Tampilkan postingan dengan label fantasy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fantasy. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 April 2017

Imaji : Episode 2


PEREMPUAN BERAMBUT MERAH

Tak lama setelah Haji Amir pergi, seorang perempuan berambut merah menghampiriku. Ia duduk di depanku. Ia membawa dua gelas minuman. Ia memberikan salah satunya padaku.

"Siapa namamu?" Tanyanya.

"Windu." Jawabku.

"Namaku Lena. Aku sudah tiga tahun bergabung di sini." Ujarnya. Ia menghisap minumannya menggunakan sedotan.

Jika dilihat sepintas, aku akan mengiranya pelacur. Ia memakai gaun satu potong warna kuning menyala yang sangat ketat. Dengan jelas, aku melihat dadanya yang tidak besar-besar amat menonjol, bokongnya juga. Wajahnya putih pucat, berhias lipstik merah menyala di bibirnya dan kedua pipinya diberi rona merah muda. Rambutnya merah marun. Tato kupu-kupu menghiasi lehernya dan entah tato apa menempel hampir di sebagian besar kulit tangan kanannya. Gaya bicaranya juga, terlalu banyak mendesah. Seperti sedang menggoda.

"Berapa umurmu?" Tanyanya lagi.

"27." Jawabku.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebentar kemudian, ia menggaruk kepalanya, memainkan rambutnya, meminum minumannya lewat sedotan, dan menatap lekat padaku. Yang terakhir itu ia lakukan untuk waktu yang lama. Kupikir ia aneh.

"Kamu pasti berpikir aku ini aneh, iya kan?" Ujarnya sambil menghisap minumannya. "Nikmati saja minumanmu. Aku yang bayar koq" imbuhnya.

Aku cuma menatap minuman yang ia berikan. Aku enggan meminumnya. Warnanya seperti darah. Membuatku mual.

"Kamu baru akan menjalani fase pertama, iya kan?" Tanyanya lagi. "Itu fase yang membosankan." Imbuhnya bahkan sebelum kujawab.

Rambut merahnya yang tergerai ia ikat dan gelas minumannya ia jepit di selengkangannya. Padahal ada meja di depannya, tapi ia memilih menaruh gelasnya di sana. Ia tersenyum. Memperlihatkan baris giginya yang rapi dan putih. Ia punya dua taring mungil yang lucu, serta sepasang lesung pipit di pipinya. Senyumnya manis. Untuk senyumannya, sementara akan kuanggap ia manis.

"Umurku 29. Aku lahir tahun 2004, bulan Agustus, tanggal 16. Kalau tidak salah itu hari Rabu, dini hari!" Ujarnya. Ia menaruh minumannya di meja, menghisapnya sambil bertopang dagu pada kedua tangannya.

"Aku belum menikah. Aku juga gak punya kekasih." Ia memainkan minumannya -membuat gelembung dengan meniupkan udara lewat sedotannya. Ia juga menggembungkan pipinya sesekali.

Ia tersenyum,berhenti membuat gelembung di minumannya, lalu melukis seutas senyum. Giginya rapi.

"Kalau kamu tidak punya kekasih atau belum menikah, bisa temani aku ke hotel?" Tanyanya. Ia kembali membuat gelembung di minumannya.

Aku, memilih diam saja.

"Kamu sudah punya kekasih? Apa kamu sudah menikah?" Tanyanya. Ia mengeluakan sebuah kartu, menunjukkannya padaku, lalu melemparkannya padaku. "Aku tidak peduli kamu punya kekasih atau tidak, kamu sudah menikah atau belum! Aku tak peduli!" Nada bicaranya meninggi. Telunjuknya mengarah padaku. "Bawa aku ke sana dan temani aku malam ini!" imbuhnya dengan nada bicara yang semakin tinggi. Ia berjalan mendekat. Kartu itu adalah sebuah kunci kamar hotel.

Ia duduk di sampingku. Satu tangannya mengelus-elus, rambutku, leherku, pipiku, bibirku, dadaku, pahaku, dan selengkanganku bergantian dan berulang-ulang. Ia berbisik di telingaku. Suaranya terdengar halus. Bukan cuma berbisik, ia menjilat daun telingaku juga! Perlahan-perlahan. Desah napasnya ia biarkan terdengar naik turun. Ia semakin kulihat persis pelacur!

"Aku ingin kamu temani malam ini... kamu mau kan?" hanya kata itu yang ia bisikan sejak duduk di sampingku atau "kamu mau kan?"

Tangannya yang mengelus bagian-bagian tubuhku, kini bergelayut di leherku, merayap-rayap naik ke kepalaku dan menarik kepalaku ke pelukannya -dadanya. Ia mengecup dan berbisik di telingaku.

Aku berusaha melepaskan diri darinya, tapi tarikan, pegangan, dan pelukannya lebih kuat dari bayangkanku. Maksudku, tubuhnya dan tangannya yang mungil seharusnya tidak memiliki tenaga yang besar untuk menahanku. Tinggiku 179 centimeter, beratku 75 kilogram, tubuhku berisi dan jelas itu tidak ringan untuk perempuan yang tinggi badannya kutaksir 160 centimeter-an dan beratnya yang paling-paling 45-50 kilogram. Lebih besar lebih kuat, sepertinya hukum alam yang itu tidak sepenuhnya benar.

"Lepaskan!" Pintaku. Aku berusaha menyingkirkan tangannya dari leherku, tapi genggamannya teramat kuat.

"Lepaskan aku, nona!" Pintaku lebih keras.

Ia terkekeh, kemudian berkata, "Aku akan melepaskanmu, tapi kamu harus mau menemaniku malam ini, bagaimana? Tawaranku tidak buruk' kan?"

"Aku tahu itu yang kamu inginkan sejak tadi, tapi maaf aku tidak bisa, sebagai gantinya, akan kucarikan seorang pemuda manis, bagaimana?" Aku mencoba untuk kompromi dengan perempuan aneh ini.

"Kamu mau berkompromi denganku, eh?" Ujarnya seraya terkekeh.

"Iya!" Jawabku sambil berusaha melepaskan tangannya dari leherku.

"Takkan kulepaskan kalau bukan kamu yang menemaniku." bisiknya halus, tetapi terdengar mengancam.

Aku engga tidur dengannya atau sekadar menemaninya di kamar hotel semalaman. Ia perempuan aneh dan tampangnya seperti pelacur!

"Kalau kamu keukeuh tidak mau menemaniku, aku tidak akan melepaskanmu! Lagipula, kamu ini aneh, tampangku 'kan lebih dari biasa-biasa saja, orang lain malah menginginkan tidur denganku, kamu ini aneh!" ujarnya sambil mengelus kepalaku. Ia juga sesekali menciumi rambutku.

Entah perasaanku saja, atau memang benar adanya, sejak ia duduk di sampingku, nyaris semua lelaki di kantin ini memandang ke arahnya. Pandangan mereka nampak seperti pandangan yang menginginkan sesuatu. Namun, saat mereka memandangku, tatapan mereka nampak seolah mau menyingkirkanku dari perempuan ini. Itu pulalah yang membuat penilaian 'aneh' ku padanya semakin bertambah.

