhubungan intim sehingga menimbulkan ketidakpuasan dalam diriku.
Malam ini kuharap ia tengah bercinta dengan lelaki itu di rumah anggrek, rumah barunya, bahtera rumah tangganya yang baru. Aku hanya dapat berdiri mematung di sisi jalan, memandangi setiap sudut rumah itu, kelap kelipnya mengingatkanku dengan penganiyaan yang kulakukan malam itu, oh Malioboro.
***
Beberapa bulan sebelumnya kami sempat berdamai. Tak pernah terjadi keributan sedikitpun di antara kami, bukan karena tak ada permasalahan yang terjadi, aku tidak mengajaknya berbicara selama empat bulan belakangan ini, acuh dengan semua yang ia lakukan.
Malam pergantian tahun pun tiba, usia pernikahan kami sudah menginjak tiga tahun, tepatnya pada tanggal 1 Januari. Tak ada perayaan, tak ada lilin, tak ada liburan, tak ada undangan, tak ada uang makan yang kuberikan. Ia menyelipkan selembar kertas dalam saku jasku, kubuka kertas itu saat dikantor, ada tiba baris tulisan di dalamnya.
Maafkan aku mas….
Maafkan aku mas….
Maafkan aku mas….

Nida, istrimu.
Aku tetap tak peduli dengan apa yang ia lakukan untukku. Setiap pagi ia selalu menyiapkan makanan saat aku hendak pergi bekerja, dan makanan berbeda telah tersaji kala aku pulang. Aku heran, darimana ia mendapatkan uang itu. Kutelisik, kuselidiki darimana ia mendapatkan semua uang yang menjadi makanan dan kebutuhan rumah ini.
Aku merubah diri untuk sementara waktu, demi satu tujuan, mengetahui darimana ia mendapatkan uang. aku mulai mengajaknya bicara, mengajaknya bercanda, mengajaknya tertawa, kami seperti mengalami masa pacaran yang kedua, tapi aku tidak menikmatinya. Aku tetap pada pendirianku, mencari tahu, tidak untuk membahagiakan.
Hanya dua minggu drama itu berlangsung, saat ia kuboyong liburan kantor ke Jogja, kudapati  seorang lelaki yang mengiriminya uang. tanpa berpikir panjang lagi, kulabrak ia di hadapan khalayak yang tengah asyik berbelanja, kemarahanku mencapai ubun-ubun, beberapa orang rekan kantor mencoba menahanku,  melerai pertengkaran kami, aku menjambak rambutnya, menamparnya beberapa kali.
“Jadi ini yang kamu lakukan dibelakangku, hah??? Dasar jalang!!!”. Kutampat lagi wajahnya beberapa kali. Lelaki yang baru saja memberinya uang, sudah habis babak belur. Ia menangis.
“Siapa laki-laki itu? Apa ia yang membayarmu? Siapa dia? Jawab aku!!!”, aku memborbardirnya dengan banyak pertanyaan. Tak puas dengan pertanyaan-pertanyaan itu, kulayangkan kembali beberapa bogem mentah ke perut, wajah, juga punggung dari istriku. Penyiksaan yang memilukan.
Tidaki seperti dalam ujian akhir ataupun ujian tengah, tak sekalipun kubiarkan Nida menjawab salah satu dari sekian banyak pertanyaan itu. Jika ini sedang ujian, dia pasti mendapatkan nilai E. aku terbakar amarah tak lagi memberinya kesempatan untuk menjawab meski kulihat beberapa kali ia mencoba menjelaskan siapa lelaki itu, dari mana uang ini, dan untuk apa uang ini. Aku tidak menghiraukan berpasang-pasang mata yang menatapku jijik, kulanjutkan latihan memukul sore itu di Malioboro.
Dalam tangisannya, sayup-sayup terdengar ucapan apologi. Aku tak menggubrisnya, kulanjutkan penyiksaan di depan umum itu. Beberapa orang teman sudah mengamankan pria pengirim uang, membawanya ke rumah sakit, sebagian yang lain menarik tubuhku, menjauhi tubuh Nida yang sudah tak berdaya.
Dengan bantuan beberapa orang teman, akhirnya Nida dibawa ke rumah sakit, aku sendiri digelandang ke dalam mobil, menjauhi setiap pasang mata yang menatapku picik, seolah aku adalah penjahat perang. Ya, memang benar aku penjahat sore itu, penjahat yang tidak dewasa, menampakkan keributan dan kerapuhan rumah tangga di depan umum.
