Muncul
satu lagi kasus memalukan di dunia pendidikan negeri ini. Pelecehan pada anak
berusia lima tahun yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Kasus
ini mencoreng, bukan hanya nama JIS, tetapi juga nama Kemendikbud, dan secara
umum wajah pendidikan di negeri ini.
Pendidikan,
asal katanya adalah didik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata didik
diartikan sebagai upaya memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran. Selaras dengan yang diungkapkan R.A Kartini, bahwa seorang ningrat
adalah dia yang pikirannya cerdas dan budi pekertinya baik. Seharusnya memang
seperti itu, tapi pelbagai fenomena pendidikan yang terjadi di negeri ini
justru berlangsung sebaliknya, dan atau tidak seimbang. Kebanyakan hanya fokus
pada pengembangan kecerdasan pikiran saja.
Bukan
hanya pada pendidik, tapi juga para orang tua calon peserta didik. Saya heran,
di zaman yang serba instan ini, banyak orang mencari pendidikan hanya untuk
mengangkat status sosial keluarganya. Saat anaknya sekolah di sekolah mahal dan
berkelas, orang tua akan merasa bangga. Kelas sosialnya akan naik. Keluarganya
jadi makin terpandang. Pemilihan pendidikan ini bukan didasarkan pada kebutuhan
anak, akan tetapi pada sesuatu yang justru tidak normal.
Bukan
hanya itu, sekolah-sekolah di negeri ini, terutama di kota besar, saya rasa lebih
mementingkan status sosial mereka. Dengan menyediakan gedung pencakar langit,
seragam berbahan mewah dan fasilitas pendukung kelas satu, diharapkan banyak
orang tua peserta didik yang tertarik. Semakin bagus fasilitas yang dimiliki,
akan semakin tinggi pula kelas sosial yang dimiliki sekolah tersebut.
Selain
itu, institusi-institusi pendidikan formal yang disebut sekolah lebih memerhatikan
kecerdasan pikiran ketimbang kecerdasan moral. Mempekerjakan pendidik dengan
gelar a, b, dan c, juga peragkat pendidikan lain yang berpangkat a, b, dan c
tanpa memerhatikan aspek moral yang dimiliki. Hasilnya, pelecehan pada peserta
didik terjadi dimana-mana. Guru-guru mencabuli anak didiknya, penjaga sekolah
meniduri siswi dan lain sebagainya.
Fenomena
ini terjadi karena pendidikan dimaknai secara dangkal. Sebatas kata benda yang
terbentuk dari kata didik. Orang tua memaknainya sebagai salah satu media untuk
mencapai kelas sosial yang tinggi, dan sekolah memaknainya sebagai komoditi
perdagangan alias dijadikan industri untuk meraup keuntungan yang besar. Dengan
membangun gedung-gedung sekolah yang mencakar langit dan menyediakan fasilitas
kelas satu. Memang dalam membentuk kecerdasan pikiran diperlukan infrastruktur
pendukung kelas satu, akan tetapi aspek moral jangan sampai dilupakan. Saya
kira hal itu pula lah yang kira terjadi di Jakarta International School.
Dari
pendidikan, diharapkan peserta didik nantinya memiliki budi pekerti yang baik dan kecerdasan pikiran
yang baik pula. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan bimbingan serta latihan
dengan intensitas yang tinggi, dimana diperlukan pendidik dengan kualitas
pikiran dan moral yang baik. Orang tua pun membantu dalam tercapainya tujuan
ini, karena rumah adalah sekolah pertama bagi anak.
(artikel ini ditulis saat ramai kasus Jakarta International School antara tahun 2013 dan 2014)
Bagikan
Anomali Pendidikan di Indonesia
4/
5
Oleh
Unknown