Tampilkan postingan dengan label romantis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label romantis. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 April 2017

Gadis Seruling 2


Bagian 2

Gumira sudah menemukan si gadis seruling saat ia baru berada di tengah desa, tepatnya di depan Kantor Desa Bahara. Ia melihat si gadis seruling mengenakan pakaian rapi. Di depannya seorang lelaki muda berwajah bersih berdiri dan kelihatan sedang mengobrol dengan salah seorang pegawai desa. Gumira lantas mengubah arah tujuannya. Ia masuk ke halaman kantor desa, melangkahkan kakinya menuju ke titik terdekat dengan si gadis seruling.

Awalnya Gumira berniat melambaikan tangan sambil memanggil si gadis seruling, tapi ia urungkan. Ia melihat si gadis seruling juga rupanya tengah di tengah percakapan dengan pegawai desa lainnya. Maka ia putuskan untuk menunggu si gadis seruling melihatnya saja, sambil ia duduk di bangku taman di halaman kantor desa. Bingkisan dodol dan manisan yang dibawanya ia taruh di atas bangku. Dalam hatinya, Gumira sudah tidak sabar untuk bercengkrama dengan si gadis seruling. Ia merasa dadanya membuncah dan ingin segera melihat wajah si gadis seruling. Matanya tak pernah ia lepaskan dari sosok yang didambanya.

Tak lama kemudian, si gadis seruling tampak selesai berbincang dengan pegawai desa, begitu pula lelaki muda di depannya. Mereka kelihatan pamit pada pegawai desa itu, lalu berbalik dan undur diri. Mereka meninggalkan halaman kantor desa.

Gumira melambaikan tangannya pada si gadis seruling. Dalam hatinya ia sangat yakin jika gadis seruling itu akan menyadari keberadaannya, tapi yang terjadi justru si gadis seruling itu hanya berjalan lurus, tanpa menghiraukan lambaian dan sapaan yang diberikan Gumira. Gadis itu seperti tidak melihat Gumira sama sekali, padahal hanya ia yang ada di bangku itu, terlebih di halaman desa yang besarnya mungkin cuma 10 x 10 meter saja.

Setelah tak melihat lagi si gadis seruling, Gumira lantas bangkit dari bangku itu. Ia berdiri dan menampar wajahnya sendiri. Ia merasa dirinya harus berpikir positif : mungkin si gadis seruling memang tak melihatnya. Maka dari itu, ia segera mengambil bingkisan dodol dan manisan yang dibawanya dan bergegas pergi meninggalkan halaman kantor desa, menuju sawah dimana ia selalu bertemu dengas si gadis seruling.

Sampai di sawah, ia mendapati gubuk yang biasa menjadi lokasi pertemuan mereka kosong. Hanya sarung dengan motif kotak - kotak dan bantal lusuh yang ada di sana. Gumira tak menghiraukan kondisi itu. Ia bergegas ke sana, duduk bersila kaki, dan menaruh bingkisan yang dibawanya di dekat tiang gubuk. Ia akan menanti kedatangan si gadis seruling. Ia yakin sekali gadis itu akan datang ke sawah hari ini, seperti sebelumnya.

Hingga mentari berjalan ke ujung peraduannya, Gumira tak jua mendapati sosok si gadis seruling. Gubuk dan sawah hanya itu hanya berisi keheningan dan angin. Tanpa sapa apalagi nyanyian seruling yang merdu yang sebelumnya ia dengar. Ia menghela napas sejenak, memandang langit, lalu duduk bersandar ke salah satu tiang gubuk. Ia masih berniat menanti si gadis seruling.

"Sedang apa di sini, kang Gumira?" Sapa seorang warga tatkala Gumira tengah mengusap wajahnya dengan sapu tangan. Warga itu membawa bakul berisi peralatan makan yang kosong dan memakai tudung dari anyaman bambu.

"Sedang nunggu si gadis seruling, bu. Ibu tahu dia dimana? Saya sudah menunggunya dari tadi siang, tapi tidak datang juga, padahal biasanya dia ada di sini." jawab Gumira sambil melipat sapu tangannya.

"Gadis seruling?" Tanya warga desa sembari mengangkat cetoknya sedikit. Peluh dan debu yang mengering menghiasi wajahnya. Gurat wajahnya terlihat lelah.

"Iya." Gumira menunjuk sawah di sekelilingnya, "biasanya dia diam di sini, meniup seruling sambil menarik tali ini." imbuhnya sambil menarik tali yang terhubung dengan boneka sawah dan lonceng kaleng. Seketika, boneka sawah dan lonceng - lonceng itu bergetar, menghasilkan bunyi bising yang mengusir burung - burung.

"ibu tak tahu siapa gadis seruling itu, tapi kalau anak gadis yang suka duduk di sawah ini namanya Widia, putrinya Pak Safri, rumahnya ada di ujung desa." jawab si warga desa sambil tersenyum dan menunjuk ke arah ujung Desa Bahara.

Gumira tidak melihat perumahan di arah yang dituju oleh si warga desa. Ia hanya mendapati hamparan sawah, pohon kelapa dan pohon lainnya yang menggunung. "Dimana bu? Bukannya itu cuma bukit?"

"Di balik bukit itu ada RT 13, di sana batas Desa Bahara dengan Desa Hujungtiwu dan Desa Panjalu, rumah Widia ada di sana, Kang Gumira." Si ibu menjelaskan dengan sabar.

Mendengar informasi yang begitu jelas itu, Gumira lantas berterima kasih pada si warga desa. Ia segera menggunakan sandalnya, dan bergegas berlari meninggalkan gubuk itu. Ia tidak sabar ingin bertemu, berbincang dan mendengar kembali nyanyian seruling Widia yang merdu.

Dalam perjalanannya menuju RT 13, Gumira tidak menghiraukan sapaan beberapa orang warga desa berpakaian rapi yang mengenalnya. Ia hanya berlari dan terus berlari menuju salah satu rumah di RT 13, rumah Widia. Ia ingin segera bertemu dengan dara itu. Dadanya terasa menggebu, dan napasnya menderu.

Sampai di puncak bukit, Gumira melihat perkampungan kecil di bawahnya. Hatinya terasa lega. Ia segera berjalan menuruni bukit itu, melewati jalanan dan orang - orang berpakaian rapi. Wajahnya hanya tertuju pada rumah pertama yang ia dapati di muka kampung. Rumah itu ramai oleh orang - orang berpakaian rapi. Mereka berkumpul di sekitarnya, membawa bakul, menenteng bingkisan yang di bungkus dengan plastik hitam. Para lelaki yang hadir di sana asyik berbincang sambil menghisap rokok kretek dan meneguk kopi hitam panas. Gumira berniat menanyakan lokasi rumah pak Safri pada salah satu dari orang - orang itu.

Sebelum bertanya, Gumira terlebih dahulu menghentikan langkahnya. Ia merapikan pakaiannya, rambutnya, celananya dan bingkisannya. Ia juga mengatur napasnya yang memburu, dan degup jantungnya yang menggebu. Ia menenangkan dirinya sembari memerhatikan beberapa orang dari kerumunan itu. Ia tengah memilah pada siapa ia akan menanyakan perihal rumah pak Safri tadi.

Setelah napas dan jantungnya tenang, juga pakaiannya nyaris kembali rapi seperti sedia kala, ia mulai mendekati kerumunan itu. Ia sudah memutuskan untuk bertanya pada seorang hansip berpakaian lengkap yang duduk di dekat pohon jambu. Hansip itu sedang menikmati sepiring pisang goreng yang baru saja diantarkan padanya.

"Punten, pak, bisa saya bertanya?" Tanyanya.

Si hansip menoleh sambil mengunyah potongan goreng pisang di dalam mulutnya. Ia mengangguk.

"Kalau rumah pak Safri di mana ya? Katanya ada di RT 13..." Gumira melanjutkan ucapannya.

Si hansip terlihat sedang menghabiskan kunyahannya untuk bisa bicara, tapi jari telunjuknya sudah lebih dulu mengarah ke rumah yang sejak awal sudah dilihat Gumira. Rumah yang dikerubungi banyak orang berpakaian rapi.

"Ini rumahnya, kang." tutur si hansip setelah selesai menelan isi mulutnya.

Gumira mengucapkan terima kasih pada hansip itu, tapi ia merasa heran dengan kerumunan ini. Tanpa maksud untuk kembali mengganggu acara makan pisang si hansip, Gumira bertanya sekali lagi, "ini ramai - ramai ada acara apa ya, pak?"

"Oh ini acara empat bulanannya neng Widia. Mangga ke dalam saja, kang. Akang temennya neng Widia sama Kang Rudi kan?" Hansip itu mempersilakan Gumira masuk ke dalam rumah.

