Tampilkan postingan dengan label thriller. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label thriller. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 April 2017

Aku dan Demonstrasi Esok Hari


Aku mengenal lorong ini. Baunya. Suaranya. Sambil berjongkok, aku memandang ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sekumpulan orang berkata-kata, menggerakkan bibir mereka, timbulkan bising yang hampir selalu kukenal –bising perjuangan. Aku tak bisa masuk. Ruangan sudah penuh. Yang tersisa, sekarang hanya lorong ini.

Lorong ini nyaris sepi. Tiada seorang berlalu lalang. Ruang-ruang, gelap. Hawanya, mungkin saja dingin. Tiada televisi, radio, atau alat elektronik penghibur lainnya. Ruangan-ruangan ini bukan kamar kost, bukan kamar pribadi, apalagi rumah yang bisa diperlakukan seenak perut! RUangan-ruangan ini : tempat hidup perjuangan mengalami kebimbangan, kekalutan, dan kecerahan. Ruangan ini, ada yang sediakan meja dan kursi, mirip kantor. Namun kebanyakan, tak seperti kantor, tapi yang penting bisa dipakai berkumpul dan berwacana, seperti malam ini, di Sekretariat HIMA KPI.

Aku tak mendengar segalanya. Sayup-sayup pun tidak.

Kubuka layar ponsel. Jam menunjukkan pukul 21.22, seseorang duduk di sampingku. Kami belum berbincang. Aku cuma memandang ke dalam sambil sesekali ke layar ponsel. Panggilan masuk : tiada. Pesan masuk : tiada. Ponselku seperti benda mati. Aku berpikir, barangkali ponsel telah jadi temanku yang sejati, tapi segera kubuang pikiran itu. Bagaimanapun, kupikir, teman haruslah sesuatu yang hidup, seperti manusia. Ponsel yang seolah hidup pun ternyata dikendalikan oleh manusia, yang bisa saja tak kukenali tapi kuakrabi. Perbincangan di dalam sekre semakin intim, aku masih tak mendengar apapun.

“Kang, tingal yeuh.” Pinta seseorang di sampingku.

Aku menoleh. Ia menunjukkan foto seorang perempuan. Aku tahu siapa dia. Tak usah kusebutkan.

“Gaduh pin BB na?” Tanyaku singkat, langsung pada titik yang benar-benar ingin kutanyakan tentang dara itu.

“Gaduh, kang. Ngan BBM abdi na nuju teu aktif. Teu tiasa lebet wae, teterang kunaon.” Ujarnya cukup panjang.

Percakapan kami berjalan cukup panjang, tapi takkan kutuliskan. Rasanya memalukan.

Aku mencoba mendengar apa yang diperbincangkan di dalam. Dekat dariku, sekumpulan mahasiswa –semester 3, tengah berbincang. Mereka satu kelas. Seorang kukenal sebagai Hamid, seorang lagi sebagai Rahman, lalu Ahmad Jaelani, dan yang perempuan sebagai Asmarani Dewi. Mereka berbincang cukup intim, diselingi tawa kecil, hampir silih berganti. Sesekali, salah seorang dari mereka menoleh ke dalam ruangan, sebentar kemudian kembali melanjutkan perihal di dalam perbincangan mereka yang asyik.

Aku masih mencoba mendengar apa yang diperbincangkan di dalam.

Aku masih mencoba mendengar apa yang diperbincangkan di ruangan yang penuh sesak itu.

“Break dulu, Tum?” Tanyaku pada Ridho –Ketua Umum HIMA KPI.

“Nunggu Hari dulu, Zar.” Jawabnya, lantas ia berjongkok di sampingku. Dikeluarkannya sebatang rokok.

Aku sering menyebut seseorang yang membawa sebatang rokok sebagai pembawa keris. Tak ada alasan. Ini cuma lelucon yang jarang menghadirkan tawa.

Aku terdiam. Ridho juga.

Tak lama, Hari datang bersama seorang gadis. Dari Haikal, kutahu nama gadis itu Fatin. Badannya berisi, tidak terlalu tinggi, warna kulit seperti kebanyakan orang Indonesia –sawo, ia memakai kemeja hitam, kerudung pink. Wajahnya baru sekali ini kulihat. Hari masuk ke dalam sekre, diikuti yang lain, juga Fatin. Dan perbincangan dilanjutkan.

Di dalam sekre, kudengar Hari berkata, “Mun arek maju, kudu maju kabeh. Lamun arek labuh, labuh kabeh. Montong aya nu mundur hayang meunang alusna hungkul!”

Semua orang di dalam sekre belum ada yang angkat bicara. Semuanya seperti anak kecil yang ketahuan hujan-hujanan sama ibunya.

“Saya mah, ngan bisa ngasih masukan terkait aksi isukan. Arek aksi atawa moal, eta mah tergantung kalian.” Hari berujar lagi, kali ini lebih tegas.

Semuanya masih terdiam.

