Senin, 03 April 2017

Anomali Pendidikan di Indonesia

gambar via Unsplash
Muncul satu lagi kasus memalukan di dunia pendidikan negeri ini. Pelecehan pada anak berusia lima tahun yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Kasus ini mencoreng, bukan hanya nama JIS, tetapi juga nama Kemendikbud, dan secara umum wajah pendidikan di negeri ini.
Pendidikan, asal katanya adalah didik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata didik diartikan sebagai upaya memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selaras dengan yang diungkapkan R.A Kartini, bahwa seorang ningrat adalah dia yang pikirannya cerdas dan budi pekertinya baik. Seharusnya memang seperti itu, tapi pelbagai fenomena pendidikan yang terjadi di negeri ini justru berlangsung sebaliknya, dan atau tidak seimbang. Kebanyakan hanya fokus pada pengembangan kecerdasan pikiran saja.
Bukan hanya pada pendidik, tapi juga para orang tua calon peserta didik. Saya heran, di zaman yang serba instan ini, banyak orang mencari pendidikan hanya untuk mengangkat status sosial keluarganya. Saat anaknya sekolah di sekolah mahal dan berkelas, orang tua akan merasa bangga. Kelas sosialnya akan naik. Keluarganya jadi makin terpandang. Pemilihan pendidikan ini bukan didasarkan pada kebutuhan anak, akan tetapi pada sesuatu yang justru tidak normal.
Bukan hanya itu, sekolah-sekolah di negeri ini, terutama di kota besar, saya rasa lebih mementingkan status sosial mereka. Dengan menyediakan gedung pencakar langit, seragam berbahan mewah dan fasilitas pendukung kelas satu, diharapkan banyak orang tua peserta didik yang tertarik. Semakin bagus fasilitas yang dimiliki, akan semakin tinggi pula kelas sosial yang dimiliki sekolah tersebut.
Selain itu, institusi-institusi pendidikan formal yang disebut sekolah lebih memerhatikan kecerdasan pikiran ketimbang kecerdasan moral. Mempekerjakan pendidik dengan gelar a, b, dan c, juga peragkat pendidikan lain yang berpangkat a, b, dan c tanpa memerhatikan aspek moral yang dimiliki. Hasilnya, pelecehan pada peserta didik terjadi dimana-mana. Guru-guru mencabuli anak didiknya, penjaga sekolah meniduri siswi dan lain sebagainya.
Fenomena ini terjadi karena pendidikan dimaknai secara dangkal. Sebatas kata benda yang terbentuk dari kata didik. Orang tua memaknainya sebagai salah satu media untuk mencapai kelas sosial yang tinggi, dan sekolah memaknainya sebagai komoditi perdagangan alias dijadikan industri untuk meraup keuntungan yang besar. Dengan membangun gedung-gedung sekolah yang mencakar langit dan menyediakan fasilitas kelas satu. Memang dalam membentuk kecerdasan pikiran diperlukan infrastruktur pendukung kelas satu, akan tetapi aspek moral jangan sampai dilupakan. Saya kira hal itu pula lah yang kira terjadi di Jakarta International School.

Dari pendidikan, diharapkan peserta didik nantinya memiliki  budi pekerti yang baik dan kecerdasan pikiran yang baik pula. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan bimbingan serta latihan dengan intensitas yang tinggi, dimana diperlukan pendidik dengan kualitas pikiran dan moral yang baik. Orang tua pun membantu dalam tercapainya tujuan ini, karena rumah adalah sekolah pertama bagi anak.

(artikel ini ditulis saat ramai kasus Jakarta International School antara tahun 2013 dan 2014)

Bagikan

Jangan lewatkan

Anomali Pendidikan di Indonesia
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.