Suatu sore, aku berjalan melewati
gerbang komplek di sekitaran Cileunyi. Aku sedang main ke kosan temanku di dekat Pesantren Bustanul Wildan. Saat
melewati gerbang komplek itu, temanku tiba-tiba menepuk pundakku dan mengajakku
masuk ke komplek itu. Katanya, ia ada perlu dengan seseorang di dalam komplek
itu. Aku ikuti saja ajakannya itu, toh aku juga sedang santai sore itu.
Sampai di depan sebuah rumah, ia
mengajakku berhenti dan mencari tempat duduk. Tidak ada tempat duduk di
sekitaran sana. Cuma warung kelontong mungil yang bisa dijadikan tempat
nongkrong. Kami pun pergi ke warung itu. Aku membeli Magnum Filter dan Teh
Gelas. Temanku tidak membeli apa-apa.
Aku heran, jika memang ia ada perlu
dengan seseorang di komplek ini, seharusnya ia langsung saja ke rumahnya, bukan
malah duduk melongo seperti orang bego di warung seperti ini. Aku hendak
mengutarakan hal itu padanya, tapi ia kemudian beranjak ke sebuah rumah warna
merah muda. Rumah itu bernomor 134, ada di Blok G. Kulihat seorang perempuan,
kira-kira umur 29-30 tahunan sedang menjemur di halaman rumah itu.
Jika diperhatikan dengan teramat
seksama, perempuan itu bisa membuat laki-laki tidak memejamkan matanya sekitar
lima menitan, tapi bisa juga lebih. Uh! Liuk-liuk tubuhnya membentuk! Apalagi
dia cuma pakai tanktop dan celana jeans pendek. Rambutnya dicat warna merah
marun. Kulitnya putih bersih. Bulu ketiaknya nol. Wajahnya juga bersih.
Bibirnya merah. Kupikir, perempuan itu bukan perempuan baik-baik.
Temanku sedang asyik mengobrol dengan
perempuan itu di teras rumahnya. Mereka seperti saling melempar cubitan,
kelitikan, juga cekikikan. Melihat temanku yang akrab dengan perempuan itu, aku
mulai berpikiran yang tidak-tidak. Siapa pula yang tidak akan berpikiran yang
tidak-tidak jika melihat perempuan seperti itu, di sore hari menjelang maghrib,
akrab-akraban dengan laki-laki jauh di bawah umurnya, dan bukan muhrim pula!
Aku semakin mencap perempuan itu sebagai perempuan tidak baik-baik -pelacur.
Tak lama minuman mereka habis, temanku dan perempuan itu masuk ke dalam
rumahnya.
Kira-kira pukul setengah tujuh,
temanku baru keluar dari rumah itu. 30 menit ia di dalam sana. Wajahnya
terlihat cerah dan segar, seperti motor baru selesai diservis, di authorized
service pula.
"Siapa perempuan itu? Kamu
sering datang kemari?" Tanyaku langsung pada inti permasalahan.
Temanku tak langsung menjawab. Ia
malah asyik membalas pesan-pesan singkat yang numpuk di layar ponsel pintarnya.
"Kamu bakalan tahu siapa dia besok. Besok kuajak kamu ke sini lagi."
Jawabnya setelah selesai membalas semua pesan singkat itu.
"Kamu pelanggannya?"
Tanyaku lebih dalam. Jawabannya yang tadi, kupikir cuma sekedar pengalihan.
"Iya." Jawabnya. "Dia
bakalan bikin kamu puas!" Temanku menghisap rokoknya sambil kembali
membalas pesan singkat di ponselnya.
Kulihat sekilas, pesan-pesan singkat
itu dari Alvia, pacar temanku. "Kamu bodoh ya? Main sama pelacur, main
juga sama Alvia. Kalo mau main pelacur, putusin Alvia dong!" Tegurku
tegas. Aku tak suka Alvia, yang juga teman sekolahku dulu, dipermainkan oleh
Dani. Nama temanku yang ini adalah Dani.
"Aku gak permainin dia koq, Jon.
Aku bisa bagi waktu. Kamu juga, santai dikit kek." Ia menjawab dengan
santai.
Pertanyaan demi pertanyaan terus
kulontarkan pada Dani. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Dani
dengan pelacur itu. Aku juga ingin tahu apakah Dani benar-benar menyayangi
Alvia atau tidak. Aku benar-benar ingin mengetahui semuanya. Namun Dani terus
menerus menjawab dengan seenaknya, seolah apa yang kulihat sore tadi tidak
penting untuk dipertanyakan sama sekali. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang
ke Cibiru. Acara menginap di kosan Dani, terpaksa kubatalkan. Tak lama setelah
sampai di kosanku yang kosong melompong, aku tertidur.