Mendengar berita itu, Gumira serasa dirinya disambar petir di siang bolong. Ia merasa berat untuk melangkah. Kakinya yang tadi ia gunakan berlari, kini terasa seperti pasak yang menancap ke tanah. Tangannya yang memegang sapu tangan meremasnya begitu keras. Peluh dingin mengalir membasahi punggungnya, merembes ke kemeja yang ia kenakan. Betisnya bergetar, begitu pula pahanya. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kabar seperti ini.

Gumira berusaha keras mengendalikan dirinya. Ia tidak ingin berbuat yang tidak - tidak di acara keluarga orang lain, apalagi ini adalah momen bahagia bagi gadis seruling yang ia puja itu. Ia berusaha melangkahkan kakinya ke depan, tapi sulit. Akhirnya ia berjalan mundur setelah berusaha berkali - kali. Ia merasa tak sanggup melihat gadis seruling pujaannya itu telah menjadi milik orang lain.

"Mau kemana, kang Gumira? Bukannya tadi akang menanyakan rumah pak neng Widia?" ujar seseorang di belakang Gumira. Sosok itu menahan langkah mundur Gumira. Ia adalah warga desa yang tadi menemui Gumira di gubuk sawah si gadis seruling.

"Akang temennya neng Widia kan? Ayo kita masuk sama - sama saja..." ajak warga desa itu seraya menarik tangan Gumira. Ia terlihat membawa bakul yang ditutupi kain batik bermotif awan mega mendung.

Gumira ikut begitu saja ke dalam rumah si gadis seruling. Ia tak kuasa menolak. Tubuhnya terasa lemas, seperti tanpa tulang belulang yang menjadi penopang. Ia berusaha mengontrol ekspresi wajahnya, meski keringat dingin terus mengalir di dahinya. Ia merasa gelisah dan takut. Terlebih, ia merasa enggan untuk melihat lelaki yang menjadi pujaan dari gadis pujaannya. Ia tak bisa menerima itu.

"Kang Gumira..."

Gumira mendengar suara milik si gadis seruling. Suara yang merdu nan menawan. Ia rindu mendengar suara itu akhir - akhir ini.

"Kang Gumira, terima kasih sudah datang..." ujar si gadis seruling. Ia tersenyum pada Gumira. Lesung pipinya nampak seketika. Wajahnya yang oval, berhiaskan mata coklat, hidung mancung dan pipi yang kemerahan membuat sosok si gadis seruling terlihat memesona dalam pandangan Gumira. Si gadis seruling menerima bingkisan yang disodorkan Gumira dengan senang hati, lalu mempersilakannya menyantap hidangan. Di sisi si gadis seruling, tampak sosok pemuda yang tadi dilihat Gumira di kantor desa.

Pemuda itu memiliki perawakan yang tinggi, sekitar 170 cm. Kulitnya warna kuning langsat. Tubuhnya cukup berisi dan urat - urat tangannya terlihat kencang. Wajahnya oval, dengan hidung yang mancung, mata biru dan pipi yang bersih. Wajahnya memiliki kemiripan dengan si gadis seruling. Lalu rambutnya lurus dan diikat ke belakang. Pemuda itu tidak berkumis dan berjanggut. Ia mengenakan kemeja coklat muda dan celana hitam. Tampilan yang sederhana dan tampak bersahaja. Ia juga kelihatan ramah pada setiap orang yang datang, tak henti menyulam seulas senyum, mengiringi senyuman yang dilontarkan si gadis seruling.

Gumira duduk bersila kaki di dalam rumah. Di sampingnya warga desa yang tadi membawanya masuk juga duduk. Ia mulai menyentuh kue basah yang disajikan di piring - piring, sementara Gumira masih memandang lekat - lekat pada pemuda yang berdiri di samping si gadis seruling. Hatinya berdegup kencang. Dadanya panas. Tangannya terkepal. Ia merasa cemburu pada lelaki itu. Jika ia bisa, ia ingin merebut posisi itu sekarang juga.

"Ini bajigurnya, kang diminum dulu, nanti keburu dingin mah kurang enak..." ujar warga desa itu. Ia menyodorkan segelas bajigur yang masih mengepulkan asapnya pada Gumira. Ia mengetahui Gumira terus memandangi sosok pemuda di samping neng Widia. Ia tersenyum simpul. Senyum yang sulit untuk diterjemahkan.

"itu adiknya neng Widia, kang." si warga desa itu berujar sambil mengupas pisang, lalu melahapnya. Ia melirik Gumira lewat sudut matanya. Ia tersenyum simpul. "Suaminya bekerja di pelayaran. Pulangnya setahun dua kali kalau dapat libur, kalau tidak, pulangnya bisa setahun sekali, itu pun cuma 5 - 6 hari." imbuhnya sambil tetap melirik Gumira yang duduk di sampingnya.

Mendengar perkataan si warga desa, Gumira merasa hawa panas di dalam dadanya mereda, sedikit. Ia menghela napasnya. Pandangannya pada pemuda itu pun mulai mengendur, tidak setajam beberapa saat yang lalu. Dalam hati ia sedikit bersyukur bahwa pemuda itu adalah adik si gadis seruling.

Si warga desa tersenyum simpul lagi. Ia tampak menikmati emosi Gumira. Ia menebak bahwa Gumira menaruh hati pada neng Widia, tapi belum tahu jika gadis yang dipujanya itu sudah menikah dan sedang hamil. Ia mungkin akan sedikit menggodanya setelah acara ini selesai.

Setelah merasa cukup mengarahkan pandangannya pada pemuda di samping si gadis seruling, Gumira mulai meneguk bajigurnya. Ia mengambil goreng pisang lalu melahapnya. Perutnya sudah minta diisi sejak siang tadi. Ia memang masih tidak terima jika si gadis pujaannya telah dipersunting orang lain, tapi ia berpikir bisa melupakannya sejenak. Lagipula, lelaki itu sedang tidak ada di sini sekarang.

Waktu berlalu dan acara syukuran empat bulanan kehamilan Widia selesai. Semua tamu yang diundang pulang ke rumah mereka selepas sholat isya berjamaah. Sedangkan Gumira masih ada di sekitar sana. Ia ingin melihat si gadis seruling untuk kali terakhir hari itu. Ia berdiri tak jauh dari rumah Widia, bersama si warga desa.

Tak lama kemudian, Widia keluar dari rumahnya ditemani adiknya. Ia membawa nampan kosong dan mulai menaruh piring - piring kotor ke atasnya. Ia belum menyadari keberadaan Gumira.

"Hei..." Gumira menyapa Widia. Ia berjalan mendekat.

Si gadis seruling pun menoleh. Ia mendapati Gumira berdiri tepat di hadapannya. Ia menaruh nampan itu, lalu berkata, "iya, kang?"

"Kenapa tidak cerita soal ini? Kamu berniat membodohiku?" Gumira tak tahan untuk tidak melontarkan pertanyaan itu. Niat awal Gumira memang hanya ingin melihat wajah si gadis seruling untuk kali terakhir, tapi setelah melihatnya, ia tak tahan untuk tidak bicara dengannya. Namun, bukannya perkataan halus yang keluar, malah pertanyaan kasar seperti itu yang berhasil ia lontarkan. Dalam hatinya, Gumira mengutuk dirinya sendiri.

Si gadis seruling tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya, lalu berucap halus, "aku tidak berniat membodohi kang Gumira, hanya saja kukira akang sudah tahu aku sudah menikah karena akang kelihatannya cukup akrab dengan beberapa pedagang di pasar. Aku tahu soal akang dari bapak. Katanya akang pedagang sayur terbaik yang pernah datang ke Desa Bahara."

"Mana aku tahu kamu sudah menikah kalau kamu sendiri tidak menceritakannya, neng!" Gumira tidak sadar jika nada ucapannya meninggi.

"Maafkan aku, kang. Aku benar - benar tidak berniat membodohi akang."

"Ah, masa bodoh, neng! Aku jatuh hati padamu dan pada nyanyian serulingmu... aku tidak bisa menerima fakta ini."

Widia hanya diam. Ia tampaknya memikirkan perkataan yang tepat untuk menimpali pernyataan Gumira barusan.

"kamu mencintai suamimu?"

Widia memandang Gumira lekat - lekat ketika mendengar pertanyaan itu. Ia dengan pasti dan penuh keyakinan menjawab begini, "aku mencintainya dengan segenap hatiku, kang. Meskipun kami jarang bertemu, tapi aku tetap meyakini bahwa ia adalah lelaki terbaik untukku, imam yang akan menuntunku dalam gelap dan terang, pelita yang bisa kujunjung tatkala aku tersesat."

Gumira merasa dirinya disambar petir untuk kali kedua hari itu. Bulu kuduknya berdiri, keringat dingin membasahi punggung kemejanya. Hatinya menggebu, napasnya memburu. Ia merasa tubuhnya terbakar setelah mendengar kalimat terakhir. Ia mengepalkan tangannya, mengencangkan urat di wajahnya. Ia menatap Widia dengan segenap keyakinannya dan berkata, "benarkah?"

