Samira
banyak membaca. Ia sering duduk seorang diri, di tengah permadani bermotif bunga, dengan alas yang bolong di sana sini. Ia nyaman
dengan hal itu. Menikmatinya. Samira diam berjam-jam di balik tirai dunia, yang
banyak dibilang orang luas, di dalam sebuah buku.
Samira,
barangkali adalah jenis manusia pecinta buku. Ketika seseorang telah sampai
pada tahap mencintai, ia akan melakukan perkara aneh, tak jarang bodoh,
seringkali gila. Itulah Samira. Ia mencintai buku seperti ia mencintai istrinya
saat pertama kali menikah.
Di sini,
Samira –si pecinta buku- telah menikah beberapa kali. Pernikahannya, selalu
gagal. Pernikahan, sering diibaratkan sebagai bahtera. Nah, Samira, saat baru
saja membali kayu dan paku untuk membangun bahteranya, ia sudah ditinggalkan
oleh istrinya. Kehidupan cinta Samira dengan sesame manusia memang menyakitkan,
tapi baginya, itu adalah perkara indah nan memesona. Perkara yang takkan pernah
didapatkan orang lain.
Samira
beruntung, di sini, hari ini pernikahannya yang ke sembilan berjalan mulus. Ia
sudah meniduri istrinya beberapa kali dalam tiga tahun belakangan. Ia,
kadang-kadang pergi keluar bersama istrinya, sekadar cuci mata atau belanja
barang keperluan rumah mereka.
***
Menginjak
tahun ketujuh pernikahannya, sebuah masalah mulai merundung Samira. Istrinya
ingin punya anak. Bisa dikatakan, ia iri pada teman-temannya yang telah
menimang. Ia meminta Samira serius untuk memiliki anak, dan Samira, ia
menyanggupinya.
“Mohon
maaf, ibu, bapak, mungkin bukan rezeki anda,” Ujar dokter kandungan yang saat
ini tengah berkutat di balik dokumen kandungan istri Samira. Di dokumen itu,
istri Samira diketahui keguguran. Pupuslah harapan istri Samira untuk memiliki
anak. Ia juga dirundung awan kelabu berbulan-bulan lamanya.
Kekuguran
anak yang didamba, bisa jadi sebuah petaka terbesar bagi seorang wanita. Wanita
yang tertimpa musibah macam ini, adalah wanita yang malang dunianya. Itu pula
istri Samira. Kini ia menjadi wanita malang, yang kekuguguran.
Istri
Samira nyaris gila. Ia enggan berkata-kata, dengan Samira barang sepatah pun.
Ia malas makan berhari-hari. pekerjaannya, hanya duduk diam, menahan sembilu
hati di pojok ranjang. Ia menatap langit, dan mengandaikan awan di cakrawala
sebagai bayinya. Tak jarang, istri Samira cekikikan sendiri. ia bicara di depan
kaca sambil memegangi guling mungil, yang awalnya ia persiapkan untuk calon
anaknya.
Melihat hal
itu, Samira menghentikan laju cintanya pada buku-buku. Ia memilih memerhatikan
kondisi istrinya yang mengkhawatirkan. Setiap pagi, ia menamani istrinya duduk
di taman belakang rumah, sekadar memandangi awan, dan menghitungnya. Samira
tersenyum. Ia cukup senang istrinya mau diajak bicara, lagi.
“Sepertinya,
kondisi Mala sudah membaik,” Pikir Samira suatu pagi, usai berbincang dengan
istrinya, sekalian sarapan pagi. Samira tengah mencuci piring dan gelas yang
bertumpuk di dapur.
Sejak
keguguran itu, istri Samira tak pernah mencuci, memasak atau melakukan
pekerjaan seorang istri lainnya, bahkan bersetubuh. Samira memaklumi hal itu,
karena ia menikahi Mala bukan untuk membantunya mencuci atau memasak. Samira
berpikir, selama ia bisa menyelesaikan semuanya, ia akan baik-baik saja.
***
“Dimana
istrimu, Sam? Tidak ikut?” celetuk
Irfan, seorang teman Samira saat mereka berjumpa.
Samira
berjalan sendirian, sejak keluar dari mobil. Ia menenteng tas berisi
naskah-naskah novel milik teman-temannya, salah satunya milik Irfan. Mereka
bertemu di sini untuk mendiskusikan kekurangan novel Irfan.
“Dia ikut
koq, fan.” Samira duduk di depan Irfan. Mereka terpisah oleh sebuah meja.
