Sumber gambar : Jakarta Islamic Centre |
“kita harus bertahan!”, seru
seorang pemuda di majlis itu.
Suasana
mendadak hening. Tak satu pun angkat bicara.
Pemuda
itu berbicara di luar dari konteks pembicaraan malam itu. Ia berdiri di barisan
paling belakang, menengadahkan wajahnya ke arah pimpinan majlis.
“Apa
yang kau bicarakan, anak muda?”, jawab Kiai Ahmad Sulthoni, pimpinan majlis
malam itu.
Tatapan
mata khalayak seketika terarah pada si pemuda. Tubuhnya sedikit bergetar. Ia
bersiap mengungkapkan pesan yang didapatnya.
“Kiai
yang terhormat, aku ingin memberitahu engkau bahwa pasukan Jepang tengah
bergerak ke Singaparna”, ujar si pemuda.
Khalayak
memicingkan mata, tak percaya.
“Darimana
kabar ini kau dapat, anak muda?”
“Kiai
Absor mengirimkan kabar ini dari Tebuireng. Ia memperingatkan kita akan ancaman
ini”
Raut
wajah Kiai Sulthon berubah, merah padam. Ia menahan suara beberapa saat. Kiai
Sulthon tak bersuara lagi, ia meminta beberapa ustadz untuk membubarkan para
santri malam itu.
Di
tengah temaram malam, pemuda ini gelisah. Ia tak dapat menikmati tidurnya. Ia
tak dapat mencumbu kasurnya sendiri, ia tak dapat menengguk segelas air pun
malam itu, bahkan pikiran kecilnya tak dapat menenangkan dirinya sendiri. Ia
gelisah.
Beberapa
kunang-kunang melayang, membentuk sebuah cahaya, mengelilingi si pemuda. Malam
ini, bukan saat yang tepat untuk memeluk kunang-kunang itu. Tubuhnya bersimbah
peluh, aliran darahnya mendidih, sorot matanya semakin tajam. Malam itu
mencekam isi pesantren Singaparna.
Saat
itu, tahun 1944. Rakyat Nusantara tahu betul kebengisan tentara Jepang. Mereka
tak segan-segan membunuh pribumi Nusantara yang dianggap tak berguna. Setiap
kota yang mereka datangi dapat dikuasai dengan mudah, begitu pula Jakarta.
Pendudukan di Nusantara dimulai dengan kekalahan Belanda di Kalijati, Jawa
Barat. VOC atau Belanda menandatangani perjanjian tertulis dengan pasukan
Jepang yang tangguh. Indonesia kembali memasuki babak baru dalam penjajahan.
Di
dalam kamarnya, Kiai Sulthon tengah menikmati lantunan ayat suci. Bibirnya
bersentuhan, tiap ayat terhembus dari nafasnya. Dalam lantunan ayat itu, ia
menahan amarah. Ingatannya membangunkan amarah itu. Amarah yang telah lama ia
lupakan. Kiai Sulthon tak berkata, namun ia mengutuk pasukan Jepang yang
bengis.
“Kang,
tidurlah dulu. Besok kita masih harus menuntaskan pekerjaan yang belum
selesai”, seseorang berkata.
“Aku
sama sekali tak ingin tidur. Kau tahu, pasukan berkulit kuning itu akan sampai
di sini lusa!”, jawab si pemuda majlis. Pemuda ini bernama Adnan.
“Setiap
orang di Singaparna pasti gelisah, kang. Aku gelisah, Usri gelisah, Aisyah pun
gelisah. Bukan hanya engkau, kami pun gelisah”, Asrul mencoba menenangkan akang-nya ini.
Asrul
duduk di samping Adnan.
“Singaparna
pernah bertempur sebelumnya, kang. Para santri akan rela mengorbankan apapun
yang mereka miliki”.
Asrul
masih mencoba menenangkan akang-nya.
“Aku
belum pernah ikut bertempur melawan penjajah sebelumnya!”, gertak Adnan.
“Aku
tahu belum pernah bertempur melawan penjajah, aku pun demikian. Banyak dari
santri Singaparna yang belum pernah bertempur, banyak dari santri Singaparna
yang ayahnya bukan seorang pejuang kemerdekaan, banyak santri Singaparna yang
ketakutan mendengar nama Jepang, namun mereka memiliki semangat, kang. Itu yang
mereka miliki!”
