Rabu, 05 April 2017

Persepsi


Meja berwarna coklat diterangi lampu belajar yang temaram. Di sana ada beberapa alat tulis tua yang tergeletak, nampaknya sudah lama. Lampu belajar tua itu tiangnya berkarat, juga lampunya yang seperti bergetar. Menyala, memang lampu itu masih menyala, tapi tentu tak nyaman untuk digunakan. Kulihat sebuah gambar tergantung miring di sisi meja. Gambar itu pun berdebu. Aku mendekati benda-benda itu.
Benar saja, semuanya berdebu. Aku mengambil buku dan pena tua di meja itu, lalu kutiup keduanya. Astaga! Debunya benar-benar sesuai dugaanku. Tak cukup kutiup, kuusap buku itu beberapa kali sampai nampak gambar seekor anjing putih dan wanita Belanda yang duduk di sampingnya. Tangan wanita Belanda itu tengah mengusap-usap kepala anjingnya. Aku menatap sampul buku itu lekat-lekat. Kucari beberapa tanda yang menjadi identitas buku itu.
“Tentu buku ini terbit sebelum Indonesia merdeka...”, pikirku. Kusimpan kembali buku itu di atas meja. Penanya masih kupegang.
Aku beralih ke gambar miring di sisi kanan meja. Gambar itu jua tak luput dari selimut debu yang amat tebal. Aku mendekat ke gambar itu. Dari bingkainya aku bisa tahu usia gambar itu hampir sama dengan buku tua di atas meja. Pasti lebih tua dariku.
“Akan membutuhkan waktu semalaman untuk membersihkan kamar ini”, gumamku lesu. Rasanya seperti membersihkan segelas tinta hitam di kain putih.
Dengan pundak lemas aku keluar dari kamar itu. Tanganku masih memegang pena tua yang tadi kuambil dari meja. Aku akan mencari Hanna –istriku, dan memintanya membantuku membersihkan kamar itu.
“Hanna...sayang...”, panggilku. Aku menyusuri lorong rumah ini satu persatu, mencari sosok istriku.
Hanna tak menjawab.
Aku tak berpikir macam-macam dengan hal ini, jadi kulanjutkan saja pencarian Hanna ke pekarangan di belakang rumah. Beruntung, di sana kutemukan Hanna tengah menyirami pohon-pohon bonsai milikku.
“Sayang...”, panggilku dan Hanna menoleh. “Kemarilah..aku membutuhkan bantuanmu...”, imbuhku lalu Hanna tersenyum.
Aku menatapnya aneh. Setelah menoleh, ia tidak mendekat sama sekali, ia hanya membalikkan badan dan tersenyum. Tak lama berselang, tangannya melambai-lambai pada sesuatu di atap rumah. Hanna masih tetap tersenyum sampai aku berdiri di hadapannya.
“Sayang? Sayang? Sayang?”, ujarku sambil mengguncang bahunya. Ia berhenti melambai.
Tangannya mengangkat seperti hendak melambai lagi, tapi urung ia lakukan. Kami diam cukup lama sampai ia mengangkat jari telunjuknya sambil tersenyum pada sesuatu di belakangku.
“Sial! Sebenarnya ia tersenyum pada siapa sih!”, gerutuku kesal. Aku berhenti mengguncang-guncang bahunya sambil menoleh sedikit.
Aku tak melihat apapun.
Aku menatap istriku lagi, lalu ia berbisik, “Lihatlah baik-baik, Jean”
“Apa maksudmu, Hanna? Aku sudah menoleh dan tak ada apapun di sana.. ayoo, aku butuh bantuanmu di dalam”, kataku tergesa-gesa. Aneh, bulu kudukku berdiri seketika.
“Menolehlah sekali lagi dan aku akan membantumu di dalam”
“Baiklah”. Aku mengalah. Aku membalikkan tubuhku. Kali ini aku dan Hanna berdiri berdampingan. Rasanya ada sesuatu di belakangku.
Hanna tersenyum, tangannya melambai ke arah sesuatu di atap rumah tua yang baru kami beli ini.
Tiba-tiba suara gesekan daun kering di balik pagar rumah terdengar menggema di gendang telinga. Aku mengedarkan pandangan. Bersiaga bila binatang buas mengarah ke rumah ini.
“Apa yang ingin kau tunjukkan padaku, Hanna?”, bisikku di telinganya sambil tetap menyiagakan pendengaranku.
Gesekan daun-daun kering itu semakin keras dan kencang.
“Wanita itu”, ujar Hanna tiba-tiba.
Aku melihat wanita Belanda di sampul buku itu tengah duduk santai di atap rumahku. Kakinya bergelayutan di genting, dan ia sedang mengusap-usap anjing  putihnya. Pemandangan di mataku saat ini persis sekali dengan sampul buku tua di kamar itu. Apa yang terjadi?
Wanita Belanda itu mengangkat wajahnya yang ayu, lalu ia tersenyum dan melambaikan tangannya pada kami. Ia menggerak-gerakkan mulutnya seolah mengatakan sesuatu. Beberapa kali ia melakukan hal itu. Sampai Hanna kembali bicara, “Sayang, wanita cantik itu memanggil kita ke atas sana...”
“Untuk apa?”, tanyaku.
“Katanya, ia percaya pada kita dan mengundang kita untuk menikmati pemandangan menawan dari atap rumah ini”
“Tidak...tidak..tidak, sayang. Wanita itu...aku melihatnya ada di sampul buku tua di kamar kita. Ia pasti bukan lagi manusia”, jelasku panjang lebar pada Hanna. Kulihat, kutunggu, Hanna menundukkan kepalanya.
Hanna menggeleng pada wanita itu, lalu ia mengatakan beberapa kata halus untuk menolak ajakan wanita itu. Di akhir kalimat ia mengucapkan maaf beberapa kali, lalu tersenyum.
Aku bisa melihat raut geram pada wanita Belanda itu dan anjing putihnya. Ia berdiri di atap rumah kami. Kakinya melayang, begitu pula anjingnya. Wajahnya yang geram berubah seketika menjadi buruk, penuh luka dan bolong di sana sini. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar. Wujudnya berubah. Ia bukan lagi wanita cantik berbaju putih, ia adalah Wanita Hitam menyeramkan.
Selesai berubah, ia melayang ke arah kami. Tangannya yang kotor dengan kuku-kuku panjang mencekik leher kami. Cekikannya kuat sekali. Aku tak mampu bernafas.
“Sial!”, gerutuku. Aku tak mampu melepaskan cekikannya. Aku menoleh pada Hanna, istriku sudah terkulai lemas di tangan wanita ini. Kali ini Wanita Hitam ini mencekikku dengan kedua tangannya. Astaga! Cekikan ini semakin kuat saja.
“Cut! Cukup-cukup... kita break makan siang satu jam”, seru Hakim pada semua kru.

Selesai.

Bagikan

Jangan lewatkan

Persepsi
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.