"bagaimana? mau tetap begini atau ke hotel?" Tanyanya memastikan.

"kurasa aku tak punya pilihan. baiklah, aku akan ikut ke hotel denganmu." jawabku pasrah. Aku harus meninggalkan 'proses' yang diamanahkan Haji Amir dan pergi ke hotel dengan perempuan menawan yang aneh ini.

Ia segera melepas pegangannya dari leherku. Ia melihatku sejenak, lalu beranjak ke tempat duduk yang di depanku tadi. Ia mengambil tas kecil miliknya, merapikn gaunnya dan melepaskan ikatan rambutnya. Kulihat sebuah tato betuliskan "JULIUS CAESAR" di tengkuknya. Tato itu ditulis dengan huruf model Old English dan semuanya ditulis kapital. Setelah selesai, ia mendekatiku.

"Sudah?" tanyanya sambil melihat isi tasku. "Tidak ada yang istimewa" imbuhnya seraya memegang tanganku dan menuntunku keluar dari kantin, keluar dari Teater Amarah.

"Kamu tidak akan menyesali pilihanmu..." bisiknya, kemudian ia terkekeh.

Aku merasa amat menyesal karena tidak mampu menyelesaikan, bahkan memulai 'proses' yang diamanahkan Haji Amir. Aku harap, dia tidak kehilangan kepercayaannya padaku.

bersambung...
Baca selengkapnya

Rabu, 05 April 2017

Persepsi


Meja berwarna coklat diterangi lampu belajar yang temaram. Di sana ada beberapa alat tulis tua yang tergeletak, nampaknya sudah lama. Lampu belajar tua itu tiangnya berkarat, juga lampunya yang seperti bergetar. Menyala, memang lampu itu masih menyala, tapi tentu tak nyaman untuk digunakan. Kulihat sebuah gambar tergantung miring di sisi meja. Gambar itu pun berdebu. Aku mendekati benda-benda itu.
Benar saja, semuanya berdebu. Aku mengambil buku dan pena tua di meja itu, lalu kutiup keduanya. Astaga! Debunya benar-benar sesuai dugaanku. Tak cukup kutiup, kuusap buku itu beberapa kali sampai nampak gambar seekor anjing putih dan wanita Belanda yang duduk di sampingnya. Tangan wanita Belanda itu tengah mengusap-usap kepala anjingnya. Aku menatap sampul buku itu lekat-lekat. Kucari beberapa tanda yang menjadi identitas buku itu.
“Tentu buku ini terbit sebelum Indonesia merdeka...”, pikirku. Kusimpan kembali buku itu di atas meja. Penanya masih kupegang.
Aku beralih ke gambar miring di sisi kanan meja. Gambar itu jua tak luput dari selimut debu yang amat tebal. Aku mendekat ke gambar itu. Dari bingkainya aku bisa tahu usia gambar itu hampir sama dengan buku tua di atas meja. Pasti lebih tua dariku.
“Akan membutuhkan waktu semalaman untuk membersihkan kamar ini”, gumamku lesu. Rasanya seperti membersihkan segelas tinta hitam di kain putih.
Dengan pundak lemas aku keluar dari kamar itu. Tanganku masih memegang pena tua yang tadi kuambil dari meja. Aku akan mencari Hanna –istriku, dan memintanya membantuku membersihkan kamar itu.
“Hanna...sayang...”, panggilku. Aku menyusuri lorong rumah ini satu persatu, mencari sosok istriku.
Hanna tak menjawab.
Aku tak berpikir macam-macam dengan hal ini, jadi kulanjutkan saja pencarian Hanna ke pekarangan di belakang rumah. Beruntung, di sana kutemukan Hanna tengah menyirami pohon-pohon bonsai milikku.
“Sayang...”, panggilku dan Hanna menoleh. “Kemarilah..aku membutuhkan bantuanmu...”, imbuhku lalu Hanna tersenyum.
Aku menatapnya aneh. Setelah menoleh, ia tidak mendekat sama sekali, ia hanya membalikkan badan dan tersenyum. Tak lama berselang, tangannya melambai-lambai pada sesuatu di atap rumah. Hanna masih tetap tersenyum sampai aku berdiri di hadapannya.
“Sayang? Sayang? Sayang?”, ujarku sambil mengguncang bahunya. Ia berhenti melambai.
Tangannya mengangkat seperti hendak melambai lagi, tapi urung ia lakukan. Kami diam cukup lama sampai ia mengangkat jari telunjuknya sambil tersenyum pada sesuatu di belakangku.
“Sial! Sebenarnya ia tersenyum pada siapa sih!”, gerutuku kesal. Aku berhenti mengguncang-guncang bahunya sambil menoleh sedikit.
Aku tak melihat apapun.
Aku menatap istriku lagi, lalu ia berbisik, “Lihatlah baik-baik, Jean”
“Apa maksudmu, Hanna? Aku sudah menoleh dan tak ada apapun di sana.. ayoo, aku butuh bantuanmu di dalam”, kataku tergesa-gesa. Aneh, bulu kudukku berdiri seketika.
“Menolehlah sekali lagi dan aku akan membantumu di dalam”
“Baiklah”. Aku mengalah. Aku membalikkan tubuhku. Kali ini aku dan Hanna berdiri berdampingan. Rasanya ada sesuatu di belakangku.
Hanna tersenyum, tangannya melambai ke arah sesuatu di atap rumah tua yang baru kami beli ini.
Tiba-tiba suara gesekan daun kering di balik pagar rumah terdengar menggema di gendang telinga. Aku mengedarkan pandangan. Bersiaga bila binatang buas mengarah ke rumah ini.
“Apa yang ingin kau tunjukkan padaku, Hanna?”, bisikku di telinganya sambil tetap menyiagakan pendengaranku.
Gesekan daun-daun kering itu semakin keras dan kencang.
“Wanita itu”, ujar Hanna tiba-tiba.
Aku melihat wanita Belanda di sampul buku itu tengah duduk santai di atap rumahku. Kakinya bergelayutan di genting, dan ia sedang mengusap-usap anjing  putihnya. Pemandangan di mataku saat ini persis sekali dengan sampul buku tua di kamar itu. Apa yang terjadi?
Wanita Belanda itu mengangkat wajahnya yang ayu, lalu ia tersenyum dan melambaikan tangannya pada kami. Ia menggerak-gerakkan mulutnya seolah mengatakan sesuatu. Beberapa kali ia melakukan hal itu. Sampai Hanna kembali bicara, “Sayang, wanita cantik itu memanggil kita ke atas sana...”
“Untuk apa?”, tanyaku.
“Katanya, ia percaya pada kita dan mengundang kita untuk menikmati pemandangan menawan dari atap rumah ini”
“Tidak...tidak..tidak, sayang. Wanita itu...aku melihatnya ada di sampul buku tua di kamar kita. Ia pasti bukan lagi manusia”, jelasku panjang lebar pada Hanna. Kulihat, kutunggu, Hanna menundukkan kepalanya.
Hanna menggeleng pada wanita itu, lalu ia mengatakan beberapa kata halus untuk menolak ajakan wanita itu. Di akhir kalimat ia mengucapkan maaf beberapa kali, lalu tersenyum.
Aku bisa melihat raut geram pada wanita Belanda itu dan anjing putihnya. Ia berdiri di atap rumah kami. Kakinya melayang, begitu pula anjingnya. Wajahnya yang geram berubah seketika menjadi buruk, penuh luka dan bolong di sana sini. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar. Wujudnya berubah. Ia bukan lagi wanita cantik berbaju putih, ia adalah Wanita Hitam menyeramkan.
Selesai berubah, ia melayang ke arah kami. Tangannya yang kotor dengan kuku-kuku panjang mencekik leher kami. Cekikannya kuat sekali. Aku tak mampu bernafas.
“Sial!”, gerutuku. Aku tak mampu melepaskan cekikannya. Aku menoleh pada Hanna, istriku sudah terkulai lemas di tangan wanita ini. Kali ini Wanita Hitam ini mencekikku dengan kedua tangannya. Astaga! Cekikan ini semakin kuat saja.
“Cut! Cukup-cukup... kita break makan siang satu jam”, seru Hakim pada semua kru.