“Apa
dengan semangat kita bisa menang? Mengusir mereka agar tak lagi menginjakkan
kakinya di Singaparna? Kurasa tidak”
“Itu
ungkapan putus asa dari seorang santri. Kau santri kesayangan Kiai Absor di
Tebuireng, kang”
“Aku
tahu”
“Bagaimana
kabar beliau sekarang?”
Adnan
meninggalkan Asrul. Menyudahi percakapan. Asrul mengejar Adnan yang mulai
menjauh di kegelapan.
“Ini
wujud putus asa dari kang Adnan yang kami banggakan, hah?”
Asrul
menjambak pakaian Adnan. Ia menjatuhkan dirinya dan tubuh Adnan di tanah.
Perkelahian kakak beradik itu dimulai.
“Apa
yang kau tahu tentang perang melawan penjajah? Kau tidak tahu apa-apa. Kau
hanya anak ingusan yang ingin mati ditembus peluru musuh, itu saja”
“Bukan…bukan…bukan…
Aku anak ingusan yang tak ingin masa depan Singaparna menjadi suram, rakyat
Singaparna kelapan dan banyak anak-anak yang mati disebabkan para penjajah
itu!”.
sumber gambar :datdut.com |
“Cukup!!!”,
teriakan Kiai Sulthon menghentikan perkelahian itu.
Kiai
Sulthon menghampiri mereka. Memberikan dua tamparan yang keras pada kakak
beradik itu.
“Masuk
ke asrama!”, bentak Kiai Sulthon seraya menunjuk sebuah kamar yang tak jauh
dari mereka.
Beberapa
santri terbangun. Mereka menyembulkan kepalanya di jendela, sekadar untuk
mengetahui apa yang terjadi. Diantara mereka ada yang tercengang, dan ada pula
yang biasa saja.
Adnan
dan Asrul mencium tangan Kiai Sulthon. Mereka pamit, kemudian beranjak pergi ke
kamar mereka masing-masing. Amarah Adnan masih menyisakan amarahnya pada Asrul,
begitu sebaliknya Asrul pada Adnan. Ada yang sedikit berbeda dari Asrul, ia
ingin mengembalikan keceriaan, semangat, dan pola pikir akang-nya. Bukan pasukan Jepang yang Asrul resahkan, bukan pula
desingan peluru senapan-senapan yang ia gelisahkan, melainkan Adnan yang terus
melamun sejak majlis itu usai.
Langkah
Asrul terhenti ketika Adnan memanggilnya. Ia melihat lengan Adnan terkepal.
Beberapa santri terpaku menyaksikan kakak beradik ini beradu mulut. Kali ini
Adnan lebih unggul dengan keinginannya untuk tidak berperang,sedangkan Asrul
sedikit menundukkan kepalanya. Ia tahu dengan siapa ia bicara, Adnan.
Adnan
selalu lebih unggul dari Asrul. Sejak kecil, mereka masuk ke madrasah yang sama
di Magelang. Saat itu, ayah mereka adalah seorang juragan tembakau yang
bekerjasama dengan pihak VOC. Kehidupan masa kecil keduanya menyenangkan. Tiada
tangis, tiada jerit, tiada luka, tiada pilu.
Beranjak
remaja, Adnan memutuskan untuk pergi nyantren
di Tebuireng. Di sana ia menjadi salah satu santri kesayangan sepuh pesantren
itu, Kiai Absor. Adnan yang gemilang dalam ilmu agama membuat Asrul, sang adik,
iri. Ia mengikuti jejak sang kaka. Asrul menempuh pendidikan di pesantren
Baitul Hikmah. Di sana ia bertemu dengan Buya Hamida, ulama terkemuka. Kakak
beradik ini akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studi mereka di Singaparna.
Persaingan
mereka semakin ketat, hingga mencapai nadir ketika Adnan melontarkan kabar
mencekam dari Tebuireng.
“Aku
takkan membiarkan Jepang itu menginjak tanah Singaparna. Ayah dan ibu sudah
sampai di sini. Aku takkan membiarkan mereka mencabik-cabik tanah setiap petani
di sini!”, tutup Asrul.
Ia
meninggalkan sang kakak yang berdiri tak jauh darinya. Ia menahan amarah dalam
ketenangannya. Ia menilai dirinya marah namun diam. Ia melihat Adnan tenang
namun gelisah, Adnan senyum dibalik sedih, ia pemberani namun pengecut. Asrul
tak menghiraukan berapa banyak dukungan yang akan ia dapatkan karenan
gagasannya untuk menahan serangan pasukan Jepang itu. Dalam pikirannya, ia tak
ingin menyerah pada penjajah biada itu.
