Minggu, 02 April 2017

Bambu Runcing di Jendela Pesantren

Sumber gambar : Jakarta Islamic Centre
“kita harus bertahan!”, seru seorang pemuda di majlis itu.

Suasana mendadak hening. Tak satu pun angkat bicara.

Pemuda itu berbicara di luar dari konteks pembicaraan malam itu. Ia berdiri di barisan paling belakang, menengadahkan wajahnya ke arah pimpinan majlis.

“Apa yang kau bicarakan, anak muda?”, jawab Kiai Ahmad Sulthoni, pimpinan majlis malam itu.

Tatapan mata khalayak seketika terarah pada si pemuda. Tubuhnya sedikit bergetar. Ia bersiap mengungkapkan pesan yang didapatnya.

“Kiai yang terhormat, aku ingin memberitahu engkau bahwa pasukan Jepang tengah bergerak ke Singaparna”, ujar si pemuda.

Khalayak memicingkan mata, tak percaya.

“Darimana kabar ini kau dapat, anak muda?”

“Kiai Absor mengirimkan kabar ini dari Tebuireng. Ia memperingatkan kita akan ancaman ini”

Raut wajah Kiai Sulthon berubah, merah padam. Ia menahan suara beberapa saat. Kiai Sulthon tak bersuara lagi, ia meminta beberapa ustadz untuk membubarkan para santri malam itu.

Di tengah temaram malam, pemuda ini gelisah. Ia tak dapat menikmati tidurnya. Ia tak dapat mencumbu kasurnya sendiri, ia tak dapat menengguk segelas air pun malam itu, bahkan pikiran kecilnya tak dapat menenangkan dirinya sendiri. Ia gelisah.

Beberapa kunang-kunang melayang, membentuk sebuah cahaya, mengelilingi si pemuda. Malam ini, bukan saat yang tepat untuk memeluk kunang-kunang itu. Tubuhnya bersimbah peluh, aliran darahnya mendidih, sorot matanya semakin tajam. Malam itu mencekam isi pesantren Singaparna.
Saat itu, tahun 1944. Rakyat Nusantara tahu betul kebengisan tentara Jepang. Mereka tak segan-segan membunuh pribumi Nusantara yang dianggap tak berguna. Setiap kota yang mereka datangi dapat dikuasai dengan mudah, begitu pula Jakarta. Pendudukan di Nusantara dimulai dengan kekalahan Belanda di Kalijati, Jawa Barat. VOC atau Belanda menandatangani perjanjian tertulis dengan pasukan Jepang yang tangguh. Indonesia kembali memasuki babak baru dalam penjajahan.
Di dalam kamarnya, Kiai Sulthon tengah menikmati lantunan ayat suci. Bibirnya bersentuhan, tiap ayat terhembus dari nafasnya. Dalam lantunan ayat itu, ia menahan amarah. Ingatannya membangunkan amarah itu. Amarah yang telah lama ia lupakan. Kiai Sulthon tak berkata, namun ia mengutuk pasukan Jepang yang bengis.

“Kang, tidurlah dulu. Besok kita masih harus menuntaskan pekerjaan yang belum selesai”, seseorang berkata.

“Aku sama sekali tak ingin tidur. Kau tahu, pasukan berkulit kuning itu akan sampai di sini lusa!”, jawab si pemuda majlis. Pemuda ini bernama Adnan.

“Setiap orang di Singaparna pasti gelisah, kang. Aku gelisah, Usri gelisah, Aisyah pun gelisah. Bukan hanya engkau, kami pun gelisah”, Asrul mencoba menenangkan akang-nya ini.

Asrul duduk di samping Adnan.

“Singaparna pernah bertempur sebelumnya, kang. Para santri akan rela mengorbankan apapun yang mereka miliki”.

Asrul masih mencoba menenangkan akang-nya.

“Aku belum pernah ikut bertempur melawan penjajah sebelumnya!”, gertak Adnan.

“Aku tahu belum pernah bertempur melawan penjajah, aku pun demikian. Banyak dari santri Singaparna yang belum pernah bertempur, banyak dari santri Singaparna yang ayahnya bukan seorang pejuang kemerdekaan, banyak santri Singaparna yang ketakutan mendengar nama Jepang, namun mereka memiliki semangat, kang. Itu yang mereka miliki!”

