Meja
berwarna coklat diterangi lampu belajar yang temaram. Di sana ada beberapa alat
tulis tua yang tergeletak, nampaknya sudah lama. Lampu belajar tua itu tiangnya
berkarat, juga lampunya yang seperti bergetar. Menyala, memang lampu itu masih
menyala, tapi tentu tak nyaman untuk digunakan. Kulihat sebuah gambar
tergantung miring di sisi meja. Gambar itu pun berdebu. Aku mendekati
benda-benda itu.
Benar
saja, semuanya berdebu. Aku mengambil buku dan pena tua di meja itu, lalu kutiup
keduanya. Astaga! Debunya benar-benar sesuai dugaanku. Tak cukup kutiup, kuusap
buku itu beberapa kali sampai nampak gambar seekor anjing putih dan wanita
Belanda yang duduk di sampingnya. Tangan wanita Belanda itu tengah
mengusap-usap kepala anjingnya. Aku menatap sampul buku itu lekat-lekat. Kucari
beberapa tanda yang menjadi identitas buku itu.
“Tentu
buku ini terbit sebelum Indonesia merdeka...”, pikirku. Kusimpan kembali buku
itu di atas meja. Penanya masih kupegang.
Aku
beralih ke gambar miring di sisi kanan meja. Gambar itu jua tak luput dari
selimut debu yang amat tebal. Aku mendekat ke gambar itu. Dari bingkainya aku
bisa tahu usia gambar itu hampir sama dengan buku tua di atas meja. Pasti lebih
tua dariku.
“Akan
membutuhkan waktu semalaman untuk membersihkan kamar ini”, gumamku lesu.
Rasanya seperti membersihkan segelas tinta hitam di kain putih.
Dengan
pundak lemas aku keluar dari kamar itu. Tanganku masih memegang pena tua yang
tadi kuambil dari meja. Aku akan mencari Hanna –istriku, dan memintanya
membantuku membersihkan kamar itu.
“Hanna...sayang...”,
panggilku. Aku menyusuri lorong rumah ini satu persatu, mencari sosok istriku.
Hanna
tak menjawab.
Aku
tak berpikir macam-macam dengan hal ini, jadi kulanjutkan saja pencarian Hanna
ke pekarangan di belakang rumah. Beruntung, di sana kutemukan Hanna tengah
menyirami pohon-pohon bonsai milikku.
“Sayang...”,
panggilku dan Hanna menoleh. “Kemarilah..aku membutuhkan bantuanmu...”, imbuhku
lalu Hanna tersenyum.
Aku
menatapnya aneh. Setelah menoleh, ia tidak mendekat sama sekali, ia hanya
membalikkan badan dan tersenyum. Tak lama berselang, tangannya melambai-lambai
pada sesuatu di atap rumah. Hanna masih tetap tersenyum sampai aku berdiri di
hadapannya.
“Sayang?
Sayang? Sayang?”, ujarku sambil mengguncang bahunya. Ia berhenti melambai.
Tangannya
mengangkat seperti hendak melambai lagi, tapi urung ia lakukan. Kami diam cukup
lama sampai ia mengangkat jari telunjuknya sambil tersenyum pada sesuatu di
belakangku.
“Sial!
Sebenarnya ia tersenyum pada siapa sih!”, gerutuku kesal. Aku berhenti
mengguncang-guncang bahunya sambil menoleh sedikit.
Aku
tak melihat apapun.
Aku
menatap istriku lagi, lalu ia berbisik, “Lihatlah baik-baik, Jean”
“Apa
maksudmu, Hanna? Aku sudah menoleh dan tak ada apapun di sana.. ayoo, aku butuh
bantuanmu di dalam”, kataku tergesa-gesa. Aneh, bulu kudukku berdiri seketika.
“Menolehlah
sekali lagi dan aku akan membantumu di dalam”
“Baiklah”.
Aku mengalah. Aku membalikkan tubuhku. Kali ini aku dan Hanna berdiri
berdampingan. Rasanya ada sesuatu di belakangku.
Hanna
tersenyum, tangannya melambai ke arah sesuatu di atap rumah tua yang baru kami
beli ini.
Tiba-tiba
suara gesekan daun kering di balik pagar rumah terdengar menggema di gendang
telinga. Aku mengedarkan pandangan. Bersiaga bila binatang buas mengarah ke
rumah ini.
“Apa
yang ingin kau tunjukkan padaku, Hanna?”, bisikku di telinganya sambil tetap
menyiagakan pendengaranku.
Gesekan
daun-daun kering itu semakin keras dan kencang.
“Wanita
itu”, ujar Hanna tiba-tiba.
Aku
melihat wanita Belanda di sampul buku itu tengah duduk santai di atap rumahku.
Kakinya bergelayutan di genting, dan ia sedang mengusap-usap anjing putihnya. Pemandangan di mataku saat ini
persis sekali dengan sampul buku tua di kamar itu. Apa yang terjadi?
Wanita
Belanda itu mengangkat wajahnya yang ayu, lalu ia tersenyum dan melambaikan
tangannya pada kami. Ia menggerak-gerakkan mulutnya seolah mengatakan sesuatu.
Beberapa kali ia melakukan hal itu. Sampai Hanna kembali bicara, “Sayang,
wanita cantik itu memanggil kita ke atas sana...”
“Untuk
apa?”, tanyaku.
“Katanya,
ia percaya pada kita dan mengundang kita untuk menikmati pemandangan menawan
dari atap rumah ini”
“Tidak...tidak..tidak,
sayang. Wanita itu...aku melihatnya ada di sampul buku tua di kamar kita. Ia
pasti bukan lagi manusia”, jelasku panjang lebar pada Hanna. Kulihat, kutunggu,
Hanna menundukkan kepalanya.
Hanna
menggeleng pada wanita itu, lalu ia mengatakan beberapa kata halus untuk
menolak ajakan wanita itu. Di akhir kalimat ia mengucapkan maaf beberapa kali,
lalu tersenyum.
Aku
bisa melihat raut geram pada wanita Belanda itu dan anjing putihnya. Ia berdiri
di atap rumah kami. Kakinya melayang, begitu pula anjingnya. Wajahnya yang
geram berubah seketika menjadi buruk, penuh luka dan bolong di sana sini. Ia
merentangkan tangannya lebar-lebar. Wujudnya berubah. Ia bukan lagi wanita
cantik berbaju putih, ia adalah Wanita Hitam menyeramkan.
Selesai
berubah, ia melayang ke arah kami. Tangannya yang kotor dengan kuku-kuku
panjang mencekik leher kami. Cekikannya kuat sekali. Aku tak mampu bernafas.
“Sial!”,
gerutuku. Aku tak mampu melepaskan cekikannya. Aku menoleh pada Hanna, istriku
sudah terkulai lemas di tangan wanita ini. Kali ini Wanita Hitam ini mencekikku
dengan kedua tangannya. Astaga! Cekikan ini semakin kuat saja.
“Cut!
Cukup-cukup... kita break makan siang satu jam”, seru Hakim pada semua kru.
Selesai.
Bagikan
Persepsi
4/
5
Oleh
Unknown