Akhirnya kuketahui, aksi besok terancam gagal terlaksana. Penyebabnya, KTM yang akan kembali dituntut besok ternyata sudah lebih dahulu didapatkan kejelasannya oleh Forum Demokrasi Kampus. FDK –sebutan akrab Forum Demokrasi Kampus, mendapat titik cerah dari Pembantu Rektor bidang kemahasiswaan bahwa Rektor UIN SGD akan mengadakan audiensi terkait KTM ini hari Selasa minggu depan. Ini membuat pejuang-pejuang di dalam ruangan itu kebingungan sehingga sempat menimbulkan perdebatan.

“Arek isuna bener atawa henteu oge, ningali mahasiswa turun aksi mah birokrat teh geus geumpeur!” Hari kembali berucap dengan nada berapi-api.

Beberapa orang mulai angkat bicara.

“Nya lamun kitu mah, mendingan isukan tetep turun aksi, ari ceuk saya mah.” Tutur seseorang yang aku tak tahu siapa.

“Pokona, saya mah ngan bisa mere masukan, da anu ngajalanan na mah maraneh. Sok, ayeuna obrolkeun deui terkait rek turun aksi atawa henteu na isukan. Nu penting mah, lamun rek maju kudu maju kabeh, lamun rek labuh kudu labuh kabeh!” Imbuh Hari. Lalu ia pamit dan berjalan keluar. Di luar sekre, ia lantas menyalakan korek, membakar rokok, dan menghisapnya.

Ruangan seketika hening. Seorang pun belum angkat suara untuk beberapa lama.

“Jadi, kumaha isukan teh? Arek turun aksi?” Tanya Aban pada akhirnya.

Sekarang aku tahu, pemilik suara yang mengatakan bahwa lebih baik besok tetap turun aksi adalah dia. ia memandang semua orang di ruangan itu, satu persatu. Tak ada suara keberatan berkumandang.

“Hayu!” Ucap seseorang.

“Hayu abi oge, a Aban.” Imbuh yang lain.

“Hayu.” Imbuh yang lain lagi.

Banyak lagi kata terucap setelah itu. Banyak lagi rencana yang perlu dilaksanakan sesudahnya. Banyak rasa yang akan timbul esok hari. Barangkali, salah satunya adalah kepedulian.


Bandung, 01.10 WIB

20 Nopember 2014
Baca selengkapnya

Senin, 03 April 2017

Imaji : Sebuah Permulaan

Gambar via unsplash oleh Raul Petri
Di rumah, pukul 04.00 WIB
Aku kehilangan seseorang yang kucintai. Istriku meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Ia meregang nyawanya tepat di hadapanku. Aku menyaksikan momen itu secara perlahan. Seperti slow motion di film-film. Menyakitkan. Momen itu tak dapat kulupakan sama sekali.
Namaku Windu. Itu nama yang kuingat. Bukan cuma kuingat, Windu itu nama yang tercantum di KTP-ku, di SIM, di Passport, tunggu... aku punya passport untuk apa? Aku tak pernah ke luar negeri, setidaknya begitu seingatku, tapi yang jelas aku punya passport. Sesimpel itu. Sekarang aku menduda, sepertinya untuk waktu yang lama.
Setelah kematian istriku aku memilih menjadi tukang daging. Itu untuk meninggalkan semua kenangan tentang mendiang istriku, juga untuk mengawali sesuatu yang baru. Hari ini aku hendak ke pasar. Menyaksikan keramaian, mencium bau amis, dan mendapatkan rupiah.