***
Pagi ini, aku sudah siap untuk
mengikuti acara Orientasi Pengenalan Akademik Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati 2017, disingkat OPAK 2017. Aku memakai kemeja putih, celana hitam,
dan sepatu hitam. Di lengan kiriku, terikat pita coklat. Pita itu, menurut
panitia, adalah penanda kalau aku Mahasiswa Fakultas Dakwah Komunikasi. Ah iya,
Jurusanku adalah Sinematografi Dakwah. Aku tidak punya teman di kosan ini, jadi
setelah semua kurasa siap, aku berangkat ke kampus, ke Auditorium Multipurpose.
Begitu sampai di depan pintu
Auditorium, aku kembali teringat pada Dani dan perempuan itu. Aku memutuskan
untuk tidak langsung masuk ke Auditorium, melainkan ke Fakultas. Aku tahu Dani
pasti nongkrong di sana, menunggu Alvia yang hendak berangkat OPAK dari
Cipadung Permai. Sampai di halaman Fakultas Dakwah, kudapati Dani tengah
mengobrol dengan Alvia. Mereka tertawa dan saling memukul pundak lawannya.
Begitu melihatku, Dani langsung melambaikan tangannya, mengajakku bergabung.
Di depan Alvia, aku tak berani
menyinggung Dani tentang Perempuan itu. Aku enggan menyulut api di tali orang
lain sepagi ini. Aku akan menunggu sampai Alvia pergi.
Kira-kira pukul setengah delapan
pagi, Alvia meninggalkan kami. Ia pergi ke Auditorium bersama beberapa teman
sejurusannya. Barulah, aku menyinggung Dani tentang kejadian kemarin.
"Apa yang sebenarnya yang
terjadi kemarin, Dan?"
"Kamu benar-benar ingin tahu
siapa perempuan itu?"
"Tentu saja! Aku ingin semuanya
jelas, sejelas-jelasnya!"
"Kamu bawa buku panduan akademik
fakultas kita?"
"Tidak. Aku belum punya."
"Kalau begitu beli dulu di ruang
Tata Usaha. Harganya 50 ribu. Baru nanti kukasih tahu." Dani lantas pergi
begitu saja. Ia masuk ke dalam Fakultas, menaiki tangga, entah menuju lantai
berapa.
Aku berdiri di lantai dasar, di depan
ruang Tata Usaha. Aku mendekat ke pintu ruang itu, bertanya pada bapak-bapak
berjanggut lebat berkepala plontos. Ia menunjukkan sebuah meja tempat membeli
buku panduan akademik itu. Aku melangkah ke sana, bertanya lagi pada ibu-ibu
yang duduk di balik meja dan membeli satu buku panduan akademik. Setelah
membeli buku ini, aku tak tahu apalagi yang harus kulakukan.
***
Satu minggu berlalu setelah kejadian
sore itu di Cileunyi. Aku tengah duduk di kelas. Mata kuliah ke-satu dan ke-dua
dosennya tidak datang. Mata kuliah yang ke-tiga ini, aku juga berharap dosennya
kembali absen. Namun harapanku tidak terkabul. Seorang perempuan berkacamata,
yang kukenal betul masuk ke dalam kelas.
"Perempuan itu!" Aku
berteriak di dalam hati.
Perempuan itu lantas memberi salam
dan memperkenalkan dirinya. Ia bernama Luna. Nama Lengkapnya Luna Aprilia. Ia
mengajar mata kuliah Filsafat Ilmu, Filsafat Islam, dan Ulumul Qur'an. Riwayat
pendidikannya, amat menakjubkan! Di usia semuda itu, ia sudah mendapat gelar
Professor untuk bidang Filsafat, dan tiga gelar Doctor Honorist Causa dari
Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia. Mendengar
semua perkenalannya itu, aku segera membuka buku panduan akademik yang kusimpan
di dalam tasku. Kucari nama itu, dan kudapati hal-hal yang lebih menakjubkan
lagi darinya. Ah, aku malah menilai kacang hanya dari cangkangnya.
sumber gambar : HQWalls
sumber gambar : HQWalls
Bagikan
Pelacur?
4/
5
Oleh
Unknown
1 komentar:
Tulis komentartes tes
Reply