Selesai.
Baca selengkapnya

Selasa, 04 April 2017

Wajah : Bagian 2


Aku melihatnya. Dia duduk sendirian di meja nomor 44, persis seperti yg kukatakan. Aku memang memesan meja itu, tapi bukan atas nama Rizky Pramesti Dewi. Aku memesannya atas nama Rifanisa. Itu namaku dahulu. Aku mengubah namaku menjadi Rizky sejak kelas satu SMP. Ah ya, waktu itu aku diadopsi keluarga Pramesti dan diboyong ke Bandung. Aku memulai kehidupan baruku di kota itu.
Aku masih mengingatnya. Tawanya, teriakannya, wajahnya, bahkan aku masih menyimpan gantungan kunci pemberiannya. Ia tetap sama dengan saat terakhir kali kulihat dua tahun lalu ketika wisuda. Rambutnya gondrong, dibiarkan tergerai. Kumis dan janggutnya tidak nampak, barangkali belum lama ini dibersihkan. Ia memakai sweater coklat, celana jeans abu-abu selutut, dan sandal jepit hijau. Ia terlihat lusuh, bahkan jika dilihat sekilas, kupikir orang-orang akan mengiranya gembel, tapi ini yang benar-benar tidak berubah darinya. Aku menyukainya.
"Kamu lihat apa?" Alisia mengibaskan tangannya di depanku.
"Aku gak lihat apa-apa koq." Ujarku sambil menyedot jus tomat milikku.
"Beneran?" Sejenak, Alisia memberi tatapan yang nampak bertanya-tanya padaku, kemudian Ia mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke permukaan meja, berdiri, menoleh padaku sebentar, tersenyum dan duduk lagi.
"Aku tahu apa yang kamu lihat." Bisiknya, lalu disusul tawa pelan.
"Oke...oke...oke...! Sekarang kita berdiri dulu," Joni mengangkat gelas cola miliknya sambil mengajak yang lain. Ia kelihatan sumringah. "Semoga, user kita terus bertambah dan kinerja kita semakin baik! Selamat buat 12 juta user!" Imbuhnya penuh semangat dan gelas kami pun beradu, bersulang.
Joni sebetulnya ingin bersulang bir atau alkohol, bukannya cola, tapi karena di Indonesia, khususnya di Bandung alkohol tidak dijual secara bebas, makanya kami memutuskan untuk bersulang cola dan jus saja. Lagipula, alkohol buruk untuk tubuh dan dilarang dalam dalam islam, agamanya si kembar Alifia dan Alisia.
Ah, Donatello, perusahaan yang kudirikan bersama Andi, Joni, Alisia dan Alifia 2 tahun lalu, selepas wisuda, kini sudah mulai dewasa. Donatello bersama user-usernya yang tersebar di seluruh dunia akan bertumbuh, barangkali semakin besar, bisa juga mati. Tiada yang tahu. Hanya yang jelas, kelahiran dan pertumbuhan Donatello tidak disertai kehadiran pemilik ide yang sesungguhnya, orang yang memberikan kami mimpi ini ; Rei.
Kami berbincang-bincang santai, makan-makan juga, minum-minum, maen games juga. Kami berlima menikmati waktu ini dengan perasaan yang membuncah di dada. Ah, barangkali kecuali aku. Aku sesekali mencuri pandang ke meja nomor 44. Sekadar memastikan Rei masih di sana, apa yang ia lakukan, apa ia membawa temannya. Sekitar pukul lima sore, acara santai ini selesai.
"Bukannya itu Rei?" Joni menunjuk meja nomor 44 saat kami hendak keluar. Ia mendekati meja itu. Barangkali memastikan bahwa itu benar-benar Rei.
Setelah ia yakin itu Rei, ia melembaikan tangannya, mengajak kami ke sana. Selanjutnya yang terjadi adalah seperti yang sudah diceritakan Rei pada bagian sebelumnya.

***

Aku ingin mengakui diriku sebagai Rifanisa di hadapan Rei sejak bertemu kembali dengannya 7 tahun lalu saat masuk kuliah. Saat itu kami sedang dalam masa orientasi kampus, dan secara tidak sengaja tergabung dalam kelompok mentoring beranggotakan 10 orang. Aku mengenalinya, bahkan nyaris melompat dan memeluknya, tapi saat itu ia menganggapku orang yang belum dikenalnya. Ia memulai dengan sopan, bertanya perihal namaku, asal daerahku, dan jurusan yang kuambil. Ia menggunakan Bahasa Indonesia! Aku pun mengurungkan niatku, dan menunggunya mengenaliku.
Aku sering mengikutinya selama di kampus. Bisa dikatakan, aku seperti bayangannya. Akhir semester dua kuliah, aku mulai dekat denganya (lagi). Aku dikenalkan pada Joni, Andi, Alisia dan Alifia. Keempat orang itu kebetulan satu kosan dengan Rei, dan punya hobbi yang sama ; blogging. Kehidupan kampusku berlanjut sampai lulus, tanpa dikenali Rei sebagai Rifanisa.
Tadi sore aku ingin memberitahunya bahwa aku adalah Rifanisa. Aku sudah menyiapkan diriku, setidaknya 50 persen. Aku akan memberitahunya tanpa basa-basi. Aku ingin mengakui bahwa aku adalah teman bermainnya lima belas tahun lalu. Gadis kecil yang dulu membuat janji dengannya untuk bertemu kembali jika kami terpisah dan hidup bersama sampai tua. Namun pengakuan itu terhalang acara perusahaan yang nyaris kulupakan.
"Kenapa aku sangat ingin ia mengingatku?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku punya alasan yang jelas. Aku juga punya alasan yang bisa disebut klise.
Begini, dua bulan lalu Joni melamarku. Ia sudah membawa keluarganya pada keluargaku dan mengutarakan keinginannya. Ia melakukan lamaran itu, menurutku, secara tiba-tiba, tetapi ia menyangkalnya. Ia mengakui perasaannya padaku malam itu. Ia mengakui perasaannya tumbuh untukku sejak pertama kali Rei memperkenalkanku padanya. Berarti sudah tujuh tahun! Aku belum menjawabnya sampai hari ini. Aku merasa harus mengetahui Rei mengenaliku sebagai Rifanisa atau tidak, apa ia ingat tentang janji yang kami buat lima belas tahun yang lalu, dan bagaimana perasaannya padaku. Aku merasa masih harus memastikan semuanya. Ah, dan satu lagi, aku ingin tahu kenapa ia menghilang begitu saja setelah kelulusan.
Kurasa beberapa alasan yang kusebutkan sudah cukup. Aku tinggal mengakui segalanya, bertanya pada Rei, dan mendapatkan jawaban. Kesiapan diriku sepertinya sudah bertambah, kini 60 persen.