Widia mengangguk. "Selama beberapa waktu belakangan, aku berterima kasih akang mau menemaniku di sawah. Itu adalah sawah yang dibeli suamiku sewaktu ia pulang beberapa bulan lalu. Sawah dan gubuk itu menghubungkanku dengannya. Berkat akang, suasana di gubuk itu tidak sunyi. Aku bisa tahu pikiran akang, dan akang bisa menikmati nyanyian serulingku. Sebelum ini, hanya suamiku yang menikmatinya. Terima kasih, kang."

gumira mengepalkan tangannya di dalam saku celananya. Ia merasa tubuhnya makin terbakar hawa cemburu dan amarah. Ia ingin melampiaskan hal ini, tapi tidak pada gadis pujaannya. Bagaimanapun, ini salahnya sendiri tidak memastikan identitas sebenarnya si gadis seruling. Ia juga salah karena sudah seenaknya jatuh hati pada si gadis seruling. Ia mengumpulkan tenaganya, memandang lurus pada mata si gadis seruling.

"Kalau begitu, aku harap kamu dan bayimu sehat, neng." tuturnya. Ia lantas berbalik dan meninggalkan rumah itu. Ia sudah mengucapkan apa yang ingin diucapkannya.

"akang suka pada neng Widia?" Tanya si warga desa yang sejak tadi mengikuti Gumira. Ia berjalan di samping Gumira sambil berusaha menyelaraskan langkahnya dengan langkah pedagang sayur itu.

Gumira hanya diam. Namun ini membuat si warga desa yang belum diketahui namanya itu tahu kalau Gumira benar - benar menyukai Widia. Ia tersenyum sambil melirik Gumira.

"Kenapa tidak direbut saja, kang?" tanyanya. Pertanyaan yang membuat langkah Gumira terhenti sejenak sambil memandang tajam padanya.


bersambung...
Baca selengkapnya

Minggu, 09 April 2017

Gadis Seruling



Ini kisah tentang seorang lelaki yang mendedikasikan hidupnya untuk mencatat kehidupan seorang gadis ditemuinya. Ia bernama Gumira. Lelaki ini, entah ditinjau dari segi apapun, ia tak memiliki kelebihan. Tubuhnya kurus, matanya besar, rambutnya keriting-keras, hidungnya pesek, berkulit gelap dan tingginya tak lebih dari 150 sentimeter. Di sekolah, lelaki ini duduk di ranking ke-20 dari dua puluh siswa di kelasnya. Dalam olahraga, ia tak menyenangi hal ini, meski sedikit. Baiklah! Aku akan memulai kisahnya dari sebuah desa di Kabupaten Ciamis: Desa Bahara.

Gumira mengunjungi Desa Bahara untuk keperluan berdagang sayuran. Ia baru memulai usaha ini dua bulan lalu dan belum mendapatkan untung yang besar. Ia belum putus harapan. Hari ini ia mendatangi beberapa pedagang sayur di pasar kecil Desa Bahara, menawari mereka sayuran yang dibawanya, bernegosiasi dengan mereka, menerima penolakan mereka sebab sayur yang dibawanya berharga terlalu mahal atau sudah layu. Penolakan-penolakan yang diterimanya tak lain dari proses yang dianggapnya sebagai proses kedua dari kehidupan. Proses pertama adalah penerimaan, lalu penolakan.

Penerimaan dia dapatkan saat ia dilahirkan delapan belas tahun yang lalu. Ibunya, menerimanya sebagai anak tunggal yang sakit-sakitan semasa kecil. Beranjak sampai usia dua belas tahun, kala duduk di kelas dua sekolah menengah, ia menerima kepergian ibunya. Ibunya meninggal karena penyakit Leukimia yang dideritanya tak terobati. Lagi, ia telah menerima kehilangan ayahnya sejak sebelum ia dilahirkan. Ia belum pernah bertemu ayahnya, kecuali saat berziarah, itupun sebatas nisan dan gundukan tanah. Sedangkan penolakan, ia dapatkan di hari-hari selepas sekolah menengah pertamanya selesai. Ia mulai melakukan perdagangan kecil, lalu menerima penolakan di mana-mana. Ia enggan berputus asa. Ia pikir, andai ia putus asa, perutnya akan menjadi anak tiri yang dienggani kehadiranya: tak diberi makan. Ia yakin, kedua proses itu selalu ada. Habis diterima di A, ia akan ditolak di B. Ada garis perbedaan antara keduanya, yang tipis.

Ia melanjutkan perjalanannya ke dalam desa. Menyusuri rumah-rumah sederhana di desa yang di kelilingi bukit ini membuat penolakan yang baru saja diterimanya di pasar terlupakan. Ia menghirup bau sawah dan ladang yang menenangkan, menyaksikan dapur-dapur yang mengepulkan asap mereka, anak-anak kecil berlarian di sepulang sekolah, lapangan dengan rumputnya yang tinggi, dan kabut yang kembali turun ke daratan. Surya lenyap di balik kerumunan awan di cakrawala. Bersembunyi. Ia belum ingin mencari tempat berteduh meski kelihatannya sebentar lagi hujan turun.

Ia mendengar alunan seruling yang menenangkan di salah satu saung di tengah sawah. Ia berhenti melangkah, menaruh pegangan gerobaknya ke tanah, lalu berdiri di pematang sawah. Ia ingin mendengar seruling itu bernyanyi lebih jelas. Kakinya kembali meniti jalan, nyanyian seruling makin jelas terdengar, ia berhenti sejenak, memerhatikan titiannya. Setelah ia dapati titiannya kokoh, ia melanjutkannya. Namun seruling yang ia rasa merdu itu membisu. Ia melihat seorang gadis menoleh ke arahnya, menampakkan mimic terganggu. Tak lama, gadis itu membereskan kotak makanannya dan berjalan pergi. Lelaki itu menyaksikan kepergian nyanyian seruling dengan perasaan hampa. Ia berujar di dalam hatinya, “Barangkali aku akan mendengarnya lagi besok.”

Ia berteduh di pos ronda Dusun Karanganyar. Hujan deras memaksanya. Ia tak bisa apa-apa, selain duduk sambil memandangi sayur-sayurnya yang mulai layu. Ia mengambil lobak, mencium baunya, memakannya. Lidahnya seolah memberitahunya bahwa lobak itu takkan memberikan rasa apapun bagi dirinya, apalagi bagi orang lain. Ia menaruh Lobaknya ke dalam keranjang sambil mencecap, seolah ia membuang rasa yang didapatnya dari daun Lobak tadi. Ia memandang sayuran-sayuran itu tanpa rasa. Dirinya menolak menjual sayuran-sayuran itu lagi besok.

Hujan malam itu terus turun, meski kecil. Genangan air kecoklatan hadir di jalanan berlubang, aliran sungai makin deras, daun talas seolah enggan basah dengan menjatuhkan air yang bertengger di pucuk kepalanya, rumah-rumah menyimpan kehangatannya di balik pintu dan jendela yang tertutup rapat. Gumira memeluk dirinya sendiri di pos ronda. Bulu kuduknya berdiri berbaris, tubuhnya menggigil. Ia menyelimuti badannya dengan sebuah sarung yang dibawanya tadi pagi, tapi dingin tetap menyusup masuk ke dalam dagingnya. Gumira membayangkan rumahnya yang hangat dan menyenangkan baginya saat ini. Namun bayangannya tentang rumahnya lenyap kala ia ingin mendengar dendang nyanyian seruling yang ditiup oleh gadis yang dilihatnya di sawah tadi sore. Gumira merasa dirinya merindukan nyanyian itu.

Gumira telah membuang semua sayurannya ke salah satu sumur burung. Ia berharap sayurannya dapat menjadi pupuk, atau paling tidak tetap menjaga kesuburan tanah. Gumira berjalan tegak di depan gerobak sayurnya yang kosong. Ia lupa tentang keinginannya mendengar nyanyian seruling itu. Ia berjalan lurus, melewati beberapa rumah yang dapurnya mulai berasap. Anak-anak kecil riang gembira berlari melewatinya seolah ia tak berjalan di jalanan desa itu. Gumira memang orang asing di desa itu. Itulah sebab banyak orang bertanya tentang apa yang ia lakukan semalam di desa ini, dan siapa dirinya. Masyarakat desa Bahara tertutup kepada seorang asing yang datang tanpa alasan jelas seperti Gumira. Beberapa dari mereka menyapa Gumira, tapi tidak berhenti untuk mengobrol dengannya. Sapaan mereka sebatas mengakrabi seorang asing.

Tiba di area pesawahan, Gumira kembali mendengar nyanyian seruling yang ia rindukan. Ia mengedarkan pandangannya ke sawah, mendapati sebuah saung dan seorang gadis tengah meniup seruling di sana. Kakinya meniti jalan seperti kemarin. Melangkah tanpa henti. Gumira merasa terhipnotis oleh nyanyian seruling itu.

