gambar via Unsplash by Im Priscilla |
Bagian 1
"Kamu sudah di
lokasi? Di meja nomor berapa?" Tanya gadis bernama Rifanisa di telepon.
Tiga hari lalu ia mengajakku bertemu di De Tuik -sebuah kafe di puncak bukit
Caringin Tilu, Bandung. Tujuannya, ia bilang untuk melepas rindu.
Jujur, aku tak ingat
bagaimana rupa dari si Rifanisa itu. Namanya pun aku tak mengingatnya. Aku
punya, teman bernama Rifa dan Fanisa, tapi mereka itu dua orang. Sedangkan
Rifanisa yang ini adalah satu orang yg tiba-tiba mengetuk jendela di sisi kiri
rumahku.
Kuberitahu si Rifanisa itu
lokasiku. Aku pun mengedarkan pandangan. Kudapati seorang gadis memakai
kerudung hitam, kaus putih dan celana jeans hitam melambai-lambaikan tangannya,
mungkin padaku. Penglihatanku tak begitu bagus, jadi yg kulihat hanya
warna-warna dominan itu saja. Sedangkan wajahnya, hanya muram. Seperti disensor.
"Aku sudah
menemukanmu..." ucap si Rifanisa itu. Ia lantas menutup ponselnya. Gadis
yg kulihat juga mulai melangkah. Ia melewati beberapa meja, semakin dekat,
dekat, tinggal dua meja, mendekat lagi.... dan gadis berkerudung hitam itu
duduk bersama teman -temannya di meja nomor 43. Mejaku nomor 44.
Aku tak begitu antusias
dengan pertemuan ini karena aku merasa tak mengenalnya. Wajar kan? Teman atau
kenalan yg sudah 15 tahun tidak bertemu, atau hanya sekedar bertegur sapa, apa
masih bisa kuanggap sebagai seseorang yang sama? Seseorang yang kukenal?
Terlebih aku lupa wajah dan namanya. Sudah jelas, ia layaknya orang asing.
Oh ya, pertemuan ini
diawali dari sebuah pesan yang si Rifanisa itu kirim ke akun facebook-ku.
Haloo... apa kabar, Rei?
Sudah 15 tahun ya... kamu semakin tampan! -
Ini pesan
yg pertama yg ia kirim.
Kubalas begini ;
Aku baik-baik saja. Apa yg
sudah 15 tahun? Kamu siapa?
Rifanisa membalas pesanku
seperti ini ;
ini aku, Rifanisa. Masa
kamu lupa?! Kamu masih bodoh kaya waktu kecil ya?
Dia menyebutku bodoh! Aku
balas menyebutnya bodoh, tapi di dalam hatiku. Sebagai seorang yg selalu diam
di rumah, aku
memang tidak pandai mengekspresikan uneg-uneg di dalam hatiku. Aku lebih senang
mengumpat untuk kemudian melupakan kejadian yg membuatku kesal, seperti tak
pernah terjadi apapun.
Jadi, kubalas begini saja
;
aku benar-benar lupa,
maafkan, atau mungkin kamu orang yang tidak penting sehingga aku amat mudah
melupakanmu? Ah maafkan aku, tapi jika menang demikian, artinya wajar kan kalau
aku lupa? Atau jika kamu merasa kamu orang yang penting, maka kamu harus
berusaha membuatku ingat. Namamu Rifanisa kan? Dari namamu saja aku tak ingat
apapun, maaf
Selanjutnya
bla...bla...bla, pesan yg kukirim masih panjang jika harus kutulis ulang di
sini. Yang jelas, isi pesan yg kukirim itu amat jahat, bahkan aku sendiri yang
menulisnya enggan membaca pesan itu 30 menit setelah kukirimkan. Namun aku
masih ingat dengan jelas tiap kata yg kutulis dalam pesan itu.
Entah bagaimana perasaan
si Rifanisa itu, ia menjawab santai saja, begini ;
ayo ketemu di Kafe De
Tuik, lusa jam setengah lima sore! Aku sudah reservasi untuk meja nomor 44,
kamu tunggu aku di sana ya :)
Sesudah itu, percakapan
usai. Aku merasa tak perlu membalas pesan yg terakhir karena menurutku
permintaan bertemu dari seorang yg tak kukenal adalah keganjilan yg harus
dihindari, jika ingin hidup tetap lancar jaya, tanpa getaran yg dapat mengubah
jalur kelewat jauh sampai nyasar. Aku lebih suka diam di rumah saja, terutama
lusa (sabtu)!
Aku berusaha melupakan ajakan
bertemu si Rifanisa itu. Aku tidak mengenalnya, aku tak tahu siapa dia. Aku
terus membuat alasan untuk diriku sendiri agar tidak menemuinya besok. Namun,
aku akhirnya melupakan alasan yg kubuat, dan duduk di sini untuk menemuinya.