Kudengar keadaan Nida belum membaik setalah tiga hari menginap di rumah sakit Al-Husaini, Jogja. Rombongan kantor akan segera pulang sore ini, aku ikut dalam rombongan itu meski seorang teman dekatku menyarankan agar aku tetap di sini, menemani Nida hingga keadaannya membaik. Aku lurus saja, tanpa ekspresi, tanpa gesture mengiyakan, duduk di kursi belakang mobil travel ini, meninggalkan Nida yang tengah kritis.
Banyak diantara teman-temanku yang geleng-geleng kepala karena sikapku yang tidak berperi ke-suami-an pada Nida. tak ada sedikitpun cinta, belas kasih, dan sayang dariku untuknya, seolah tak ada sedikitpun sifat Tuhan yang Pengasih dan Penyayang dalam diriku. Aku terlanjur muak dengan semua yang ia lakukan.
Beberapa hari kemudian Nida sudah ada di rumah, ia menyunggingkan senyumnya yang manis, sekali lagi seolah tak terjadi apapun diantara kami. Ia terlihat baik-baik saja.
“Apa kabar mas?”, ujarnya saat kulewati dapur, berjalan menuju kamar mandi. Sudah enam bulan aku tak melakukan kewajibanku sebagai suami.
***
sumber gambar : dcervin.com dcervin.com
Kejadian Malioboro kelabu menjadi batu karang yang akhirnya menenggelamkan bahtera rumah tangga kami. Surat cerai resmin kulayangkan hanya beberapa minggu setelah penganiyaan yang memilukan itu. Bukan Nida yang melayangkan surat cerai, akulah yang melakukannya atas keinginan sepihak, bahkan kedua orang tuaku pun tidak tahu.
“Apa yang terjadi mas? Maaf aku, kumohon jangan ceraikan aku. Aku dapat hidup terasing di sini, aku akan berusaha menjadi istri yang kau inginkan”, tutur Nida, matanya berkaca-kaca.
“Aku sudah tak kerasan hidup denganmu. Kamu bukan yang terbaik bagiku. Awalnya memang kuanggap kau baik hati, mampu menjadi istri yang kuinginkan, tetapi dilabik itu semua, ternyata kamu hanyalah seorang wanita jalang yang menyembunyikan semua kebusukanmu dibalik wajahku”, ucapku dengan nada sedikit keras. Sebenarnya aku sengaja menyimpan kemarahanku di kantor pada seorang karyawan untuk kuluapkan pada Nida.
“Kumohon mas, aku akan berusaha. Beri aku kesempatan satu kali lagi…sssshhhh….sssshhhh…sssshhhh…”, kulihat Nida menangis. Namun aku heran dengan diriku sendiri saat itu, aku lurus saja tanpa ekspresi, tidak mengindahkan tangisannya. Nida meraih kakiku, ia menciumnya, sujud di kakiku, seakan-akan aku ini raja yang patut untuk disembah.
“Dengar, aku tidak akan mencabut kembali gugatan cerai itu. Terserah padamu, silakan menangis, silakan bersujud, silakan kau cium kakiku, aku tak peduli”, kulanjutkan berjalan. Menyisir setiap sudut lorong. Nida mengejarku, terdengar lirih tangisannya mengisi ruang hampa rumah ini.
“mas, kumohon…sssshhhh….sssshhhh….ssshhhhh”.
“Tidak. Cukup sudah. Silakan kau datangi lelaki yang memberimu uang itu. Kau tak pantas untukku…”. Aku menutup pintu kamar, merebahkan sekujur tubuhku.
“Lelaki itu dari pihak penerbitan mas, aku memiliki uang untuk memasak, membayar listrik dan keperluan rumah lainnya dari hasil menulis buku. Kumohon percayalah padaku satu kali ini saja, kumohon mas… kumohon jangan ceraikan aku….sssshhh…sssshhh… kaulah inspirasi terbesar dalam semua tulisanku mas…sssshhhh…sssshhhh….”, isak tangis Nida semakin jelas terdengar. Bukan empati yang timbul dariku, amarahlah yang menguasaiku.
“Tidak dengar ya??”, kujambak rambutnya, menyeretnya dilantai, kugiring ia menuju sebuah ruangan berukuran 1x2 meter dibawah tangga, sama persis seperti kamar milik Harry Potter.