“Merdu sekali.” ujar Gumira membuka percakapn dengan si gadis peniup seruling. “Aku merasa terhipnotis oleh nyanyian serulingmu.”

“Seruling menghadirkan ketenangan. Aku menyanyikannya untuk Nyai Pohaci dan berharap sawah milik abah ini akan menghasilkan padi yang bagus.” Si gadis bertutur dengan halus sambil memegangi serulingnya.

“Nyanyikanlah. Aku ingin mendengarnya, lagi.” Gumira meminta gadis itu untuk kembali meniup serulingnya. Ia duduk di sisi gadis itu. Sawah yang menghampar hijau di hadapannya menambah ketenangan yang hadir di dalam dirinya. Ia merasa jatuh berada di dunia yang tak ia kenal. Dunia yang menyembunyikan segala penolakan, menampilkan segala penerimaan.

Hari itu, lama Gumira duduk bersama si gadis. Ia menceritakan maksud kedatangannya ke desa Bahara. Mereka, selanjutnya saling bertukar cerita. Gumira bicara tentang perdagangannya, prinsip penerimaan-penolakan yang dipercayainya, dan sayuran-sayurannya yang telah ia buang di sebuah sumur burung. Sedangkan si gadis, ia tak begitu banyak bicara selain cerita tentang sebatas sawah milik abahnya, seruling, Nyai Pohaci dan harapannya tentang panen yang menguntungkan. Mereka berpisah saat langit masih menyajikan cahaya jingganya.

Minggu-minggu berikutnya Gumira datang dan pulang dengan segenap kegembiraan di dalam hatinya. Ia menjual habis sayurannya di pasar dan warung-warung di desa Bahara. Ia bertemu si gadis dan ikut meniup seruling bersamanya di sawah yang perlahan mulai menguning. Setiap pulang, ia selalu sempat merasakan sesak yang menyakitkan di dadanya, tapi menghadirkan sensasi yang ingin ia ulangi lagi dan lagi. Ia berpikir, barangkali dirinya telah jatuh hati bukan hanya pada permainan seruling si gadis, tapi pada si gadis pula.

Gumira selesai berkeliling dan menjual ¾ sayurannya saat surya mencapai garis tengah bumi. Ia kini duduk di saung di sawah si gadis, menanti kedatangannya. Ia membawa sebungkus dodol yang dibelinya di Garut kemarin. Ia ingin memakan manisan itu bersama si gadis. Gumira telah merubah posisi duduknya beberapa kali. Ia memerhatikan gerak mentari yang condong ke barat, bayangannya yang memanjang, dan mendengar nyaring suara jangkrik. Hingga bayangannya menyatu dengan langit malam, si gadis tak kunjung hadir di sisinya, bahkan nyanyian serulingnya pun tidak. Gumira akhirnya pulang dengan harapan dapat kembali bertemu si gadis di hari-hari mendatang dari kehidupan mereka.

Minggu berikutnya, Gumira sengaja datang tanpa membawa gerobak sayurnya. Ia menenteng dua kantung plastik berisi dodol dan manisan yang kemarin dibelinya di kota. Di pasar dan jalanan desa Bahara yang kecil, orang yang mulai mengenalnya silih berganti menyapa dan bertanya; mengapa ia tak berjualan hari ini, atau siapa yang hendak ia kunjungi. Gumira hanya menjawab pertanyaan pertama. Sedangkan untuk yang kedua, ia tutup mulut. Raut berseri di wajah Gumira tak bisa ia sembunyikan. Ia merasa senang akan bertemu si gadis seruling.
bersambung...
Baca selengkapnya

Selasa, 04 April 2017

Wajah : Bagian 2


Aku melihatnya. Dia duduk sendirian di meja nomor 44, persis seperti yg kukatakan. Aku memang memesan meja itu, tapi bukan atas nama Rizky Pramesti Dewi. Aku memesannya atas nama Rifanisa. Itu namaku dahulu. Aku mengubah namaku menjadi Rizky sejak kelas satu SMP. Ah ya, waktu itu aku diadopsi keluarga Pramesti dan diboyong ke Bandung. Aku memulai kehidupan baruku di kota itu.
Aku masih mengingatnya. Tawanya, teriakannya, wajahnya, bahkan aku masih menyimpan gantungan kunci pemberiannya. Ia tetap sama dengan saat terakhir kali kulihat dua tahun lalu ketika wisuda. Rambutnya gondrong, dibiarkan tergerai. Kumis dan janggutnya tidak nampak, barangkali belum lama ini dibersihkan. Ia memakai sweater coklat, celana jeans abu-abu selutut, dan sandal jepit hijau. Ia terlihat lusuh, bahkan jika dilihat sekilas, kupikir orang-orang akan mengiranya gembel, tapi ini yang benar-benar tidak berubah darinya. Aku menyukainya.
"Kamu lihat apa?" Alisia mengibaskan tangannya di depanku.
"Aku gak lihat apa-apa koq." Ujarku sambil menyedot jus tomat milikku.
"Beneran?" Sejenak, Alisia memberi tatapan yang nampak bertanya-tanya padaku, kemudian Ia mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke permukaan meja, berdiri, menoleh padaku sebentar, tersenyum dan duduk lagi.
"Aku tahu apa yang kamu lihat." Bisiknya, lalu disusul tawa pelan.
"Oke...oke...oke...! Sekarang kita berdiri dulu," Joni mengangkat gelas cola miliknya sambil mengajak yang lain. Ia kelihatan sumringah. "Semoga, user kita terus bertambah dan kinerja kita semakin baik! Selamat buat 12 juta user!" Imbuhnya penuh semangat dan gelas kami pun beradu, bersulang.
Joni sebetulnya ingin bersulang bir atau alkohol, bukannya cola, tapi karena di Indonesia, khususnya di Bandung alkohol tidak dijual secara bebas, makanya kami memutuskan untuk bersulang cola dan jus saja. Lagipula, alkohol buruk untuk tubuh dan dilarang dalam dalam islam, agamanya si kembar Alifia dan Alisia.
Ah, Donatello, perusahaan yang kudirikan bersama Andi, Joni, Alisia dan Alifia 2 tahun lalu, selepas wisuda, kini sudah mulai dewasa. Donatello bersama user-usernya yang tersebar di seluruh dunia akan bertumbuh, barangkali semakin besar, bisa juga mati. Tiada yang tahu. Hanya yang jelas, kelahiran dan pertumbuhan Donatello tidak disertai kehadiran pemilik ide yang sesungguhnya, orang yang memberikan kami mimpi ini ; Rei.
Kami berbincang-bincang santai, makan-makan juga, minum-minum, maen games juga. Kami berlima menikmati waktu ini dengan perasaan yang membuncah di dada. Ah, barangkali kecuali aku. Aku sesekali mencuri pandang ke meja nomor 44. Sekadar memastikan Rei masih di sana, apa yang ia lakukan, apa ia membawa temannya. Sekitar pukul lima sore, acara santai ini selesai.
"Bukannya itu Rei?" Joni menunjuk meja nomor 44 saat kami hendak keluar. Ia mendekati meja itu. Barangkali memastikan bahwa itu benar-benar Rei.
Setelah ia yakin itu Rei, ia melembaikan tangannya, mengajak kami ke sana. Selanjutnya yang terjadi adalah seperti yang sudah diceritakan Rei pada bagian sebelumnya.

***

Aku ingin mengakui diriku sebagai Rifanisa di hadapan Rei sejak bertemu kembali dengannya 7 tahun lalu saat masuk kuliah. Saat itu kami sedang dalam masa orientasi kampus, dan secara tidak sengaja tergabung dalam kelompok mentoring beranggotakan 10 orang. Aku mengenalinya, bahkan nyaris melompat dan memeluknya, tapi saat itu ia menganggapku orang yang belum dikenalnya. Ia memulai dengan sopan, bertanya perihal namaku, asal daerahku, dan jurusan yang kuambil. Ia menggunakan Bahasa Indonesia! Aku pun mengurungkan niatku, dan menunggunya mengenaliku.
Aku sering mengikutinya selama di kampus. Bisa dikatakan, aku seperti bayangannya. Akhir semester dua kuliah, aku mulai dekat denganya (lagi). Aku dikenalkan pada Joni, Andi, Alisia dan Alifia. Keempat orang itu kebetulan satu kosan dengan Rei, dan punya hobbi yang sama ; blogging. Kehidupan kampusku berlanjut sampai lulus, tanpa dikenali Rei sebagai Rifanisa.
Tadi sore aku ingin memberitahunya bahwa aku adalah Rifanisa. Aku sudah menyiapkan diriku, setidaknya 50 persen. Aku akan memberitahunya tanpa basa-basi. Aku ingin mengakui bahwa aku adalah teman bermainnya lima belas tahun lalu. Gadis kecil yang dulu membuat janji dengannya untuk bertemu kembali jika kami terpisah dan hidup bersama sampai tua. Namun pengakuan itu terhalang acara perusahaan yang nyaris kulupakan.
"Kenapa aku sangat ingin ia mengingatku?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku punya alasan yang jelas. Aku juga punya alasan yang bisa disebut klise.
Begini, dua bulan lalu Joni melamarku. Ia sudah membawa keluarganya pada keluargaku dan mengutarakan keinginannya. Ia melakukan lamaran itu, menurutku, secara tiba-tiba, tetapi ia menyangkalnya. Ia mengakui perasaannya padaku malam itu. Ia mengakui perasaannya tumbuh untukku sejak pertama kali Rei memperkenalkanku padanya. Berarti sudah tujuh tahun! Aku belum menjawabnya sampai hari ini. Aku merasa harus mengetahui Rei mengenaliku sebagai Rifanisa atau tidak, apa ia ingat tentang janji yang kami buat lima belas tahun yang lalu, dan bagaimana perasaannya padaku. Aku merasa masih harus memastikan semuanya. Ah, dan satu lagi, aku ingin tahu kenapa ia menghilang begitu saja setelah kelulusan.
Kurasa beberapa alasan yang kusebutkan sudah cukup. Aku tinggal mengakui segalanya, bertanya pada Rei, dan mendapatkan jawaban. Kesiapan diriku sepertinya sudah bertambah, kini 60 persen.

