Senin, 03 April 2017

Wajah

gambar via Unsplash by Im Priscilla
Bagian 1
"Kamu sudah di lokasi? Di meja nomor berapa?" Tanya gadis bernama Rifanisa di telepon. Tiga hari lalu ia mengajakku bertemu di De Tuik -sebuah kafe di puncak bukit Caringin Tilu, Bandung. Tujuannya, ia bilang untuk melepas rindu.
Jujur, aku tak ingat bagaimana rupa dari si Rifanisa itu. Namanya pun aku tak mengingatnya. Aku punya, teman bernama Rifa dan Fanisa, tapi mereka itu dua orang. Sedangkan Rifanisa yang ini adalah satu orang yg tiba-tiba mengetuk jendela di sisi kiri rumahku.
Kuberitahu si Rifanisa itu lokasiku. Aku pun mengedarkan pandangan. Kudapati seorang gadis memakai kerudung hitam, kaus putih dan celana jeans hitam melambai-lambaikan tangannya, mungkin padaku. Penglihatanku tak begitu bagus, jadi yg kulihat hanya warna-warna dominan itu saja. Sedangkan wajahnya, hanya muram. Seperti disensor.
"Aku sudah menemukanmu..." ucap si Rifanisa itu. Ia lantas menutup ponselnya. Gadis yg kulihat juga mulai melangkah. Ia melewati beberapa meja, semakin dekat, dekat, tinggal dua meja, mendekat lagi.... dan gadis berkerudung hitam itu duduk bersama teman -temannya di meja nomor 43. Mejaku nomor 44.
Aku tak begitu antusias dengan pertemuan ini karena aku merasa tak mengenalnya. Wajar kan? Teman atau kenalan yg sudah 15 tahun tidak bertemu, atau hanya sekedar bertegur sapa, apa masih bisa kuanggap sebagai seseorang yang sama? Seseorang yang kukenal? Terlebih aku lupa wajah dan namanya. Sudah jelas, ia layaknya orang asing.
Oh ya, pertemuan ini diawali dari sebuah pesan yang si Rifanisa itu kirim ke akun facebook-ku.
Haloo... apa kabar, Rei? Sudah 15 tahun ya... kamu semakin tampan! -  Ini pesan yg pertama yg ia kirim.
Kubalas begini ;
Aku baik-baik saja. Apa yg sudah 15 tahun? Kamu siapa?
Rifanisa membalas pesanku seperti ini ;
ini aku, Rifanisa. Masa kamu lupa?! Kamu masih bodoh kaya waktu kecil ya?
Dia menyebutku bodoh! Aku balas menyebutnya bodoh, tapi di dalam hatiku. Sebagai seorang yg selalu diam di rumah, aku memang tidak pandai mengekspresikan uneg-uneg di dalam hatiku. Aku lebih senang mengumpat untuk kemudian melupakan kejadian yg membuatku kesal, seperti tak pernah terjadi apapun.
Jadi, kubalas begini saja ;
aku benar-benar lupa, maafkan, atau mungkin kamu orang yang tidak penting sehingga aku amat mudah melupakanmu? Ah maafkan aku, tapi jika menang demikian, artinya wajar kan kalau aku lupa? Atau jika kamu merasa kamu orang yang penting, maka kamu harus berusaha membuatku ingat. Namamu Rifanisa kan? Dari namamu saja aku tak ingat apapun, maaf
Selanjutnya bla...bla...bla, pesan yg kukirim masih panjang jika harus kutulis ulang di sini. Yang jelas, isi pesan yg kukirim itu amat jahat, bahkan aku sendiri yang menulisnya enggan membaca pesan itu 30 menit setelah kukirimkan. Namun aku masih ingat dengan jelas tiap kata yg kutulis dalam pesan itu.
Entah bagaimana perasaan si Rifanisa itu, ia menjawab santai saja, begini ;
ayo ketemu di Kafe De Tuik, lusa jam setengah lima sore! Aku sudah reservasi untuk meja nomor 44, kamu tunggu aku di sana ya :)
Sesudah itu, percakapan usai. Aku merasa tak perlu membalas pesan yg terakhir karena menurutku permintaan bertemu dari seorang yg tak kukenal adalah keganjilan yg harus dihindari, jika ingin hidup tetap lancar jaya, tanpa getaran yg dapat mengubah jalur kelewat jauh sampai nyasar. Aku lebih suka diam di rumah saja, terutama lusa (sabtu)!
Aku berusaha melupakan ajakan bertemu si Rifanisa itu. Aku tidak mengenalnya, aku tak tahu siapa dia. Aku terus membuat alasan untuk diriku sendiri agar tidak menemuinya besok. Namun, aku akhirnya melupakan alasan yg kubuat, dan duduk di sini untuk menemuinya.
Dia belum datang juga. Padahal tadi dia bilang sudah menemukanku.
20 menit sudah lewat sejak dia bilang sudah menemukanku. Dia tak muncul juga. Aku terpaksa memesan minum duluan. Sebetulnya supaya tidak terlalu malu cuma duduk di sini lebih dari 30 menit tanpa memesan apapun. Aku masih menunggunya, barangkali sampai 20 menit mendatang.
"Lagi ngapain kamu di sini?" Pundakku ditepuk seseorang dari belakang.
Aku menoleh. Kulihat tiga orang perempuan, dan dua orang laki-laki berdiri di belakangku. aku mengenal mereka ; Andi, Joni, Alisia, Alifia, dan Rizky. Mereka teman-temanku ketika kuliah. Apa yang mereka lakukan di sini? Entah, mungkin sekedar kongkow saja, yang jelas aku dengar kalau mereka sekarang kerja bareng, bikin startup aplikasi penyimpanan online. Masih, Aku tak tahu pasti siapa yang menepuk pundakku barusan.