“Asrul,
kemari”.
Kiai
Sulthon memanggil Asrul.
“Ayah
dengar kalian beradu mulut. Apakah itu benar, anakku?”, lanjut Kiai Sulthon.
“Benar
Kiai”, jawab Asrul sambil menundukkan kepala.
“Ayah
tahu apa yang kalian perdebatkan. Ayah sudah mengambik keputusan. Kumpulkan
para santri di mesjid”
Kiai
Sulthon meminta Asrul untuk mengumpulkan seluruh santri di mesjid. Ia pamit,
kemudian berlari ke surau-surau, mengabarkan mereka untuk segera menuju mesjid.
Asrul tidak kehilangan semangatnya, harapannya untuk menahan laju pasukan
Jepang di Singaparna mungkin akan tercapai.
Tidak
lama, seluruh santri sudah berkumpul di mesjid. Mesjid bergemuruh.
Santri-santri mengobrol, banyak di antara mereka mengunjingkan kedatangan
pasukan Jepang, kebengisan mereka, kekalahan pejuang Indonesia, sikap yang akan
mereka ambil, dan tidak jarang membicarakan Asrul dan Adnan. Perbincangan-perbincangan
itu seolah menjadikan mesjid sebagai warung kopi.
Kiai
Sulthon beserta beberapa ustadz memasuki serambi mesjid. Hening. Asrul baru
masuk ke dalam mesjid, ia mengambil tempat duduk dekat pintu agar mendapat
angin.
“Anak-anakku…”.
Kiai
Sulthon berhenti sejenak.
“Ayah
tahu banyak diantara kalian yang gelisah akan kabar kedatangan pasukan Jepang
itu ke Singaparna. Bagaimana pun, kabar itu tetap harus kita sikapi”,
lanjutnya.
Para
santri memerhatikan dengan seksama setiap kalimat yang diucapkan Kiai Sulthon
siang itu.
“Ustadz
Salman sudah memastikan bahwa tentara Jepang itu takkan mencapai Singaparna
esok. Mereka kehabisan makanan di Magelang dan untuk sementara waktu mereka
akan tetap di sana”
“Lalu,
apa yang harus kita lakukan, Kiai?”, teriak salah seorang santri.
“Kita
akan bertahan”, Jawab Kiai Sulthon.
“Banyak
dari santri di sini tidak pandai berperang, Kiai”, santri lain menimpali
rekannya.
“Ustadz-ustadz
akan melatih mereka. Kita akan bertahan. Tak seorang pun tentara Jepang itu
akan menginjak tanah Singaparna, bila mereka menginjaknya satu jengkal, kita
akan memukul mundur mereka sepuluh meter…”, ucap Kiai Sulthon.
“Allahu
Akbar!”, seru seorang santri.
Seketika
mesjid gemuruh. Bak suara tawon yang menyerang. Mesjid itu penuh oleh semangat.
Asrul berdiri, menggemakan takbir sambil mengepalkan tangan ke udara.
“Anak-anakku,
sikap yang kita ambil ini bukan semata-mata untuk mengikuti egoism diri. Ini
merupakan sebuah kewajiban, perang ini bukan untuk kita, perang ini bukan untuk
Asrul dan Adnan, perang ini bukan santri Singaparna, tetapi perang ini untuk
masyarakat Singaparna saat ini dan esok!”, Kiai Sulthon menambahkan.
Takbir
kembali bergema. Adnan tak dapat mempercayai apa yang terjadi dalam mesjid ini.
ia takut melihat banyak di antara teman-temannya yang mati sia-sia, ia takut
akan melihat Asrul mati, ia takut setiap orang yang dikenalnya mati dalam
pertempuran.
Pertemuan
singkat itu memberikan pesan: para santri harus belajar teknik berperang untuk
mengusir penjajah dari ibu pertiwi. Semenjak pertemuan itu pula, halaman
mesjid, jarang digunakan untuk membaca Al-Qur’an di siang hari. para santri
lebih banyak berlatih bela diri dan santriwati berlatih pengobatan. Untuk
berjaga-jaga, santri yang telah terlatih dikirim ke perbatasan Singaparna.
Mereka mengontrol kondisi desa-desa di sekitarnya, dan membantu warga desa-desa
di sana mengungsi.