Dia belum datang juga.
Padahal tadi dia bilang sudah menemukanku.
20 menit sudah lewat sejak
dia bilang sudah menemukanku. Dia tak muncul juga. Aku terpaksa memesan minum
duluan. Sebetulnya supaya tidak terlalu malu cuma duduk di sini lebih dari 30
menit tanpa memesan apapun. Aku masih menunggunya, barangkali sampai 20 menit
mendatang.
"Lagi ngapain kamu di
sini?" Pundakku ditepuk seseorang dari belakang.
Aku menoleh. Kulihat tiga
orang perempuan, dan dua orang laki-laki berdiri di belakangku. aku mengenal mereka ;
Andi, Joni, Alisia, Alifia, dan Rizky. Mereka teman-temanku ketika kuliah. Apa
yang mereka lakukan di sini? Entah, mungkin sekedar kongkow saja, yang jelas
aku dengar
kalau mereka sekarang kerja bareng, bikin startup aplikasi penyimpanan online.
Masih, Aku tak tahu pasti siapa yang menepuk pundakku barusan.
"Kamu kan kutu buku
dan tukang ngerem di rumah, koq kamu di sini?" Tanpa kupersilakan, mereka
duduk di sekelilingku, mengisi dua bangku kosong di depanku, mengambil bangku
kosong dari tempat lain.
"Iya! Tumben kamu ada
di luar sore-sore begini?" Joni mengeluarkan beberapa jenis permen karet
dari saku jaketnya.
"Janjian sama cewek
ya?" Alisia menepuk pundakku, diikuti Alifia. Mereka kembar.
"Tadinya sih iya
janjian dengan seseorang, tapi dia gak muncul-muncul..." ucapanku
terhenti saat melihat mereka menatapku serius.
"Jadi?" Kata
Andi.
"Siapa dia?"
Imbuh Joni.
"Apa kita kenal
orangnya?" Alisia dan Alifia.
"Kamu gak nelpon balik nomernya?
Nanya dia udah dimana gtu? Kapan dia dateng? Semacem itulah..." Rizky, dia
satu-satunya yang omongannya ngebantu di sini.
"Sudah, katanya dia
udah liat aku dimana, tapi gak muncul-muncul batang hidungnya sampai sekarang..."
ucapku, "jangan melihatku seperti itu!"
Seketika mereka membuang
tatapan serius itu dariku. Joni menyodorkan permen karet merk Balon Udara
padaku. Katanya, rasa anggur merk itu bikin dia ngerasa terbang. Aku
menerimanya. Sedangkan yang lain memberiku gantungan kunci, pin, permen
lolipop, dan kertas. Semua ini khas mereka sejak kuliah dulu. Aku belum mau
menjelaskan tentang mereka di sini. Belum waktunya.
"Kamu kemana aja Rei?
Habis lulus langsung ilang gitu aja, ga ada kabar, tau-tau muncul di
sini." Andi menyeruput es kopi milikku, tanpa malu.
"Iya betul, kamu
bodoh ya ninggalin kita gitu aja?" Alisia memutar-mutar gelas es kopiku.
Ia memandangku sejenak, lalu menyeruput es kopi itu, tanpa malu.
"Padahal kita
sekarang ngejalanin mimpi yang dulu kamu rancang, Rei!" Ujar Alifia.
"Iya. Kita kerepotan
karena gak satu pun dari kita yang bisa ngegambar. Sedangkan harusnya mimpi
kita itu basic utamanya gambar, akhirnya kita malah bikin startup Online
Storage" ucap Joni. Ia memainkan pulpen hitam di sela-sela jemarinya. Ia
memandangku.
"Tapi karena online
storage gak butuh
banyak gambar, kita jadi gak terlalu butuh kamu sih, Rei. Lagi pula mimpi yg dulu kamu
umbar ke kita udah kita lupain koq!" Rizky menatapku tajam seolah ingin
menegaskan ucapannya barusan.
Semuanya sekarang diam.
Tak ada yg mengarahkan tatapannya padaku, kecuali Rizky.
"Karena kita
kebetulan ketemu Rei di sini, artinya kita gak bisa lama-lama. Jadwal kita masih
banyak, kerjaan kita juga masih numpuk... ayo!" Rizky berdiri sambil
menggendong tasnya. Inilah dia yang tegas dan sangat menghargai waktu. Baginya,
waktu adalah pisau yang bisa membunuh jika tak digunakan sebaik mungkin. Ia
menarik lengan Alisia dan Alifia yang kelihatan ogah-ogahan. Sedangkan Joni dan
Andi, mereka ikut saja apapun yang dilakukan Rizky, begitu sejak dulu.