***

"Kamu benar-benar akan mengakuinya besok?" Alisia berbisik padaku sesaat sesudah kami duduk di meja kantin. Ia mulai membuka saus tomat miliknya.
Aku mengangguk sambil mengaduk bubur kacang ketan hitam milikku.
"Betulan yakin?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk sambil menuangkan santan di permukaan bubur, lalu mengaduknya.
"Yakin, yakin, yakin, yakin, yakin?" Sekali lagi ia memastikan.
Aku mulai melahap buburku, tanpa mengangguk atau berkata. Alisia akan tahu jawabanku.
"Yasudah.... semoga berhasil kalau begitu. Persiapkan juga dirimu untuk kemungkinan terburuk." Alisia mulai memakan jatah makan siangnya. Seperti biasa, ia tidak menghiraukan sapaan dari karyawan-karyawan kami.
"Tapi nih, kalo aku boleh berpendapat, kamu mendingan lupain aja bikin si Rei inget sama kamu. Soalnya ya, kamu udah dilamar, tinggal jawab, cowok yang lamar kamu udah kamu kenal baik selama tujuh tahun, pekerjaannya menjanjikan dan kerjanya bareng kamu dan yang terpenting dia sayang banget sama kamu. Kurang apalagi coba?" Ujar Alisia panjang lebar. Ia berhenti makan sejenak. Mengambil pena, merobek secarik kertas, dan menuliskan semua yang ia sebut tadi. Ia membagi dua kertas itu. Satu tertulis nama Rei, satu lagi nama Joni. Ia menyodorkan keduanya padaku.
"Kamu bayangin kalo keduanya proposal investasi, mana yang lebih menjanjikan?" Ia lanjut makan.
Aku melihat dua kertas itu. "Pasti kebanyakan orang pilih proposal yang Joni. Soalnya udah jelas. Proposal yg Rei masih tanda tanya gede, tapi yang tanda tanya gede itu biasanya penuh tantangan dan keuntungan..." aku mengetukkan jari telunjukku pada kertas Rei.
"Pikiran kamu emang kadang-kadang miring ya, Ky." Ucap Alisia seraya meremas kertas-kertas itu, lalu melanjutkan makan.
Aku tahu kalau aku menolak lamaran Joni, yang tersisa untukku hanya ketidakpastian, tapi aku tak bisa membiarkan ketidakpastian itu tetap begitu saja. Aku harus membuatnya jelas. Mengekplorasinya walaupun sedikit, mempelajarinya meski sedikit, sampai setidaknya aku akan mendapat sebuah kejelasan. Aku akan menemuinya dan mengakui segalanya besok.

***

Beberapa saat yang lalu aku menerima sebuah telepon dari si bodoh Rifanisa. Aku membiarkannya menaruh pesannya di mesin penjawab agar aku tidak perlu bicara pada orang yang tak kukenal. Aku akan mendengarkan pesan itu sekarang.
Si Rifanisa itu meminta maaf tidak datang pada pertemuan pertama kami. Ia mengaku menyesal karena ia yang mengajak, ia juga yang mengingkari. Ia mengutarakan keinginannya untuk bertemu sekali lagi, yaitu besok jam tiga sore di Mahendra Cafe, di depan kampus Itenas. Aku tidak mengiyakan permintaannya, tapi aku akan datang besok.
Beberapa saat setelah mendengar suaranya, aku merasa lubang gelap di dalam diriku mendapat setitik cahaya. Aku merasa suara itu akan menuntunku pada sesuatu yang telah lama kulupakan sampai membuat lubang ini terasa semakin gelap dan kosong. Aku mencoba mengingatnya. Kumulai dari nama pemilik suara itu yang sesungguhnya, lalu wajahnya, kebiasaannya, kalimat khasnya, kata kesukaannya, hobinya, apapun yang bisa kuingat! Ternyata ingatanku tentang pemilik suara itu hanya samar-samar. Namu, jauh di dalam hatiku, aku merasa dekat dengannya selama ini. Aku merasakan kehangatan.
Kehangatan dan kedekatan yang kurasakan itu ternyata mulai membuatku takut. Aku takut karena tak bisa mengingatnya dengan jelas, apalagi mengenalinya. Aku takut lubang hitam itu akan semakin menghitam. Aku takut.
Kemudian aku mendapat sebuah pemberitahuan pertemanan di Facebook. Aku membuka pemberitahuan itu, lalu mengkonfirmasinya. Si pemilik akun yang baru saja menambahkanku mengirimiku sebuah pesan basa-basi. Kuacuhkan saja. Lalu kulihat nama si Rifanisa di daftar riwayat percakapan Facebook-ku. Aku tahu apa yang bisa kulakukan!
"Halo... halo, masbro! Masbro ada dimana? Pak sekretaris nyari-nyari dari seminggu yang lalu lho, masbro! Masbro, baik-baik aja kan? Ada yang kerasa lagi apa enggak? Harusnya masbro gak ngilang begitu aja dong... masbro kan harus dirawat..." Sunarta langsung ngomong panjang lebar begitu ponselku aktif. Ia terdengar khawatir
Aku tersenyum sendiri.
"Sudah ngomongnya?" Ujarku. Isak tangis Sunarta dapat kudengar dengan jelas. Kupikir ia sangat mengkhawatirkan keadaanku. "Aku baik-baik saja, Narta. Aku di Bandung sekarang. Bisa tolong lakukan satu hal untukku?"
"Apa, masbro?"
"Aku takkan mengatakannya di telepon. Aku tahu kamu sedang melacakku lewat telepon kan? Dan si bapak sekretaris itu sedang melacakku lewat kamu. Siapkan email-mu yang biasa! Aku akan mengirimkannya sekarang."
"Oke deh. Padahal saya kepingin ngobrol dulu, masbro.." Narta terdengar kecewa, tapi ia nampaknya mengerti aku enggan ditemukan.
"Jika sudah, segera kirimkan hasilnya. Aku akan memberitahumu dimana aku berada." Ujarku sambil memutus sambungan telepon.
Waktu sampai pertemuan besok masih 18 jam.