“Lalu,
dimana dia?”
“Dia di
mobil. Menungguku di sana.”
“Lah! Kau
ini bagaimana? masa istrimu kau biarkan menunggu di mobil? Ajaklah ia kemari,
kita mengobrol santai di sini.”
“Dia tidak
bisa keluar,”
“Kenapa?
Apa sih yang dilakukannya di sana? Apa tidak panas?”
“Dia
kepanasan, Fan….”
“Kau
suruhlah dia keluar, Samira,”
“Aku tak
bisa.”
“Aku bantu
kau membujuknya keluar kalau begitu, bagaimana? Ayo.” Tanpa menghiraukan
tanggapan Samira, Irfan beranjak ke mobil Xenia putih milik Samira. Samira
menyusulnya, dengan hati gelisah.
Samira
takut Irfan mengetahui kondisi Mala. Ia sebenarnya
tidak takut, ia hanya malu jika seseorang tahu istrinya gila. Baginya,
orang lain harus tetap tahu kalau istrinya baik-baik saja. Namun di sini, Irfan
tahu. Dengan matanya, ia menelan bulat-bulat kenyataan tentang Mala.
“Apa yang
terjadi padanya, Sam?” Tanya Irfan saat mereka kembali duduk di meja café. Kali
ini Mala duduk di sisi Samira. Ia asyik mengajak bicara guling mungil berwarna
hijau, di dalam pelukannya.
“Dia
keguguran, tiga tahun lalu. Sejak saat itu, ia tak pernah kembali menjadi Mala
yang kukenali, Fan,” Samira berkata lirih. Perlahan ia mengenggam tangan Mala,
erat sekali.
“Bagaimana
bisa? Istriku pernah keguguran, tapi ia tak gila.” Irfan berkalakar tentang
istrinya.
“Mungkin,
itu karena kau suaminya. Mala jadi begini, karena aku yang menikahinya. Ia akan
baik-baik saja, hidup bahagia dengan dua atau tiga anak jika tak kunikahi,
Fan.”
“Mungkin
saja.” Kata Irfan. Ia diam sejenak, menarik napas, sambil berpikir. Kemudian ia
kembali berkata. “Tapi, Sam, ini adalah pilihan Mala. Ia memilihmu, karena ia
yakin kau akan mencintainya, dalam kondisi apapun.”
“Bahkan
saat ia gila? Seperti sekarang ini?” Samira tersenyum getir. Tangan kirinya
meremas kain kemejanya.
“Tentu
saja. Buktinya? Ini,” Irfan berdiri, ia menarik tangan Samira yang bertaut
dengan istrinya. “Jika kau tak mencintainya, mustahil kau menemaninya, hingga
detik yang lalu, atau hingga kemarin.”
“Aku tahu,
cintamu pada buku-buku di perpustakaan pribadimu lebih besar daripada cintamu
pada Mala. Kau menganggap cintamu telah sempurna pada buku-buku itu, tapi
sekarang aku ragu.” Irfan kembali berkata.
“Apa
maksudmu?”
“Kau hanya
mencintai buku-buku itu, saat mereka tengah kau baca, setelahnya, kau
mengabaikan mereka di rak-rak kayu mahoni. Artinya, cintamu pada mereka hanya
dalam sebuah momen, Sam. Tapi, kau tengoklah hari-harimu sebelumnya. Hari
dimana kau menemani Mala dalam keadaan seperti ini. Kau selalu ada untuknya,
kan?”
“Ya. Aku
sering menemaninya sarapan pagi, setelah itu aku mengajaknya berbincang.”
“Itulah
cinta yang sempurna. Kau tetap bersandar pada satu hal, saat cintamu sempurna.
Tak peduli itu sehat atau cacat, hitam atau putih, suka atau duka. Kau akan
selalu berada di sisinya, meski sulit.” Irfan menutup ucapannya seraya
menyeruput espresso-nya.
Sementara
Samira, ia tersenyum sambil menatap Mala. Sekarang, wanita di sampingnya ini
terasa jauh untuk digapai. Ia berada di dunia lain, dimensi yang lain,
barangkali juga galaksi yang lain. Namun, Samira yakin, ia akan mencintai Mala,
seperti hari ini, atau hari-hari yang telah lalu. Dan, berusaha mendekatkannya
kembali.
Bagikan
Cinta Yang Sempurna
4/
5
Oleh
Unknown