gambar via Unsplash by Emma van Sant |
Siapa yang tidak pernah
berkomunikasi dengan Tuhannya? Tidak ada. Bahkan seorang yang mengakui atheis
pun saya yakini ia pernah melakukan komunikasi antara dirinya dengan Sang
Pencipta.
Cara berkomunikasi dengan
Tuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Nyeletuk,
bergumam, mendengus, kesal, ramah, tersenyum, ritual ibadah dan beragam
cara yang selalu dilakukan oleh manusia, disadari ataupun tidak, terjadwal atau
tidak.
Dalam islam, kita mengenal
ibadah lima waktu yang disebut Shalat. Shalat lima waktu menjadi salah satu
sandaran manusia untuk berhubungan dengan Allah. Shalat lima waktu merupakan
ibadah wajib yang mesti dilaksanakan oleh kaum muslimin sebagai upaya pernghormatan,
pemuliaan dan wujud rasa syukur atas segala karunia-Nya. Selain shalat lima
waktu, umat islam bisa juga menambahkan shalat-shalat sunnah dalam rangka
menjalin hubungan dengan Tuhannya. Biasanya selesai shalat seseorang akan
menengadahkan tangannya sedikit ke atas dan mengungkapkan apa yang ia harapkan,
rindukan, diinginkan, bahkan tidak jarang dengan nada memaksa.
Berdo’a, itulah nama yang
kita kenal untuk menggambarkan proses memohon yang lebih intim antara mahluk
dengan penciptanya. Selepas shalat, umat islam memanjatkan do’a kepada Allah.
Berdo’a menurut saya bisa
disebut sebagai proses komunikasi. Di dalam do’a seseorang mengutarakan keinginan
untuk dirinya, orang tuanya, hari esok, rezeki dan lain sebagainya. Kebanyakan
orang berdo’a hanya sehabis shalat saja, tetapi sejatinya berdo’a itu adalah
pekerjaan tiga organ tubuh yang utama, yaitu : hati, lisan, dan badan.
Seperti diungkapkan oleh
Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi, K.H Syukriadi Sambas dalam selembar
kertas ujian akhir semester bahwa berdo’a adalah pekerjaan hati, lisan dan
badan. Ketiga organ tubuh utama manusia itu melakukan hal-hal yang memungkinkan
untuk membuat do’a itu dikabulkan ataupun ditolak bahkan dapat menimbulkan do’a
yang baru.
Dalam pekerjaan badan
misalnya, badan beraktifitas sehari-hari –perilaku- memperlihatkan apakah senandung-senandung
do’a yang terucap itu memang benar-benar dibutuhkan dan akan memberi manfaat
bagi si pemunajat do’a itu sendiri.
Kemudian hati, organ tubuh
manusia tempat mengetahui kebaikan ini juga menjadi salah satu faktor penentu
dan penguat do’a yang dipanjatkan. Bila hati meyakini apa yang dipanjatkan, insya allah do’a yang diungkapkan dalam
munajat siang-malam akan terkabul. Allah tidak pernah menyalahkan manusia yang
ragu pada do’anya, tetapi sedikit keraguan dapat membatalkan semuanya.
Lalu yang paling sulit
untuk ditahan agar tidak nyeleneh
adalah lisan. Pepatah yang mengatakan lisan
adalah pedang tanpa mata memang benar adanya. Kaum muslimin sering
melupakan hal ini. Usai shalat ia memanjatkan hal-hal yang ia rindukan, tetapi
dalam perkataan sehari-harin ia tidak mampu menjaga perkataannya dan mengumpat
karunia Tuhan, tidak jarang pula mengucapkan umpatan. Hal ini dapat menjadi bomerang
tersendiri bagi si pemunajat do’a, sebab umpatan-umpatan tak terkendali itu
sebenarnya menjadi do’a tanpa ia sadari.
Berdo’a adalah salah satu
ritual sakral dan proses komunikasi seorang hamba kepada Tuhannya. Ketiga
faktor di atas adalah media berdo’a seorang hamba pada tuhannya, Jadi alangkah
lebih baik jika ketiga organ tubuh utama manusia yang telah penulis sebutkan di
atas dijaga dengan baik agar tidak terlalu sering keluar dari etika manusia
terhadap Tuhannya.
Sedikit banyaknya celetukan-celetukan manusia dalam
kehidupan sehari-harinya menjadi do’a yang tak terduga.
Bagikan
3 Faktor dalam Berdo'a
4/
5
Oleh
Unknown