Pasukan
Jepang belum terlihat di perbatasan, namun ranjau dan jebakan-jebakan di
sekitar perbatasan sudah terpasang. Persiapan Kiai Sulthon beserta para
santrinya sudah mencapai 80 persen. Satu santri satu bambu runcing. Setiap
malam, bambu-bambu runcing itu mereka simpan di dekat jendela surau,
berjaga-jaga bila pasukan Jepang tiba diperbatasan.
Singaparna
sunyi. Kiai Sulthon tak mengambil risiko tetap mendiamkan warga desa di rumah
mereka. Ia memberikan pengertian dan mengungsikan seluruh warga desa ke
pegunungan dan bukit-bukit di sana.
Malam-malam
semakin sunyi. Ujung topi pasukan Jepang sudah terlihat dari perbatasan desa.
Mereka bergarak maju, membumihanguskan setiap rumah yang mereka lewati. Salah
seorang santri telah mengirimkan pesan pada Kiai Sulthon bahwa pasukan Jepang
sedang mendekat.
Asrul
dan Adnan berdiri di sisi yang berbeda. Pasukan santri sudah siap bertempur.
Mereka tinggal menunggu aba-aba untuk melakukan serangan.
Pasukan
Jepang bergerak. Tak terhitung dari mereka yang menjerit dan tewas terkena
jebakan-jebakan di perbatasan desa. Jeritan dan tangis histeris prajurit Jepang
menghiasi kesunyian malam mencekam yang baru akan dimulai ini. Santri-santri
masih menunggu.
Ustadz
Salman baru tiba dari perbatasan. Ia berlumuran darah, entah darah siapa. Para
santri mennggumamkan takbir di bibir mereka, pelan. Ustadz Salman dan Kiai
Sulthon memberikan aba-aba untuk menyerang, dan terdengar desingan peluru dari
sudut gelap. Pertempuran tak terelakkan.
Asrul
terus memerhatikan gerak dan langkah Adnan. Ia khawatir ketakutan akang-nya ini akan menuntunnya menuju
ajal, jadi ia putuskan untuk menjadi penjaga sang kakak di pertempuran ini.
Jeritan
dan lusinan peluru mennyelimuti Singaparna. Tubuh-tubuh berjatuhan, sungai
darah terbentuk seketika. Kiai Sulthon terus menyemangati santrinya dalam
pertempuran malam itu. Ustadz Salman sudah tiada, ia terbunuh oleh empat orang
prajurit Jepang yang menusuknya dengan bayonet.
Kalah
jumlah dan kalah teknologi tidak membuat santri Singaparna ketakutan. Mereka
terus melawan prajurit Jepang hingga tetes darah terakhir. Semangat para santri
ini menyulitkan prajurit-prajurit jepang memasuki Singaparna, terlebih
mendapatkan Kiai Sulthon.
“Aaargh!”.
Menusukkan bambu runcingnya ke perut salah seorang prajurit Jepang. Ia ingin
menghilangkan rasa takutnya itu. Sebelum bertempur malam ini, Adnan pernah
bertempur bersama Kiai Absor di Surabaya. Saat itu, para santri mengalami
kekalahan, banyak dari orang-orang yang ia kenal tewas dan tidak sedikit pula
yang ditawan kemudian hilang entah kemana. Secara psikologis Adnan trauma
terhadap perang. Pertempuran kali ini ia merasa sedikit terpaksa, ia tak ingin
melihat darah-darah mengalir di atas bambu runcing dan mata-mata tertusuk
bayonet lagi. ia hanya ingin hidup dalam kedamaian.
Asrul
nampak bersemangat dalam pertempuran pertamanya ini. Baginya, membunuh satu
prajurit Jepang sama dengan menyelamatkan satu nyawa penduduk desa. Seperti
perkataan Kiai Sulthon; perang ini bukan kita, tetapi untuk generasi setelah
generasi kita. Untu kehidupan mereka yang layak, dan untuk kemerdekaan mereka.
Asrul terus melawan meski beberapa temannya tak bersuara lagi. Dalam hati Asrul
berkata: aku tak ingin melihat kalian mati, aku tak ingin melihat kalian pergi,
aku ingin kita bertemu lagi meski tak di sini, malam ini.
Adnan dan Asrul bertempur berdekatan. Tak satu
pun prajurit Jepang tahu dua pemuda ini bersaudara. Mereka menyerang kedua
pemuda ini tanpa taktik, hanya berusaha membunuh keduanya dan menguasai
Singaparna. Tiada hasil yang mereka dapatkan. Hanya kematian dan sungai darah
semakin deras saat siang menjelang.
