"Persetan
dengan proses. Hanya orang bodoh yang ingin melewati beberapa proses untuk
diterima menjadi siswa di sekolah ini. Aku tidak peduli dengan tahapan-tahapan
terkutuk itu!", rajuk Aruna. Ia memukul meja belajarnya beberapa kali sampai
menimbulkan suara-suara pukulan yang terdengar hingga ke mushola kecil di Rumah
Coklat Tua.
kedua mata
Aruna memerah. Ia duduk seorang diri di kamarnya, menghadapi meja belajar dan
selembar kertas. Mulutnya beberapa kali mengucapkan sumpah serapah dan beberapa
kata kasar. Ini tidak seperti Aruna biasanya. Saat ini ia tidak sadar, mungkin
ketakutan.
Rumah
Coklat Tua berdiri di atas tanah berumput hijau muda. Rumput yang baru tumbuh
beberapa bulan ke belakang. Rumput hijau muda sengaja tak dipangkas, agar Rumah
Coklat Tua mendapat pemandangan hijau di pagi hari. Aruna tinggal di Rumah
Coklat Tua bersama kakeknya. Ia pindah ke sini setelah lulus sekolah menengah
pertama. Malam ini ia merasa gamang, kalut dan takut terhadap kertas di
hadapannya. Kertas Putih Kosong.
Aruna
memukul meja beberapa kali, lagi. Kedua matanya tidak teralihkan sedikitpun
dari kertas putih kosong. Kamar berukuran tiga meter menjadi tempat
berlindungnya dari hujan dan panas di kota kecil ini, dan malam ini kamar ini
tidak menunjukkan kegunaannya selain menjadi tempat berlindung. Beberapa foto
tergantung rapi di dinding, sebagian besar foto berisi Aruna dan seorang gadis
berkulit putih. Foto-foto itu dibawa Aruna ketika pindah ke sini.
Berturut-turut kasur kecil dan sebuah meja kecil berjejer di samping meja
belajar. Perabotan kamar Aruna sama sekali tidak berguna malam ini, termasuk
foto-foto itu. Ia tidak meliriknya sekalipun.
"Sialan!
Kenapa aku harus mengisi kertas terkutuk ini? Siapa pula orang bodoh yang
memintaku mengisi semua kertas kosong ini semalaman? Sungguh aku hampir jadi
gila karena tahapan terakhir ini", keluh Aruna. Wajahnya kusut seperti
bangun tidur. Rambutnya acak-acakan, begitu juga meja belajarnya. Aruna kesal
sekali dengan tahap terakhir seleksi masuk Sekolah Menengah Atas di kota kecil
bernama Mewane ini. Berkali-kali ia merutuki keputusannya sendiri telah pindah
ke sini.
Aruna akan
benar-benar putus asa.
"Apa
yang mengganggumu?", ujar sebuah suara dari balik pintu. Rupanya kakek
sudah menyelesaikan urusannya di mushola kecil Rumah Coklat Tua. Ia mengetuk
pintu kamar cucunya beberapa kali dan menanyakan hal yang sama.
Tiada
jawaban dari dalam.
"Biarkan
kakek masuk. Mungkin ada yang bisa kakek perbuat untukmu. Di sini kakek
mengenal segalanya, termasuk Sekolah Menengah Atas itu beserta semua jalan
pintas melewati seleksinya. Bisa saja kakek memberitahumu jalan pintas itu, apa
kau tidak tertarik?", berkata kakek sedikit panjang. Lelaki berambut
kelabu ini berdiri tegap. Di tangannya ia membawa beberapa lembar kertas.
Tak sepatah
kata pun terucap, dari dalam.
Kakek tak
berkata-kata lagi dari balik pintu. Rumah Coklat Tua telah sunyi untuk beberapa
saat. Suara gesekan daun di halaman Rumah Coklat Tua nyaring terdengar ke kamar
Aruna karena kesunyian yang melanda rumah ini.
Aruna
akhirnya terbangun. Rupanya ia tertidur tak lama setelah merasa putus asa. Di
dalam tidurnya ia mendengar suara seorang kakek yang menawarkan jalan pintas
masuk ke Sekolah Menengah Atas di kota ini. Ia segera sadar dan melupakan semua
keluh kesahnya sebentar. Ia beranjak menuju pintu mencari suara -seperti di
dalam mimpinya. Aruna mengetuk pintu kamarnya beberapa kali, berharap mendengar
suara-suara seperti di dalam mimpinya. Tapi sia-sia. Rupanya kakek memilih diam
sampai Aruna membuka pintu kamarnya.