***

Pasar Induk Kemayoran menjadi markas besarku. Beragam orang menyandarkan kehidupannya di tempat ini. Preman, sopir angkot, tukang sayur, tukang daging, tukang ikan, pedagang kain, juragan beras, boss emas, pedagang mainan, hanya sebagian jenis manusia yang meraup rupiah di sini. Selain mereka, masih banyak lagi. Tokoku ada di blok G nomor 246. Toko Daging Sewindu. Di lingkungan blok G ini, jalanannya becek. Sampah sayuran dan plastik berserakan dimana-mana. Bau amis adalah bau khas dari blok ini karena blok ini berisi kelompok pedagang daging dan ikan. Daging ayam, daging sapi, kambing, kuda, unta, ayam dijajakan berjejer sejauh mata memandang. Tangan-tangan para pedagang dilindungi sarung tangan karet. Para pekerja-pemilik toko sehari-harinya selalu memegang pisau potong yang besar, timbangan, kantung plastik, dan uang. Mereka tidak akrab dengan dunia digital karena dunia digital di sini berarti dunia yang lembek. Dunia yang tidak pernah mengenal bau amis.
“Bagaimana hari ini, Windu?” Haji Amir melenggang masuk sambil melihat-lihat daging jajakanku. Ia pemilik Toko Wisnu Adi di ujung blok F. Ia juragan beras. “Nampaknya daganganmu sebentar lagi habis.” imbuhnya.
Aku mengajak pak haji duduk sambil minum kopi di pojok kiri toko. Itu adalah area suci dari tokoku. Tempatku menyimpan uang dan pakaian ganti. Sejenis meja kasir, tapi aku tak pernah mengajak para pembeli membayar di sini. mereka selalu membayar di depanku, di depan meja potong.
“Kopi hitam, pak haji?”
Haji Amir mengangguk. Ia masih memandangi tumpukan daging yang dapat ditaksir yang seberat lima kilo.
“Baru setahun di sini, kau sudah bisa bersaing dengan toko daging yang tua-tua itu.” guraunya.
“Bukan bersaing, pak haji, tapi rezeki memang tak pernah buta.” Aku tertawa kecil. Haji Amir pun ikut tertawa. Keriput di sudut matanya mengecil. Kupikir, ia terlihat muda saat tertawa.
Kami berbincang soal kondisi pasar yang becek, kabar burung soal perombakan pasar, harga BBM yang naik-turun, dan hal lain yang tak berguna seperti keluhan istrinya soal beras Thailand, karung beras bergambar kelinci playboy, karung beras bergambar kartu gapleh dan mobil Septian si pemilik butik Aurora di muka pasar yang dicoreti sekelompok orang tak dikenal. Ini semua untuk membunuh waktu dan membuat kami tertawa. Beberapa bahan pembicaraan memang tak patut, tapi mau apalagi, pasar adalah tempat yang tak layak menjadi layak untuk diperbincangkan.
Setelah dua jam lebih kami mengobrol, Haji Amir mulai mengecilkan volume suaranya. Ia terlihat lebih berhati-hati memilih kata, memastikan tidak orang yang menguping, dan akhirnya membisikkan perkataannya yang belum kudengar jelas tadi.
“Datanglah ke gedung Teater Amarah di Jln Gatot Subroto nanti malam. Ada sesuatu yang harus kamu lihat di sana.” Bisiknya.
“Jam berapa?” Tanyaku.
“Jam sembilan malam. Datang sendiri. Ingat! datang sendiri.” Setelah selesai berbisik, Haji Amir pamit pulang. Ia berjalan keluar dari blok G dan menuju ke parkiran. Aku tak melihatnya lagi setelah ia berbelok.
“Apa yang seharusnya aku lihat di sebuah gedung teater?” Tanyaku pada diri sendiri. Aku mengingat-ingat apa yang seharusnya kulihat akhir-akhir ini. Aku berpikir, mengingat, menuliskannya di secarik kertas : nama-nama, benda, janji yang seharusnya kulihat dan kuhadiri. Kuperiksa daftar itu beberapa kali, ternyata tak ada. Apa yang seharusnya kulihat di sana?
Ah ya! Haji Amir adalah tetanggaku di sini dan di rumah. Ia sangat ramah dan mudah diajak bicara. Ia membantuku dalam banyak hal, salah satunya menjadi orang yang menyewakan toko ini padaku dan mencarikan aku suplier daging sapi kualitas satu untuk tokoku ini.

***

Jalan Gatot Subroto pukul 20.30 WIB
Lampu bagian depan atau di atas pintu masuk Teater Amarah mati. Di depannya gelap.  Aku hanya melihat seorang lelaki paruh baya berjualan gorengan. Dia diterangi lilin yang dilindungi botol bekas Kratingdaeng. Kompornya menyala, memanaskan minyak dan menggoreng tepung menjadi bala-bala, goreng tempe atau aci menjadi Cireng. Teater Amarah terlihat seperti bangunan tua yang tak terurus.
Pukul 20.47 WIB
kulihat beberapa pemuda masuk ke dalamnya. Pakaian mereka rapi. Ada yang memakai jas, ada yang pakai kemeja kotak-kotak, rambut klimis, bersepatu pantopel, memakai kaos kaki, dan yang sama adalah mereka membawa sebuah tas jinjing yang terbuat dari kulit.
"Kenapa diam di sini, Windu?" Tanya seseorang di pintu mobil sebelah kiri. Ia berjongkok.
Ia memakai jam bermerk dan modelnya juga langka.
"Kenapa gak masuk? Ayo... sebentar lagi dimulai loh.." ajaknya. Ia berdiri, seperti memastikan pintu teater belum ditutup, lalu berjongkok lagi dan mengajakku, lagi.
Aku tak mengenalnya.
"Namaku Aji. Ajidarma. Ayo.. pak haji sudah menunggu di dalam..." ajaknya lagi.
Ia mengenal pak haji, orang yang juga kukenal. Baiklah, aku akan masuk bersama lelaki bernama Ajidarma ini.
Benar saja, Haji Amir memang mengenalnya. Haji Amir pula lah yang mengajak Aji untuk datang ke teater ini. Haji Amir, aku dan Aji duduk-duduk di kantin teater. Menikmati secangkir kopi dan berbincang. Haji Amir banyak menceritakan kejadian lucu semasa ia muda dulu. Tawa dan perbincangan kami terhenti saat seorang perempuan berpakaian rapi memanggil Aji dan mengajaknya masuk ke sebuah ruangan.
"Sebentar lagi giliranmu, Windu." Ujar Haji Amir setelah melihat Aji masuk bersama perempuan tadi. Ia merapikan jasnya, memakainya, kemudiann berdiri dan pamit pulang. Sebelum pergi, Haji Amir berpesan agar aku menyelesaikan semua prosesnya malam ini.

bersambung
Baca selengkapnya