Pertempuran
ini tak mengenal lelah. Para santri dengan gigih mempertahankan Singaparna dari
usaha prajurit Jepang. Perlawanan mereka tak terhenti, kegigihan dan semangat
para santri semakin berkobar menjelang pertempuran sore harinya.
“Aku
rasa pertempuran ini akan kita menangkan jika kita dapat menangkap pemuda itu”,
ucap salah seorang petinggi militer Jepang pada temannya.
“Bagaimana
kau tahu padahal kau belum pernah bertempur di sini?”, jawab si teman singkat
dengan nada pesimis.
“Aku
pernah mengalahkannya di Surabaya dan hampir membunuhnya”
“lalu,
apa yang membuatmu yakin ia dapat menuntun kita pada kemenangan?”
“Adiknya”
“Baiklah,
perintahkan prajurit untuk menangkap pemud itu. Bukan membunuhnya”
“Laksanakan,
Komandan”
Pasukan
Jepang tidak menyerang Adnan dan Asrul untul membunuh mereka. Beberapa pasukan
Jepang diumpankan, dan Adnan berhasil ditangkap dalam serangan bergerombol oleh
sepasukan Jepang pada kakak beradik ini.
Semangat
para santri, terutama Asrul, mengendur ketika kabar tertangkapnya Adnan sudah
menyebar. Mereka kehilangan konsentrasi sehingga membuat pasukan Jepang dapat
dengan mudah menduduki Pesantren Singaparna pada malam harinya. Asrul ingin
menyelamatkan sang kakak.
Pertempuran
berakhir dengan pendudukan rumah Kiai Sulthon pada pukul Sembilan di malam itu.
Kiai Sulthon sendiri sudah tiada. Ustadz-ustadz yang jumlahnya sekitar 30
orang, kini tersisa empat orang. Para santri yang masih melawan dihabisi
seketika. Mereka yang menyerah dikumpulkan di halaman mesjid, berbaris, dan
dilucuti. Pasukan Jepang mengeluarkan Adnan.
“Siapa
adik dari pemuda ini?”, seru sang Komandan.
Ia
menyeret Adnan beserta jasad Kiai Sulthon keluar dari rumah itu. Tak satu pun
angkat bicara.
“Siapa
adik dari pemuda ini!”.
Ia
menggertak dan menendang wajah Adnan dengan sepatu cekonya. Jasad Kiai Sulthon
dibuang ke hadapan para santri. Tak satu pasang bibir pun bergumam. Hening.
“Saya
bilang, siapa adik dari pemuda ini! keluarlah!”, teriakan sang komandan semakin
keras.
Adnan
dipukul dengan popor senapan prajurit jepang. Wajahnya bersimbah darah dan
memar. Asrul melihat dari kegelapan. Hatinya masih bergetar, tanda keraguan.
Asrul tak ragu untuk menolong akangnya
meskipun harus bertukar kehidupan sekalipun. Ia hanya ragu dapat menemukan
momen yang tepat untuk menyerang komandan pasukan Jepang itu.
Asrul
berpikir, berpikir dan berpikir. Ia tak dapat menemukan momen yang tepat. Kali
ini ia menyingkirkan keraguan itu dan bergerak sedikit demi sedikit menyusuri
kegelapan. Berharap, mungkin masih ada beberapa santri yang bersembunyi di
kegelapan bersamanya. Ia salah, tak ada satu santri pun yang tersisa di
kegelapan hutan kecuali dirinya. Asrul berlari.
“Aaaarrggh!”,
teriak Asrul dari kegelapan.
Ia
berlari mengokang bambu runcing kea rah sang komandan, dan hendak menusuk sang
komandan.
“Brukk!!”
Asrul
terkapar di tanah. Sang komandan menghindari serangan itu. Seketika itu para
prajurit Jepang meringkusnya. Asrul tak berdaya dan hanya tertawa.
“hahaha…kalian
telah kalah. Kalian telah kalah, kalian telah kalah hahahaha…”, ucap Asrul
berkali-kali.
Sepertinya
Adnan menyesalkan hal ini. ia memberhatikan tingkah sang adik yang berada tak
jauh darinya. Asrul terus tertawa.
“Diam!”.
Seorang
prajurit Jepang mendaratkan bogem mentah di wajah Asrul. Pemuda ini terjatuh di
tanah namun tetap tertawa.
“Perhatikan
dua orang ini. mereka gigih dalam bertempur melawan kami, juru selamat kalian
dari Belanda. Mereka pikir mereka benar dengan memerangi kami. Kami adalah…”,
Komandan Jepang sedang berbicara.