"Kamu kan kutu buku dan tukang ngerem di rumah, koq kamu di sini?" Tanpa kupersilakan, mereka duduk di sekelilingku, mengisi dua bangku kosong di depanku, mengambil bangku kosong dari tempat lain.
"Iya! Tumben kamu ada di luar sore-sore begini?" Joni mengeluarkan beberapa jenis permen karet dari saku jaketnya.
"Janjian sama cewek ya?" Alisia menepuk pundakku, diikuti Alifia. Mereka kembar.
"Tadinya sih iya janjian dengan seseorang, tapi dia gak muncul-muncul..." ucapanku terhenti saat melihat mereka menatapku serius.
"Jadi?" Kata Andi.
"Siapa dia?" Imbuh Joni.
"Apa kita kenal orangnya?" Alisia dan Alifia.
"Kamu gak nelpon balik nomernya? Nanya dia udah dimana gtu? Kapan dia dateng? Semacem itulah..." Rizky, dia satu-satunya yang omongannya ngebantu di sini.
"Sudah, katanya dia udah liat aku dimana, tapi gak muncul-muncul batang hidungnya sampai sekarang..." ucapku, "jangan melihatku seperti itu!"
Seketika mereka membuang tatapan serius itu dariku. Joni menyodorkan permen karet merk Balon Udara padaku. Katanya, rasa anggur merk itu bikin dia ngerasa terbang. Aku menerimanya. Sedangkan yang lain memberiku gantungan kunci, pin, permen lolipop, dan kertas. Semua ini khas mereka sejak kuliah dulu. Aku belum mau menjelaskan tentang mereka di sini. Belum waktunya.
"Kamu kemana aja Rei? Habis lulus langsung ilang gitu aja, ga ada kabar, tau-tau muncul di sini." Andi menyeruput es kopi milikku, tanpa malu.
"Iya betul, kamu bodoh ya ninggalin kita gitu aja?" Alisia memutar-mutar gelas es kopiku. Ia memandangku sejenak, lalu menyeruput es kopi itu, tanpa malu.
"Padahal kita sekarang ngejalanin mimpi yang dulu kamu rancang, Rei!" Ujar Alifia.
"Iya. Kita kerepotan karena gak satu pun dari kita yang bisa ngegambar. Sedangkan harusnya mimpi kita itu basic utamanya gambar, akhirnya kita malah bikin startup Online Storage" ucap Joni. Ia memainkan pulpen hitam di sela-sela jemarinya. Ia memandangku.
"Tapi karena online storage gak butuh banyak gambar, kita jadi gak terlalu butuh kamu sih, Rei. Lagi pula mimpi yg dulu kamu umbar ke kita udah kita lupain koq!" Rizky menatapku tajam seolah ingin menegaskan ucapannya barusan.
Semuanya sekarang diam. Tak ada yg mengarahkan tatapannya padaku, kecuali Rizky.
"Karena kita kebetulan ketemu Rei di sini, artinya kita gak bisa lama-lama. Jadwal kita masih banyak, kerjaan kita juga masih numpuk... ayo!" Rizky berdiri sambil menggendong tasnya. Inilah dia yang tegas dan sangat menghargai waktu. Baginya, waktu adalah pisau yang bisa membunuh jika tak digunakan sebaik mungkin. Ia menarik lengan Alisia dan Alifia yang kelihatan ogah-ogahan. Sedangkan Joni dan Andi, mereka ikut saja apapun yang dilakukan Rizky, begitu sejak dulu.
Aku memandang kepergian mereka. Tiba-tiba Joni berbalik dan melempar permen karet merk Donatello rasa rumput laut. Ini permen karet langka. Namun permen karet langka ini hanya bungkusnya yg langka, isinya tetap merk Balon Udara rasa bunga mawar. Aku memasukkan permen karet itu ke dalam saku sweater-ku. Aku kembali menunggu si Rifanisa.
Mungkin soal tunggu-menunggu, aku cukup ahli. Aku tetap merasa nyaman walau sudah menunggu di sini dua jam. Aku masih berpikir si Rifanisa itu akan datang, sebentar lagi, sebentar lagi, sebentar lagi. Satu jam kemudian, batang hidungnya tetap tak kulihat.
Aku tidak bisa datang, ada pekerjaan mendadak... maafkan aku! Bagaimana kalau sabtu depan kita bertemu di Gramedia Bandung Indah Plaza sekalian membeli komik? Atau buku? Pokoknya aku minta maaf! - begitu isi SMS si Rifanisa itu.
Aku segera beranjak ke kasir untuk membayar.
Aku harap kamu tidak marah. Aku sangat menantikan pertemuan kita selanjutnya! - si Rifanisa mengirim SMS lagi. Aku melihatnya di layar ponselku yang terkunci. Aku tak menggubrisnya.
"Berapa, mbak?" Aku bersiap mengeluarkan dompetku.
"Pesanan meja nomor 44 sudah dibayar, mas." ujar si mbak kasir sambil melihat ke layar komputer, lalu ia tersenyum padaku.
"Siapa yang bayar, mbak? Saya kan dari tadi duduk di sana." Aku urung mengeluarkan dompetku. Dalam hati aku bersyukur makanan dan minumanku sudah ada yang membayar.
Si mbak kasir tetap tidak mau memberitahu setelah kutanya sekali lagi. Aku tak masalah. Aku harus menerima dan bersyukur atas rezeki ini. Meski gagal bertemu si Rifanisa dan gagal tahu bagaimana bentuknya, aku masih dapat bersentuhan dengan masa lalu lewat lima orang itu, walaupun percakapan yang tadi terjadi di antara kami tetap terasa aneh. Aku tak perlu memikirkannya. Aku hanya harus pulang sekarang, kelihatannya sebentar lagi hujan.

