Samira
memandangi tirai hijau yang membentang di cermin matanya. Panjang. Tirai itu,
meliuk-liuk, terhembus angin. Samira menganggap tirai itu menertawakannya, ia
balas tertawa. Ia menunggu tirai itu menyentuh jemarinya. Ia merasakannya
lembut. Samira tersenyum.
Kemudian
pemuda berpakaian putih-putih, dengan peci bertengger manja di kepalanya itu
tersenyum. Ia menuntun jemarinya merangkai garis, membentuk pola.
Kepalanya
menunduk, mengahadap kertas yang terselip di antara lembar kitabnya. Ia
tersenyum lagi. Pola wajah seorang gadis hampir selesai di sana.
Ia
mengacuhkan riuh rendah suara yang mendayu-dayu di sekelilingnya. Kepalanya
kosong dari itu semua. Ia tak memikirkan apapun, apalagi melahap semua yang
dikatakan gurunya di depan sana. Ia tak menginginkan itu semua.
“Sebaiknya
kau mendengarkan Ustadz Imron, atau dia akan kemari dan merobek lukisanmu yang
berharga itu.” Andara berbisik halus di sisi Samira. Ia turut serta menundukkan
kepalanya.
“Aku
tahu.”
“Nah,
sekarang angkat kepalamu dan dengarkan.” Ujar Andara kemudian. Ia kembali
memerhatikan Ustadz Imron. Sementara Samira tetap merunduk. Ia benar-benar
enggan memerhatikan apa yang ada di sekelilingnya.
Bagi
Samira, semua yang ada di sekelilingnya telah dipenuhi garis putih-hitam.
Garis-garis itu, mengikat siapa saja, di tempat ini. Dan ketika ia berpindah,
ia akan terikat bersama garis putih-hitam yang lain. Itu membuatnya muak. Ia
enggan terikat dengan apapun. Baginya, dunia adalah apa yang ia pikirkan, dan
ia simpan di dalam pikirannya. Bukan dunia penuh garis putih-hitam.
“Sekali
lagi, Ustadz Imron memerhatikanmu.” Bisik Andara, lagi. Ia khawatir Samira akan
kena semburan amarah milik ustad berhutan lebat di bawah dagunya itu.
“Aku
tahu.” Jawab Samira enteng.
***
Usai
pengajian, Samira dipanggil Ustadz Imron. Ia dimarahi dan diberi hukuman. Tak
lupa, ustadz itu mengambil lukisan milik Samira, dan merobeknya di depan
Samira. Di sana, Samira menunduk sepanjang waktu. Ia hanya tersenyum, malah di
dalam hatinya, ia tertawa.
Keluar
dari kantor ustad Imron, Samira tertawa terbahak-bahak. Ia tidak murung,
apalagi bersedih. Gurat semacam itu, selalu seolah bersembunyi jauh di dalam
permukaan wajahnya.
“Kenapa
kau tertawa, Samira?” Tanya Andara saat temannya itu kembali ke asrama.
“Aku
senang.” Jawab Samira, lagi-lagi enteng.
“Kenapa
bisa begitu? Padahal, kebanyakan santri murung saat keluar dari kantor ustadz
Imron.”
“Aku
senang karena ia hanya menghancurkan wujud nyata imajiku. Itu bukan apa-apa.
Sebenarnya, jauh sekali di tempat yang amat dalam, aku menyimpan imajiku,
menguncinya. Aku membukanya saat pengajian ustadz Imron saja.”
“Kenapa?”
“Karena,
kunci imaji itu selalu duduk di balik tirai yang menghalangi kita.”
“Maksudmu
seorang santriwati?”
“Ya.
Aku tak mengenalnya, tapi wajahnya yang belum pernah kulihat utuh, selalu
membuka imaji di dalam pikiranku. Ustadz Imron takkan mendapatkannya.” Samira
mengakhiri perkataannya dengan senyum, seraya beranjak ke dalam kamar.
“Aku
akan menggambarnya lagi besok.” Imbuh Samira. Lantas ia membuka lemarinya dan mengambil
secarik kertas.
***
Samira
berulang kali melakukan apa yang Andara anggap sebagai kebodohan. Tapi Samira
tidak menyesal. Justru ia terlihat sebaliknya. Tenang, bahagia.
“Kenapa
kau selalu melakukannya? Kukira, ocehanmu saat itu bualan belaka.” Ujar Andara
saat menemui Samira di tengah lapangan voli. Samira tengah dijemur.
“Kenapa?
Aku menyukainya.” Jawab Samira enteng.
“Apa
hanya itu? Kau aneh.” Andara berjongkok di samping Samira. Ia mengibaskan
pecinya sesekali. Keringat mengucur deras di pelipisnya yang coklat legam.
“Ya.”
“Aku
merasa bebas saat menyelami imajiku tentang gadis itu. Nampaknya, aku jatuh
cinta.”
Andara
tertegun mendengar ucapan Samira. Ia lantas berdiri di hadapan Samira,
bermaksud memastikan ucapannya. “Yang benar?”
“Benar.”
“Kau
akan celaka, Samira. Jika ustdz Imron tahu hal ini, ia akan menghukumu. Kau
tahu, peraturan di sini sudah jelas. Santriwan tidak boleh menjalin hubungan
dengan santriwati yang bukan mahramnya.” Andara berucap panjang lebar. Ia
menatap Samira serius.
“Aku
tahu, tapi aku takkan terkena hukuman atas hal itu.”
“Kenapa
bisa begitu?”
“Karena
aku mencintai imaji yang timbul saat gadis itu duduk di balik tirai. Aku
merasakan kebebasan tak berbatas. Meski aku tak mengenalnya, atau tak mungkin
berhubungan dengannya sama sekali, imajiku akan memuaskanku. Imajiku, anggur
yang memabukkan, Andara.” Samira tersenyum ramah. Ia memandang langit, dan
menarik napasnya dalam.
“Sana!
sebaiknya kau kembali ke asrama sebelum ustadz Imron mendapatimu menemaniku
menjalani hukuman ini.” Imbuh Samira. Ia meminta temannya itu kembali ke
asrama.
Dan
Samira, sepanjang siang bersama raja cahaya, ia bersenandung tentang gadis yang
dikenalnya. Lagi-lagi, ia mendapatkan senandung itu saat menyelami imajinya
beberapa saat lalu.