***

"Kamu benar-benar akan mengakuinya besok?" Alisia berbisik padaku sesaat sesudah kami duduk di meja kantin. Ia mulai membuka saus tomat miliknya.
Aku mengangguk sambil mengaduk bubur kacang ketan hitam milikku.
"Betulan yakin?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk sambil menuangkan santan di permukaan bubur, lalu mengaduknya.
"Yakin, yakin, yakin, yakin, yakin?" Sekali lagi ia memastikan.
Aku mulai melahap buburku, tanpa mengangguk atau berkata. Alisia akan tahu jawabanku.
"Yasudah.... semoga berhasil kalau begitu. Persiapkan juga dirimu untuk kemungkinan terburuk." Alisia mulai memakan jatah makan siangnya. Seperti biasa, ia tidak menghiraukan sapaan dari karyawan-karyawan kami.
"Tapi nih, kalo aku boleh berpendapat, kamu mendingan lupain aja bikin si Rei inget sama kamu. Soalnya ya, kamu udah dilamar, tinggal jawab, cowok yang lamar kamu udah kamu kenal baik selama tujuh tahun, pekerjaannya menjanjikan dan kerjanya bareng kamu dan yang terpenting dia sayang banget sama kamu. Kurang apalagi coba?" Ujar Alisia panjang lebar. Ia berhenti makan sejenak. Mengambil pena, merobek secarik kertas, dan menuliskan semua yang ia sebut tadi. Ia membagi dua kertas itu. Satu tertulis nama Rei, satu lagi nama Joni. Ia menyodorkan keduanya padaku.
"Kamu bayangin kalo keduanya proposal investasi, mana yang lebih menjanjikan?" Ia lanjut makan.
Aku melihat dua kertas itu. "Pasti kebanyakan orang pilih proposal yang Joni. Soalnya udah jelas. Proposal yg Rei masih tanda tanya gede, tapi yang tanda tanya gede itu biasanya penuh tantangan dan keuntungan..." aku mengetukkan jari telunjukku pada kertas Rei.
"Pikiran kamu emang kadang-kadang miring ya, Ky." Ucap Alisia seraya meremas kertas-kertas itu, lalu melanjutkan makan.
Aku tahu kalau aku menolak lamaran Joni, yang tersisa untukku hanya ketidakpastian, tapi aku tak bisa membiarkan ketidakpastian itu tetap begitu saja. Aku harus membuatnya jelas. Mengekplorasinya walaupun sedikit, mempelajarinya meski sedikit, sampai setidaknya aku akan mendapat sebuah kejelasan. Aku akan menemuinya dan mengakui segalanya besok.

***

Beberapa saat yang lalu aku menerima sebuah telepon dari si bodoh Rifanisa. Aku membiarkannya menaruh pesannya di mesin penjawab agar aku tidak perlu bicara pada orang yang tak kukenal. Aku akan mendengarkan pesan itu sekarang.
Si Rifanisa itu meminta maaf tidak datang pada pertemuan pertama kami. Ia mengaku menyesal karena ia yang mengajak, ia juga yang mengingkari. Ia mengutarakan keinginannya untuk bertemu sekali lagi, yaitu besok jam tiga sore di Mahendra Cafe, di depan kampus Itenas. Aku tidak mengiyakan permintaannya, tapi aku akan datang besok.
Beberapa saat setelah mendengar suaranya, aku merasa lubang gelap di dalam diriku mendapat setitik cahaya. Aku merasa suara itu akan menuntunku pada sesuatu yang telah lama kulupakan sampai membuat lubang ini terasa semakin gelap dan kosong. Aku mencoba mengingatnya. Kumulai dari nama pemilik suara itu yang sesungguhnya, lalu wajahnya, kebiasaannya, kalimat khasnya, kata kesukaannya, hobinya, apapun yang bisa kuingat! Ternyata ingatanku tentang pemilik suara itu hanya samar-samar. Namu, jauh di dalam hatiku, aku merasa dekat dengannya selama ini. Aku merasakan kehangatan.
Kehangatan dan kedekatan yang kurasakan itu ternyata mulai membuatku takut. Aku takut karena tak bisa mengingatnya dengan jelas, apalagi mengenalinya. Aku takut lubang hitam itu akan semakin menghitam. Aku takut.
Kemudian aku mendapat sebuah pemberitahuan pertemanan di Facebook. Aku membuka pemberitahuan itu, lalu mengkonfirmasinya. Si pemilik akun yang baru saja menambahkanku mengirimiku sebuah pesan basa-basi. Kuacuhkan saja. Lalu kulihat nama si Rifanisa di daftar riwayat percakapan Facebook-ku. Aku tahu apa yang bisa kulakukan!
"Halo... halo, masbro! Masbro ada dimana? Pak sekretaris nyari-nyari dari seminggu yang lalu lho, masbro! Masbro, baik-baik aja kan? Ada yang kerasa lagi apa enggak? Harusnya masbro gak ngilang begitu aja dong... masbro kan harus dirawat..." Sunarta langsung ngomong panjang lebar begitu ponselku aktif. Ia terdengar khawatir
Aku tersenyum sendiri.
"Sudah ngomongnya?" Ujarku. Isak tangis Sunarta dapat kudengar dengan jelas. Kupikir ia sangat mengkhawatirkan keadaanku. "Aku baik-baik saja, Narta. Aku di Bandung sekarang. Bisa tolong lakukan satu hal untukku?"
"Apa, masbro?"
"Aku takkan mengatakannya di telepon. Aku tahu kamu sedang melacakku lewat telepon kan? Dan si bapak sekretaris itu sedang melacakku lewat kamu. Siapkan email-mu yang biasa! Aku akan mengirimkannya sekarang."
"Oke deh. Padahal saya kepingin ngobrol dulu, masbro.." Narta terdengar kecewa, tapi ia nampaknya mengerti aku enggan ditemukan.
"Jika sudah, segera kirimkan hasilnya. Aku akan memberitahumu dimana aku berada." Ujarku sambil memutus sambungan telepon.
Waktu sampai pertemuan besok masih 18 jam.