“Apa dengan semangat kita bisa menang? Mengusir mereka agar tak lagi menginjakkan kakinya di Singaparna? Kurasa tidak”

“Itu ungkapan putus asa dari seorang santri. Kau santri kesayangan Kiai Absor di Tebuireng, kang”

“Aku tahu”

“Bagaimana kabar beliau sekarang?”

Adnan meninggalkan Asrul. Menyudahi percakapan. Asrul mengejar Adnan yang mulai menjauh di kegelapan.

“Ini wujud putus asa dari kang Adnan yang kami banggakan, hah?”

Asrul menjambak pakaian Adnan. Ia menjatuhkan dirinya dan tubuh Adnan di tanah. Perkelahian kakak beradik itu dimulai.

“Apa yang kau tahu tentang perang melawan penjajah? Kau tidak tahu apa-apa. Kau hanya anak ingusan yang ingin mati ditembus peluru musuh, itu saja”

“Bukan…bukan…bukan… Aku anak ingusan yang tak ingin masa depan Singaparna menjadi suram, rakyat Singaparna kelapan dan banyak anak-anak yang mati disebabkan para penjajah itu!”.
sumber gambar :datdut.com

“Cukup!!!”, teriakan Kiai Sulthon menghentikan perkelahian itu.

Kiai Sulthon menghampiri mereka. Memberikan dua tamparan yang keras pada kakak beradik itu.
“Masuk ke asrama!”, bentak Kiai Sulthon seraya menunjuk sebuah kamar yang tak jauh dari mereka.

Beberapa santri terbangun. Mereka menyembulkan kepalanya di jendela, sekadar untuk mengetahui apa yang terjadi. Diantara mereka ada yang tercengang, dan ada pula yang biasa saja.
Adnan dan Asrul mencium tangan Kiai Sulthon. Mereka pamit, kemudian beranjak pergi ke kamar mereka masing-masing. Amarah Adnan masih menyisakan amarahnya pada Asrul, begitu sebaliknya Asrul pada Adnan. Ada yang sedikit berbeda dari Asrul, ia ingin mengembalikan keceriaan, semangat, dan pola pikir akang-nya. Bukan pasukan Jepang yang Asrul resahkan, bukan pula desingan peluru senapan-senapan yang ia gelisahkan, melainkan Adnan yang terus melamun sejak majlis itu usai.

Langkah Asrul terhenti ketika Adnan memanggilnya. Ia melihat lengan Adnan terkepal. Beberapa santri terpaku menyaksikan kakak beradik ini beradu mulut. Kali ini Adnan lebih unggul dengan keinginannya untuk tidak berperang,sedangkan Asrul sedikit menundukkan kepalanya. Ia tahu dengan siapa ia bicara, Adnan.

Adnan selalu lebih unggul dari Asrul. Sejak kecil, mereka masuk ke madrasah yang sama di Magelang. Saat itu, ayah mereka adalah seorang juragan tembakau yang bekerjasama dengan pihak VOC. Kehidupan masa kecil keduanya menyenangkan. Tiada tangis, tiada jerit, tiada luka, tiada pilu.

Beranjak remaja, Adnan memutuskan untuk pergi nyantren di Tebuireng. Di sana ia menjadi salah satu santri kesayangan sepuh pesantren itu, Kiai Absor. Adnan yang gemilang dalam ilmu agama membuat Asrul, sang adik, iri. Ia mengikuti jejak sang kaka. Asrul menempuh pendidikan di pesantren Baitul Hikmah. Di sana ia bertemu dengan Buya Hamida, ulama terkemuka. Kakak beradik ini akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studi mereka di Singaparna.

Persaingan mereka semakin ketat, hingga mencapai nadir ketika Adnan melontarkan kabar mencekam dari Tebuireng.

“Aku takkan membiarkan Jepang itu menginjak tanah Singaparna. Ayah dan ibu sudah sampai di sini. Aku takkan membiarkan mereka mencabik-cabik tanah setiap petani di sini!”, tutup Asrul.

Ia meninggalkan sang kakak yang berdiri tak jauh darinya. Ia menahan amarah dalam ketenangannya. Ia menilai dirinya marah namun diam. Ia melihat Adnan tenang namun gelisah, Adnan senyum dibalik sedih, ia pemberani namun pengecut. Asrul tak menghiraukan berapa banyak dukungan yang akan ia dapatkan karenan gagasannya untuk menahan serangan pasukan Jepang itu. Dalam pikirannya, ia tak ingin menyerah pada penjajah biada itu.