Aruna
sedikit kesal karena kenyataan yang didapatkannya tidak sesuai dengan mimpinya.
Ia berbalik meninggalkan pintu. Ia berhenti ketika langkahnya belum mencapai
kursi, lalu ia berbalik, lagi. Aruna ingin membuka pintu.
"Kakek?
Apa yang kakek lakukan di pintu kamarku? Aku sama sekali tidak berharap
mendengar nasihat kakek tentang bertani malam ini", kata Aruna ketika ia
mendapati sosok kakek sedang berdiri di balik pintu.
"Kakek
akan memberikanmu jalan pintas, bukan nasihat bertani"
"Oh
ya? Ayo silakan masuk, kek. Aku sedang diganggu selembar kertas kosong malam
ini. Mungkin jalan pintas yang kakek tawarkan dapat membantuku keluar dari rasa
terganggu ini"
"Ini
jalan pintasnya", Kakek menyodorkan beberapa lembar kertas. Semuanya
berwarna putih dan masih kosong. Tak ada satu kata pun yang tertulis di
permukaannya.
"Kakek
memberikanku sandi"
"Ini
jalan pintasnya. Kau harus mengisi kertas itu untuk mendapatkan jalan pintas
masuk ke sekolah itu"
"Apa
maksud kakek? Sungguh ini bukanlah jalan pintas, seperti biasanya"
"Kau
sudah besar. Jalan pintas bagimu tidak pantas. Aruna! Kertas kosong itu adalah
proses yang harus kau isi agar dapat diterima di sekolah itu, jika tidak,
selamanya kau takkan masuk menjadi bagian dari sekolah itu, bahkan untuk
berdiri di gerbangnya pun tidak.
"Mengisi
kertas itu hanyalah proses kecil. Dan proses kecil ini hanya untuk masuk ke
dalam satu sekolah, tidak untuk hal lain. Sungguh kecil tantangan yang dapat
membuatmu putus asa... Ingatlah! tidak ada jalan pintas dalam hidup ini, semuanya
membutuhkan proses yang berkesinambungan. Kertas itu adalah proses agar kau
diterima. Coba kau lihat ke depan, nanti kau harus melewati proses yang lebih
berat dari ini. Proses hidup; dari seorang remaja menjadi seorang yang dewasa,
kemudian menjadi seorang ayah, kakek lalu meninggal. Bahkan bayi pun harus
menunggu hingga beberapa tahun untuk bisa memakan gorengan karena sebelumnya ia
hanya meminum susu dan tak memiliki gigi.
“Semua
tahapan itu adalah proses yang harus kau lewati dan masing-masing proses
mamiliki kadar kesulitan dan tantangan yang berbeda. Kertas ini hanya bagian
kecil dari proses remaja yang kau hadapi. kakek yakin kau mampu melewatinya.
Nah, apa yang harus kau tuliskan pada kertas itu?", kakek menerangkan
panjang lebar. Ini adalah ucapan kakek yang paling panjang malam ini.
Aruna
tertegun. Air mukanya sedikit berubah, tapi ia belum sepenuhnya terlepas dari
rasa putus asa. Ia segera sadar dari lamunannya. Kemudian ia berkata,
"Artikel! Sebuah artikel tentang teknologi, kek"
"Itu
mudah sekali!", seru kakek. Ia segera menuliskan satu kata di kertas itu.
"Telepon
seluler? Apa maksudnya ini, kek?"
"Kau
tahu banyak tentang benda itu. Kenapa tidak kau tulis saja semua yang kau tahu
tentangnya?"
Aruna
bergegas mengambil pena dari meja belajarnya dan merangkai kata demi kata
tentang telepon seluler. Ia baru mengerti bahwa dirinya lemah dan mudah putus
asa terhadap sebuah proses. Ia meyakini apa yang dikatakan kakeknya adalah
benar. Lalu ia memandangi rangkaian foto di dinding kamar sambil tersenyum dan
malam pun semakin larut hingga keesokan harinya Aruna bangun kesiangan di pagi
ke-empat belas bulan Juni tahun 1986.
Bagikan
Kertas Putih
4/
5
Oleh
Unknown