***

"Apa kamu tadi gak berlebihan?" Alisia menepuk pundak Rizky sambil menyodorkan segelas coklat panas. Ia lantas duduk di samping Rizky. Mereka tengah berada di lantai paling atas kantor Donatello -startup online storage mereka dinamai Donatello, menghadap ke akhir perantauan mentari, dan duduk di kursi kayu tanpa sandaran.
Rizky menggeleng pelan sambil menerima gelas itu. Ia memutar-mutar gelas itu di tangannya. Ia hirup aroma coklat panas itu. Ia menutup matanya.
"Kamu bakalan baik-baik aja, Ky. Kamu begitu dari dulu." Alisia mulai menyeruput coklat panas miliknya. Matanya tertuju pada ufuk barat yang mulai berwarna jingga.
"Tapi aku masih bodoh, Lis. Aku juga penakut." Rizky masih memutar mug bergambar bendera Islandia di tangannya. Kepalanya tertunduk. Ia memandang wajahnya sendiri di permukaan coklat panas yang membentuk pusaran.
"Gak salah koq kamu takut atau bodoh. Kamu berhak kaya begitu, tapi kamu sebaiknya gak nunggu lebih lama lagi buat ngasih tahu si kutu buku penyendiri itu..." Alisia masih memandang ufuk yang tengah berubah warna. Ia terlihat tenang. Tangannya melambai ke depan seakan ia ingin meraih sesuatu. Ia hanya ingin meraih sesuatu. Sesuatu yang ia sendiri belum tahu apa itu.
"Kita hidup kaya serigala, kalo kita nunggu terlalu lama, mangsa kita bisa keburu dimangsa orang lain, Ky." Alisia menyeruput coklatnya sekali lagi, lalu ia menutup buku sketsanya. Sejak tadi tangan kirinya mencoreti buku itu. "Udah cukup ngobrol seriusnya. Mendingan masuk ke dalem, udah mau hujan kayanya. Yuk!" Ia mengajak Rizky masuk ke dalam kantor.
Tanpa berkata-kata lagi, Rizky ikut masuk. Ia meninggalkan mug bergambar bendera Islandia miliknya di luar, membiarkannya berkibar, kedinginan.


Bersambung,..

Bagikan

Jangan lewatkan

Wajah
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

3 komentar

Tulis komentar
avatar
4 April 2017 pukul 23.13

mantap, gan...
ditunggu kelanjutannya ya :D

Reply
avatar
5 April 2017 pukul 14.13

udah ada kelanjutannya gan di judul Wajah : Bagian 2. Selamat membaca ya :)

Reply