“Asrul, kemari”.

Kiai Sulthon memanggil Asrul.

“Ayah dengar kalian beradu mulut. Apakah itu benar, anakku?”, lanjut Kiai Sulthon.

“Benar Kiai”, jawab Asrul sambil menundukkan kepala.

“Ayah tahu apa yang kalian perdebatkan. Ayah sudah mengambik keputusan. Kumpulkan para santri di mesjid”

Kiai Sulthon meminta Asrul untuk mengumpulkan seluruh santri di mesjid. Ia pamit, kemudian berlari ke surau-surau, mengabarkan mereka untuk segera menuju mesjid. Asrul tidak kehilangan semangatnya, harapannya untuk menahan laju pasukan Jepang di Singaparna mungkin akan tercapai.

Tidak lama, seluruh santri sudah berkumpul di mesjid. Mesjid bergemuruh. Santri-santri mengobrol, banyak di antara mereka mengunjingkan kedatangan pasukan Jepang, kebengisan mereka, kekalahan pejuang Indonesia, sikap yang akan mereka ambil, dan tidak jarang membicarakan Asrul dan Adnan. Perbincangan-perbincangan itu seolah menjadikan mesjid sebagai warung kopi.

Kiai Sulthon beserta beberapa ustadz memasuki serambi mesjid. Hening. Asrul baru masuk ke dalam mesjid, ia mengambil tempat duduk dekat pintu agar mendapat angin.

“Anak-anakku…”.

Kiai Sulthon berhenti sejenak.

“Ayah tahu banyak diantara kalian yang gelisah akan kabar kedatangan pasukan Jepang itu ke Singaparna. Bagaimana pun, kabar itu tetap harus kita sikapi”, lanjutnya.

Para santri memerhatikan dengan seksama setiap kalimat yang diucapkan Kiai Sulthon siang itu.
“Ustadz Salman sudah memastikan bahwa tentara Jepang itu takkan mencapai Singaparna esok. Mereka kehabisan makanan di Magelang dan untuk sementara waktu mereka akan tetap di sana”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kiai?”, teriak salah seorang santri.

“Kita akan bertahan”, Jawab Kiai Sulthon.

“Banyak dari santri di sini tidak pandai berperang, Kiai”, santri lain menimpali rekannya.

“Ustadz-ustadz akan melatih mereka. Kita akan bertahan. Tak seorang pun tentara Jepang itu akan menginjak tanah Singaparna, bila mereka menginjaknya satu jengkal, kita akan memukul mundur mereka sepuluh meter…”, ucap Kiai Sulthon.

“Allahu Akbar!”, seru seorang santri.

Seketika mesjid gemuruh. Bak suara tawon yang menyerang. Mesjid itu penuh oleh semangat. Asrul berdiri, menggemakan takbir sambil mengepalkan tangan ke udara.

“Anak-anakku, sikap yang kita ambil ini bukan semata-mata untuk mengikuti egoism diri. Ini merupakan sebuah kewajiban, perang ini bukan untuk kita, perang ini bukan untuk Asrul dan Adnan, perang ini bukan santri Singaparna, tetapi perang ini untuk masyarakat Singaparna saat ini dan esok!”, Kiai Sulthon menambahkan.

Takbir kembali bergema. Adnan tak dapat mempercayai apa yang terjadi dalam mesjid ini. ia takut melihat banyak di antara teman-temannya yang mati sia-sia, ia takut akan melihat Asrul mati, ia takut setiap orang yang dikenalnya mati dalam pertempuran.

Pertemuan singkat itu memberikan pesan: para santri harus belajar teknik berperang untuk mengusir penjajah dari ibu pertiwi. Semenjak pertemuan itu pula, halaman mesjid, jarang digunakan untuk membaca Al-Qur’an di siang hari. para santri lebih banyak berlatih bela diri dan santriwati berlatih pengobatan. Untuk berjaga-jaga, santri yang telah terlatih dikirim ke perbatasan Singaparna. Mereka mengontrol kondisi desa-desa di sekitarnya, dan membantu warga desa-desa di sana mengungsi.