bersambung...
Baca selengkapnya

Lingga


BAGIAN 1
"Tidak. Ini bukan mimpi. Ini sama sekali bukan mimpi. Ini nyata. Aku bisa merasakan sakitnya cubitan di pipiku. Ini bukan mimpi. Pokoknya ini bukan mimpi!"
Semilir angin pagi ini berbeda. Berhembus lebih lembut dibanding kemarin. Mungkin ini wajar dalam ilmu alam karena musim sebentar lagi akan berganti. Musim kemarau ke musim hujan, musim gugur ke musim semi. Angin pagi ini berhembus tak hanya lembut, ia meniupkan beberapa daun kering kekuningan bersamanya. Melintasi jalanan sepi pagi hari kota Bogor. Berpetualang bersama sang angin, sesekali berhenti tertiup dan diam di sudut tangga sebuah rumah, selokan, sela-sela sapu lidi, jendela, atap rumah atau sekolah. Daun-daun itu tak pernah marah pada sang angin yang meninggalkannya. Meski ia tak berhenti berharap sang angin akan kembali dan membawa daun-daun yang tertinggal untuk berpetualang bersama lagi, mungkin sedikit mengelilingin dunia sampai ia habis tak bersisa.
Daun-daun tumbuh di pohon-pohon. Pucuk, bersemi, daun muda, kemudian pada musim gugur selanjutnya akan berpetualang bersama sang angin karena ia sudah kekuningan. Bisa dibilang hampir mati - kekuningan bahkan hampir coklat kering. Para daun menghabiskan masa muda mereka bergerombol, hidup dalam satu pohon menjaga tunas-tunas baru yang akan tumbuh. Mungkin monoton, namun mereka menikmatinya sepenuh hati. Mereka tak pernah memimpikan petualangan masa muda. Tradisi para daun itu tak mengajarkan untuk berkelana, mencari petualangan di usia yang sangat muda. Tetapi mereka akan berpetualang saat mereka dicampakkan dan hampir mati. Mungkin saja daun-daun itu msnyimpan semangat masa mudanya untuk hari ini, kala waktu mengejar hembusan nafas mereka. Atau jangan-jangan mereka terus semangat sepanjang usia? Bila mereka semangat sepanjang masa, kukira mereka akan mengalahkan manusia andai dapat berbicara.
Sayangnya daun-daun itu tak dapat berbicara sepatah katapun. Mereka bernyanyi. Nyanyian mereka akan semakin merdu di musim kemarau. Itu adalah waktu paling nyaman untuk mengadakan pentas. Bayangkan saja, "Summer Tour" berkeliling ke berbagai kota, bernyanyi, mendaptkan pujian dan juga uang. Tapi para daun itu tetap setia pada panggung orchestra si pohon. Ia mengabdi. mebalas budi si pohon. Bernyanyi sepanjang musim panas, membiarkan setiap orang mendengarnya dengan tenang.
Jangan bertanya mengapa aku mengagumi para daun tua itu. Aku tak tahu. Jangan pula memintaku untuk menilai mereka secara objektif, karena sungguh aku tak rela. Mereka ibarat sekumpulan orang jompo penuh semangat yang berjalan menuju sebuah petualangan besar di depan mata. Mereka menantikannya. Setiap daun menantikannya dan aku yakin itu. Aku mempercayai semangat mereka. Aku mengagumi daun-daun itu.
Mereka indah. Mereka memesona. Mereka menawarkan sebuah kecantikan alami. Aku bisa gila bila setiap hari mencumbu bau daun-daun itu di halaman belakang sekolah. Untungnya aku membuat jadwal. Tidak setiap hari aku datang ke halaman belakang sekolah. Aku mengunjungi mereka pada hari Senin, kamis dan sabtu, karena hanya pada hari-hari itulah aku bisa mendapatkan libur dari les Bahasa Inggris yang didaftarkan ibuku. Aku teringat aku sempat memohon pada salah seorang guru lesku, agar mengizinkanku libur di hari sabtu. Awalnya guru itu menolak dan memaksaku untuk tetap tinggal di tempat les hingga jam pelajaranku usai. Aku mengadu pada ibu sepulang dari sana dan dengan sedikit memohon serta berjanji akhirnya aku diizinkan untuk mendapat jatah libur les selama tiga hari ditambah hari minggu jadi empat.
Hari ini aku kembali ke halaman belakang sekolah. Tempat ini tak pernah berubah, Setidaknya sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, tempat ini masih sama sampai sekarang. Tiga pohon Cemara berdiri di sudur halaman, satu pohon Ceri dengan tegak menjulang berdiri di bagian tengah halaman serta dua pohon yang tak ku kenal tumbuh di ujung halaman. Sedikit sulit untuk digambarkan, namun inilah taman belakang sekolah, taman favoritku.
Aku selalu mendapatkan sebuah ketenangan setiap kali berada di sini. Meski usiaku baru tiga belas tahun, sedikitnya aku mengerti tentang ketenangan. Ketenangan adalah momen berharga ketika seseorang tak dijahili, dianiaya, diejek, diolok-olok oleh teman-teman di sekolahnya karena dianggap autis dan pengkhayal. Aku tak peduli dengan sebutan-sebutan itu. Aku akan tetap dapat hidup tanpa mempedulikannya. Aku tenang sekali. Tak ada yang mengganggu hari ini, sepertinya aku beruntung. Terima kasih Tuhan.
Sejenak kutatap langit hari ini. Cerah berawan. Kurasa mentaro akan menuntun petualangan daun-daun tua itu awal musim gugur ini. Sinar si matahari menerobos celah dedaunan pohon Ceri tanpa permisi. Aku menikmatinya. Ini sering terjadi setiap awal musim gugur. Sensaninya selalu sama, tapi tetap memabukkan.
Kresek...kresek...kresek...
Lamunanku terhenti begitu saja. Suara langkah kaki menginjak daun kering membangunkanku, membawaku dalam kesiagaan. Biasanya Anton si anak jahil akan datang kemari untuk sekadar menjahiliku yang sedang tertidur.
Aku mendudukkan bokongku. Tidak membiarkannya bersantai lagi. Ini waktuku untuk siaga. Anton tak akan menjahiliku jika ia mendapati aku terjaga. Aku menggenggam batu kerikil kecil, bersiap untuk melancarkan serangan kejutan bila orang yang muncul diluar ekspektasiku. Aku menahan nafas sejanak. Genggaman tanganku bersiap terayun.
"Hai...", tiba-tiba seorang gadis berkulit putih berseragam sepertiku keluar dari balik pohon Cemara. Ia tersenyum.
Aku memandanginya dengan seksama. Takut-takut ia hantu halaman belakang yang diceritakan Anton tempo hari.
Seolah membaca isi pikiranku ia berkata, "Apa yang kau pegangi itu? Sepertinya aku mengganggumu?"