Tiba-tiba
Asrul memotong kalimat itu, “Bodoh hahaha…. Kalian miskin, tak punya apapun
jadi kalian menginginkan tanah kami, bukan begitu? Hahaha”
Wajah
Komandan Jepang merah padam. Ia melanjutkan perkataannya.
“Kami
adalah juru selamat kalian. Mana rasa terima kasih kalian atas apa yang telah
kami lakukan? Kami telah mengusir Belanda…”
“Jangan
dengarkan dia, dia hanya pembohong berkulit kuning”, Asrul menimpali perkataan
si Komandang Jepang.
Adnan
kembali dipukuli atas sikap Asrul yang tak mau diam.
“Eksekusi
mereka akan menjadi contoh bagi kalian. Jangan sekali-kali kalian melawan juru
selamat kalian sendiri..”, ujar si Komandan Jepang.
Asrul
dibawa sedikit maju. Adnan dan Asrul duduk bersebelahan.
“Ini
bukan tujuan dari perang ini, kang. Kau tahu itu”, ujar Asrul sementara sang
Komandan jepang tengah melancarkan propagandanya pada para santri.
“Kau
bodoh. Kenapa kau keluar?”, Adnan berkata.
“Jika
aku tak keluar, mereka yang akan mati. Lebih baik kematianku hari ini,
dibanding aku melihat kematian mereka hari ini dan rangkaian kematian bangsa
ini di hari yang lain”.
“Kau
bodoh. Kau bisa menyimpan tenagamu untuk melawan mereka di hari yang lain.
Bukan dengan mati hari ini”
“Sudah
kukatakan padamu. Aku tak ingin menderita. Lebih baik kematianku hari ini. aku
yakin, mereka akan mengenangku dan melanjutkan perjuangan ini pada titik
selanjutnya. Singaparna bukanlah akhir, ini hanyalah rangkaian awal dari proses
kemerdekaan”
“Masa
bodoh”
“Aku
bertanya pada diriku sendiri, apakah aku menyanyangi kakakku? Sejak kecil kita
selalu bersaing. Romo selalu menuruti apapun keinginanmu, dan ibu selalu
menuruti keinginanku. Aku selalu menjadi pesaingmu, kang. Kau orang yang
terlalu hebat untuk kusaingi dan itu membuat terus berada dalam posisi
memusuhimu. Tetapi, pertempuran ini, membuatku tak ingin persaingan kita
selesai. Wajahmu yang ragu untuk berperang membuatku memiliki semangat untuk
melindungimu, melindungi setiap orang kita sayangi…”
“Kau
berkata seolah-olah kau akan mati saat ini”
“Filosofi
perang yang katakan padaku, saat perjalanan pulang dari Tebuireng membuatku
yakin bahwa aku menyayangimu. Aku baru saja memulainya dan berharap kau beserta
teman-teman kita yang selamat akan melanjutkan perjuangan ini. Singaparna
hanyalah awal dari perjuangan santri, kau harus melanjutkannya, kang. Terima
kasih telah mengajarkanku filosofi itu…”
Tiba-tiba
salah seorang prajurit Jepang datang dan menusukkan bayonetnya ke dada Asrul.
Asrul meningal seketika. Adnan terpaku, menatap apa yang tak ia percayai.
Tangisannya tak tertahankan, ia menundukkan kepalanya dan berharap prajurit
Jepang segera membunuhnya.
“Ini
adalah siksaan yang lebih buruk dari kematian”, gumam Adnan.
Komandan
pasukan Jepang itu memerintahkan prajuritnya untuk membawa jasad Asrul dan
membaringkannya di samping jasad Kiai Sulthon. Wajah Asrul terlihat tengah
tersenyum dengan dadanya yang bolong. Adnan menatapnya pekat dari kejauhan.
Prajurit
Jepang kemudian menggiring Adnan beserta santri-santri yang masih hidup keluar
dari pesantren itu. Mereka dijebloskan ke penjara. Mendekap di sana selama
beberapa bulan. Adnan melanjutkan perjuangannya setelah berhasil keluar dari
penjara. Ia mengingat peristiwa Singaparna hanyalah satu dari sekian banyak
pertempuran dalam upaya merebut kemerdekaan, dan ia akan mengenang Singaparna
sebagai rumah sang adik, Asrul.
Bagikan
Bambu Runcing di Jendela Pesantren
4/
5
Oleh
Unknown
1 komentar:
Tulis komentarmantaps...
Reply