Rabu, 19 April 2017

Pelacur?


Suatu sore, aku berjalan melewati gerbang komplek di sekitaran Cileunyi. Aku sedang main ke kosan temanku di  dekat Pesantren Bustanul Wildan. Saat melewati gerbang komplek itu, temanku tiba-tiba menepuk pundakku dan mengajakku masuk ke komplek itu. Katanya, ia ada perlu dengan seseorang di dalam komplek itu. Aku ikuti saja ajakannya itu, toh aku juga sedang santai sore itu.

Sampai di depan sebuah rumah, ia mengajakku berhenti dan mencari tempat duduk. Tidak ada tempat duduk di sekitaran sana. Cuma warung kelontong mungil yang bisa dijadikan tempat nongkrong. Kami pun pergi ke warung itu. Aku membeli Magnum Filter dan Teh Gelas. Temanku tidak membeli apa-apa.

Aku heran, jika memang ia ada perlu dengan seseorang di komplek ini, seharusnya ia langsung saja ke rumahnya, bukan malah duduk melongo seperti orang bego di warung seperti ini. Aku hendak mengutarakan hal itu padanya, tapi ia kemudian beranjak ke sebuah rumah warna merah muda. Rumah itu bernomor 134, ada di Blok G. Kulihat seorang perempuan, kira-kira umur 29-30 tahunan sedang menjemur di halaman rumah itu.

Jika diperhatikan dengan teramat seksama, perempuan itu bisa membuat laki-laki tidak memejamkan matanya sekitar lima menitan, tapi bisa juga lebih. Uh! Liuk-liuk tubuhnya membentuk! Apalagi dia cuma pakai tanktop dan celana jeans pendek. Rambutnya dicat warna merah marun. Kulitnya putih bersih. Bulu ketiaknya nol. Wajahnya juga bersih. Bibirnya merah. Kupikir, perempuan itu bukan perempuan baik-baik.

Temanku sedang asyik mengobrol dengan perempuan itu di teras rumahnya. Mereka seperti saling melempar cubitan, kelitikan, juga cekikikan. Melihat temanku yang akrab dengan perempuan itu, aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Siapa pula yang tidak akan berpikiran yang tidak-tidak jika melihat perempuan seperti itu, di sore hari menjelang maghrib, akrab-akraban dengan laki-laki jauh di bawah umurnya, dan bukan muhrim pula! Aku semakin mencap perempuan itu sebagai perempuan tidak baik-baik -pelacur. Tak lama minuman mereka habis, temanku dan perempuan itu masuk ke dalam rumahnya.

Kira-kira pukul setengah tujuh, temanku baru keluar dari rumah itu. 30 menit ia di dalam sana. Wajahnya terlihat cerah dan segar, seperti motor baru selesai diservis, di authorized service pula.

"Siapa perempuan itu? Kamu sering datang kemari?" Tanyaku langsung pada inti permasalahan.

Temanku tak langsung menjawab. Ia malah asyik membalas pesan-pesan singkat yang numpuk di layar ponsel pintarnya. "Kamu bakalan tahu siapa dia besok. Besok kuajak kamu ke sini lagi." Jawabnya setelah selesai membalas semua pesan singkat itu.

"Kamu pelanggannya?" Tanyaku lebih dalam. Jawabannya yang tadi, kupikir cuma sekedar pengalihan.

"Iya." Jawabnya. "Dia bakalan bikin kamu puas!" Temanku menghisap rokoknya sambil kembali membalas pesan singkat di ponselnya.

Kulihat sekilas, pesan-pesan singkat itu dari Alvia, pacar temanku. "Kamu bodoh ya? Main sama pelacur, main juga sama Alvia. Kalo mau main pelacur, putusin Alvia dong!" Tegurku tegas. Aku tak suka Alvia, yang juga teman sekolahku dulu, dipermainkan oleh Dani. Nama temanku yang ini adalah Dani.

"Aku gak permainin dia koq, Jon. Aku bisa bagi waktu. Kamu juga, santai dikit kek." Ia menjawab dengan santai.

Pertanyaan demi pertanyaan terus kulontarkan pada Dani. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Dani dengan pelacur itu. Aku juga ingin tahu apakah Dani benar-benar menyayangi Alvia atau tidak. Aku benar-benar ingin mengetahui semuanya. Namun Dani terus menerus menjawab dengan seenaknya, seolah apa yang kulihat sore tadi tidak penting untuk dipertanyakan sama sekali. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke Cibiru. Acara menginap di kosan Dani, terpaksa kubatalkan. Tak lama setelah sampai di kosanku yang kosong melompong, aku tertidur.

