Kamis, 06 April 2017

Kertas Putih


"Persetan dengan proses. Hanya orang bodoh yang ingin melewati beberapa proses untuk diterima menjadi siswa di sekolah ini. Aku tidak peduli dengan tahapan-tahapan terkutuk itu!", rajuk Aruna. Ia memukul meja belajarnya beberapa kali sampai menimbulkan suara-suara pukulan yang terdengar hingga ke mushola kecil di Rumah Coklat Tua.

kedua mata Aruna memerah. Ia duduk seorang diri di kamarnya, menghadapi meja belajar dan selembar kertas. Mulutnya beberapa kali mengucapkan sumpah serapah dan beberapa kata kasar. Ini tidak seperti Aruna biasanya. Saat ini ia tidak sadar, mungkin ketakutan.

Rumah Coklat Tua berdiri di atas tanah berumput hijau muda. Rumput yang baru tumbuh beberapa bulan ke belakang. Rumput hijau muda sengaja tak dipangkas, agar Rumah Coklat Tua mendapat pemandangan hijau di pagi hari. Aruna tinggal di Rumah Coklat Tua bersama kakeknya. Ia pindah ke sini setelah lulus sekolah menengah pertama. Malam ini ia merasa gamang, kalut dan takut terhadap kertas di hadapannya. Kertas Putih Kosong.

Aruna memukul meja beberapa kali, lagi. Kedua matanya tidak teralihkan sedikitpun dari kertas putih kosong. Kamar berukuran tiga meter menjadi tempat berlindungnya dari hujan dan panas di kota kecil ini, dan malam ini kamar ini tidak menunjukkan kegunaannya selain menjadi tempat berlindung. Beberapa foto tergantung rapi di dinding, sebagian besar foto berisi Aruna dan seorang gadis berkulit putih. Foto-foto itu dibawa Aruna ketika pindah ke sini. Berturut-turut kasur kecil dan sebuah meja kecil berjejer di samping meja belajar. Perabotan kamar Aruna sama sekali tidak berguna malam ini, termasuk foto-foto itu. Ia tidak meliriknya sekalipun.

"Sialan! Kenapa aku harus mengisi kertas terkutuk ini? Siapa pula orang bodoh yang memintaku mengisi semua kertas kosong ini semalaman? Sungguh aku hampir jadi gila karena tahapan terakhir ini", keluh Aruna. Wajahnya kusut seperti bangun tidur. Rambutnya acak-acakan, begitu juga meja belajarnya. Aruna kesal sekali dengan tahap terakhir seleksi masuk Sekolah Menengah Atas di kota kecil bernama Mewane ini. Berkali-kali ia merutuki keputusannya sendiri telah pindah ke sini.

Aruna akan benar-benar putus asa.

"Apa yang mengganggumu?", ujar sebuah suara dari balik pintu. Rupanya kakek sudah menyelesaikan urusannya di mushola kecil Rumah Coklat Tua. Ia mengetuk pintu kamar cucunya beberapa kali dan menanyakan hal yang sama.

Tiada jawaban dari dalam.

"Biarkan kakek masuk. Mungkin ada yang bisa kakek perbuat untukmu. Di sini kakek mengenal segalanya, termasuk Sekolah Menengah Atas itu beserta semua jalan pintas melewati seleksinya. Bisa saja kakek memberitahumu jalan pintas itu, apa kau tidak tertarik?", berkata kakek sedikit panjang. Lelaki berambut kelabu ini berdiri tegap. Di tangannya ia membawa beberapa lembar kertas.

Tak sepatah kata pun terucap, dari dalam.

Kakek tak berkata-kata lagi dari balik pintu. Rumah Coklat Tua telah sunyi untuk beberapa saat. Suara gesekan daun di halaman Rumah Coklat Tua nyaring terdengar ke kamar Aruna karena kesunyian yang melanda rumah ini.

Aruna akhirnya terbangun. Rupanya ia tertidur tak lama setelah merasa putus asa. Di dalam tidurnya ia mendengar suara seorang kakek yang menawarkan jalan pintas masuk ke Sekolah Menengah Atas di kota ini. Ia segera sadar dan melupakan semua keluh kesahnya sebentar. Ia beranjak menuju pintu mencari suara -seperti di dalam mimpinya. Aruna mengetuk pintu kamarnya beberapa kali, berharap mendengar suara-suara seperti di dalam mimpinya. Tapi sia-sia. Rupanya kakek memilih diam sampai Aruna membuka pintu kamarnya.