Pasukan Jepang belum terlihat di perbatasan, namun ranjau dan jebakan-jebakan di sekitar perbatasan sudah terpasang. Persiapan Kiai Sulthon beserta para santrinya sudah mencapai 80 persen. Satu santri satu bambu runcing. Setiap malam, bambu-bambu runcing itu mereka simpan di dekat jendela surau, berjaga-jaga bila pasukan Jepang tiba diperbatasan.

Singaparna sunyi. Kiai Sulthon tak mengambil risiko tetap mendiamkan warga desa di rumah mereka. Ia memberikan pengertian dan mengungsikan seluruh warga desa ke pegunungan dan bukit-bukit di sana.

Malam-malam semakin sunyi. Ujung topi pasukan Jepang sudah terlihat dari perbatasan desa. Mereka bergarak maju, membumihanguskan setiap rumah yang mereka lewati. Salah seorang santri telah mengirimkan pesan pada Kiai Sulthon bahwa pasukan Jepang sedang mendekat.

Asrul dan Adnan berdiri di sisi yang berbeda. Pasukan santri sudah siap bertempur. Mereka tinggal menunggu aba-aba untuk melakukan serangan.

Pasukan Jepang bergerak. Tak terhitung dari mereka yang menjerit dan tewas terkena jebakan-jebakan di perbatasan desa. Jeritan dan tangis histeris prajurit Jepang menghiasi kesunyian malam mencekam yang baru akan dimulai ini. Santri-santri masih menunggu.

Ustadz Salman baru tiba dari perbatasan. Ia berlumuran darah, entah darah siapa. Para santri mennggumamkan takbir di bibir mereka, pelan. Ustadz Salman dan Kiai Sulthon memberikan aba-aba untuk menyerang, dan terdengar desingan peluru dari sudut gelap. Pertempuran tak terelakkan.

Asrul terus memerhatikan gerak dan langkah Adnan. Ia khawatir ketakutan akang-nya ini akan menuntunnya menuju ajal, jadi ia putuskan untuk menjadi penjaga sang kakak di pertempuran ini.
Jeritan dan lusinan peluru mennyelimuti Singaparna. Tubuh-tubuh berjatuhan, sungai darah terbentuk seketika. Kiai Sulthon terus menyemangati santrinya dalam pertempuran malam itu. Ustadz Salman sudah tiada, ia terbunuh oleh empat orang prajurit Jepang yang menusuknya dengan bayonet.

Kalah jumlah dan kalah teknologi tidak membuat santri Singaparna ketakutan. Mereka terus melawan prajurit Jepang hingga tetes darah terakhir. Semangat para santri ini menyulitkan prajurit-prajurit jepang memasuki Singaparna, terlebih mendapatkan Kiai Sulthon.

“Aaargh!”. Menusukkan bambu runcingnya ke perut salah seorang prajurit Jepang. Ia ingin menghilangkan rasa takutnya itu. Sebelum bertempur malam ini, Adnan pernah bertempur bersama Kiai Absor di Surabaya. Saat itu, para santri mengalami kekalahan, banyak dari orang-orang yang ia kenal tewas dan tidak sedikit pula yang ditawan kemudian hilang entah kemana. Secara psikologis Adnan trauma terhadap perang. Pertempuran kali ini ia merasa sedikit terpaksa, ia tak ingin melihat darah-darah mengalir di atas bambu runcing dan mata-mata tertusuk bayonet lagi. ia hanya ingin hidup dalam kedamaian.

Asrul nampak bersemangat dalam pertempuran pertamanya ini. Baginya, membunuh satu prajurit Jepang sama dengan menyelamatkan satu nyawa penduduk desa. Seperti perkataan Kiai Sulthon; perang ini bukan kita, tetapi untuk generasi setelah generasi kita. Untu kehidupan mereka yang layak, dan untuk kemerdekaan mereka. Asrul terus melawan meski beberapa temannya tak bersuara lagi. Dalam hati Asrul berkata: aku tak ingin melihat kalian mati, aku tak ingin melihat kalian pergi, aku ingin kita bertemu lagi meski tak di sini, malam ini.

 Adnan dan Asrul bertempur berdekatan. Tak satu pun prajurit Jepang tahu dua pemuda ini bersaudara. Mereka menyerang kedua pemuda ini tanpa taktik, hanya berusaha membunuh keduanya dan menguasai Singaparna. Tiada hasil yang mereka dapatkan. Hanya kematian dan sungai darah semakin deras saat siang menjelang.