***

Pagi ini, aku sudah siap untuk mengikuti acara Orientasi Pengenalan Akademik Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati 2017, disingkat OPAK 2017. Aku memakai kemeja putih, celana hitam, dan sepatu hitam. Di lengan kiriku, terikat pita coklat. Pita itu, menurut panitia, adalah penanda kalau aku Mahasiswa Fakultas Dakwah Komunikasi. Ah iya, Jurusanku adalah Sinematografi Dakwah. Aku tidak punya teman di kosan ini, jadi setelah semua kurasa siap, aku berangkat ke kampus, ke Auditorium Multipurpose.

Begitu sampai di depan pintu Auditorium, aku kembali teringat pada Dani dan perempuan itu. Aku memutuskan untuk tidak langsung masuk ke Auditorium, melainkan ke Fakultas. Aku tahu Dani pasti nongkrong di sana, menunggu Alvia yang hendak berangkat OPAK dari Cipadung Permai. Sampai di halaman Fakultas Dakwah, kudapati Dani tengah mengobrol dengan Alvia. Mereka tertawa dan saling memukul pundak lawannya. Begitu melihatku, Dani langsung melambaikan tangannya, mengajakku bergabung.

Di depan Alvia, aku tak berani menyinggung Dani tentang Perempuan itu. Aku enggan menyulut api di tali orang lain sepagi ini. Aku akan menunggu sampai Alvia pergi.

Kira-kira pukul setengah delapan pagi, Alvia meninggalkan kami. Ia pergi ke Auditorium bersama beberapa teman sejurusannya. Barulah, aku menyinggung Dani tentang kejadian kemarin.

"Apa yang sebenarnya yang terjadi kemarin, Dan?"

"Kamu benar-benar ingin tahu siapa perempuan itu?"

"Tentu saja! Aku ingin semuanya jelas, sejelas-jelasnya!"

"Kamu bawa buku panduan akademik fakultas kita?"

"Tidak. Aku belum punya."

"Kalau begitu beli dulu di ruang Tata Usaha. Harganya 50 ribu. Baru nanti kukasih tahu." Dani lantas pergi begitu saja. Ia masuk ke dalam Fakultas, menaiki tangga, entah menuju lantai berapa.

Aku berdiri di lantai dasar, di depan ruang Tata Usaha. Aku mendekat ke pintu ruang itu, bertanya pada bapak-bapak berjanggut lebat berkepala plontos. Ia menunjukkan sebuah meja tempat membeli buku panduan akademik itu. Aku melangkah ke sana, bertanya lagi pada ibu-ibu yang duduk di balik meja dan membeli satu buku panduan akademik. Setelah membeli buku ini, aku tak tahu apalagi yang harus kulakukan.

***

Satu minggu berlalu setelah kejadian sore itu di Cileunyi. Aku tengah duduk di kelas. Mata kuliah ke-satu dan ke-dua dosennya tidak datang. Mata kuliah yang ke-tiga ini, aku juga berharap dosennya kembali absen. Namun harapanku tidak terkabul. Seorang perempuan berkacamata, yang kukenal betul masuk ke dalam kelas.

"Perempuan itu!" Aku berteriak di dalam hati.

Perempuan itu lantas memberi salam dan memperkenalkan dirinya. Ia bernama Luna. Nama Lengkapnya Luna Aprilia. Ia mengajar mata kuliah Filsafat Ilmu, Filsafat Islam, dan Ulumul Qur'an. Riwayat pendidikannya, amat menakjubkan! Di usia semuda itu, ia sudah mendapat gelar Professor untuk bidang Filsafat, dan tiga gelar Doctor Honorist Causa dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia. Mendengar semua perkenalannya itu, aku segera membuka buku panduan akademik yang kusimpan di dalam tasku. Kucari nama itu, dan kudapati hal-hal yang lebih menakjubkan lagi darinya. Ah, aku malah menilai kacang hanya dari cangkangnya.

sumber gambar : HQWalls

Bagikan

Jangan lewatkan

Pelacur?
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

1 komentar:

Tulis komentar