Aruna sedikit kesal karena kenyataan yang didapatkannya tidak sesuai dengan mimpinya. Ia berbalik meninggalkan pintu. Ia berhenti ketika langkahnya belum mencapai kursi, lalu ia berbalik, lagi. Aruna ingin membuka pintu.

"Kakek? Apa yang kakek lakukan di pintu kamarku? Aku sama sekali tidak berharap mendengar nasihat kakek tentang bertani malam ini", kata Aruna ketika ia mendapati sosok kakek sedang berdiri di balik pintu.

"Kakek akan memberikanmu jalan pintas, bukan nasihat bertani"

"Oh ya? Ayo silakan masuk, kek. Aku sedang diganggu selembar kertas kosong malam ini. Mungkin jalan pintas yang kakek tawarkan dapat membantuku keluar dari rasa terganggu ini"

"Ini jalan pintasnya", Kakek menyodorkan beberapa lembar kertas. Semuanya berwarna putih dan masih kosong. Tak ada satu kata pun yang tertulis di permukaannya.

"Kakek memberikanku sandi"

"Ini jalan pintasnya. Kau harus mengisi kertas itu untuk mendapatkan jalan pintas masuk ke sekolah itu"

"Apa maksud kakek? Sungguh ini bukanlah jalan pintas, seperti biasanya"

"Kau sudah besar. Jalan pintas bagimu tidak pantas. Aruna! Kertas kosong itu adalah proses yang harus kau isi agar dapat diterima di sekolah itu, jika tidak, selamanya kau takkan masuk menjadi bagian dari sekolah itu, bahkan untuk berdiri di gerbangnya pun tidak.

"Mengisi kertas itu hanyalah proses kecil. Dan proses kecil ini hanya untuk masuk ke dalam satu sekolah, tidak untuk hal lain. Sungguh kecil tantangan yang dapat membuatmu putus asa... Ingatlah! tidak ada jalan pintas dalam hidup ini, semuanya membutuhkan proses yang berkesinambungan. Kertas itu adalah proses agar kau diterima. Coba kau lihat ke depan, nanti kau harus melewati proses yang lebih berat dari ini. Proses hidup; dari seorang remaja menjadi seorang yang dewasa, kemudian menjadi seorang ayah, kakek lalu meninggal. Bahkan bayi pun harus menunggu hingga beberapa tahun untuk bisa memakan gorengan karena sebelumnya ia hanya meminum susu dan tak memiliki gigi.

“Semua tahapan itu adalah proses yang harus kau lewati dan masing-masing proses mamiliki kadar kesulitan dan tantangan yang berbeda. Kertas ini hanya bagian kecil dari proses remaja yang kau hadapi. kakek yakin kau mampu melewatinya. Nah, apa yang harus kau tuliskan pada kertas itu?", kakek menerangkan panjang lebar. Ini adalah ucapan kakek yang paling panjang malam ini.

Aruna tertegun. Air mukanya sedikit berubah, tapi ia belum sepenuhnya terlepas dari rasa putus asa. Ia segera sadar dari lamunannya. Kemudian ia berkata, "Artikel! Sebuah artikel tentang teknologi, kek"

"Itu mudah sekali!", seru kakek. Ia segera menuliskan satu kata di kertas itu.

"Telepon seluler? Apa maksudnya ini, kek?"

"Kau tahu banyak tentang benda itu. Kenapa tidak kau tulis saja semua yang kau tahu tentangnya?"

Aruna bergegas mengambil pena dari meja belajarnya dan merangkai kata demi kata tentang telepon seluler. Ia baru mengerti bahwa dirinya lemah dan mudah putus asa terhadap sebuah proses. Ia meyakini apa yang dikatakan kakeknya adalah benar. Lalu ia memandangi rangkaian foto di dinding kamar sambil tersenyum dan malam pun semakin larut hingga keesokan harinya Aruna bangun kesiangan di pagi ke-empat belas bulan Juni tahun 1986.

Bagikan

Jangan lewatkan

Kertas Putih
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.