 “Jika ingin menangis, menangislah di sini!!!”, aku seperti kesetanan saat itu.
Tanpa berpikir panjang, kumasukkan tubuh Nida ke dalam kamar gelap tempat menyimpan barang-barang tak terpakai di rumah ini. Ia terus memohon iba dariku, sesekali mencium kakiku. Aku tetap memasukkannya, kukunci rapat kamar itu.
Aku menyesali diriku yang seperti setan malam itu, aku bukan manusia, tak ada sifat kemanusiaan sedikitpun dalam diriku. Aku menyiksa orang yang telah memberi belas, kasih, saying dan cintanya hanya untukku, mengabdikan dirinya untukku, menemaniku dalam setiap saatnya yang sulit selama menjalani hidupnya bersamaku. Aku terlalu picik dengan menganggap semua yang ia dedikasikan untukku adalah salah, urat Maluku terlalu kuat untuk meminta maaf padanya kala waktu sudah terlambat.
Palu sidang telah diketuk oleh hakim yang agung, hanya ada aku, Nida dan beberapa teman yang menemani Nida, dan Anton yang menemaniku dalam persidangan di awal bulan Februari tahun 2012 itu. Ketika itu aku merasa puas, puas dengan keberhasilanku. Berbalik 360 derajat dariku, Nida menangisi putusan hakim yang agung, beberapa kali ia melihat ke aarahku, seakan memohon iba.
Aku tak tahu apa yang membuatku puas, memang ketika usai persidangan keberhasilan membuatku puas, namun beberapa hari berselang barulah kusadar ternyata nafsu dan amarah yang menyelimuti hati telah membuatku buta akan semua jasa-jasanya. Hanya ada selembar surat perpisahan dari Nida yang kini menemaniku. Aku menemukan semua curahan hatinya dibawah ranjang, tempat kami menghabiskan malam pertama penuh makna, ranjang itu penuh kenangan tentangnya.
“Bila ada tak berharga, bila tiada terasa berharga”, gumamku. Keberadaan Nida disampingku selalu kuanggap ia tak berguna, tak berharga, tak kucinta. Kini setelah ia pergi dan tersenyum dengan lelaki lain, barulah sesal itu tiba, bukan hanya menghampiri, sesal itu menemaniku dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas, setiap perputaran waktu yang kulalui, ia selalu ada.
Aku tetap berdiri mematung di seberang jalan malam, menatap rumah anggrek itu hingga puas, menyesali setiap keputusan yang telah kuambil. Pagi menjelang, mentari menyongsong kehidupan di ufuk timur, kulihat seorang wanita berjalan keluar bersama seorang lelaki, Nampak sekali keceriaan di wajah mereka, berbicara satu sama lain. Wanita itu menatap ke arahku yang berdiri, berselimut jaket dan celana yang basah kuyup. Ia menghampiriku.
“Bagaimana kabarnya mas? Sudah lama ya tidak bertemu”, ucapnya. Ingin sekali rasanya kupeluk dia dan meminta apologi darinya. Aku malu, lagi-lagi urat maluku memenangkan pertarungan.
“Ba...baik Dha.. kamu sendiri bagaimana?”, ujarku gugup. Bibirku bergetar.
“Aku baik-baik saja. Oh iya, ini mas Anang, suamiku, mas sini...”, Nida melambaikan tangannya pada lelaki bertubuh tegap yang berdiri tak jauh dari tempat kami. Lelaki itu datang, dan menjabat tanganku.
“Anang...”, tuturnya memperkenalkan diri.
“A...Andi...”, ujarku. Aku gugup sekali berhadapan dengan mereka berdua, rasa bersalah masih terasa berat dalam diriku.
Nida pamit untuk berolah raga bersama suaminya. Mereka pasangan yang serasi, melengkapi satu sama lain. Aku harus tersenyum dengan kepergiannya, “Dha, Maafkan aku”, gumamku. Sebelum pulang, aku menyimpan selembar kertas dibawah pintu masuk rumah anggrek. Aku hanya menulis, “Terima kasih telah hadir dalam hidupku”. Kulangkahkan kaki meninggalkan pelataran halaman rumah anggrek yang sepi, selamat tinggal.



Bagikan

Jangan lewatkan

Memori Dalam Hujan
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.