Aku memandang kepergian
mereka. Tiba-tiba Joni berbalik dan melempar permen karet merk Donatello rasa
rumput laut. Ini permen karet langka. Namun permen karet langka ini hanya
bungkusnya yg langka, isinya tetap merk Balon Udara rasa bunga mawar. Aku
memasukkan permen karet itu ke dalam saku sweater-ku. Aku kembali menunggu si
Rifanisa.
Mungkin soal
tunggu-menunggu, aku cukup ahli. Aku tetap merasa nyaman walau sudah menunggu
di sini dua jam. Aku masih berpikir si Rifanisa itu akan datang, sebentar lagi,
sebentar lagi, sebentar lagi. Satu jam kemudian, batang hidungnya tetap tak
kulihat.
Aku tidak bisa datang, ada
pekerjaan mendadak... maafkan aku! Bagaimana kalau sabtu depan kita bertemu di
Gramedia Bandung Indah Plaza sekalian membeli komik? Atau buku? Pokoknya aku
minta maaf! - begitu isi SMS si Rifanisa itu.
Aku segera beranjak ke
kasir untuk membayar.
Aku harap kamu tidak marah.
Aku sangat menantikan pertemuan kita selanjutnya! - si Rifanisa mengirim SMS lagi. Aku
melihatnya di layar ponselku yang terkunci. Aku tak menggubrisnya.
"Berapa, mbak?"
Aku bersiap mengeluarkan dompetku.
"Pesanan meja nomor
44 sudah dibayar, mas." ujar si mbak kasir sambil melihat ke layar
komputer, lalu ia tersenyum padaku.
"Siapa yang bayar,
mbak? Saya kan dari tadi duduk di sana." Aku urung mengeluarkan dompetku.
Dalam hati aku bersyukur makanan dan minumanku sudah ada yang membayar.
Si mbak kasir tetap tidak
mau memberitahu setelah kutanya sekali lagi. Aku tak masalah. Aku harus
menerima dan bersyukur atas rezeki ini. Meski gagal bertemu si Rifanisa dan
gagal tahu bagaimana bentuknya, aku masih dapat bersentuhan dengan masa lalu
lewat lima orang itu, walaupun percakapan yang tadi terjadi di antara kami
tetap terasa aneh. Aku tak perlu memikirkannya. Aku hanya harus pulang
sekarang, kelihatannya sebentar lagi hujan.
***
"Apa kamu tadi gak
berlebihan?" Alisia menepuk pundak Rizky sambil menyodorkan segelas coklat
panas. Ia lantas duduk di samping Rizky. Mereka tengah berada di lantai paling
atas kantor Donatello -startup online storage mereka dinamai Donatello,
menghadap ke akhir perantauan mentari, dan duduk di kursi kayu tanpa sandaran.
Rizky menggeleng pelan
sambil menerima gelas itu. Ia memutar-mutar gelas itu di tangannya. Ia hirup
aroma coklat panas itu. Ia menutup matanya.
"Kamu bakalan
baik-baik aja, Ky. Kamu begitu dari dulu." Alisia mulai menyeruput coklat
panas miliknya. Matanya tertuju pada ufuk barat yang mulai berwarna jingga.
"Tapi aku masih
bodoh, Lis. Aku juga penakut." Rizky masih memutar mug bergambar bendera
Islandia di tangannya. Kepalanya tertunduk. Ia memandang wajahnya sendiri di permukaan coklat panas
yang membentuk pusaran.
"Gak salah koq kamu
takut atau bodoh. Kamu berhak kaya begitu, tapi kamu sebaiknya gak nunggu lebih
lama lagi buat ngasih tahu si kutu buku penyendiri itu..." Alisia masih
memandang ufuk yang tengah berubah warna. Ia terlihat tenang. Tangannya melambai
ke depan seakan ia ingin meraih sesuatu. Ia hanya ingin meraih sesuatu. Sesuatu
yang ia sendiri belum tahu apa itu.
"Kita hidup kaya
serigala, kalo kita nunggu terlalu lama, mangsa kita bisa keburu dimangsa orang
lain, Ky." Alisia menyeruput coklatnya sekali lagi, lalu ia menutup buku
sketsanya. Sejak tadi tangan kirinya mencoreti buku itu. "Udah cukup
ngobrol seriusnya. Mendingan masuk ke dalem, udah mau hujan kayanya. Yuk!" Ia mengajak
Rizky masuk ke dalam kantor.
Tanpa berkata-kata lagi,
Rizky ikut masuk. Ia meninggalkan mug bergambar bendera Islandia miliknya di
luar, membiarkannya berkibar, kedinginan.
Bersambung,..
Bagikan
Wajah
4/
5
Oleh
Unknown
3 komentar
Tulis komentarlanjut gan
Replymantap, gan...
Replyditunggu kelanjutannya ya :D
udah ada kelanjutannya gan di judul Wajah : Bagian 2. Selamat membaca ya :)
Reply