bersambung...
Baca selengkapnya

Lingga


BAGIAN 1
"Tidak. Ini bukan mimpi. Ini sama sekali bukan mimpi. Ini nyata. Aku bisa merasakan sakitnya cubitan di pipiku. Ini bukan mimpi. Pokoknya ini bukan mimpi!"
Semilir angin pagi ini berbeda. Berhembus lebih lembut dibanding kemarin. Mungkin ini wajar dalam ilmu alam karena musim sebentar lagi akan berganti. Musim kemarau ke musim hujan, musim gugur ke musim semi. Angin pagi ini berhembus tak hanya lembut, ia meniupkan beberapa daun kering kekuningan bersamanya. Melintasi jalanan sepi pagi hari kota Bogor. Berpetualang bersama sang angin, sesekali berhenti tertiup dan diam di sudut tangga sebuah rumah, selokan, sela-sela sapu lidi, jendela, atap rumah atau sekolah. Daun-daun itu tak pernah marah pada sang angin yang meninggalkannya. Meski ia tak berhenti berharap sang angin akan kembali dan membawa daun-daun yang tertinggal untuk berpetualang bersama lagi, mungkin sedikit mengelilingin dunia sampai ia habis tak bersisa.
Daun-daun tumbuh di pohon-pohon. Pucuk, bersemi, daun muda, kemudian pada musim gugur selanjutnya akan berpetualang bersama sang angin karena ia sudah kekuningan. Bisa dibilang hampir mati - kekuningan bahkan hampir coklat kering. Para daun menghabiskan masa muda mereka bergerombol, hidup dalam satu pohon menjaga tunas-tunas baru yang akan tumbuh. Mungkin monoton, namun mereka menikmatinya sepenuh hati. Mereka tak pernah memimpikan petualangan masa muda. Tradisi para daun itu tak mengajarkan untuk berkelana, mencari petualangan di usia yang sangat muda. Tetapi mereka akan berpetualang saat mereka dicampakkan dan hampir mati. Mungkin saja daun-daun itu msnyimpan semangat masa mudanya untuk hari ini, kala waktu mengejar hembusan nafas mereka. Atau jangan-jangan mereka terus semangat sepanjang usia? Bila mereka semangat sepanjang masa, kukira mereka akan mengalahkan manusia andai dapat berbicara.
Sayangnya daun-daun itu tak dapat berbicara sepatah katapun. Mereka bernyanyi. Nyanyian mereka akan semakin merdu di musim kemarau. Itu adalah waktu paling nyaman untuk mengadakan pentas. Bayangkan saja, "Summer Tour" berkeliling ke berbagai kota, bernyanyi, mendaptkan pujian dan juga uang. Tapi para daun itu tetap setia pada panggung orchestra si pohon. Ia mengabdi. mebalas budi si pohon. Bernyanyi sepanjang musim panas, membiarkan setiap orang mendengarnya dengan tenang.
Jangan bertanya mengapa aku mengagumi para daun tua itu. Aku tak tahu. Jangan pula memintaku untuk menilai mereka secara objektif, karena sungguh aku tak rela. Mereka ibarat sekumpulan orang jompo penuh semangat yang berjalan menuju sebuah petualangan besar di depan mata. Mereka menantikannya. Setiap daun menantikannya dan aku yakin itu. Aku mempercayai semangat mereka. Aku mengagumi daun-daun itu.
Mereka indah. Mereka memesona. Mereka menawarkan sebuah kecantikan alami. Aku bisa gila bila setiap hari mencumbu bau daun-daun itu di halaman belakang sekolah. Untungnya aku membuat jadwal. Tidak setiap hari aku datang ke halaman belakang sekolah. Aku mengunjungi mereka pada hari Senin, kamis dan sabtu, karena hanya pada hari-hari itulah aku bisa mendapatkan libur dari les Bahasa Inggris yang didaftarkan ibuku. Aku teringat aku sempat memohon pada salah seorang guru lesku, agar mengizinkanku libur di hari sabtu. Awalnya guru itu menolak dan memaksaku untuk tetap tinggal di tempat les hingga jam pelajaranku usai. Aku mengadu pada ibu sepulang dari sana dan dengan sedikit memohon serta berjanji akhirnya aku diizinkan untuk mendapat jatah libur les selama tiga hari ditambah hari minggu jadi empat.
Hari ini aku kembali ke halaman belakang sekolah. Tempat ini tak pernah berubah, Setidaknya sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, tempat ini masih sama sampai sekarang. Tiga pohon Cemara berdiri di sudur halaman, satu pohon Ceri dengan tegak menjulang berdiri di bagian tengah halaman serta dua pohon yang tak ku kenal tumbuh di ujung halaman. Sedikit sulit untuk digambarkan, namun inilah taman belakang sekolah, taman favoritku.
Aku selalu mendapatkan sebuah ketenangan setiap kali berada di sini. Meski usiaku baru tiga belas tahun, sedikitnya aku mengerti tentang ketenangan. Ketenangan adalah momen berharga ketika seseorang tak dijahili, dianiaya, diejek, diolok-olok oleh teman-teman di sekolahnya karena dianggap autis dan pengkhayal. Aku tak peduli dengan sebutan-sebutan itu. Aku akan tetap dapat hidup tanpa mempedulikannya. Aku tenang sekali. Tak ada yang mengganggu hari ini, sepertinya aku beruntung. Terima kasih Tuhan.
Sejenak kutatap langit hari ini. Cerah berawan. Kurasa mentaro akan menuntun petualangan daun-daun tua itu awal musim gugur ini. Sinar si matahari menerobos celah dedaunan pohon Ceri tanpa permisi. Aku menikmatinya. Ini sering terjadi setiap awal musim gugur. Sensaninya selalu sama, tapi tetap memabukkan.
Kresek...kresek...kresek...
Lamunanku terhenti begitu saja. Suara langkah kaki menginjak daun kering membangunkanku, membawaku dalam kesiagaan. Biasanya Anton si anak jahil akan datang kemari untuk sekadar menjahiliku yang sedang tertidur.
Aku mendudukkan bokongku. Tidak membiarkannya bersantai lagi. Ini waktuku untuk siaga. Anton tak akan menjahiliku jika ia mendapati aku terjaga. Aku menggenggam batu kerikil kecil, bersiap untuk melancarkan serangan kejutan bila orang yang muncul diluar ekspektasiku. Aku menahan nafas sejanak. Genggaman tanganku bersiap terayun.
"Hai...", tiba-tiba seorang gadis berkulit putih berseragam sepertiku keluar dari balik pohon Cemara. Ia tersenyum.
Aku memandanginya dengan seksama. Takut-takut ia hantu halaman belakang yang diceritakan Anton tempo hari.
Seolah membaca isi pikiranku ia berkata, "Apa yang kau pegangi itu? Sepertinya aku mengganggumu?"
Aku memandanginya tanpa berkedip. Jantungku berdekup cepat, bahkan sangat cepat. Jarang sekali aku seperti ini. Apa yang kurasakan? Aku ketakutan? Rasanya tidak mungkin.
"Ah. Tentu saja tidak. Kau ingin bergabung denganku?", tanyaku pada gadis itu. Aku baru melihatnya hari ini jadi wajar saja jika aku tak mengenalinya.
Ia tersenyum ramah. Ini kali pertama kami bertemu dan ia sudah tersenyum padaku sebanyak dua kali. Mengagumkan.
"Gadis ini mengagumkan sekali", pikirku. "Ia bahkan tersenyum pada orang yang baru pertama kali dijumpainya", imbuh pikiranku lagi.
Gadis itu berjalan mendekat.
Aku memandanginya tak henti. Wajahnya begitu damai, ia menikmati hari-harinya di sekolah ini. Berbeda denganku. Aku dapat memastikan itu hanya dengan melihat wajahnya yang terus tersenyum begitu damai.
"Kau sangat menikmati siang harimu di sini?"
Kini gadis itu sudah duduk di sampingku. Aku tak bergeming.
Hening.
"Apa aku mengganggumu? Kau terlihat aneh...", ia kembali membuka pembicaraan sambil menepuk pundakku.
"Eh? Hehe... maaf. Kadang-kadang aku sulit bercakap-cakap dengan orang lain. Terutama dengan seorang perempuan.."
"Kau aneh hahaha...", gelak tawa nyaring terdengar dari kedua bibir mungilnya. Ia tertawa sambil menepuk pundakku berkali-kali. Rasanya semakin aneh.
Aku tak berkata-kata selama ia tertawa. Aku hanya merasa nyaman menatap tawanya.
"Kau tak perlu gugup padaku. Tenang saja, aku takkan melukaimu. Lagi pula kita satu sekolah, dan kulihat kau jarang sekali mengajak orang lain berbicara. Kau hanya duduk di sini, memandangi langit sambil tiduran, bahkan tidak jarang kau tertidur pulas di sini. Apa aku salah?". Tawanya terhenti. Ia mengusap matanya yang berair.
Ia menoleh ke arahku. Mata berwarna coklatnya menatapku lekat. Pupilnya membesar. Ia seperti menahan sesuatu entah apa. Dengan jelas ia menghembuskan nafasnya yang hangat di samping wajahku.
Aku mati langkah. Kulirikkan mataku ke samping. Ia semakin mendekat. Pupilnya semakin membesar.