Aku memandanginya tanpa berkedip. Jantungku berdekup cepat, bahkan sangat cepat. Jarang sekali aku seperti ini. Apa yang kurasakan? Aku ketakutan? Rasanya tidak mungkin.
"Ah. Tentu saja tidak. Kau ingin bergabung denganku?", tanyaku pada gadis itu. Aku baru melihatnya hari ini jadi wajar saja jika aku tak mengenalinya.
Ia tersenyum ramah. Ini kali pertama kami bertemu dan ia sudah tersenyum padaku sebanyak dua kali. Mengagumkan.
"Gadis ini mengagumkan sekali", pikirku. "Ia bahkan tersenyum pada orang yang baru pertama kali dijumpainya", imbuh pikiranku lagi.
Gadis itu berjalan mendekat.
Aku memandanginya tak henti. Wajahnya begitu damai, ia menikmati hari-harinya di sekolah ini. Berbeda denganku. Aku dapat memastikan itu hanya dengan melihat wajahnya yang terus tersenyum begitu damai.
"Kau sangat menikmati siang harimu di sini?"
Kini gadis itu sudah duduk di sampingku. Aku tak bergeming.
Hening.
"Apa aku mengganggumu? Kau terlihat aneh...", ia kembali membuka pembicaraan sambil menepuk pundakku.
"Eh? Hehe... maaf. Kadang-kadang aku sulit bercakap-cakap dengan orang lain. Terutama dengan seorang perempuan.."
"Kau aneh hahaha...", gelak tawa nyaring terdengar dari kedua bibir mungilnya. Ia tertawa sambil menepuk pundakku berkali-kali. Rasanya semakin aneh.
Aku tak berkata-kata selama ia tertawa. Aku hanya merasa nyaman menatap tawanya.
"Kau tak perlu gugup padaku. Tenang saja, aku takkan melukaimu. Lagi pula kita satu sekolah, dan kulihat kau jarang sekali mengajak orang lain berbicara. Kau hanya duduk di sini, memandangi langit sambil tiduran, bahkan tidak jarang kau tertidur pulas di sini. Apa aku salah?". Tawanya terhenti. Ia mengusap matanya yang berair.
Ia menoleh ke arahku. Mata berwarna coklatnya menatapku lekat. Pupilnya membesar. Ia seperti menahan sesuatu entah apa. Dengan jelas ia menghembuskan nafasnya yang hangat di samping wajahku.
Aku mati langkah. Kulirikkan mataku ke samping. Ia semakin mendekat. Pupilnya semakin membesar.
"Apa yang akan ia lakukan? Aku mati kutu. Sial!!", hatiku menggerutu. Ingin rasanya aku memberontak dan melesat pergi dari sini.
Tapi aku tak bisa.
"Biasakan wajahmu itu dengan kehadiran seorang perempuan! Kulihat wajahmu itu seperti Goblin jika sedang didekati oleh perempuan. Membayangkannya saja aku ingin tertawa sepanjang hari hahaha...", anak perempuan itu kembali tertawa. Ia sama sekali menghilangkan keanggunannya dengan tertawa seperti itu.
Kupikir ia lebih aneh dariku.
"Ahh... i..itu aku tak tahu. Aku belum pernah be-be- berbicara dengan anak perempuan lain sebelumnya... ku-kurasa karena a-aku aneh", Aku selalu seperti ini tiap berhadapan dengan perempuan. Selama ini hanya Ani saja anak perempuan yang pernah berbicara denganku, karena kami bersaudara.
Tawa anak perempuan itu semakin kencang. Ia mengusap-usap perutnya yang kesakitan. Dan tiba-tiba saja, "PLAKK!!". Ia menamparku.
Tamparan apa ini? Kenapa ia menamparku dengan kedua tangannya?
Ia sudah duduk tepat di hadapanku. Kedua telapak tangannya menempel dengan betah di pipiku setelah melancarkan tamparan tiba-tiba.
"Kau benar-benar anak lelaki yang aneh. Kau takut padaku? Atau jangan-jangan kau ini takut pada semua jenis perempuan, ya?", anak perempuan itu menurunkan tangannya. Tatapan matanya masih intens seperti tadi.
Aku tak ingin menjawab pertanyaannya. Dalam hati aku hanya berharap ini mimpi. Terlalu menyeramkan jika nyata. Kenyataan tentang aku yang phobia pada perempuan ini terlalh menakutkan, bagi diriku sendiri.
Aku tak ingin mengakuinya, tapi inilah kenyataan, fakta yang menelanjangi wajah tiga belas tahunku ; aku selalu ketakutan pada perempuan. Tak berbicara adalah salah satu bentuk ketakutanku yang pertama. Karena hal ini pula lah Anton menyebutku aneh.
Pikiranku melayang, sementara si anak perempuan manis itu tengah asyik menjelaskan bagaimana seharusnya mental dan sikap seorang laki-laki jika berhadapan dengan wanita. Seperti dia sudah dewasa saja, padahal aku yakin dia sama sekali tak mengerti semua yang ia ucapkan. Aku hanya membiarkan pikiranku terus melayang, sambil sesekali berdebat dengan bagian lain dalam diriku.
"Hei!!", ia berteriak keras sekali. "Apa kau dengar apa yang kuucapkan barusan? Seharusnya kau berterima kasih padakh atas tips-tips gratisku itu...", imbuhnya. Nada bicara anak perempuan ini lebih tinggi dari ibu.
Aku seperti anak kecil yang mengaku dosa di hadapan ibunya. Menyedihkan.
Beberapa menit berlalu tak mendapatkan eespon dariku, ia bergerak mengguncang kedua pundakku, seolah aku mainannya. Ia mengulangi lagi kalimatnya 'seharusnya aku beryerima kasih padanya' beberapa kalu. Tenaganya luar biasa, tapi ini sungguh menyebalkan.
"Benar-benar menyebalkan sekali. Dia pikir aku siapa? Apa dia pikir aku ini anaknya yang bisa ia marahi seenak perutnya?", gerutu bagian lain dalam diriku sedangkan tubuhku sama sekali tak merespon. Aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong.
Ia berhenti mengguncang tubuhku. Mungkin menyerah, semoga saja.
Sepi. Sang angin berjalan di antara wajah kami. Ia terlihat manis bila diam seperti ini. Kurasa ia lebih manis dibanding Ani.
Aku menatapnya inten. Iris pupil mataku fokus pada gurat di wajahnya. Ia benar-benar lebih manis dibanding Ani.
"A-aku sepertinya b-bermimpi...", gumamku pelan, namun cukup terdengar di telinga anak perempuan itu.
Ia mengangkatnya wajahnya hingga sejajar dengan wajahku, kemudian tertawa terbahak-bahak, "Bwahahaha... hahaha...hahaha...kau lucu sekali. Mana mungkin mimpi di siang hari. Kau ini aneh atau lucu sih sebenarnya? bwahahaha...".
"Sial! Apa yang kau lakukan? Dasar bodoh! Mengatakan hal memalukan itu di hadapannya...", gerutu bagian lain dalam tubuhku. Ia sering memberi saran tapi mempraktekkannya.
Anak perempuan itu ringan tangan saat tertawa. Buktinya ia kembalj menepuk pundakku berkali-kali saat tertawa. Kedua tangannya mengguncang tubuhku sembari ia terus tertawa terbahak-bahak beberapa menit lamanya. Taman ini tak lagi sepi dengan kehadirannya.