Pertempuran ini tak mengenal lelah. Para santri dengan gigih mempertahankan Singaparna dari usaha prajurit Jepang. Perlawanan mereka tak terhenti, kegigihan dan semangat para santri semakin berkobar menjelang pertempuran sore harinya.

“Aku rasa pertempuran ini akan kita menangkan jika kita dapat menangkap pemuda itu”, ucap salah seorang petinggi militer Jepang pada temannya.

“Bagaimana kau tahu padahal kau belum pernah bertempur di sini?”, jawab si teman singkat dengan nada pesimis.

“Aku pernah mengalahkannya di Surabaya dan hampir membunuhnya”

“lalu, apa yang membuatmu yakin ia dapat menuntun kita pada kemenangan?”

“Adiknya”

“Baiklah, perintahkan prajurit untuk menangkap pemud itu. Bukan membunuhnya”

“Laksanakan, Komandan”

Pasukan Jepang tidak menyerang Adnan dan Asrul untul membunuh mereka. Beberapa pasukan Jepang diumpankan, dan Adnan berhasil ditangkap dalam serangan bergerombol oleh sepasukan Jepang pada kakak beradik ini.

Semangat para santri, terutama Asrul, mengendur ketika kabar tertangkapnya Adnan sudah menyebar. Mereka kehilangan konsentrasi sehingga membuat pasukan Jepang dapat dengan mudah menduduki Pesantren Singaparna pada malam harinya. Asrul ingin menyelamatkan sang kakak.

Pertempuran berakhir dengan pendudukan rumah Kiai Sulthon pada pukul Sembilan di malam itu. Kiai Sulthon sendiri sudah tiada. Ustadz-ustadz yang jumlahnya sekitar 30 orang, kini tersisa empat orang. Para santri yang masih melawan dihabisi seketika. Mereka yang menyerah dikumpulkan di halaman mesjid, berbaris, dan dilucuti. Pasukan Jepang mengeluarkan Adnan.

“Siapa adik dari pemuda ini?”, seru sang Komandan.

Ia menyeret Adnan beserta jasad Kiai Sulthon keluar dari rumah itu. Tak satu pun angkat bicara.
“Siapa adik dari pemuda ini!”.

Ia menggertak dan menendang wajah Adnan dengan sepatu cekonya. Jasad Kiai Sulthon dibuang ke hadapan para santri. Tak satu pasang bibir pun bergumam. Hening.

“Saya bilang, siapa adik dari pemuda ini! keluarlah!”, teriakan sang komandan semakin keras.

Adnan dipukul dengan popor senapan prajurit jepang. Wajahnya bersimbah darah dan memar. Asrul melihat dari kegelapan. Hatinya masih bergetar, tanda keraguan. Asrul tak ragu untuk menolong akangnya meskipun harus bertukar kehidupan sekalipun. Ia hanya ragu dapat menemukan momen yang tepat untuk menyerang komandan pasukan Jepang itu.

Asrul berpikir, berpikir dan berpikir. Ia tak dapat menemukan momen yang tepat. Kali ini ia menyingkirkan keraguan itu dan bergerak sedikit demi sedikit menyusuri kegelapan. Berharap, mungkin masih ada beberapa santri yang bersembunyi di kegelapan bersamanya. Ia salah, tak ada satu santri pun yang tersisa di kegelapan hutan kecuali dirinya. Asrul berlari.

“Aaaarrggh!”, teriak Asrul dari kegelapan.

Ia berlari mengokang bambu runcing kea rah sang komandan, dan hendak menusuk sang komandan.

“Brukk!!”

Asrul terkapar di tanah. Sang komandan menghindari serangan itu. Seketika itu para prajurit Jepang meringkusnya. Asrul tak berdaya dan hanya tertawa.

“hahaha…kalian telah kalah. Kalian telah kalah, kalian telah kalah hahahaha…”, ucap Asrul berkali-kali.

Sepertinya Adnan menyesalkan hal ini. ia memberhatikan tingkah sang adik yang berada tak jauh darinya. Asrul terus tertawa.

“Diam!”.

Seorang prajurit Jepang mendaratkan bogem mentah di wajah Asrul. Pemuda ini terjatuh di tanah namun tetap tertawa.

“Perhatikan dua orang ini. mereka gigih dalam bertempur melawan kami, juru selamat kalian dari Belanda. Mereka pikir mereka benar dengan memerangi kami. Kami adalah…”, Komandan Jepang sedang berbicara.