"Apa yang akan ia lakukan? Aku mati kutu. Sial!!", hatiku menggerutu. Ingin rasanya aku memberontak dan melesat pergi dari sini.
Tapi aku tak bisa.
"Biasakan wajahmu itu dengan kehadiran seorang perempuan! Kulihat wajahmu itu seperti Goblin jika sedang didekati oleh perempuan. Membayangkannya saja aku ingin tertawa sepanjang hari hahaha...", anak perempuan itu kembali tertawa. Ia sama sekali menghilangkan keanggunannya dengan tertawa seperti itu.
Kupikir ia lebih aneh dariku.
"Ahh... i..itu aku tak tahu. Aku belum pernah be-be- berbicara dengan anak perempuan lain sebelumnya... ku-kurasa karena a-aku aneh", Aku selalu seperti ini tiap berhadapan dengan perempuan. Selama ini hanya Ani saja anak perempuan yang pernah berbicara denganku, karena kami bersaudara.
Tawa anak perempuan itu semakin kencang. Ia mengusap-usap perutnya yang kesakitan. Dan tiba-tiba saja, "PLAKK!!". Ia menamparku.
Tamparan apa ini? Kenapa ia menamparku dengan kedua tangannya?
Ia sudah duduk tepat di hadapanku. Kedua telapak tangannya menempel dengan betah di pipiku setelah melancarkan tamparan tiba-tiba.
"Kau benar-benar anak lelaki yang aneh. Kau takut padaku? Atau jangan-jangan kau ini takut pada semua jenis perempuan, ya?", anak perempuan itu menurunkan tangannya. Tatapan matanya masih intens seperti tadi.
Aku tak ingin menjawab pertanyaannya. Dalam hati aku hanya berharap ini mimpi. Terlalu menyeramkan jika nyata. Kenyataan tentang aku yang phobia pada perempuan ini terlalh menakutkan, bagi diriku sendiri.
Aku tak ingin mengakuinya, tapi inilah kenyataan, fakta yang menelanjangi wajah tiga belas tahunku ; aku selalu ketakutan pada perempuan. Tak berbicara adalah salah satu bentuk ketakutanku yang pertama. Karena hal ini pula lah Anton menyebutku aneh.
Pikiranku melayang, sementara si anak perempuan manis itu tengah asyik menjelaskan bagaimana seharusnya mental dan sikap seorang laki-laki jika berhadapan dengan wanita. Seperti dia sudah dewasa saja, padahal aku yakin dia sama sekali tak mengerti semua yang ia ucapkan. Aku hanya membiarkan pikiranku terus melayang, sambil sesekali berdebat dengan bagian lain dalam diriku.
"Hei!!", ia berteriak keras sekali. "Apa kau dengar apa yang kuucapkan barusan? Seharusnya kau berterima kasih padakh atas tips-tips gratisku itu...", imbuhnya. Nada bicara anak perempuan ini lebih tinggi dari ibu.
Aku seperti anak kecil yang mengaku dosa di hadapan ibunya. Menyedihkan.
Beberapa menit berlalu tak mendapatkan eespon dariku, ia bergerak mengguncang kedua pundakku, seolah aku mainannya. Ia mengulangi lagi kalimatnya 'seharusnya aku beryerima kasih padanya' beberapa kalu. Tenaganya luar biasa, tapi ini sungguh menyebalkan.
"Benar-benar menyebalkan sekali. Dia pikir aku siapa? Apa dia pikir aku ini anaknya yang bisa ia marahi seenak perutnya?", gerutu bagian lain dalam diriku sedangkan tubuhku sama sekali tak merespon. Aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong.
Ia berhenti mengguncang tubuhku. Mungkin menyerah, semoga saja.
Sepi. Sang angin berjalan di antara wajah kami. Ia terlihat manis bila diam seperti ini. Kurasa ia lebih manis dibanding Ani.
Aku menatapnya inten. Iris pupil mataku fokus pada gurat di wajahnya. Ia benar-benar lebih manis dibanding Ani.
"A-aku sepertinya b-bermimpi...", gumamku pelan, namun cukup terdengar di telinga anak perempuan itu.
Ia mengangkatnya wajahnya hingga sejajar dengan wajahku, kemudian tertawa terbahak-bahak, "Bwahahaha... hahaha...hahaha...kau lucu sekali. Mana mungkin mimpi di siang hari. Kau ini aneh atau lucu sih sebenarnya? bwahahaha...".
"Sial! Apa yang kau lakukan? Dasar bodoh! Mengatakan hal memalukan itu di hadapannya...", gerutu bagian lain dalam tubuhku. Ia sering memberi saran tapi mempraktekkannya.
Anak perempuan itu ringan tangan saat tertawa. Buktinya ia kembalj menepuk pundakku berkali-kali saat tertawa. Kedua tangannya mengguncang tubuhku sembari ia terus tertawa terbahak-bahak beberapa menit lamanya. Taman ini tak lagi sepi dengan kehadirannya.
Aku memberikannya seulas senyum saat ia tertawa. Lalu kembali ku tarik saat pemilik tawa mulai menatapku serius.
"Tenang saja, ini bukan dunia mimpi. Ini nyata. Sini biar ku cubit", tanpa aba-aba dariku, dia langsung mencubit kedua pipiku begitu keras.
"Eh? Awwww!!!". Spontan aku melepaskan tangannya dari wajahku. Aku mundur beberapa langkah darinya sambil terus mengusap pipiku yang memerah.
"Tidak. Ini bukan mimpi. Ini sama sekali bukan mimpi. Ini nyata. Aku bisa merasakan sakitnya cubitan di pipiku. Ini bukan mimpi. Pokoknya ini bukan mimpi!", gumamku pelan. Aku tak peduli ia menatpaku seperti apa saat ini. Langit, angin dan dedaunan tua sahabatku itu pun mendukungku.
"Sudah kubilang ini bukan mimpi. Kau masih tidak percaya padaku, ya?"
"Bukan begitu maksudku. Maksudku...maksudku...maksudku aku merasa ini seperti khayalan. Aku yang disebut si anak aneh sedang berbixara dengan seorang anak perempuan. Ini sungguh aneh... ma-maafkan aku!"
"Namaku Lingga Hana Lofty. Kau bisa memanggilku Lingga. Salam kenal"
Ia mengabaikan ucapan bertele-tele dariku barusan dan sibuk memperkenalkan dirinya sendiri.  Ia mengulurkan tangannya, bermaksud menjabat tanganku.
Cepat-cepat ku ulurkan tanganku, menyambut jabat tangan yang disodorkan oleh anak perempuan bernama Lingga ini. Ia tersenyum manis seperti pertama muncul dari balik pohon Cemara. Rasanya aku seperti deja vu dengan senyuman itu.
Tiba-tiba aku teringat wajah ibu tengah tersenyum. Mereka punya lesung pipit kembar di pipi, lalu bola mata itu berwarna sama. Ia mengingatkanku pada ibu. Wajah kami bertemu kembali. Pikiranku menjadi rumit seketika, membandingkan wajah Lingga dengan wajah ibuku.
Secara tidak langsung aku telah mengabaikan ajakan perkenalan anak perempuan ini karena terlalu asyik memperhatikan wajahnya.
"Ehemm! Bolehkah aku mengetahui siapa namamu?", ujar Lingga tiba-tiba.
Membuat fondasi-fondasi khayalanku runtuh seketika.
"Eh..ah... Na-namaku Aruna Wijaya. Aku dilahirkan sesaat sebelum adzan subuh dan aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Salam kenal!", Aku Aruna yang grogi terhadap anak perempuan bernama Lingga ini.
"Ehmmmm...ehmm... wahahaha.... kau lucu sekali! hahaha..."
Aku heran kenapa ia doyan sekalu tertawa. Sebenarnya apa yang lucu dariku? Anton selalu memanggilku ANEH, tapi gadis ini sebaliknya.
"Tak perlu dipikirkan. Aku memang sering tertawa. Tenang saja, aku menyukai perkenalan kita. Aku yakin pasti aku akan selalu mengingatnya.", Lingga merapikan posisi duduknya lalu kembali berkata, "sekarang giliranku. Namaku Lingga Purnamasari. Aku dilahirkan di rumah sakit tengah malam, begitulah kata ibuku. Aku putri bungsu dari dua bersaudara dan aku baru satu bulan bersekolah di sini. Aku satu keelas dengan Ani. Salam kenal!"
Ia tersenyum ramah. Senyum itu, mirip sekali dengan senyum ibu.
"Ah ya. Semoga kita dapat berteman baik, ya". Aku membalas senyum ramah Itu sebagaimana mestinya. Aku tak ingin membuatnya kecewa. Bagaimana  pun ini bukanlah mimpi. Kejadian ini takkan terulang dua kali.
"Ya! Aku yakin kita dapat berteman baik!", seru Lingga seraya mengangguk-anggukan kepalanya, mengamini harapanku.
"Hei diriku yang lain! Rasanya ini akan menjadi kisah yang berbeda, bukankah kau juga berpikir demikian?", aku berkata pada sisi lain diriku itu. Dalam hati aku tak henti-hentinya tersenyum membayangkan apa yang baru saja terjadi.
Lingga mengalihkan pandangannya dariku. Ia menatap langit. Beruntung langit siang ini cerah, ia menampakkan keanggunannya begutu saja. Lingga terlihat tenang sekali ketika menatap langit, kedua matanya berubah sayu, kemudian ia membaringkan tubuhnya di tanah. Tidak mempedulikan pakaiannya yang akan kotor. Tanah yang kami duduki saat ini sudah dilapisi rerumputan pendek, sehingga lebih rapi untuk dipandang.