Aku memberikannya seulas senyum saat ia tertawa. Lalu kembali ku tarik saat pemilik tawa mulai menatapku serius.
"Tenang saja, ini bukan dunia mimpi. Ini nyata. Sini biar ku cubit", tanpa aba-aba dariku, dia langsung mencubit kedua pipiku begitu keras.
"Eh? Awwww!!!". Spontan aku melepaskan tangannya dari wajahku. Aku mundur beberapa langkah darinya sambil terus mengusap pipiku yang memerah.
"Tidak. Ini bukan mimpi. Ini sama sekali bukan mimpi. Ini nyata. Aku bisa merasakan sakitnya cubitan di pipiku. Ini bukan mimpi. Pokoknya ini bukan mimpi!", gumamku pelan. Aku tak peduli ia menatpaku seperti apa saat ini. Langit, angin dan dedaunan tua sahabatku itu pun mendukungku.
"Sudah kubilang ini bukan mimpi. Kau masih tidak percaya padaku, ya?"
"Bukan begitu maksudku. Maksudku...maksudku...maksudku aku merasa ini seperti khayalan. Aku yang disebut si anak aneh sedang berbixara dengan seorang anak perempuan. Ini sungguh aneh... ma-maafkan aku!"
"Namaku Lingga Hana Lofty. Kau bisa memanggilku Lingga. Salam kenal"
Ia mengabaikan ucapan bertele-tele dariku barusan dan sibuk memperkenalkan dirinya sendiri.  Ia mengulurkan tangannya, bermaksud menjabat tanganku.
Cepat-cepat ku ulurkan tanganku, menyambut jabat tangan yang disodorkan oleh anak perempuan bernama Lingga ini. Ia tersenyum manis seperti pertama muncul dari balik pohon Cemara. Rasanya aku seperti deja vu dengan senyuman itu.
Tiba-tiba aku teringat wajah ibu tengah tersenyum. Mereka punya lesung pipit kembar di pipi, lalu bola mata itu berwarna sama. Ia mengingatkanku pada ibu. Wajah kami bertemu kembali. Pikiranku menjadi rumit seketika, membandingkan wajah Lingga dengan wajah ibuku.
Secara tidak langsung aku telah mengabaikan ajakan perkenalan anak perempuan ini karena terlalu asyik memperhatikan wajahnya.
"Ehemm! Bolehkah aku mengetahui siapa namamu?", ujar Lingga tiba-tiba.
Membuat fondasi-fondasi khayalanku runtuh seketika.
"Eh..ah... Na-namaku Aruna Wijaya. Aku dilahirkan sesaat sebelum adzan subuh dan aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Salam kenal!", Aku Aruna yang grogi terhadap anak perempuan bernama Lingga ini.
"Ehmmmm...ehmm... wahahaha.... kau lucu sekali! hahaha..."
Aku heran kenapa ia doyan sekalu tertawa. Sebenarnya apa yang lucu dariku? Anton selalu memanggilku ANEH, tapi gadis ini sebaliknya.
"Tak perlu dipikirkan. Aku memang sering tertawa. Tenang saja, aku menyukai perkenalan kita. Aku yakin pasti aku akan selalu mengingatnya.", Lingga merapikan posisi duduknya lalu kembali berkata, "sekarang giliranku. Namaku Lingga Purnamasari. Aku dilahirkan di rumah sakit tengah malam, begitulah kata ibuku. Aku putri bungsu dari dua bersaudara dan aku baru satu bulan bersekolah di sini. Aku satu keelas dengan Ani. Salam kenal!"
Ia tersenyum ramah. Senyum itu, mirip sekali dengan senyum ibu.
"Ah ya. Semoga kita dapat berteman baik, ya". Aku membalas senyum ramah Itu sebagaimana mestinya. Aku tak ingin membuatnya kecewa. Bagaimana  pun ini bukanlah mimpi. Kejadian ini takkan terulang dua kali.
"Ya! Aku yakin kita dapat berteman baik!", seru Lingga seraya mengangguk-anggukan kepalanya, mengamini harapanku.
"Hei diriku yang lain! Rasanya ini akan menjadi kisah yang berbeda, bukankah kau juga berpikir demikian?", aku berkata pada sisi lain diriku itu. Dalam hati aku tak henti-hentinya tersenyum membayangkan apa yang baru saja terjadi.
Lingga mengalihkan pandangannya dariku. Ia menatap langit. Beruntung langit siang ini cerah, ia menampakkan keanggunannya begutu saja. Lingga terlihat tenang sekali ketika menatap langit, kedua matanya berubah sayu, kemudian ia membaringkan tubuhnya di tanah. Tidak mempedulikan pakaiannya yang akan kotor. Tanah yang kami duduki saat ini sudah dilapisi rerumputan pendek, sehingga lebih rapi untuk dipandang.
"Awan-awan itu selalu arak-arakan setiap hari. Bersama-sama kemanapun. Apa kau pernah berpikir manusia pun akan mampu menyamai mereka?", ujar Lingga tiba-tiba. Ia melipat kedua tangannya di belakang kepala, menjadikannya sebagai bantalan tidur.
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan..."
"Sulit sekali berbicara hal serius dengan anak selucu kamu. Bicara dengan anak perempuan saja sudah kau anggap sebagai mimpi, apalagi membicarakan hal seperti ini...", Lingga tetap menatap langit. Salah satu tangannya memainkan ujung rambutnya yang tergerai bebas di rerumputan.
"Aku jadi heran, sebenarnya apa yang membuatmu.....", imbuhnya, namun terhenti ketika muncul arak-arakan awan yang serupa dengan kepala kambing. Ia mrngarahkan jari telunjuknya ke langit.
Kami di kaki langit hanya akan melihat arak-arakan awan saja, tanpa bisa menyentuh apalagi memeluknya.
"Lihat! Awan itu mirip sekali dengan kepala kambing 'kan?", serunya dengan semangat. Telunjuk tangan kanannya tetap terarah pada awan kepala kambing itu.
"Yang itu lebih mi-mirip da-daun..", aku menimpali ucapan Lingga.
Ia menolehkan kepalanya ke arahku. Kini ia duduk dengan sempurna.
"Apanya yang mirip daun, hah? Sudah jelas mirip kambing. Aku menyukai awan-awan itu. Bagiku mereka lebih jujur terhadap keadaan. Bila mereka ceria, mereka akan putih dan langit cerah. Bila mereka murung, warna kelabu akan menyelimuti mereka lalu langit menangis"
"Hu-hujan bukan artinya langit sedang menangis. Tapi memang ge-gejala alam ya-yang normal, kok"
"Terserah perutmu saja!"
Aku tak melontarkan kata apapun setelahnya., bahkan sekadar untuk menimpali ucapannya barusan pun tidak. Aku tak ingin ambil pusing dengan hal itu, lagipula diriku yang lain itu sudah mengamini tindakanku. Aku diam saja.