Tiba-tiba Asrul memotong kalimat itu, “Bodoh hahaha…. Kalian miskin, tak punya apapun jadi kalian menginginkan tanah kami, bukan begitu? Hahaha”

Wajah Komandan Jepang merah padam. Ia melanjutkan perkataannya.

“Kami adalah juru selamat kalian. Mana rasa terima kasih kalian atas apa yang telah kami lakukan? Kami telah mengusir Belanda…”

“Jangan dengarkan dia, dia hanya pembohong berkulit kuning”, Asrul menimpali perkataan si Komandang Jepang.

Adnan kembali dipukuli atas sikap Asrul yang tak mau diam.

“Eksekusi mereka akan menjadi contoh bagi kalian. Jangan sekali-kali kalian melawan juru selamat kalian sendiri..”, ujar si Komandan Jepang.

Asrul dibawa sedikit maju. Adnan dan Asrul duduk bersebelahan.

“Ini bukan tujuan dari perang ini, kang. Kau tahu itu”, ujar Asrul sementara sang Komandan jepang tengah melancarkan propagandanya pada para santri.

“Kau bodoh. Kenapa kau keluar?”, Adnan berkata.

“Jika aku tak keluar, mereka yang akan mati. Lebih baik kematianku hari ini, dibanding aku melihat kematian mereka hari ini dan rangkaian kematian bangsa ini di hari yang lain”.

“Kau bodoh. Kau bisa menyimpan tenagamu untuk melawan mereka di hari yang lain. Bukan dengan mati hari ini”

“Sudah kukatakan padamu. Aku tak ingin menderita. Lebih baik kematianku hari ini. aku yakin, mereka akan mengenangku dan melanjutkan perjuangan ini pada titik selanjutnya. Singaparna bukanlah akhir, ini hanyalah rangkaian awal dari proses kemerdekaan”

“Masa bodoh”

“Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku menyanyangi kakakku? Sejak kecil kita selalu bersaing. Romo selalu menuruti apapun keinginanmu, dan ibu selalu menuruti keinginanku. Aku selalu menjadi pesaingmu, kang. Kau orang yang terlalu hebat untuk kusaingi dan itu membuat terus berada dalam posisi memusuhimu. Tetapi, pertempuran ini, membuatku tak ingin persaingan kita selesai. Wajahmu yang ragu untuk berperang membuatku memiliki semangat untuk melindungimu, melindungi setiap orang kita sayangi…”

“Kau berkata seolah-olah kau akan mati saat ini”

“Filosofi perang yang katakan padaku, saat perjalanan pulang dari Tebuireng membuatku yakin bahwa aku menyayangimu. Aku baru saja memulainya dan berharap kau beserta teman-teman kita yang selamat akan melanjutkan perjuangan ini. Singaparna hanyalah awal dari perjuangan santri, kau harus melanjutkannya, kang. Terima kasih telah mengajarkanku filosofi itu…”

Tiba-tiba salah seorang prajurit Jepang datang dan menusukkan bayonetnya ke dada Asrul. Asrul meningal seketika. Adnan terpaku, menatap apa yang tak ia percayai. Tangisannya tak tertahankan, ia menundukkan kepalanya dan berharap prajurit Jepang segera membunuhnya.

“Ini adalah siksaan yang lebih buruk dari kematian”, gumam Adnan.

Komandan pasukan Jepang itu memerintahkan prajuritnya untuk membawa jasad Asrul dan membaringkannya di samping jasad Kiai Sulthon. Wajah Asrul terlihat tengah tersenyum dengan dadanya yang bolong. Adnan menatapnya pekat dari kejauhan.


Prajurit Jepang kemudian menggiring Adnan beserta santri-santri yang masih hidup keluar dari pesantren itu. Mereka dijebloskan ke penjara. Mendekap di sana selama beberapa bulan. Adnan melanjutkan perjuangannya setelah berhasil keluar dari penjara. Ia mengingat peristiwa Singaparna hanyalah satu dari sekian banyak pertempuran dalam upaya merebut kemerdekaan, dan ia akan mengenang Singaparna sebagai rumah sang adik, Asrul.

Bagikan

Jangan lewatkan

Bambu Runcing di Jendela Pesantren
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

1 komentar:

Tulis komentar