"Awan-awan itu selalu arak-arakan setiap hari. Bersama-sama kemanapun. Apa kau pernah berpikir manusia pun akan mampu menyamai mereka?", ujar Lingga tiba-tiba. Ia melipat kedua tangannya di belakang kepala, menjadikannya sebagai bantalan tidur.
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan..."
"Sulit sekali berbicara hal serius dengan anak selucu kamu. Bicara dengan anak perempuan saja sudah kau anggap sebagai mimpi, apalagi membicarakan hal seperti ini...", Lingga tetap menatap langit. Salah satu tangannya memainkan ujung rambutnya yang tergerai bebas di rerumputan.
"Aku jadi heran, sebenarnya apa yang membuatmu.....", imbuhnya, namun terhenti ketika muncul arak-arakan awan yang serupa dengan kepala kambing. Ia mrngarahkan jari telunjuknya ke langit.
Kami di kaki langit hanya akan melihat arak-arakan awan saja, tanpa bisa menyentuh apalagi memeluknya.
"Lihat! Awan itu mirip sekali dengan kepala kambing 'kan?", serunya dengan semangat. Telunjuk tangan kanannya tetap terarah pada awan kepala kambing itu.
"Yang itu lebih mi-mirip da-daun..", aku menimpali ucapan Lingga.
Ia menolehkan kepalanya ke arahku. Kini ia duduk dengan sempurna.
"Apanya yang mirip daun, hah? Sudah jelas mirip kambing. Aku menyukai awan-awan itu. Bagiku mereka lebih jujur terhadap keadaan. Bila mereka ceria, mereka akan putih dan langit cerah. Bila mereka murung, warna kelabu akan menyelimuti mereka lalu langit menangis"
"Hu-hujan bukan artinya langit sedang menangis. Tapi memang ge-gejala alam ya-yang normal, kok"
"Terserah perutmu saja!"
Aku tak melontarkan kata apapun setelahnya., bahkan sekadar untuk menimpali ucapannya barusan pun tidak. Aku tak ingin ambil pusing dengan hal itu, lagipula diriku yang lain itu sudah mengamini tindakanku. Aku diam saja.
Lingga asyik memainkan ujung-ujung rambutnya sambil memiringkan badannya, memunggungi wajahku. Sayup-sayup terdengar kudengar ia bernyanyi. Lagunya asing, kata dalam liriknya sangat asing di telingaku padahal aku cukup sering mendengarkan lagu dengan berbagai bahasa. Tapi bahasa yang dilantunkan Lingga baru pertama kali kudengar. Aku tak ingin berkomentar. Tentang awan saja ia sudah kubuat marah, apalagi tentang nyanyian ini. Aku hanya takut ia menyangka aku menghina suaranya, meskipun memang nyanyian yang ia lantunkan terdengar menyakitkan dengan suaranya.
Cukup lama Lingga bernyanyi. Mungkin cukup dua atau tiga lagu dalam bahasa yang ku kenal. Tapi rasanya aneh dengan Lingga, ia tak kunjung berhenti menyanyikan lagu itu sejak tadi. Lagi-lagi aku tak berani berkomentar, takut-takut akan membuat hatinya hancur berkeping-keping karena komentarku. Aku membiarkan Lingga menyanyikan lagu anehnya itu dengan asumsi ia sangat menyukai lagu ini dan lagu ini sangat berarti baginya.
Percakapan kami sudah terhenti sekitar dua jam. Selama itu aku asyik merangkai daun-daun tua di atas rumput, membentuknya menjadi inisial namaku dan Lingga. Huruf A dan L berdampingan, seperti aku dan dirinya saat ini. Sejak dua jam lalu pula Lingga tak henti melantunkan untaian-untaian kata dalam lirik lagunya yang aneh di telingaku. Ia menikmati nyanyiannya -aku memastikannya. Ia menutup kedua matanya, semakin menandakan kenikmatan dalam setiap nada yang ia nyanyikan. Selama dua jam ini suaranya semakin halus, semakin enak didengarkan. Aku tak mampu menyangkalnya.
Matahari semakin memperlihatkan kecantikan dan keangkuhannya di peraduan barat. Ia dengan cantiknya merubah warna langit, biru menjadi orange, orange kemudian menjadi hitam kelam. Ia angkuh ; menenggelamkan dirinya sendiri di ujung barat meski banyak mata ingin tetap menyaksikan kecantikannya. Ujung barat selalu kuketahui letaknya berkat bantuan matahari, ia menunjukkan kemana ia akan pergi seperti saat ini. Sudah sore rupanya.
"Sebaiknya aku pulang...", Lingga berdiri lalu merapikan roknya.
Dia benar, ini sudah sore, ayah pasti mencariku bila langit sudah gelap aku belum pulang jua.
Lingga kembali duduk di dekatku. Merapikan tas miliknya yang isinya sudah berhamburan keluar. Kami tetap tak bicara, hanya membisu bersama angin yang semakin kencang berhembus.
"Kau tidak pulang, Aruna? Apa ibumu takkan mencarimu?", Lingga akhirnya membuka pembicaraan.
Aku merasa ia adalah anak perempuan penuh inisiatif, setidaknya di mataku.
"Ah...emmm... tidak, kok. Aku memang selalu pulang sore ke rumah. Biasanya aku pergi ke tempat les, tapi hari ini aku libur dan memilih diam di sini sampai sore. Ayahku pasti belum pulang ke rumah..."
"Begitu rupanya. Baiklah, aku pulang dulu, ya", ujar Lingga. Ia baru saja selesai merapikan tasnya.
"Mau pulang bersamaku?", lanjutnya seraya berdiri, lalu mengulurkan tangan.
"A-Aku... a-aku...a-aku...", seperti biasa, aku gugup.
"Bagaimana? Jangan gugup begitu hanya karena aku perempuan"
"Ba-baiklah. Tunggu aku di gerbang sekolah, ya?"
"Ok". Ia tersenyum lalu beranjak meninggalkanku.
Senyum itu. Siapa pemiliknya selain Lingga?
Aku melihat ia menghilang setelah berbelok. Sejenak kuhempaskan punggungku ke rerumputan ini, berusaha menghirup baunya yang khas, merasakan belaiannya, serta diam membiarkan angin menerjang tubuhku yang kecil. Taman atau bisa juga disebut halaman belakang sekolah ini selalu menghadirkan sensasi yang sama di sore hari dan aku selalu menyukainya. Mungkin aku akan semakin menyukainya bila Lingga selalu menemaniku di sini.
Matahari sudah hampir tenggelam saat aku dan Lingga beranjak dari gerbang sekolah. Ia sempat menggerutu dan menceramahiku karena terlalu lama memberesken isi tasku yang berserakan. Aku jadi ingin tertawa mengingatnya, aku terlalu lama karena tiduran dahulu di rumput itu, tapi aku tak mengatakannya. Tentu aku tak ingin ceramah Lingga semakin panjang berkat kejujuranku. Sebelum pergi, kami menyapa Kang Danang, penjaga sekolah kami, sekadar mengucapkan selamat sore dan ucapan terima kasih karena sudah membiarkan kami berlama-lama di halaman belakang sekolah. Aku menyukai kang Danang, ia begitu baik dan pengertian. Sepintas ia seperti sosok kakak yang selalu kuinginkan.
Kami berjalan berdampingan. Lingga tak pernah berhenti berbicara, ia membahas kegugupanku pada perempuan, kang Danang yang akan segera menikah, rumahnya yang masih berdebu dan hal-hal kecil tak penting lainnya yang menurutku tak perlu dibicarakan. Tapi, inilah Lingga, ia mudah berganti mood dalam waktu yang singkat. Sedetik ia irit bicara, detik berikutnya akan berubah menjadi kereta api ekspres yang tak bisa berhenti, sedetik marah, sedetik kemudian lembut seperti kapas, sedetik tomboy, sedetik kemudian jadi anak manis. Beberapa jam bersamanya membuatku tahu semua itu.
Akhirnya kami tiba di persimpangan jalan yang memisahkan tujuan kami. Ia berhenti melangkah, lalu menoleh ke arahku dan berkata, "Ini persis seperti arak-arakan awan itu. Kita tidak bersama, di sini lah kita berpisah."
Ia terlihat berpikir. Mungkin mencari kata yang tepat.
"Oke, kalau begitu sampai besok. Ingat! Jangan pernah gugup lagi di hadapanku?", serunya seraya berlari mengejar angkutan umum.
Ia urung menaiki angkutan umum itu. Sejenak ia mengibaskan telapak tangannya -memberi tanda pada sopir angkutan umum itu bahwa ia tidak jadi naik. Kemudian menoleh ke arahku.
"Hei Aruna! Tadi itu bukan mimpi! ingat itu, ya!”. Lingga berteriak dengan kencang. Memastikan aku menerima pesannya.
Aku melambaikan tangan, lalu mengangguk. Dalam hati aku masih tidak mempercayai kejadian hari ini ; aku berbicara dengan anak perempuan. Aku menganggukan kepalaku beberapa kali, memberinya tanda aku mengerti.
Lingga tersenyum, lalu membalikkan badannya dan pergi. Hari ini matahari sudah tenggelam dan Lingga pulang dengan berjalan kaki.
“Senyum itu? Apa itu senyum ibu?”, tanyaku. Ia memiliki senyum yang sama seperti ibu.
Baca selengkapnya