Lingga asyik memainkan ujung-ujung rambutnya sambil memiringkan badannya, memunggungi wajahku. Sayup-sayup terdengar kudengar ia bernyanyi. Lagunya asing, kata dalam liriknya sangat asing di telingaku padahal aku cukup sering mendengarkan lagu dengan berbagai bahasa. Tapi bahasa yang dilantunkan Lingga baru pertama kali kudengar. Aku tak ingin berkomentar. Tentang awan saja ia sudah kubuat marah, apalagi tentang nyanyian ini. Aku hanya takut ia menyangka aku menghina suaranya, meskipun memang nyanyian yang ia lantunkan terdengar menyakitkan dengan suaranya.
Cukup lama Lingga bernyanyi. Mungkin cukup dua atau tiga lagu dalam bahasa yang ku kenal. Tapi rasanya aneh dengan Lingga, ia tak kunjung berhenti menyanyikan lagu itu sejak tadi. Lagi-lagi aku tak berani berkomentar, takut-takut akan membuat hatinya hancur berkeping-keping karena komentarku. Aku membiarkan Lingga menyanyikan lagu anehnya itu dengan asumsi ia sangat menyukai lagu ini dan lagu ini sangat berarti baginya.
Percakapan kami sudah terhenti sekitar dua jam. Selama itu aku asyik merangkai daun-daun tua di atas rumput, membentuknya menjadi inisial namaku dan Lingga. Huruf A dan L berdampingan, seperti aku dan dirinya saat ini. Sejak dua jam lalu pula Lingga tak henti melantunkan untaian-untaian kata dalam lirik lagunya yang aneh di telingaku. Ia menikmati nyanyiannya -aku memastikannya. Ia menutup kedua matanya, semakin menandakan kenikmatan dalam setiap nada yang ia nyanyikan. Selama dua jam ini suaranya semakin halus, semakin enak didengarkan. Aku tak mampu menyangkalnya.
Matahari semakin memperlihatkan kecantikan dan keangkuhannya di peraduan barat. Ia dengan cantiknya merubah warna langit, biru menjadi orange, orange kemudian menjadi hitam kelam. Ia angkuh ; menenggelamkan dirinya sendiri di ujung barat meski banyak mata ingin tetap menyaksikan kecantikannya. Ujung barat selalu kuketahui letaknya berkat bantuan matahari, ia menunjukkan kemana ia akan pergi seperti saat ini. Sudah sore rupanya.
"Sebaiknya aku pulang...", Lingga berdiri lalu merapikan roknya.
Dia benar, ini sudah sore, ayah pasti mencariku bila langit sudah gelap aku belum pulang jua.
Lingga kembali duduk di dekatku. Merapikan tas miliknya yang isinya sudah berhamburan keluar. Kami tetap tak bicara, hanya membisu bersama angin yang semakin kencang berhembus.
"Kau tidak pulang, Aruna? Apa ibumu takkan mencarimu?", Lingga akhirnya membuka pembicaraan.
Aku merasa ia adalah anak perempuan penuh inisiatif, setidaknya di mataku.
"Ah...emmm... tidak, kok. Aku memang selalu pulang sore ke rumah. Biasanya aku pergi ke tempat les, tapi hari ini aku libur dan memilih diam di sini sampai sore. Ayahku pasti belum pulang ke rumah..."
"Begitu rupanya. Baiklah, aku pulang dulu, ya", ujar Lingga. Ia baru saja selesai merapikan tasnya.
"Mau pulang bersamaku?", lanjutnya seraya berdiri, lalu mengulurkan tangan.
"A-Aku... a-aku...a-aku...", seperti biasa, aku gugup.
"Bagaimana? Jangan gugup begitu hanya karena aku perempuan"
"Ba-baiklah. Tunggu aku di gerbang sekolah, ya?"
"Ok". Ia tersenyum lalu beranjak meninggalkanku.
Senyum itu. Siapa pemiliknya selain Lingga?
Aku melihat ia menghilang setelah berbelok. Sejenak kuhempaskan punggungku ke rerumputan ini, berusaha menghirup baunya yang khas, merasakan belaiannya, serta diam membiarkan angin menerjang tubuhku yang kecil. Taman atau bisa juga disebut halaman belakang sekolah ini selalu menghadirkan sensasi yang sama di sore hari dan aku selalu menyukainya. Mungkin aku akan semakin menyukainya bila Lingga selalu menemaniku di sini.
Matahari sudah hampir tenggelam saat aku dan Lingga beranjak dari gerbang sekolah. Ia sempat menggerutu dan menceramahiku karena terlalu lama memberesken isi tasku yang berserakan. Aku jadi ingin tertawa mengingatnya, aku terlalu lama karena tiduran dahulu di rumput itu, tapi aku tak mengatakannya. Tentu aku tak ingin ceramah Lingga semakin panjang berkat kejujuranku. Sebelum pergi, kami menyapa Kang Danang, penjaga sekolah kami, sekadar mengucapkan selamat sore dan ucapan terima kasih karena sudah membiarkan kami berlama-lama di halaman belakang sekolah. Aku menyukai kang Danang, ia begitu baik dan pengertian. Sepintas ia seperti sosok kakak yang selalu kuinginkan.
Kami berjalan berdampingan. Lingga tak pernah berhenti berbicara, ia membahas kegugupanku pada perempuan, kang Danang yang akan segera menikah, rumahnya yang masih berdebu dan hal-hal kecil tak penting lainnya yang menurutku tak perlu dibicarakan. Tapi, inilah Lingga, ia mudah berganti mood dalam waktu yang singkat. Sedetik ia irit bicara, detik berikutnya akan berubah menjadi kereta api ekspres yang tak bisa berhenti, sedetik marah, sedetik kemudian lembut seperti kapas, sedetik tomboy, sedetik kemudian jadi anak manis. Beberapa jam bersamanya membuatku tahu semua itu.
Akhirnya kami tiba di persimpangan jalan yang memisahkan tujuan kami. Ia berhenti melangkah, lalu menoleh ke arahku dan berkata, "Ini persis seperti arak-arakan awan itu. Kita tidak bersama, di sini lah kita berpisah."
Ia terlihat berpikir. Mungkin mencari kata yang tepat.
"Oke, kalau begitu sampai besok. Ingat! Jangan pernah gugup lagi di hadapanku?", serunya seraya berlari mengejar angkutan umum.
Ia urung menaiki angkutan umum itu. Sejenak ia mengibaskan telapak tangannya -memberi tanda pada sopir angkutan umum itu bahwa ia tidak jadi naik. Kemudian menoleh ke arahku.
"Hei Aruna! Tadi itu bukan mimpi! ingat itu, ya!”. Lingga berteriak dengan kencang. Memastikan aku menerima pesannya.
Aku melambaikan tangan, lalu mengangguk. Dalam hati aku masih tidak mempercayai kejadian hari ini ; aku berbicara dengan anak perempuan. Aku menganggukan kepalaku beberapa kali, memberinya tanda aku mengerti.
Lingga tersenyum, lalu membalikkan badannya dan pergi. Hari ini matahari sudah tenggelam dan Lingga pulang dengan berjalan kaki.
“Senyum itu? Apa itu senyum ibu?”, tanyaku. Ia memiliki senyum yang sama seperti ibu.
Baca selengkapnya